Semalaman ini Mas Naufal memilih tidur di depan televisi. Hingga adzan subuh terdengar ia tak masuk ke dalam kamar dan menyusulku yang tengah tidur sendirian. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Selepas kerja kemarin sore, ia tak banyak bicara dan memilih langsung istirahat di depan televisi dari pada di kamar.
Nada dering pendek pada ponselku tiba-tiba berbunyi ketika aku selesai menunaikan kewajiban dua rakaat. Sepagi ini dan Aira sudah mengirimkan pesan padaku.
[Rencanamu berhasil. Kemarin siang mereka berdua telah di usir dari perumahan itu, dan sekarang madumu tengah menginap di hotel melati]
Aku tersenyum puas. Akhirnya aku menang satu langkah dari mereka. Mas Naufal pikir aku sebodoh itu? Hingga tak dapat mencium kebohongannya.
Jadi karena hal ini, Mas Naufal terlihat sangat tidak bersemangat selepas pulang kerja. Bahkan ia juga tak menyusulku untuk tidur di kamar. Mungkin ia memikirkan nasib gundiknya itu. Aku terkekeh pelan lalu berjalan untuk membangunkan Mas Naufal yang masih tertidur pulas.
"Mas, bangun. Sholat sana, aku mau siap-siap. Ada rapat pagi hari ini," kataku sembari mengguncangkan badannya agar bangun dari mimpinya.
Mas Naufal menggeliat ketika aku beranjak ingin meninggalkannya. Namun tiba-tiba saja lenganku ditarik olehnya hingga aku terjatuh di atas pelukannya.
"Kirani ... Maafkan aku," ucapnya pelan hingga nyaris tak terdengar olehku. Kulihat kedua matanya yang tertutup, sangat jelas bahwa kini ia tengah mengigau.
Aku mengepalkan tanganku kuat. Seakan ada bara api yang sedang berkobar di dalam sana. Mas Naufal terlihat begitu mencintainya sampai terbawa ke dalam mimpi.
"Mas! Bangun!" Teriakku tepat di depan wajahnya.
Membuatnya terkejut dan duduk tergagap. Kedua matanya mengerjap lali melepaskan pelukannya kepadaku. Membuat hatiku yang sedang panas menjadi sangat panas karena sikapnya.
"Kok kasar banget sih, Dek. Biasanya kamu kalau bangunin selalu lembut," katanya tanpa merasa bersalah.
Ia mengacak rambut kasar, lalu mengambil ponselnya dan menghidupkan jaringan datanya. Tak menunggu waktu lama, ada banyak sekali pesan beruntun masuk ke dalamnya. Membuatku sedikit melongok melihat ponselnya agar tahu siapa yang telah mengiriminya pesan.
Mas Naufal yang sadar akan tindakanku lantas memiringkan layar ponselnya dan melirik ke arahku.
"Apa sih, Dek. Biasanya juga kamu tidak mau tahu siapa yang mengirimiku pesan,"
"Memang itu dari siapa? Banyak banget," tanyaku dengan masih berusaha melihat layar ponselnya.
"Dari Kiran. Dia memintaku agar sampai di kantor lebih cepat. Ada pekerjaan yang tidak bisa ia lakukan sendiri,"
Aku mencebik. Lagi-lagi kamu membohongiku demi wanita murahan seperti dia.
"Yasudah, siap-siap. Aku juga mau berangkat lebih pagi karena ada pekerjaan mendadak di kantor," ujarku agar tak menimbulkan kecurigaan.
"Lalu sarapannya?" tanya Mas Naufal bingung. Karena biasanya semua makanan sudah tersedia di atas meja.
"Kita gof**d saja, aku tidak punya waktu masak. Lagipula buat apa punya uang banyak jika tidak dinikmati?"
Aku memalingkan muka lalu mengetik menu sarapan pagi ini. Mas Naufal mengernyitkan dahi. Karena biasanya ia adalah seorang suami yang terlihat sangat perhitungan dengan istrinya. Tidak ada saling kejujuran di antara kami.
