"Jangan pernah membiarkan orang lain masuk ke dalam kehidupan rumah tanggamu, jika tak ingin berakhir dengan perceraian akibat pengkhianatan."
Kalimat itu sering kali kudengar dari beberapa orang yang menasehatiku. Termasuk Sinta–sahabatku sejak kecil–.
Sinta menolak tegas saat kuceritakan kehadiran Nayla di dalam rumah tangga kami. Baginya sama saja aku membuka lebar peluang wanita itu untuk merebut posisiku.
"Ai, kamu salah besar. Kamu sudah jelas membuka peluang untuk dia."
"Aku harus bagaimana, Ta? Mas Rasha berjanji akan memulangkannya."
"Kapan?" Aku kengendikkan bahu.
"Ai, sebelum terlambat, kamu harus mencegahnya. Wanita itu sudah terang-terangan loh. Persahabatan beda jenis kelamin itu pastinya akan berujung cinta sepihak."
"Maksudnya?"
"Salah satu di antara mereka pasti memendam rasa. Nggak ada persahabatan seperti itu yang biasa-biasa saja. Percaya deh sama aku."
Aku terus mencerna setiap apa yang dikatakan Sinta. Sepertinya aku harus waspada. Setelah dari sini, aku bakal bicara empat mata dengan Mas Rasha sebelum semuanya terlambat.
Ternyata apa yang dikatakan Sinta benar. Sekarang wanita itu hadir kembali dengan status berbeda. Istri siri.
Semenjak kedatangannya kembali, otakku terus mengulang kejadian empat tahun silam. Sungguh menyakitkan.
Sebuah ketukan membuyarkan lamunanku. Aku masih terdiam tak sedikitpun bergerak. Malas rasanya jika yang kutemui adalah gundik itu.
"Bunda."
Aku bernapas lega saat mendengar suara mungil itu. Rupanya Naura yang sejak tadi menungguku di balik pintu. Perlahan aku bangun lalu berjalan menuju pintu kamar.
Pintu terbuka menampakkan sosok puteri kecilku. Kusejajarkan tubuh kami, rautnya tampak begitu sedih.
"Bunda, kenapa tante itu memeluk Ayah? Dia siapa, Bunda?"
Aku membelai wajahnya kemudian membawanya masuk ke dalam kamar. Kududukkan puteri kecilku di atas pangkuan.
"Sayang, Tante Nay itu adiknya Ayah," jawabku bohong.
"Tante Nay bukan peri jahat, 'kan, Bunda?"
Aku menggeleng seraya tersenyum.
Kupeluk erat tubuh Naura, mendekapnya begitu erat. Aku tidak boleh menangis di depannya. Naura tidak boleh tahu siapa Nayla. Aku tidak ingin puteriku tumbuh dengan rasa benci terhadap ayahnya.
Beberapa menit berlalu, kulirik jam di atas nakas. Jarum jam menunjukkan pukul setengah enam sore. Aku melepas pelukan, hampir saja aku telat memandikan Naura.
"Sayang, kita mandi sore dulu, yuk!" Nauraku menangguk kemudian aku meraih tangannya menuju kamar tidurnya.
Di luar kamar suasana begitu sepi. Tampak Mas Rasha baru saja keluar dari kamar tamu. Tak kuhiraukan tatapannya, gegas aku melangkah membawa Naura ke kamarnya.
*
Makan malam yang harusnya kami bertiga lewati dengan suka cita, kini berubah menjadi mencekam. Tak ada yang berani membuka suara hanya dentingan garpu yang memecah keheningan.
Biasanya Mas Rasha akan memuji kecantikanku, kali ini tidak. Menatapku saja dia enggan.
"Ayah, malam ini bunda cantik banget, ya?" Naura bersuara memecah kesunyian.
"Iya, Sayang, bunda selalu cantik."
Aku melirik ke arah Nayla yang memasang wajah masam. Aku tahu saat ini dia tidak bisa berbuat apa-apa di depan Naura.
"Mas, aku mau sup itu. Tolong ambilkan!" titah Nayla dengan suara yang dibuat manja.
"Tante Nay."
"Iya, cantik?"
Nayla berusaha tersenyum di hadapan Naura.
"Mangkuknya 'kan dekat, kok minta tolong sama Ayah?" Aku tersenyum puas. Good Job, Dear!
