Mutia sebagai manager Hana, tampak keberatan apabila Hana berbicara empat mata dengan Andhika tanpa dia dampingi. Apalagi Mutia merasa kalau ada maksud tersembunyi di balik undangan Andhika hari ini.
“Maaf, Pak Andhika. Saya sebagai manager Hana wajib untuk mendampinginya. Apalagi kedatangan kami kemari untuk kepentingan pekerjaan Hana ke depannya nanti,” ucap Mutia.
Andhika menghela napas, dan menatap Mutia lekat. “Saya juga ingin berbicara empat mata dengan Hana demi kepentingan pekerjaan dia ke depannya nanti. Tapi, kalau keberatan untuk bicara empat mata, saya tidak masalah. Jadi sepertinya tidak perlu ada yang dibicarakan lagi. Kita akan bertemu di pengadilan, dan itu juga belum tentu Anda akan menang.”
Hana dan Mutia kembali saling tatap. Mereka merasa gentar juga dengan ucapan Andhika tadi. Sebagai orang yang memiliki uang dan kekuasaan, tentunya Andhika akan meminta anak buahnya mencari pengacara kondang untuk menyelesaikan masalah ini. Bisa jadi Hana akan kalah di pengadilan. Hal itu karena di perjanjian kerja sama antara Hana dan pihak Barata Group, tidak disebutkan kalau Barata Group akan bertanggung jawab penuh atas sesuatu yang terjadi pada Hana.
Andhika yang melihat Hana dan Mutia sepertinya terpengaruh oleh ucapannya, mengulum senyumnya. Dia yakin kalau Hana akan menuruti kata-katanya.
“Bagaimana? apa bisa saya dan Hana bicara empat mata? Saya tidak punya waktu banyak. Sebentar lagi saya akan meeting,” ucap Andhika.
“Bagaimana ini, Mbak?” bisik Hana.
“Ya sudah, Han. Kamu coba bicara empat mata sama dia. Siapa tahu hasilnya bisa menguntungkan kamu juga. Pesan aku, jangan tanda tangani apa pun. Kalau mau tanda tangan, tunggu aku. Biar aku lihat dulu dokumen yang harus kamu tanda tangani, ok.” Mutia balas berbisik di telinga Hana.
Hana menganggukkan kepalanya. Dia lantas menatap Andhika yang kini tengah menunggu keputusannya.
“Baik, Pak. Saya bersedia bicara empat mata dengan Bapak,” ucap Hana, yang seketika membuat Andhika tersenyum lebar.
“Ok, kalau begitu tinggalkan kami berdua,” sahut Andhika. Dia menatap Bagus dan Mutia secara bergantian.
Bagus dan Mutia pun keluar dari dalam ruangan Andhika. Bagus meminta Mutia untuk menunggu Hana di ruangan yang lain.
Jantung Hana berdebar ketika kini di ruangan itu hanya ada dirinya dan Andhika saja. Apalagi saat ini Andhika menatap wajah Hana lekat. Hal itu membuat Hana merasa tak nyaman.
“Bisa dibuka maskernya? Saya mau melihat wajah kamu, Hana,” ucap Andhika datar.
“Bapak tidak percaya dengan luka yang ada di wajah saya?” tanya Hana sedikit ketus. Semenjak peristiwa yang membuat wajahnya terluka, Hana menjadi kurang percaya diri. Dia sendiri merasa jijik melihat wajahnya yang penuh dengan luka apabila sedang bercermin, apalagi orang lain.
“Kamu kan menuntut ganti rugi untuk wajah kamu yang terluka. Jadi saya perlu tahu dong sejauh mana luka kamu itu. Kalau lukanya nggak terlalu parah, saya rasa nggak perlu operasi. Nanti juga hilang sendiri bekas lukanya. Walaupun memang memerlukan waktu. Tapi, kalau untuk pemotretan bisa diakali dengan make-up, dan pintarnya fotografer mengambil gambar,” sahut Andhika santai.
Emosi Hana seketika tersulut mendengar ucapan Andhika. Pria itu kesannya menganggap remeh apa yang Hana alami saat ini. Maka dengan berat hati, Hana akhirnya membuka masker yang sudah tiga hari ini melengkapi penampilannya.
“Silakan Pak Andhika melihat dan menikmati wajah saya yang sudah cacat ini!” sindir Hana.
Andhika menatap lekat wajah Hana yang terluka. Sesekali terlihat pria itu menghela napas panjang.
‘Wajahnya tetap terlihat cantik walaupun ada luka di sana. Sebagian besar lukanya tidak terlalu parah kelihatannya. Tapi, luka di pipi kirinya yang terlihat parah, dan memang memerlukan operasi untuk memulihkannya. Dan ini bisa membuat rencanaku berjalan lancar,’ ucap Andhika dalam hati.