"Jangan boros-boros dong, gimana kita bisa beli rumah baru kalau kamu boros terus," ucap Mas Naufal Sarkas.
Rumah baru ia bilang? Untuk apa? Untuk menampung wanita gila itu? Enak saja! Tidak akan aku biarkan.
"Halah, punya satu rumah saja tidak kamu urus. Mau punya banyak rumah," ledekku.
Bibir Mas Naufal mengerucut, lalu beranjak ke kamar mandi.
Aku lantas membuka lemari dan memilih baju kerja yang akan kupakai. Lalu mematut diri di depan kaca. Kurang apa diriku ini? Sehingga Mas Naufal sampai hati menduakanku. Sungguh malangnya nasibku ini.
***
[Dek, aku tidak pulang malam ini. Ada rapat mendadak, aku harus menginap di hotel bersama Kiran]
Sebuah pesan singkat masuk ke dalam ponselku ketika aku baru saja menyelesaikan pekerjaan hari ini dan bersiap pulang. Dadaku bergemuruh membaca pesan itu, Mas Naufal benar-benar kelewatan. Demi wanita itu hingga rela tak pulang malam ini.
"Hallo, Vina," ucapku ketika seseorang yang sangat bisa kupercaya mengangkat teleponnya.
"Iya, Bu. Ada apa?"
"Apa Pak Naufal sudah pulang?"
"Belum, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya lagi.
Aku tersenyum miring.
"Ambil dompet Pak Naufal dengan hati-hati. Lalu segera antarkan ke alamat yang akan aku kirim, bayaranmu akan segera kutransfer,"
Vina lantas mematikan sambungan telepon ketika telah paham apa yang harus ia lakukan.
Mas, jangan harap sepeserpun uangmu keluar untuk memanjakan gundik tak tahu diri sepertinya.
Dengan langkah mantap aku segera menuju pada alamat yang telah kukirimkan pada Vina beberapa saat yang lalu. Tak lupa aku memeriksa keberadaan Mas Naufal melalui aplikasi GPS yang terhubung dengan ponselnya.
Vina lantas menyerahkan dompet beserta isinya kepadaku. Mas Naufal mengatakan kalau hari ini ada urusan mendadak dan mengharuskan untuk segera pulang. Tapi ternyata semua itu hanya untuk mengelabuhi sekretarisnya itu.
"Terimakasih, kamu boleh pergi. Bayaranmu sudah kutransfer,"
Aku tersenyum licik. Membayangkan apa yang akan Mas Naufal lakukan tanpa dompet dan seluruh kartu kreditnya ini.
Aku tersenyum licik. Membayangkan apa yang akan Mas Naufal lakukan tanpa dompet dan seluruh kartu kreditnya ini.Sepertinya malam ini aku bisa tidur nyenyak, karena telah menang telak dari Mas Naufal. Ia tak akan bisa berkutik tanpa dompet dan seluruh isinya. Kecuali jika gundiknya itu yang membayar semua tagihan hotel. Aku menyeringai.Baru saja aku ingin memejamkan mataku, tiba-tiba terdengar suara seseorang mengetuk pintu depan pelan. Aku menajamkan pendengaranku, jika itu Mas Naufal ia akan langsung masuk ke dalam rumah karena satu kunci rumah telah di bawanya. Lalu, itu siapa?Aku turun dari atas ranjang dan berjalan mengendap untuk melihat siapa yang telah mengetuk pintu rumahku selarut ini. Kulirik jam yang tertempel di dinding. Pukul sepuluh malam.Jantungku hampir saja keluar dari tempatnya, ketika aku melihat sosok suami idamanku tengah berdiri dengan gundiknya. Kuacungi jempol pada kedua manusia itu. Berani sekali Mas Naufal membawa wanita jalang itu ke rumah kami.Aku meng