Tangan Mas Rasha yang tadi terulur ditariknya kembali.
Nayla menggerutu lalu menyendok kuah sop itu sendiri.
"Ayah, bunda mau disuap!" pintaku dengan suara manja.
Mas Rasha mengambil sendokku lalu mulai menyendokkan ke dalam mulutku. Sekilas kulirik gundik di depanku, wajahnya memerah.
"Makasih, Sayang," ucapku lalu menggenggam kuat tangan suamiku. Mas Rasha meraih tanganku lalu mencium punggung tangan ini.
"Iya, Sayang."
Naura bertepuk tangan. Seperti biasa, Naura akan sangat bahagia jika melihat keharmonisan kami.
Nayla membanting sendok dengan keras lalu meninggalkan kami yang tersentak karena ulahnya.
'Ini belum seberapa, Nay!' batinku.
Aku bersyukur Mas Rasha tak menyusulnya. Menoleh ke arahnya pun tidak. Senyum tersungging di wajahku begitu melihat Nayla menoleh ke arah kami dengan tatapan penuh amarah.
*
Saat aku baru saja selesai mencuci piring bekas pakai, Nayla masuk ke dapur lalu meletakkan asal gelas dan piring yang tadi dipakainya. Mungkin Mas Rasha yang membujuknya untuk menghabiskan makanannya.Saat gundik itu hendak beranjak pergi, aku mencekal pergelangan tangannya. Tatapan kami bertemu.
"Lepaskan!" Nayla berusaha melepaskan tangannya.
Semakin dia meronta semakin aku menguatkan cengkramanku.
"Mau kemana, hm?"
"Tidurlah, kemana lagi?" ketusnya.
"Gak! Cuci piringmu sendiri!"
"Aku nggak mau!" Nayla kembali berusaha melepas cengkramanku.
"Aku sudah peringatkan kamu, jangan pernah bertingkah! Ingat, aku lah nyonya di rumah ini."
"Lepaskan! Aku lagi hamil." Aku semakin menariknya.
"Jangan berlaku sok di depanku! Lihat! Sekarang baru jam delapan malam. Ibu hamil harus banyak bergerak!"
Aku melemparkan spon busa tepat di depannya.
"Dasar benalu!" sinisku kemudian beranjak menyusul suami dan anakku di ruang keluarga.
*
Empat tahun lalu ..."Mas, adek mau menidurkan Naura dulu ya?" pamitku.
"Iya, Sayang. Setelah itu balik lagi, ya. Mas mau nonton bola bareng kamu."
Aku mengangguk kemudian menggendong Naura kecilku ke dalam kamar tidur kami. Naura begitu lahap menyedot ASI nya. Aku bersyukur karena pertumbuhannya begitu baik.
Limanbelas menit berlalu, saat Naura tertidur pulas aku perlahan bangun lalu melangkah ke luar hendak menyusul suamiku. Saat aku berada di depan pintu, tampak Nayla keluar dari kamar mandi hanya dengan memakai kimono handuk yang begitu seksi. Panjangnya hanya sebatas satu jengkal di atas lutut. Tentu saja oemandangan itu bisa membuat lelaki mana saja bisa tergoda. Termasuk suamiku.
Rambut basahnya sengaja dia kibaskan lalu melilitnya dengan handuk. Aroma sabunnya tercium begitu menggoda. Dia bergerak seperti cacing kepanasan. Kulirik ke arah suamiku yang sibuk dengan gawainya. Aku tidak bisa membiarkan dia menggoda suamiku.
"Mbak, kibasan rambutnya jangan di situ, dong! Nanti ada yang terpeleset," judesku.
Mas Rasha yang sedari tadi sibuk dengan gawainya menoleh sejenak lalu membuang muka.
"Mbak, di rumah ini ada lelaki yang bukan mahramnya mbak. Jangan biasakan seperti itu, meskipun sama sahabat sendiri," protesku.
Dia hanya melirik sekilas lalu beranjak pergi. Dasar wanita aneh.
Aku menghampiri suamiku yang sedang menunggu tayangan pertandingan sepak bola kembali. Aku mengempaskan tubuh di sofa kemudian mengembuskan napas kasar.
"Dek, jangan terlalu keras sama Nay." Aku mendelik tajam.
"Mas nggak suka?" tuduhku.
