Share

Chapter 5

Gina berlari kecil keluar dari gudang itu, bel pulang sudah berbunyi setengah jam lalu. Gadis itu di spam telepon oleh Reva sejak tadi, dengan kejam Gina memblokir nomornya sementara.

"Kau diblokir," ungkap Ratih yang sejak tadi menonton Reva bolak-balik sembari menggigit bibirnya.

"Hah? Diblokir?" Tanya Reva linglung setelah berhenti.

Ratih hanya mengangguk saja, toh Gina sudah besar jadi tenang saja tak perlu panik seperti ini. Reva meluruh ke lantai, ingin sekali gadis itu menyentil dahi Gina, ia khawatir sejak tadi gadis itu belum kembali.

Kelas sudah sepi menyisakan mereka berdua, Ratih masih sibuk di bangkunya dengan bukunya. Reva masih panik di bawah sana, pasalnya gadis itu di kirimi pesan oleh ayahnya Gina.

"Rat, menurutmu tuan Herdian galak tidak?"

"Kenapa tiba-tiba?" Heran Ratih, tak biasanya mereka membicarakan hal seperti ini.

"Bacalah," pinta Reva menyodorkan ponselnya yang berisi chat antara dirinya dengan ayah Gina.

Ratih menerimanya dan membacanya, keningnya berkerut berpikir.

"Kau mau?" Tanya Ratih setelahnya.

"Ya, bagaimana lagi. Lagipula gratis hehe, mau!" Seru Reva senang.

Ratih sedikit heran dengan pesan Herdian, pria itu mengajak Reva berlibur. Hal yang tak pernah terjadi sebelumnya, sejak pertama berteman dengan Gina. Gadis itu jadi sedikit curiga, ya curiga yang sangat mencurigakan.

"Ini chat pertama beliau?" Ratih bertanya dengan rasa penasarannya yang membelenggu tanpa menggulir layar ke atas.

"Oh, tidak. Sebelumnya ayah Gina pernah mengirimkan pesan, coba geser ke atas aku lupa," jelas Reva gadis itu bangun dari tempatnya dan mendekati Ratih.

"Ini, hanya meminta supaya mau berteman dengan putrinya."

Reva menunjukkan chat awal antara dirinya dengan Herdian, di sana hanya menyapa dan perkenalan singkat.

Ratih mengangguk paham, "Bagaimana beliau bisa mendapatkan nomormu?"

"Astaga itu hal yang mudah, ayah Gina kan salah satu donatur disekolah ini."

Penjelasan Reva membuat Ratih terdiam, donatur sekolah yang berarti mempunyai beberapa keuntungan termasuk informasi dari para siswa meski pribadi. Dan ya tentunya ada bayaran untuk hal itu.

"Hm donatur ya?"

"Ya?" Tanya Reva bingung, "Hei kenapa?" Lanjutnya.

"Tak apa, kau telpon Gina," suruh Ratih menyodorkan ponselnya yang disambut cepat oleh Reva.

Sedangkan di luar sana Gina masih bersembunyi dibelakang tong sampah besar, tadi gadis itu berniat melalui jalan lain sekedar ingin tau namun malah terjebak di sini.

Di depan sana terjadi tawuran bersekala kecil, tanpa senjata tajam hanya beberapa anak sekolah menengah atas dengan dua kubu. Ada yang memakai seragam putih abu, ada pula yang memakai jaket menutupi seragamnya, sisanya memakai baju bebas.

Tawuran yang tak elit sepertinya, tak ada wibawanya sama sekali di tonton ya meski begitu Gina tetap merasa takut. Getaran telepon mengalihkan perhatiannya, Gina mengecek sebentar sebelum menjawab.

"Hi Ratih?"

"Hei kau dimana?!" Tanya Reva diseberang.

Gina langsung mengecilkan volume nya, berharap masih aman tanpa gangguan. Gadis itu deg-degan tak karuan, selain takut tentunya ia juga merasa jijik berdekatan dengan sampah.