"Mas, kita makan malam di luar yuk. Udah lama banget kita nggak dinner romantis," ucapku saat kami bertiga duduk santai di ruang tamu.Terlihat lewat ekor mataku Kirani membolak-balikkan majalah yang sedang ia pegang. Sedang Mas Naufal terlihat gugup tak menatapku. Aku memang sengaja melakukan hal ini, karena ingin melihat reaksi Kirani saat aku bermesraan dengan Mas Naufal.Biar saja, dia harus tahu jika rumah tanggaku dengan Mas Naufal memang sangat indah dan romantis. Tak seharusnya dia datang dan merusak segalanya. Jika dia benar-benar wanita yang baik, seharusnya dia tidak akan bersama lelaki yang telah beristri.Lagipula apa dia tidak bisa berfikir, kita sama-sama seorang wania. Seandainya saja dia ada di posisiku, apakah mentalnya akan tetap aman?"Kemana, Dek?""Terserah, restorannya kamu yang pilih. Tapi yang romantis ya," ucapku lagi dengan melirik sekilas pada Kirani yang mulai gusar."Lalu Kirani?""Lho ... Memang kenapa? Dia kan bisa di rumah sendiri, lagian perumahan kit
"Mas, ini bukannya dompetmu?" Teriakku dari depan rumah ketika akan berangkat ke kantor.Sepagi ini dan aku sudah sangat bersemangat memainkan sandiwara dengannya. Biarkan saja, siapa suruh dia juga bersandiwara seburuk ini denganku. Seharusnya dia memikirkan hal ini sampai berulang kali, tidak justru semakin memperkeruh keadaan dengan membawa wanita itu masuk ke dalam rumah.Dengan tergopoh-gopoh Mas Naufal berlari menghampiriku yang sedang berdiri tepat di depan pagar rumah. Ia terkejut ketika melihat dompet hitamnya tergeletak di atas ubin, lalu secepat kilat ia langas mengambilnya dan berteriak dengan gembira."Alhamdulillah, Ya Allah. Akhirnya barang yang aku cari ketemu juga," teriak Mas Naufal terdengar sangat girang.Sejujurnya saja aku ingin sekali tertawa saat ini juga. Hanya saja aku tidak ingin membuatnya curiga.Kebahagiaannya luntur ketika melihat semua isinya telah hilang. Tak hilang seluruhnya, melainkan hanya tinggal satu kartu ATM dan kartu identitasnya. Aku tersenyu
Darahku seakan mendidih begitu mengetahui akal busuk yang akan mereka jalankan nanti malam. Tak hanya itu, aku juga sangat marah karena Mas Naufal menjadi bak kerbau yang dicucuk hidungnya. Dia sangat patuh dan selalu menuruti apa yang dikatakan oleh Kirani. Apa dia sama sekali tidak memikirkan perasaanku? Atau setidaknya menganggapku ada?Mungkin memang benar apa kata orang. Cinta itu buta. Namun apapun itu aku sangat bersyukur karena rasa cintaku pada Mas Naufal tak sedalam itu. Bukan aku tak cinta, hanya saja aku selalu memiliki batasan ketika mencintai seseorang. Aku memang mencintainya, tapi aku tidak pernah melibatkan hidupku untuk kebodohanku.Malam ini aku telah mempersiapkan semuanya, aku sengaja meletakkan dompetku di atas nakas samping tempat tidurku, lalu berpura-pura tidur lebih awal agar Mas Naufal bisa menjalankan rencananya dengan baik. Biarlah aku mengikuti permainan ini, asal pada akhirnya akulah pemenangnya.Meskipun sampai saat ini aku masih sedikit tak percaya den
Kedua mata Mas Naufal membeliak, mungkin ia tak menyangka bahwa aku telah mengetahui keburukannya selama ini. Dia pikir aku ini bodoh? Diam dan membiarkannya terus bersandiwara di depanku seperti ini.Kebohongan dan kejahatannya kepadaku tak akan kubiarkan begitu saja. Mungkin kemarin aku sempat lengah hingga dia bisa mengelabuiku seperti ini. Namun kali ini aku tidak akan membiarkan diriku terus diinjak olehnya."Kenapa? Kamu kaget kalau aku sudah tahu tentang semua keburukanmu? Hebat, ya. Kalian bisa bersandiwara sebagus ini," ujarku dengan tersenyum miring.Kali ini aku sedikit bangga dengan diriku sendiri karena berhasil membuat suamiku itu tak berkutik. Mungkin dia sudah berhasil membohongiku, tapi aku juga bisa lebih pandai darinya."Jangan macam-macam, aku juga istri sah Mas Naufal," bela wanita itu membuatku spontan tertawa.Dengan percaya dirinya dia membanggakan bahwa statusnya pun juga istri sah. Padahal aku tahu jika mereka bisa menikah secara sah karena memalsukan data. B
