Lola perlahan membuka matanya. Dia merasa kebingungan mendapati tempatnya berada bukan lagi di dalam apartmentnya. Tapi dia berada di tempat lain yang masih asing.
"Di mana aku?"Matanya tertuju di satu titik saat Luther sedang menatapnya dengan tatapan tajam, memperhatikan melalui meja kerjanya. Lola terperanjat kaget."Kamu! Kenapa aku ada di sini?" Lola panik bukan main. Luther tak beranjak sedikit pun dari mejanya."Aku masih ada urusan yang belum selesai denganmu!" sergah Luther marah. Tatapannya sangat menusuk, seakan bisa langsung mencabik gadis itu saat itu juga.Tubuh gadis itu mendadak gemetar. Hawa mencekam mulai melingkupinya. Situasi ini sangat menyulitkan untuk Lola. Dia merasa keselamatannya terancam saat ini. Apalagi Lola sempat melarikan diri sebelumnya."Urusan apa? Aku sudah tidak ada urusan denganmu!" tampiknya cepat.Segurat seringai jahat terukir di bibir Luther. Dia kemudian mulai bangkit dari tempatnya. Langkahnya perlahan, namun sangat membuat Lola bertambah ketakutan. Luther duduk persis di depan Lola. Dia mengunci Lola dengan tatapannya, membuat Lola semakin ciut tak bernyali."Kau harus bertanggung jawab untuk semuanya. Kau sudah melukai klienku, membuat aku mengalami banyak kerugian!" Nada bicara Luther terdengar sangat menekan, membuat gadis di hadapannya terintimidasi."Aku tidak mau!" jerit Lola takut. "Le... lepaskan aku! Aku ingin pulang!"Luther menengadahkan dagu gadis itu kasar. Lola masih menggigil begitu Luther semakin dekat menatapnya."Kau adalah tawanan yang sudah kubeli seharga satu juta! Tak akan semudah itu melepaskan diri dariku!" Luther tertawa terbahak. Suaranya menggema seperti tokoh antagonis dalam film."Lepaskan aku! Dasar kau om-om mesum! Aku tak mau kau sentuh dengan tangan kotormu!" decih Lola memberanikan diri, walaupun reaksi tubuhnya masih sama seperti sebelumnya."Berani sekali kau bicara begitu padaku. Mulut mungilmu itu sangat beracun, Nona." Luther bertambah berang karena gadis itu. Dia melepaskan tangannya dengan kasar. "Kau mau lepas dariku? Aku yakin kau tak akan mampu."Lola merasa harga dirinya tersentil oleh ucapan Luther tadi. "Siapa bilang aku tidak bisa? Aku bisa!""Kalau begitu, kau harus mengganti uangku yang senilai satu juta dolar. Kau tak punya uang sebanyak itu, bukan?"Lola kini diam membisu. Jika dia harus menukar dirinya sendiri dengan uang, tentu dia tidak memiliki uang sebanyak itu untuk saat ini. Apalagi semua aset dipegang oleh ibu kandungnya. Luther sudah bisa menebak jawaban dari Lola. Tawanya meledak lagi."Sudahlah. Menurut saja padaku. Kau hanya perlu tinggal di sini, mengabdi juga melayaniku sampai aku bosan dan akhirnya mencampakkanmu," tukas pria itu enteng."Itu artinya aku harus menjadi wanita simpananmu? Begitu? Aku tidak mau!" tolak Lola tegas. "Lepaskan aku, Tuan! Aku ingin bebas! Keluarga dan orang terdekatku menunggu kepulanganku di rumah.""Begitukah? Bukankah selama ini kau tinggal sendiri? Kekasihmu saja mencampakkanmu demi wanita lain," timpal Luther lagi.Lola langsung melotot di tempatnya. "Ba... bagaimana kau...?""Kau masih ingin pulang?" tanya Luther.Tanpa menunggu jawaban dari Lola, dia memanggil semua pelayan untuk masuk ke dalam ruangan Luther. Para pelayannya satu persatu membawa masuk koper dan barang-barang yang jumlahnya sangat banyak. Lola tidak dapat berkata-kata begitu menyadari jika barang yang dibawa masuk ke ruangan itu adalah barang miliknya di apartment."Kau!" Lola kehabisan kata. Dia memang pada akhirnya dipaksa untuk menerima tawaran Luther itu. "Kalau begitu, ada syarat yang aku inginkan.""Katakan saja. Segalanya mudah bagiku," ujar Luther percaya diri."Aku ingin berhenti berkuliah. Urus semua persyaratannya olehmu. Lalu aku ingin hubungan di antara kita ini