"Astaga Reva, tenanglah ...." Gina berbisik lirih.

"Hah? Kau kenapa?" Reva diseberang ikutan berbisik, Ratih menyuruh membesarkan volume nya.

"Ada tawuran, aku tidak bisa lewat," jelas Gina kemudian mengirimkan lokasinya saat ini.

"Tawuran dimana? Kau lewat mana?" Tanya Ratih, gadis itu bergegas membereskan tasnya. Mengambil tas Gina dan mengajak Reva berjalan keluar.

Setelah memastikan pintu kelas tertutup barulah mereka berdua mengikuti arah yang Gina kirimkan.

"Kau diam di situ, kami akan ke sana," tegas Ratih.

"Bagaimana bisa anak itu sampai ke sana, aih." Reva di sebelah Ratih merasa pusing.

"Ayo kita lewat samping," ajak Ratih.

Reva dan Ratih berlari kecil ke arah samping kanan sekolah, melompati pagar pembatas yang tingginya hanya sebatas pinggang orang dewasa.

Mereka mengikuti arah dari ponsel, lokasinya lumayan jauh karena harus melalui kebun warga. Daerah ini juga sepi dan berantakan, sepertinya ada penebangan liar berskala kecil.

"Tak ada jalan pintas lainnya, bawa kayu ini."

Reva meneguk ludahnya kasar, ia gemetaran menerima kayu besar yang Ratih sodorkan.

"Kita? Ikutan tawuran?" tanya Reva pias, wajahnya memucat takut.

"Buat jaga-jaga, ayo!"

Ratih membawa kayu besar juga, mereka berdua berlalu dari sana dengan mengendap-endap. Jalanan begitu lenggang, daerah ini tampak sepi meski masih siang.

Dibawah pohon besar tertutup semak belukar mereka bersembunyi, memastikan keadaan didepan sana sepertinya tidak berbahaya.

"Mereka tanpa senjata, ayo lewat saja." Ratih maju melangkah keluar meninggalkan kayunya.

"Heh, yang benar saja?!" Ucap Reva tak terima.

Tak ada pilihan lain, Reva terpaksa ikut dari belakang dengan gemetaran. Di depan sana beberapa anak SMA tampak sedang beradu mulut, entah apa yang mereka cek-cok kan.

Ratih berjalan di samping jalan, berusaha tak peduli dengan anak SMA di tengah jalan sana. Reva mempercepat jalannya menggandeng Ratih erat, jantungnya berdegup kencang saat ini hingga keringat dingin membasahi tubuhnya.

"Siapa tuh cewe?" Tanya salah seorang anak SMA itu kala melihat dua gadis itu.

"Entah, anak sebelah kali," sahut lainnya.

"Bodinya manteb cuy, gas ga?" Tanya lelaki berjaket hitam.

Ratih yang pendengarnya tajam pun berhenti dan menengok ke arah anak SMA itu. Reva ikutan berhenti dan mengintip dari belakang tubuh Ratih.

"Au, noleh bro. Gila cakep juga, sini dong cantik!" Teriak si jaket hitam.

Lelaki berjaket hitam itu mendekati Ratih berusaha menggapai tangannya. Didukung oleh siulan dari teman-temannya di belakang, entah Ratih jadi berpikir jika tawuran ini sangat tidak menyenangkan.

"Argh, lepas! Sakit!"

Belum sampai digapai sudah Ratih pelintir tangannya, bunyi retakan tulang terdengar nyaring membuat bulu kuduk merinding. Reva yang dibelakang hanya bisa diam ketakutan, gadis itu mundur semakin jauh. Teman-teman anak SMA itu juga diam masih berpikir harus bagaimana, mereka tak punya nyali hanya diam berdiri.

Meski Reva bisa beladiri namun ia belum pernah mempraktekkan ilmu itu di dunia nyata, dan juga lawannya laki-laki itu belum pernah.