“Saya dengar kalau kamu seorang fotomodel baru. Tapi, walaupun baru bayarannya lumayan, bukan? Masak untuk operasi wajah saja nggak sanggup sih, Han?” ucap Andhika kalem.
Hana kali ini sudah tidak bisa menahan emosinya lagi. Dia menatap wajah Andhika seraya berkata, “Pak Andhika yang terhormat, mungkin uang seratus juta bagi Bapak itu sedikit. Tapi, bagi saya uang sebesar itu sangat berarti. Apalagi menjadi fotomodel merupakan pekerjaan yang bisa menghidupi kami sekeluarga, dan dapat membiayai pendidikan saya serta adik saya. Jadi saya harus berhati-hati dalam menggunakan uang saya. Apalagi luka saya ini disebabkan karena kelalaian dari pihak perusahaan Bapak. Andaikan lampu gantung itu terpasang dengan baik, maka kejadian seperti itu tidak akan terjadi. Dan saya tidak akan menderita seperti ini.”
Hana berkata dengan bibir yang bergetar karena emosi yang sudah menyelimutinya.
‘Bagus! dia rupanya tulang punggung keluarga. Maka aku harap dia mau menerima tawaranku ini,’ ucap Andhika dalam hati.
“Ok, kalau begitu kita sekarang bisa bicara untuk jalan keluar masalah yang kamu hadapi. Saya akan mengajukan penawaran untuk kamu, Hana. Saya rasa kita sama-sama diuntungkan dengan tawaran yang akan saya ajukan sesaat lagi,” ucap Andhika.
Hana mengerutkan keningnya. “Apa penawarannya?”
“Saya akan menyebutkan, tapi kamu harus berjanji kalau akan mencabut tuntutan kamu itu. Kita selesaikan dengan damai. Kalau kamu cabut tuntutan itu, maka saya pribadi akan memberikan uang agar kamu bisa melakukan operasi, untuk memulihkan wajah kamu supaya bisa kembali seperti semula,” ucap Andhika.
“Baik, saya akan mencabut tuntutan itu. Lalu apa penawaran Bapak?” tanya Hana penasaran.
Andhika terdiam sejenak. Dia menatap Hana lekat seraya berucap, “Jadilah istri sementara saya! Maka saya akan kabulkan tuntutan ganti rugi itu. Tapi, dengan syarat perjanjian ini hanya kita berdua yang tahu. Saya tidak melibatkan perusahaan dalam hal ini. Uang yang akan saya keluarkan adalah uang pribadi saya. Bagaimana, apa kamu setuju?”
Mata Hana seketika membulat, dan mulutnya pun terbuka sempurna karena terkejut dengan ucapan Andhika.
“Apa?! Menjadi istri sementara?” tanya Hana dengan mata tak berkedip menatap Andhika.
“Iya, selama satu tahun!” sahut Andhika datar dan dingin.
Darah Hana mendidih mendengar tawaran Andhika. Dia merasa terhina dan sebagai perempuan merasa tidak dihargai oleh pria itu.
“Maaf Bapak Andhika yang terhormat. Saya dengan tegas menolak tawaran itu! Lebih baik saya mengeluarkan uang saya sendiri dari pada harus menjadi istri sementara Bapak. Saya wanita baik-baik dan menurut saya, pernikahan bukan untuk dipermainkan. Saya juga sudah punya kekasih, dan saya tipe wanita yang setia,” ucap Hana tegas.
Andhika mengulum senyumnya mendengar kata-kata Hana.
“Hana, kalau kamu menolak karena tersinggung dan mengatakan pernikahan tidak bisa untuk main-main, saya mengerti. Tapi, kalau kamu menolak karena kamu sudah punya kekasih, rasanya saya ingin tertawa. Kamu mungkin wanita yang setia, tapi apa kekasih kamu juga seorang pria yang setia?” ucap Andhika yang membuat kening Hana berkerut.
“Apa maksud Bapak?” tanya Hana bingung.