menjadi rahasia. Jangan ada yang mengetahuinya." Lola mengajukan persyaratannya. "Dan yang terakhir....""Masih ada lagi?""Aku ingin kau memperlakukanku dengan baik. Jangan berani menyentuh tanpa seizinku."Luther terdiam. Sepertinya Lola memang terlampau berani untuk mengatur dirinya."Baiklah. Aku setuju. Satu tambahan dariku. Jangan pergi tanpa seizinku. Karena sekarang kau adalah milikku!""Ya. Aku adalah tawananmu."Luther terkekeh. Lucu sekali gadis satu ini menurutnya."Baiklah. Sekarang pelayan akan mengantarmu ke kamar. Temui aku nanti saat jam makan malam."Lola akhirnya diantarkan oleh seorang pelayan menuju ke kamarnya di lantai tiga. Kamar itu begitu luas, berkali-kali lipat luasnya dari kamar apartemen lamanya. Tempat tidurnya berkelambu warna pink. Terdapat jendela besar yang menampilkan pemandangan indah teluk San Francisco dari sana. Begitu pertama melihat, Lola langsung jatuh cinta dan sangat menyukai kamar barunya.Lola merebahkan diri di tempat tidur barunya yang empuk. Saking empuknya, mata Lola kembali ingin terpejam. Rasa nyaman membuat dia sejenak melupakan segala kegundahan hati. Sampai dia menyadari jika dirinya sudah tertidur dalam waktu yang sangat lama. Dia terlambat untuk ikut makan malam bersama."Ya ampun! Jam berapa sekarang?" jeritnya.Cepat-cepat dia membasuh wajahnya dan merapikan diri. Dia bahkan tidak sempat untuk mengganti pakaian. Lola tak peduli. Langsung saja dirinya mencari di mana ruang makan berada. Mansion tempat Luther tinggal sangat luas. Lola sampai tersesat di rumahnya sendiri.Gadis itu sampai di ruang makan dengan kondisi yang sudah lelah. Terlihat para penghuni mansion sedang menyantap makan malam mereka dengan tenang."Maafkan aku... Aku terlambat," ucap Lola dengan napas yang terengah-engah."Dari mana saja kamu? Kita semua jadi terlambat makan malam karena menunggumu!" bentak Luther galak.Lola tertunduk menyesal. Dia mengambil tempat bersebelahan dengan Luther. Luther langsung mengernyit sambil menutup hidungnya."Suruh siapa duduk di sini? Menjauh dariku! Kau bau sekali! Tadi tidak mandi, ya?"Lola merasa malu diperlakukan begitu oleh Luther. Terpaksa dia pindah duduk sejauh dua kursi dari posisi awal. Dua wanita lain yang ada di meja makan sontak menertawakan Lola, membuat Lola semakin jengah dibuatnya."Sebenarnya aku ingin mengenalkan Lola sebagai penghuni baru di mansion ini. Kuharap kalian semua bisa hidup rukun." Luther melanjutkan pembicaraan. "Lola, kenalkan ini Nona Barbara Thompson dan Nona Lilian Cruz.""Selamat malam. Senang bertemu dengan kalian semua," sapa Lola kepada dua wanita lainnya dengan sopan.Namun tak ada seorang pun dari mereka yang merespon sapaan Lola. Wanita bernama Lilian malah menatapnya tak suka. Lola sadar diri jika di dalam istana itu, hanya dirinya yang berbeda.Lola akhirnya makan malam dengan canggung. Tapi begitu melihat makanan enak yang super mewah, sikap kampungannya kembali terlihat. Dengan rakus, dia mencomot setiap lauk yang tersaji di piring yang berbeda. Makanan dalam jumlah yang sangat besar dia sendokan langsung ke dalam mulutnya dalam satu suapan besar.Luther yang sedari tadi memperhatikannya bergidik ngeri. Dengan cepat dia menyimpan sendok dan bangkit dari kursinya."Aku jadi tak nafsu makan melihatmu."Perkataan Luther membuat Lola melongo. Dia sampai terus berpikir apa yang salah pada dirinya sehingga membuat Luther muak. Setelah kepergian Luther, kedua wanita lain masih mendiamkannya. Namun di antara mereka, Lilian lah yang lebih banyak bicara."Lihat, berkat sikapmu yang tidak berpendidikan membuat Tuan Luther marah," gerutu Lilian. "Aku heran. Apa sih yang Tuan Luther lihat darimu sehingga mau membawamu ke mansion ini?"Lola tidak mempedulikan ucapan Lilian. Dia terlalu malas menimpalinya. Mata Lola beralih menatap Barbara yang masih tenang menghabiskan makanannya. Dia menyadari jika Barbara adalah mantan aktris dan bintang iklan televisi pada tahun 2000-an. Lilian terlihat kesal karena Lola tidak menggubrisnya. Dia langsung berdiri dari tempatnya dan menggebrak meja di dekat Lola."Kau kurang ajar! Kau tidak menghormati aku yang lebih senior darimu? Aku ini Lilian, wanita yang memiliki peluang lebih besar untuk menjadi nyonya di mansion ini!" bentaknya. "Aku wanita yang dijodo