"Reva ...," panggil Ratih pelan tanpa menoleh, masih dengan tangan yang memelintir.

"I-iya?" Sahut Reva takut.

Ratih melemparkan tas Gina yang kemudian di tangkap Reva, "Susul Gina, aku ada urusan sebentar," suruh gadis itu.

Reva mengangguk dan berlalu cepat dari sana, gadis itu memaksa diri pergi. Ratih menatap datar lelaki dibawahnya yang kesakitan, cengkraman tangannya semakin menguat.

"Coba ulangi?" Tanya Ratih pelan, pandangannya merendahkan lawan bicara.

"A-argh, Lo siapa sih!" Jerit si jaket hitam itu, memaksa nyali berani dengan membalas tajam tatapan Ratih.

"Heh, lepasin!" Salah satu temannya maju, remaja bercelana robek-robek itu berusaha mendorong Ratih.

Ratih melepas pelintiran nya dan beralih menangkap tangan si celana robek-robek, ia putar dan kunci kakinya cepat membuat lelaki itu berteriak.

"Lo .... Regan Ananta Prabu, nama doang kece, kok beraninya ngelawan cewe." Ratih membaca name tag di seragam remaja itu, ia ingat siapa orang yang memiliki nama belakang sama dengannya.

Ratih hempaskan Regan kebawah, tak lupa pijakan di tungkai kakinya membuat Regan menjerit ngilu.

"Ah, cewe gila!"

Regan kesakitan di bawah sana di bantu si jaket hitam berdiri, teman-teman mereka sudah kabur dari sana. Ratih berdecak sinis, sepertinya mereka ini hanya gaya-gayaan saja tak punya nyali tak punya kekuatan juga.

"Kalau abang gue tau, habis Lo! Hahaha!" Sombongnya selangit meski masih tertatih-tatih berdiri, Regan membanggakan kakaknya yang sudah memiliki tingkat tinggi di beladiri itu.

"Kak Arga ga sebodoh, Lo."

Regan terdiam sejenak bagaimana gadis didepannya ini tahu nama kakaknya. Si jaket hitam disebelahnya juga hanya diam sejak tadi, tangannya masih sedikit nyeri.

"Lo siapa?" Tanya Regan tajam, remaja itu sangat penasaran.

"Buang-buang waktu aja, lain kali kalau mau tawuran latihan gelut. Bacot doang mana seru, payah."

Setelah mengucapkan itu tanpa pamit Ratih berlalu, si jaket hitam menatap Regan bingung dan Regan yang ditatap hanya diam memandangi Ratih hingga gadis itu menemui kedua temannya di sana.

"Pulang lah kita, gue mau pijetan. Ah ngilu anjir, sialan!" Si jaket hitam mengeluh menahan nyeri sembari memapah Regan mereka berjalan pergi.

"Hm pulang ajalah, uh kaki gue!" Regan sangat kesakitan bila kakinya menapak, nyerinya masih terasa hingga saat ini karena Ratih benar-benar kuat menginjaknya.

"Anjir di tinggal pulang, sialan emang!" umpat Regan saat mereka sampai ke tempat mereka memarkirkan motornya. Hanya tinggal motor mereka berdua di sana.

Si jaket hitam Tio namanya, mendudukkan Regan dikursi trotoar. Tio mencoba menghubungi Arga, kakaknya Regan.

"Halo bang, boleh minta tolong jemput kita," pinta Tio, lelaki itu ikutan duduk menunggu disebelah Regan.

"Oh oke, makasih ya bang."

Setelahnya Tio mengirim lokasi, untungnya Arga juga sedang tidak sibuk.

"Lo kenal tuh cewe, Gan?" Tanya Tio penasaran.

"Mukanya kaya ga asing, tapi gue ga kenal."

Regan mencoba mengingat-ingat kembali, wajah Ratih seperti pernah ia lihat entah di mana.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status