RIDA Wajahku bukan lagi menghangat mendengar tawaran mas Afgan. Bahkan, kini suhunya sudah memanas. Tanpa kupegang pun pipi ini terasa berbeda. Meski tawaran itu sedikit konyol, aku tetap saja kegeeran. Ya, memang tak mungkin malam ini melangsungkan akad nikah sebab terlalu mendadak. Orang tua juga pastilah syok atas kenekatan itu. Surat-suratnya saja belum ada karena memang belum diurus. Aku tak mau nikah siri. Inginnya resmi secara agama dan negara. Meski pun nikah siri itu sah, tetap saja tak merasa nyaman. Jaman sekarang harus hati-hati juga terkait nikah siri ini. Banyak lelaki buaya yang memanfaatkan. Ia mengiming-imingi wanita dengan seribu janji, lalu pergi tiada kabar berita lagi.. Jadi jadilah wanita itu tidak memiliki status yang jelas. Istri bukan janda pun tidak. Aku tahu Mas Afgan tidak seperti itu. Namun, sebagai orang yang pernah dikhianati aku tetap harus waspada. Apalagi lelaki ini merupakan orang kaya yang punya kuasa. Mudah baginya untuk memperdaya wanita. “K
“Kesalahanku memang tak termaafkan, tapi aku tetap akan minta maaf. Aku ke sini hanya ingin bertemu Azka dan Azkia dan menjalankan tanggung jawab sebagai ayah mereka,” tutur mas Adnan saat aku, bang Ragil dan dia telah duduk berhadapan di sofa ruang dan depan. Anak-anak dibawa dulu oleh mas Afgan keluar sebentar. Barulah setelah kami selesai bicara akan diajak menemui papanya, yaitu mas Adnan. “Kesalahanmu memang besar, Adnan. Andai boleh, aku ingin sekali membunuhmu. Tapi, kita ini sesama muslim yang dituntun untuk maaf memaafkan. Meski belum bisa sempurna, kami akan berusaha memaafkanmu. Tentang anak-anak kami tak bisa merampas hakmu sebagai ayah. Silakan kamu dan Rida membuat kesepakatan soal Azka dan Azkia,” balas bang Ragil dengan bijaksana. Kakak keduaku ini lebih tenang dari bang Rano. Ia yang berprofesi sebagai dosen Ekonomi ini juga lebih dewasa dalam menyikapi masalah. “Terima kasih atas kebaikan kalian. Aku, aku ...!” Mas Adnan tak bisa melanjutkan ucapannya sebab kalah
RIDA Mas Afgan merespon anggukanku hanya dengan tatapan. Dalam hitungan berdetik-detik, pria itu tetap mengarahkan pandangan padaku. Seolah-olah ia ingin meyakinkan diri sendiri bahwa ucapan wanita ini benar adanya. “Saya memutuskan ini bukan karena terpaksa atau tak enak hati. Saya sudah membulatkan tekad untuk meninggalkan masa lalu, dan menata masa depan bersama Anda.” Seketika senyum terlukis di wajah pria yang seharian ini bermuram durja.. Ia kemudian memiringkan badannya agar dapat melihatku lebih pas. Jadi tak sekedar kepala yang menoleh. “Terima kasih sudah bersedia menjawab perasaanku. Sekarang, aku bisa lega kalau besok harus pulang. Surat-surat untuk administrasi pernikahan akan dikirim besok. Apakah di sini mau ada pesta?” Nada suara mas Afgan sekarang tidak menyiratkan kesedihan. Yang ada malah keceriaan dan antusiasme tinggi. “Di sini akad saja. Tak usah ada pesta!” jawabku cepat. Aku malu kalau di rumah ini diadakan pesta. Berita perceraianku saja tak diketahui, m
“Kakak dan adik baik-baik di sini, ya. Om pulang dulu, nanti ke sini lagi!” terang mas Afgan saat pamit pada dua anakku. “Ooo, enjih?” sahut Azkia, “Angaaan!” teriaknya kemudian. Ia menghambur ke arah pelukan mas Afgan. “Om marah, ya sama kami? Maafin, nanti kakak main lagi, deh sama Om, gak sama papa! Om jangan pergi, ya!” timpal Azka. “Kakak sayang, Om, beneran!” Mas Afgan memeluk dua buah hatiku. Ia mengelus rambut dan punggung keduanya. Ternyata prasangkaku salah. Azka dan Azkia tak berpaling dari omnya. Mereka tetap mencintai calon papa tirinya. “Om tidak marah, om sayang sama kakak dan adek. Jangan nangis, ya. Nanti om ke sini lagi untuk bawa mama, Azka dan Azkia ke rumah baru.” Azka melepas pelukan, lalu bertanya, “Rumah baru?” “Iya, nanti om, mama, Azka dan Azkia tinggal di rumah baru. Di sana ada kolam renangnya,” jawab mas Afgan. “Yeaaa!” seru Azka. “Aaaayyy!” timpal Azkia tak mau kalah. “Om pergi, ya. Minggu depan om janji akan datang lagi!” Nani dan suaminya pun