Lola membenci kehidupannya saat ini. Menjadi tawanan Luther, berarti harus menyerahkan segala hal tentang dirinya kepada Luther. Termasuk hak untuk berpakaian. "Omong kosong apa ini?" Lola yang frustasi itu langsung mengacak rambutnya.Kemudian dia terdiam. Hatinya diliputi oleh keraguan. Apakah kehidupannya akan baik-baik saja kedepannya? Ataukah kehidupannya akan menjadi semakin rumit dan penuh bahaya jika dia masih tertawan di istana itu?"Ibu, aku sangat merindukanmu," isaknya. "Andai saat itu aku bisa memberikan salam perpisahan. Andai aku bisa berkeluh kesah kepadamu. Sesungguhnya aku begitu ingin bertemu."Entah mana yang terburuk. Kehidupan beberapa tahun silam ataukah saat ini? Bagi Lola semuanya sama-sama neraka dunia. Dia mengecek handphonenya. Walaupun sudah putus hubungan dengan sahabat maupun kekasih, namun Lola masih diam-diam memata-matai media sosial milik mereka."Lihatlah orang lain, begitu bahagia setelah mencampakkanku," gumamnya miris. "Virginia selalu berfoya-f
Bayangan seorang pria bertubuh tinggi perlahan masuk ke dalam kamar Lola. Pria itu mendekat sedikit demi sedikit tanpa suara, seolah tak ingin jika keberadaannya diketahui oleh Lola. Sekaligus dia juga tak ingin Lola sampai terganggu tidurnya.Seketika langkahnya mendadak berhenti. Dia tersentak saat Lola tiba-tiba berbalik posisi. Ketika dia yakin Lola masih tertidur pulas, baru dia berjalan lagi cukup dekat dengan sosok gadis yang sedang tertidur nyenyak itu."Syukurlah dia tidak terbangun. Kulihat hari ini tidurnya tenang. Tidak seperti kemarin. Kemarin dia sangat gelisah," gumam pria itu hampir berbisik. Matanya beralih memperhatikan pakaian tidur Lola. Rupanya Lola membenci baju tidur baru yang dia belikan. Gadis itu memilih tidur dengan pakaian yang sudah dia kenakan hampir seharian."Apakah seleraku tidak ada yang cocok dengannya? Mungkin aku harus bertanya pada Barbara atau Lilian mengenai selera berbusana mereka," gumamnya lagi.Pria itu ternyata adalah Luther yang selama ini
Luther sudah bersiap menyimpan kantung belanjaannya di kamar Lola.Dia penasaran bagaimana reaksi Lola setelah menerima hadiah baru darinya."Bagaimana respon gadis itu, ya? Apakah dia senang? Atau justru sebaliknya?"Belum sempat dirinya berganti pakaian, handphone tipisnya terdengar berdering. Dengan malas, Luther mengangkat teleponnya itu."Iya, Jer. Ada apa?""Bos, maaf mengganggu waktu istirahat Anda. Tapi saya baru saja mendapatkan kabar dari sekretaris Tuan Noah. Katanya Tuan Noah ingin segera bertemu dengan Anda,"Luther menggigit bibirnya. Entah ini pertanda baik atau justru buruk untuk dirinya. Apalagi setelah apa yang terjadi sebelumnya."Jam berapa Tuan Noah meminta bertemu denganku?""Pukul sebelas malam, di 416 South Spring Street, Downtown Los Angeles.""Baiklah. Sampaikan kepada Tuan Noah, aku akan menemuinya malam ini. Sekalian tolong siapkan hadiah pemintaan maafku untuk Tuan Noah. Antarkan hadiahnya ke mansion.""Baik, Bos."Luther berkali-kali menghela napas. Dia ti