"Bukan gitu, Sayang. Tegurnya jangan pedes kayak tadi."
Aku memposisikan tubuh ini menghadap ke arahnya.
"Maksud mas, adek harus lemah lembut gitu?" Mas Rasha terdiam. "Mas, dia itu orang lain di antara kita, meskipun dia sahabat mas. Tapi, masalahnya dia seperti lagi godain mas. Adek nggak mau, ya."
"Adek jangan nuduh sembarangan. Nay itu bukan wanita penggoda," bela suamiku.
"Lalu apa? Saat baru datang udah nempel-nempel ke mas, tadi pake kimono transparan, barusan? Kimono handuknya kependekan. Terus semua itu apa, Mas?"
"Jangan suudzon, ah!"
"Mas, siapa yang nggak suudzon, ini udah jam sembilan malam. Ngapain diaandi di jam seperti ini?" Mas Rasha memilih diam, pandangannya kembali fokus ke layar televisi.
Pertandingan sepak bola internasional dimulai, aku dan Mas Rasha begitu antusias. Momen seperti ini yang kami tunggu karena kami sama-sama menyukai dunia sepak bola.
Satu jam lebih berlalu, mataku semakin memberat. Aku yang sudah tak tmbisa menahan kantuk akhirnya menyerah.
"Mas, adek tidur duluan ya?" pamitku.
Mas Rasha mengangguk seraya menyeruput kopi hitamnya.
"Dikit lagi mas nyusul, Dek."
Aku beranjak berjalan menuju kamar. Kuhempaskan tubuh ini di atas pembaringan. Mata ini semakin memberat hingga tak sadar aku terlelap.
*
Aku terbangun saat ingin buang air kecil. Gegas aku berlari kecil menuju toilet. Setelah menunaikan hajat, samar terdengar suara orang yang sedang tertawa.Kakiku melangkah pelan, kutempelkan telinga ini di daun pintu, suara itu semakin terdengar.
"Sha, aku kangen momen seperti ini sama kamu. Jadi ingat waktu kita masih kuliah dulu."
"Ah, kamu bisa aja, Nay."
"Aku serius loh, waktu itu kamu suka kan sama aku? Sayangnya Rafa udah keduluan sama kamu." Nayla tertawa lepas membuat hati ini memanas.
"Itu kan dulu, Nay."
Lama mereka berdua terdiam, aku semakin dibuat penasaran.
"Aku cinta kamu, Sha."
Duar! Kalimat itu akhirnya keluar dari mulutnya. Aku membuka pintu dengan emosi yang sudah berada di ubun-ubun. Keduanya menoleh ke arahku. Tampak wanita itu menggenggam tangan suamiku.
Aku berjalan ke arah mereka lalu menepis tangan wanita itu dengan kasar. Dadaku terasa begitu nyeri melihat posisi mereka yang sangat dekat. Bau parfum semerbak menusuk indera penciumanku. Mataku memanas kala melihat kimono yang dipakainya cukup menantang.
"Mas, ayo tidur!"
Tanpa permisi aku mwnarik kuat tangan suamiku lalu membawanya masuk ke dalam kamar kami.
"Oh, jadi dia mantan kamu? Pantas kamu bela-belain dia buat tinggal bareng kita. Ternyata itu sebabnya."
Aku meninggalkannya yang masih mematung di dekat pintu. Kuhempaskan tubuh di atas pembaringan ini. Begitu sakit saat mengetahui semuanya. Ternyata Nayla adalah wanita yang selama ini kucari. Wanita yang telah membuat Mas Rasha jatuh hati kemudian meninggalkannya begitu saja. Dia cinta pertama suamiku.
Aku menangis sesegukan. Mas Rasha memeluku dari belakang seraya terus mengucapkan kata maaf.
"Maaf, Sayang, mas sudah menyakiti hatimu. Mas janji akan membawanya keluar dari rumah ini," bisiknya.