Andhika tersenyum penuh arti dan menatap Hana seraya berkata, “Kekasih kamu seorang aktor muda yang bernama Rama, bukan?” Hana terkesiap mendengar ucapan Andhika yang benar adanya. Dia menatap lekat manik mata Andhika. ‘Dari mana dia tahu tentang Rama? Apa Pak Andhika menyelidiki semuanya sebelum dia mengajukan penawaran padaku?’ ucap Hana dalam hati. “Bapak rupanya tahu segalanya tentang kehidupan pribadi saya. Apa Bapak sengaja menyelidiki? Lalu setelah tahu kalau saya telah memiliki kekasih, kenapa juga Bapak mengajukan penawaran itu? Apa Bapak sengaja menguji kesetiaan saya terhadap Rama?” tanya Hana dengan tatapan menyelidik. “Buat apa saya perlu tahu tentang kesetiaan kamu? Nggak ada untungnya juga buat saya. Dan perlu kamu tahu, kalau saya sesungguhnya memberikan penawaran ini bukan karena saya tertarik sama kamu. Tapi, saya lakukan ini untuk kepentingan saya sendiri. Saya memerlukan kamu untuk membantu agar saya bisa terlepas dari masalah ini,” sahut Andhika datar. Hana m
Hana dan Mutia langsung menuju sebuah kamar yang pintunya terbuka. Mata Hana membelalak ketika melihat pemandangan di depannya. Telapak tangan kiri Hana menutup mulutnya yang terbuka. Dia melihat seorang wanita muda nan cantik, tengah terbaring di tempat tidur tanpa sehelai benang pun melekat di tubuhnya.“Kurang ajar!” desis Hana dengan mata yang mulai berkaca-kaca.“Tenang, Han. Hadapi dengan elegan,” bisik Mutia yang berdiri di samping Hana. Mutia menatap jijik pada wanita yang tengah tertidur tanpa selimut menutupi tubuh polosnya. “Siapa dia, Rama?” ucap Hana ketika dia membalikkan tubuhnya dan berhadapan dengan pria itu.“Dia..dia teman kencan aku, Han,” sahut Rama pelan.Plak!!Sebuah tamparan mendarat sempurna di pipi Rama. Pria itu menghela napas sambil mengelus pipinya yang terkena tamparan Hana.“Kenapa? Kenapa kamu lakukan ini padaku? Kalau kamu udah nggak ingin menjalin hubungan sama aku, kita sudahi saja. Jadi kamu nggak perlu menusukku dari belakang seperti ini, Ram,” u
Hana lalu melangkah keluar lagi dan duduk di pojok teras rumahnya, karena dia melihat ibunya ada di ruang tengah sedang menonton tayangan TV. Hana tidak ingin sang ibu mendengarkan percakapannya dengan Andhika. Setelah dilihatnya kondisi sudah cukup aman, Hana lalu mengangkat panggilan telepon tersebut.“Halo,” sapa Hana dengan suara berbisik.“Halo, Han. Kenapa suara kamu pelan begini? Bisik-bisik segala sih,” sahut Andhika di seberang sana.“Iya, soalnya ada ibuku sedang nonton TV di ruang tengah. Aku takut kalau pembicaraan kita terdengar olehnya, Pak,” ucap Hana masih dengan suata berbisik.“Kalau begitu, kita ketemu saja sekarang deh. Ada yang mau saya omongin sama kamu,” sahut Andhika.“Tentang apa, Pak?” tanya Hana. Dia sesekali melongok ke dalam rumah untuk melihat situasi.“Tentang kita,” sahut Andhika.“Tentang kita? Tentang kita apa sih, Pak?” tanya Hana masih belum paham maksud Andhika.“Tentang perjanjian kita, Hana!” sahut Andhika yang kali ini dengan nada agak tinggi.“
Setelah ada kata sepakat, mereka melanjutkan menikmati hidangan makan malam. Tak ada perbincangan selama mereka makan. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing.“Kamu tadi kemari sendiri kan, Han?” tanya Andhika memecah keheningan di antara mereka.“Iya, sesuai dengan kesepakatan kalau perjanjian nikah sementara ini nggak boleh ada yang tahu. Pokoknya nanti kalau kita pisah, alasan kita karena nggak ada kecocokan saja, dan seringnya ada pertengkaran di rumah,” sahut Hana kalem.Andhika pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Dia senang karena ternyata Hana bisa menepati janjinya.“Bawa mobil kemari?” tanya Andhika lagi.“Nggak. Saya malas bawa mobil. Soalnya jalanan yang selalu macet. Enakan naik taksi, tinggal duduk manis saja. Nggak perlu pusing mikir cari celah di jalanan yang macet,” sahut Hana dengan senyuman.“Oh ok. Kalau begitu nanti kamu pulangnya saya antar. Sekarang ini kan kamu adalah calon istri saya. Jadi saya harus pastikan kalau calon istri saya, akan aman tiba