Pria itu mengecup punggung tangan Virginia, terus menanjak maju sampai ke atas. Virginia terkekeh geli."Kita baru saja bertemu. Anda sepertinya sudah tidak sabar ya," ucapnya.Noah menghentikan aktivitasnya. Dia memberikan senyuman miringnya pada wanita itu."Aku sangat senang bertemu denganmu. Makanya aku sangat antusias. Ternyata kamu tidak mengecewakanku," ucapnya. Dia kini beralih mencium pipi sang wanita."Oh, saya juga senang bertemu dengan Pak Dewan," ucap Virginia, terkekeh sedikit begitu sentuhan Noah menggelitik indra perasanya."Jangan panggil aku dengan sebutan itu. Panggil aku Noah." Noah menghujani leher jenjang Virginia dengan kecupan brutal, sedikit memberikan tanda kepemilikan di kulit bersih wanita itu."Ups, apakah saya tidak dipersilahkan untuk duduk? Jangan terburu-buru. Mungkin sedikit mengobrol dan anggur?" Virginia menawarkan. Noah tertawa. Dia merasa senang karena wanita di hadapannya sangat bisa mencairkan suasana."Ide bagus."Noah menuntunnya untuk duduk
"Halo, Luther? Iya, ada apa?" Barbara mengangkat teleponnya ketika dia tengah makan malam. Lola maupun Lilian menoleh ke arah Barbara, sedikit menguping pembicaraan."Kamu tidak akan pulang ke mansion malam ini? Ada masalah pekerjaan? Baiklah. Aku akan memberitahukan pada semuanya. Kamu akan kembali besok malam? Baiklah."Mendengar pembicaraan itu, Lola merasa jengkel. Karena dia lagi-lagi tidak memiliki kesempatan untuk bertemu Luther. Padahal dia sangat ingin mengadukan perihal penyusup yang masuk ke dalam kamarnya kemarin.Barbara menutup teleponnya. Dia kembali melanjutkan makan malam. Sementara Lilian malah ribut sendiri."Tuan Luther tidak akan kembali? Padahal jelas-jelas dia baru saja datang. Tapi sekarang harus pergi lagi. Pekerjaannya akhir-akhir ini sepertinya sangat sibuk sekali," komentar Lilian.Tak ada lagi yang bicara setelahnya. Mereka kembali melanjutkan makan malam. Lilian sempat merasa kesal dengan sikap Luther yang cuek padanya. Tiba-tiba dia menemukan sebuah ide.
Lilian terlihat mulai gemetar. Terlebih ketika respon Luther terhadap dirinya sangat tidak baik. Dia merasakan sakit di pergelangan tangannya ketika Luther mencengkeramnya dengan sangat keras."Tolong... lepaskan aku, Tuan!" cicit Lilian. Suaranya tercekat bahkan hampir tak terdengar."Kau, penyusup kecil yang tidak tahu sopan santun! Aku tidak pernah mengizinkanmu untuk menginjakan kaki di kamarku!" berang Luther dengan mata merah yang dipenuhi amarah. Dia kemudian memperhatikan pakaian yang dikenakan oleh Lilian. Seketika, Lilian memalingkan wajahnya dari Luther."Pakaian siapa yang kau kenakan ini? Ini bukankah milik Lola?"Jantung wanita itu mendadak berdegup lebih kencang. Kali ini dia sudah tertangkap basah sebagai pencuri dan penyusup di mata Luther. Tak sepatah kata pun terdengar dari bibirnya yang terbungkam. Luther merasa diamnya Lilian adalah sebuah upaya pembangkangan. "Katakan padaku, ini pakaian tidur milik Lola, 'kan?" Luther kini mencengkeram dagu wanita itu dengan k
"Hmmhhh!" Lola berusaha untuk memberontak. Namun tenaga Luther lebih besar daripada dirinya. Dia mencoba melepaskan diri dari panggutan panas Luther."Hentikan!"Luther seolah tak mendengar ucapan Lola. Dia terus melumatnya, memberikan tanda di leher jenjang Lola. Tangannya menelusup ke sela pakaian tidur Lola yang berbahan spandex dingin, bermain-main dan menggoda di dalamnya. Lola mendadak mematung. Tubuhnya membeku.Dia merasakan dejavu dengan kejadian yang dulu pernah dia alami. Tubuhnya merespon dengan cara mematung mendadak. Otaknya membeku, tak bisa mencerna kejadian yang sedang dia alami.Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Luther. Pria itu mendadak terdiam dan membeku di tempatnya. Dia tidak menyangka Lola kembali menamparnya. "Kau menamparku lagi? Ini sudah yang kedua kali!" geram Luther.Dia langsung menjauhi Lola, melepaskan gadis yang kini merosot di tempatnya."Jangan membuat aku murka lagi, atau kau akan merasakan akibatnya!" ancam Luther kemudian. Dia langsung kel