Lima hari telah berlalu, akan tetapi hingga kini Mas Rasha belum juga membawa Nayla pergi dari rumah ini. Apalagi dia bukan mahram suamiku. Mas Rasha pun tahu, batas bertamu hanya tiga hari. Melapor ke Pak RT pun belum.Hal yang paling aku takutkan, jika Nayla berlama-lama di rumah ini, akan ada desas-desus yang tak mengenakkan dari tetangga. Lagi pula, bagiku Nayla itu perlu diawasi, mengingat gerak-geriknya seolah berusaha menggoda suamiku."Mas, kapan? Ini sudah hari ke lima," tanyaku saat aku sedang mempersiapkan pakaian kantornya."Sabar, Dek. Kontrakannya belum dapat," jawabnya seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk."Emang kontrakannya harus gimana, sih, Mas? Segitu ribetnya.""Kamu tenang aja ya, Sayang. Minggu ini pasti dapat. Mas akan berusaha."Mas Rasha meraih kemejanya kemudian memakainya. Aku mengempaskan tubuh di sofa kamar kami."Mas udah laporan sama RT belum?""Belum, ini mas
"Mbak Ainun!" Aku menoleh ke arah suara. Rupanya ibu-ibu tengah berkumpul di taman komplek. Aku yang sedang menemani Naura jalan-jalan sore akhirnya mendekat ke arah mereka. "Sini dulu, atuh, Neng," ajak Bu Elis. Aku menanggapinya dengan senyum lalu duduk tepat di sampingnya. Tubuh kecil Naura kupangku. "Gimana si awewe itu?" tanya Bu Elis. Aku mengernyitkan dahi masih tak mengerti. "Iki loh, Mbak, si gundik kegatelan," sambung Bu Ajeng dengan logat Jawanya. "Maaf?" tanyaku halus. "Dia masih di rumah kamu?" tanya Bu Lastri. Aku mengangguk lemah. "Atuh usir aja! Jangan sampai teh dia main belakang sama suami kamu," celetuk Bu Elis. "Iya, bener itu, Mbak. Kan perselingkuhan itu terjadi karena adanya kesempatan dalam kesesatan," imbuh Bu Lili. "Kesempitan!" koreksi mereka kompak. "Itu maksud saya. Kan kali aja dia pake susuk pemikat di wajahnya. Itu kan sesat na
Semenjak kejadian semalam, aku semakin geram dibuatnya. Berani-beraninya dia mempertontongkan belahan dadanya pada suamiku. Aku tidak mau tahu dan menerima alasan apapun lagi, hari ini dia harus segera pergi."Dek, Mas berangkat dulu, ya." Aku hanya mengangguk padanya. Hatiku masih saja sakit dibuatnya.Perlahan sebuah tangan kekar melingkar di perutku. Mas Rasha menumpukan dagunya di bahuku, bersamaan dengan pelukannya semakin erat."Maafkan mas, Dek," bisiknya.Aku masih bergeming. Suasana hening menyelimuti kami hingga suara tangisan Naura terdengar. Aku melepaskan diri dari rengkuhannya lalu menghampiri putriku.Tubuh kecil Naura kuangkat lalu menggendongnya. Mas Rasha menahanku, diciuminya pipi gembul Naura dengan gemas lalu dengan cepat bibirnya juga mendarat di pipiku. Tak dapat mengelak hingga aku lebih memilih diam saja."Mas berangkat, Sayang," pamitnya lalu mencium keningku."Sayang
"Kamu sengaja 'kan, mengajak mereka kesini?" ucapnya setelah tetanggaku pergi."Buat?" tanyaku sesantai mungkin."Buat mempermalukan aku. Segala uneg-unegmu sudah disampaikan sama mereka."Aku tersenyum sinis. "Lalu?""Kamu sudah puas?!" tanyanya dengan menatapku tajam."Belum. Ini baru permulaan Nayla.""Aku akan mengadukannya pada Rasha," ancamnya."Silakan!" tantangku.Dia menggeratkkan giginya kemudian berlalu meninggalkanku.Aku tertawa lepas saat mengingat bagaimana mereka menghadapi Nayla."Mengusirku?" tanya Nayla."Iya, kamu sudah melanggar peraturan di kompleks ini." Kening Nayla berkerut."Pertama, batas bertamu adalah tiga hari, lewat dari itu silakan pulang atau kembali melapor ke RT setempat dengan membawa foto copy KTP. Kedua, kamu bukan saudara atau keluarga dari Pak Rasha maupun Mbak Ainun. Status kamu hanyalah teman Pak Rasha. Jadi, kami pik