Kini Hana sedang duduk berhadapan dengan ibunya. Dia harus mengatakan kalau dirinya akan menikah dengan Andhika. Walaupun alasan dia menikah dengan pria itu tetap menjadi rahasianya, tapi ibunya berhak tahu perihal pernikahannya ini. Suka atau tidak suka, Hana sudah menyetujui menjalani pernikahan kontrak ini dengan Andhika.“Bu, ada yang mau aku bicarakan,” ucap Hana ketika dirinya sudah menyelesaikan sarapannya.“Ngomong saja, Han,” sahut Widya-ibunda Hana.“Aku...aku mau menikah, Bu.” Hana berkata sambil menundukkan wajahnya, tak sanggup menatap wajah sang ibu.Widya yang sedang menikmati nasi goreng, seketika meletakkan sendok di atas piring.“Mau menikah? Dengan siapa? Katanya, kamu sudah putus sama Rama,” ucap Widya. Dia menatap lekat wajah cantik anaknya yang sudah mulus kembali.“De-dengan Pak Andhika, Bu. CEO Barata Group yang sudah membantu aku menjalani operasi pada wajahku,” sahut Hana dengan suara perlahan.“Apa?! Kamu mau menikah dengan lelaki yang waktu itu mengantar ka
Hana yang ditatap sedemikian rupa menjadi jengah.“Ya pasti cantik hatinya juga dong. Nanti kita ngobrol lagi, ya. Sekarang aku mau menemui mama dan papa dulu. Mau ucapin selamat pada mereka,” sahut Andhika. Dia lalu membawa Hana ke tempat orang tuanya, yang sedang sibuk menerima ucapan selamat dari para tamu undangan.Andhika menunggu hingga tamu undangan berlalu dari hadapan orang tuanya. Di saat menunggu itulah, Hana memberanikan diri untuk bertanya pada Andhika tentang sikap Aluna.“Mas, boleh aku tanya sesuatu?” bisik Hana.“Boleh. Mau tanya apa?” sahut Andhika balas berbisik.“Mengenai adik kamu, Aluna.”“Kenapa dia?”Andhika mengerutkan kening ketika mendengar penuturan Hana. Dia lalu membawa Hana melangkah menjauhi tempat itu, agar pembicaraan mereka tak ada yang mendengar. Andhika membawa Hana menuju meja prasmanan.“Kita makan sambil bicara saja, ya. Biar enak. Ayo, ambil makanannya!” ucap Andhika. Dia lalu meraih piring dan diserahkannya pada Hana. Setelah itu, dia ambil sa
Lestari yang kesal karena diabaikan oleh anak sulungnya, tak tinggal diam. Dia berjalan cepat menyusul Andhika. Hingga berhasil meraih lengan anaknya.“Kamu dengarkan kata-kata Mama, Dhika! Jangan pergi begitu saja!” sentak Lestari dengan tatapan tajam pada Andhika.“Iya, aku dengar. Mama nggak setuju kan kalau aku menikah dengan Hana.”“Mama mau kamu turuti kata-kata Mama untuk menikah dengan Tania, titik!” ucap Lestari yang membuat Andhika menghela napas panjang.“Aku kan sudah menolak sebelumnya, Ma. Jadi jangan paksa aku dong untuk menikah dengan Tania. Tolong Mama mengerti aku, ya. Aku sudah punya calon istri sekarang. Jadi hentikan usaha Mama untuk menjodohkan aku dengan Tania, ok.” Andhika berkata lembut untuk meredakan amarah sang mama. Selanjutnya, dia menarik lengannya dengan perlahan dan berlalu dari hadapan Lestari.Lestari hanya bisa memandang punggung anaknya yang menjauh dengan tatapan sendu.“Maaf, kamu jadi sendirian di sini. Tadi ada yang aku omongin sama mama soalny
“Orang tua saya sudah setuju. Semalam juga sudah berkenalan dengan Hana. Hanya saja karena saya mendadak ada urusan bisnis ke Singapura dalam beberapa hari ke depan, maka pernikahan ini saya percepat, Bu. Saya rencananya akan membawa Hana ke sana. Jadi kalau sudah menikah, nggak akan masalah kalau kami pergi bersama. Karena mendadak inilah orang tua saya nggak bisa ikut kemari, tapi restu sudah diberikan kok. Nanti mereka akan datang saat kami melangsungkan akad nikah,” sahut Andhika yang membuat Widya tertegun. Begitu juga dengan Hana dan Mutia.“Kami sudah mempersiapkan semuanya untuk melangsungkan akad nikah tiga hari lagi. Maaf untuk saat ini saya belum bisa memberikan pesta pernikahan untuk Hana. Tapi, suatu saat saya akan mengadakan resepsinya. Oh iya, asisten saya juga sudah mencarikan katering untuk acara akad nikah nanti. Jadi Ibu nggak usah repot lagi mengenai konsumsi. Semua sudah beres. Sekarang saya hanya minta data pribadi Hana untuk kelengkapan administrasi pernikahan k