"Tinggalkan rumah ini, atau aku akan menyeretmu keluar dengan tidak terhormat!" Teriakku kasar pada gundik suamiku ini.Wajah Mas Naufal memerah, ia terlihat sangat marah dengan sikapku. Mungkin karena ia sangat mencintai wanita yang tengah berseteru denganku ini. Namun aku sungguh tak perduli, jika ia memang memilih wanita ini. Aku akan mundur. Untuk apa aku mempertahankan sebuah hubungan yang pada akhirnya hanya akan menyakitiku? Bukankah lebih baik aku melepaskannya saja? Toh mungkin ini sudah menjadi garis takdir Tuhan, bahwasannya aku harus berpisah dengan Mas Naufal dengan cara seperti ini.Mungkin sikap dan caraku selama ini menjadi istrinya tak menjadikannya puas memiliku, sehingga dia masih bersikeras untuk mendua dariku. Padahal selama ini aku sudah berusaha untuk menjadi seorang istri yang baik dan penurut baginya. Namun entah kenapa dia masih saja bersikap seperti itu."Zia! Tidak seharusnya kamu bersikap sekeras ini." Teriak Mas Naufal.Aku menatapnya nanar setelah ia me
Aku terkekeh pelan dan melenggang masuk kedalam kamar. Namun lagi-lagi aku tak akan percaya begitu saja dengan perkataan Kirani."Kenapa kamu bicara begitu? Bahkan aku sama sekali belum menyentuhmu, memang kamu hamil sama siapa?" tanya Mas Naufal lirih, tapi aku masih mendengarnya karena memang"Menyesal aku punya suami bodoh sepertimu. Jika aku tidak berbohong, mana mungkin istri tuamu itu mengijinkanku tinggal di rumah ini." Umpat Kirani marah lalu berlalu masuk ke dalam kamarnya dengan membanting pintu keras.Untuk kesekian kalinya aku tertawa puas dengan pertunjukan ini. Bagaimanapun juga aku tidak boleh kalah dengan ular berbisa sepertinya.Mereka bisa mengelabuhiku, tapi mereka tidak akan bisa mengalahkanku. Mana mungkin aku kalah dengan mereka? Tuhan pun pasti tak akan merestui langkahnya.***"Ra, carikan aku informasi tentang Kirani sekarang juga. Dan pastikan itu adalah data yang akurat, ya," ucapku pada Aira pada sambungan telepon.Aira memang seorang yang sangat bisa aku a
Pov Naufal"Mas kita harus gimana setelah ini? Orang tuaku kini telah tahu yang sebenarnya, Mbak Zia benar-benar telah murka. Tidak menutup kemungkinan dia juga akan melaporkanmu dengan tuduhan memalsukan data-data pernikahan," cecar Kirani ketika kami sedang perjalanan pulang dari kediaman orang tuanya.Tak hanya dia, saat ini pun aku sedang kebingungan. Pikiranku berkecamuk, rasa ingin marah seakan sudah di ubun-ubun. Namun aku sadar, marah pun tak akan menyelesaikan masalah."Sudahlah, diam. Berikan aku waktu untuk berfikir, kepalaku serasa mau meledak," bentakku yang berhasil membungkam mulutnya yang tak berhenti mengoceh sedari tadi.Sifat Zia dan Kirani benar-benar bertolak belakang. Jika Zia lebih memilih banyak diam tapi langsung bertindak, tapi Kirani sangat banyak bicara yang kadang membuatku sangat tak nyaman. Pikiranku kacau, setelah kutahu bahwa Zia tak main-main dengan ancamannya. Ia telah berbuat nekat hingga mendatangi rumah orang tua Kirani dan membeberkan semuanya.