Suasana rumah begitu nyaman, tak ada wanita itu, tak ada keributan dan pastinya tak ada wanita penggoda. Aku menikmati suasana seperti ini. Dan aku berharap, wanita itu tidak muncul lagi di depanku.Bunyi bel membuyarkan lamunanku. Aku segera bangkit lalu berlalu meninggalkan Naura yang sedang tertidur pulas. Begitu pintu kubuka, tampaklah wajah lelah suamiku. Aku berhambur memeluknya. Sangat erat."Eh, tumben," tegurnya. Aku tersenyum."Pelukannya jangan di sini, nanti dilihat sama Nayla," bisiknya. Senyumku yang sedari tadi mengembang, memudar seketika."Nayla?" tanyaku setelah melepas pelukan."Iya, Sayang. Kan nggak enak," jawabnya.Ekor matanya menelisik.setia sudut ruangan. "Eh, yang lain sudah tidur?" tanyanya seraya malangkah masuk."Iya, Mas." Ekor matanya melirik ke pintu kamar yang sudah tertutup rapat."Kenapa, Mas, segitu banget lihat ke pintu kamar dia," tegurku cemburu."Eh, e
Sudah empat hari berlalu semenjak kepergian Mas Rasha. Biasanya setelah sampai di kota tujuan, suamiku akan menelfon. Namun, kenyataannya, sampai sekarang, jangankan menelfon, untuk sekedar membalas chatku pun sangat susah.Naura yang sejak kemarin rindu dan ingin bertemu dengan ayahnya semakin terus menangis. Aku yang sudah kewalahan berinisiatif untuk melakukan panggilan video.Panggilan terus kulakukan, tapi tak pernah ada jawaban. Mungkin dia sedang sangat sibuk."Unda, yaya mana?" tanya anakku."Sabar ya, Sayang. Mungkin ayah lagi sibuk kerja.""Naula lindu yaya!" protesnya dan kembali menangis.Pikiranku kalut. Naura mewarisi sifat ayahnya. Jika ingin sesuatu, maka harus dikabulkan. Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalaku. Aku menghubungi Dion-teman kantornya. Aku yakin Dion bisa membantuku.Dering panggilan menyambungkan terus terdengar hingga suara bariton dari seberang terdengar."Ha
Semenjak kejadian tadi pagi membuat pikiranku semakin kacau. Bayangan siapa itu? Kenapa justru panggilan terputus tiba-tiba? Apa yang terjadi sebenarnya?Semua pertanyaan dan kecurigaan terus menyerangku. Aku yakin suamiku tidak akan berkhianat, tapi bayangan itu? Suara itu?Arrg. Aku benci pikiranku saat ini. Harusnya aku lebih percaya suamiku saat pamit keluar kota untuk menafkahi kami. Ya, suamiku pasti setia.Bel berbunyi, gegas aku melangkah keluar untuk menyambut kedatangannya. Saat membuka pintu, aku.melihat sosok yang sangat aku rindukan. Tangannya direntangkan lalu aku menghambur ke dalam pelukannnya. Mencium aroma tubuh yang menjadi canduku selama ini."Kangen, Dek," bisiknya."Sama," jawabku seraya memeluknya lebih erat."Yaya!" pekik Naura yang sukses merusak moment kemesraan orang tuanya.Aku mengalah, mas Rasha melepaskan pelukan lalu menggendong dan terus menciumi pipi gembul Naura.&n
"Mas ini parfum siapa?!" tanyaku lagi dengan penuh penegasan.Mas Rasha mendekatiku, digenggamnya tangan ini yang sudah mulai gemetar menahan amarah yang sedari tadi ingin meledak."Dek, percaya sama mas, ini nggak seperti yang kamu pikirkan," bujuknya. Aku menggeleng tegas. Ingatan tentang bayangan dan suara itu kembali terngiang."Dek, sumpah mas tidak berkhianat."Aku menarik napas dalam berusaha menormalkan deguban yang terus terasa."Mas, aku selama ini berusaha percaya. Tiap mas keluar kota, kepercayaan itu terus kupegang. Tapi sekarang? Apa yang bisa menjamin kalau mas tidak bermain api?""Mas tidak pernah bermain api, Sayang. Percayalah." Kini mas Rasha berusaha memeluk tubuhku. Aku bergeming."Bagaimana aku bisa percaya jika selalu saja ada bukti yang kudapat?""Bukti apa?" tanyanya lagi.Aku mencebik kesal. "Bayangan wanita, suara erangan seperti orang yang baru saja bangun dan ter