AFGAN Aku tak bisa melukiskan perasaan saat Rida menyatakan siap menikah pekan depan. Rasanya di dada ini makin banyak desiran-desiran yang sanggup mengetarkannya.Kurasa wanita ini pun sama, sedang jatuh cinta. Indikasi dari pipinya selalu bersemu merah jika kami bertemu pandang. Atau muncul senyum tertahan saat canda dan godaanku meluncur untuk dirinya.Bodoh sekali Adnan melepas wanita sebaik dan setulus ini. Ia malah terjebak oleh perempuan berhati iblis. Sekarang lelaki itu telah merasakan balasan atas gulungan napsu yang terlalu diperturutkan.Aku sempat takut Rida akan luluh dan mau kembali pada Adnan. Bagaimanapun berkumpulnya orang tua dan anak dapat menjadi pertimbangan rujuknya mantan suami istri. Nyatanya itu tak terjadi. Rida bersedia memberikan hak anak pada ayahnya tanpa harus merajut kembali ikatan yang telah terputus dahulu.Karena semua aman terkendali, aku dapat tenang pulang ke Jakarta. Aku memang harus terbang sebab Alan terus menerus menteror lewat telpon. Rupan
Untuk menahan diri, aku melantunkan zikir dan doa. Hal ini efektif untuk meredakan gejolak di dalam dada. Seiring waktu, perlahan aku bisa mengendalikan perasaan.Tapi, saat mobil memasuki pekarangan masjid, jantungku kembali berdegup-degup kencang. Keringat pun mulai keluar dari sela-sela jari.Om Rendra dan Tante Aini mengapitku saat berjalan menuju ruangan masjd. Di sini sudah hadir keluarga Rida dan tamu undangan terbatas. Meski begitu, halaman masjid jadi tak bisa menampung mobil yang datang. Akhirnya dipakailah parkiran bangunan di kanan dan kirinya.Para lelaki masuk ke shaf depan, sementara wanita di shaf belakang. Kami disambut hangat oleh keluarga Rida. Kemudian dipersilakan duduk di barisan depan.Sekarang aku duduk melingkar bersama penghulu, dua saksi dan wali Rida. Inilah saat yang dinanti, yaitu diikrarkannya janji suci di hadapan ilahi. Bahwa aku mengambil Rida sebagai tanggung jawab dunia dan akherat.Dengan satu tarikan napas kulantunkan kabul atas ijab wali Rida. Ke
RIDA Selepas akad diikrarkan, aku tak sanggup lagi menahan air mata. Satu tetes bening luruh disusul buliran berikutnya. Dan itu sengaja tak kuseka sebab percuma, takkan berhenti juga Aku meluapkan rasa yang bercampur aduk dalam pelukan mama. Wanita ini pun sama, tangisannya pecah. Kami sama-sama terharu hingga meluapkan dalam tumpahan air mata. Satu per satu keluarga memeluk dan mengucapkan selamat. Kakak-kakak ipar wanitaku pun tak kuat menahan tangisan. Mereka tak menyangka akan fase kehidupan yang dialami oleh adik suami-suaminya. “Selamat, ya, Sayang, semoga samawa, dikarunia putra putri sholehah,” ucap kakak mama. Lalu, disusul oleh saudara lainnya. Semua yang hadir menyambut pernikahan ini dengan gempita. Mereka antusias melapalkan doa serta menguntai harapan kebaikan untuk pengantin. Kebahagian terlukis nyata di hadapanku kini. Seakan, kepedihan mendalam di masa silam sirna tanpa meninggalkan jejak. Luka yang digoreskan mas Adnan, diobati oleh mas Afgan. Tak hanya aku y
Mas Afgan membersihkan diri terlebih dahulu, sementara aku melepas hiasan rambut dan menghilangkan riasan di wajah. Aktivitas ini cukup merepotkan karena dilakukan sendiri. Karena butuh ketelatenan, gerakan tanganku pada kerudung juga wajah menghabiskan waktu cukup lama. Bahkan, sampai mas Afgan keluar dari toilet, aku masih sibuk dengan gaun pengantin dan hiasannya. “Aku bantu, ya,” bisik lelaki yang kini meyejajarkan kepalanya dengan kepalaku. Seketika dadaku kembali berdebar-debar agak kencang. Kami jadi saling memandang lewat cermin. Mau menunduk sudah tak mungkin. Akhirnya terjebak dalam situasi bingung sendiri. Kubiarkan lelaki yang telah berstatus suami ini membantu melepas riasan. Dengan telaten ia melakukannya hingga selesai. Selanjutnya ia merangkulku dari belakang. Sebelum terjadi aktivitas lebih jauh aku bicara, “Aku mau membersihkan diri.” Ini adalah bentuk permintaan agar pria ini mau melepaskan pelukan. Dia benar-benar sudah masuk pada fase ingin menikmati madu pern