Mayang yang hatinya seperti ditumbuk palu besi, menyerahkan slip pembayaran itu pada Mawar. “Coba kamu baca. Sepertinya mata tua Mama mulai kabur.” Mayang mengucek-ucek matanya. Dia masih mengingkari fakta gamblang di depannya.Mawar pun membaca slip itu. Dan, dia memberikan reaksi yang sama dengan ibunya. Matanya membesar selagi mulutnya ternganga. “Mama, ini tidak mungkin.”“Makanya, sangat aneh ‘kan? Ini nggak bener. Pasti-”Merasa lelah dengan sikap ibu dan adiknya, Aji pun memotong ucapan dengan berkata, “Kenapa Ma, di situ benar tertera nama istriku ya? Jadi jelas ‘kan, yang membeli mobil memang Retno, bukan Siska atau orang lain?”Mayang menggeleng berulangkali. “Ini pasti istrimu sudah kongkalikong sama mas-mas tadi.”“Mama, jangan keterlaluan ngomongnya. Semua bukti sudah jelas, kenapa masih mengelak? Lagipula, kenapa Mama seperti nggak suka kalau Retno yang membeli mobil itu? Malah bagus kan, berarti selama ini Retno tidak seperti yang Mama dan Mawar tuduhkan.” Aji menoleh h
Pelipis Mawar dan Mayang berkedut. Mereka memang biasa berbincang dengan Siska untuk menggunjingkan Retno bersama-sama. Namun, kini Retno dan Aji juga mendengar apa yang dikatakan Siska. Jika dibiarkan, ini benar-benar akan menjadi senjata makan tuan. Akan tetapi, tidak mungkin juga kalau speaker itu dimatikan sekarang. Oleh sebab itu, sebelum Siska mengucapkan kata-kata yang semakin tidak pantas tentang Retno, Mawar langsung mengalihkan pembicaraan.“Mbak, ini ada masalah penting yang mau aku tanyakan. Masih soal kado.”“Oh, ya, ya, katakan Mawar. Ada apa?”“Selain arloji, Mbak ngado Mas Aji mobil mewah juga ‘kan?” Pertanyaan retoris Mawar sudah menjelaskan betapa yakin dia pada apa yang dianggap benar sejak tadi.Tawa Siska terdengar. “Mawar, iya sih uang aku memang cukup kalau buat beli mobil mewah.” Sontak saja senyum kemenangan yang sempat rendup kembali terpancar dari wajah Mayang dan Mawar. Namun, sepertinya itu pun tidak akan bertahan lama sebab Siska kemudian melanjutkan.“
(POV Retno) Aku tersenyum melihat mertuaku melengos dan pergi membawa kedongkolan. Lantas iparku pun ikut-ikutan, buru-buru dia meninggalkan kursi demi menyusul ibunya. Tapi aku tahu pasti, Mawar pergi karena takut pada kakaknya, juga padaku. Dia memang masih kecil, batinku tertawa dalam hati. “Sayang, kamu nggak apa-apa?” Mas Aji membuatku sedikit berjingkat kaget. Aku menggeleng dan tersenyum lebih lebar lagi. “Aku baik-baik saja, Mas. Kamu lihat sendiri aku makan buah seperti orang kesurupan, nggak mau berhenti. Memangnya kenapa?” Suamiku memegang kedua tanganku. “Sayang, kenapa kamu malah senyum-senyum. Kamu tidak marah pada Mama dan Mawar? Aku sungguh minta maaf atas sikap mereka padamu.” “Mas, nggak tahu ya, mungkin ini sedikit aneh, tapi rasanya aku biasa saja. Nggak marah sama sekali. Malah merasa lucu lihat Mama dan Mawar.” Aku tertawa lagi mengingat perubahan ekspresi mertua dan iparku saat mendengar Siska mengingkari apa yang mereka yakini. “Sayang, jujur saja padaku,
(POV Aji)Sampai detik ini aku masih belum tahu, kebaikan apa yang aku lakukan di masa lalu hingga Tuhan memberikan pasangan sebaik istriku, Retno. Jujur saja, setelah pernikahan pertamaku yang baru seumur jagung gagal dengan sangat mengenaskan, aku tidak pernah berpikir jika kehidupanku justru akan begitu indah sesusahnya. Ketika perceraianku dengan istri pertamaku terjadi karena ketidakmampuanku dalam memenuhi segala keinginannya, aku benar-benar merasa sebagai seorang pecundang sejati. Terlebih, aku selalu berpikir tidak akan pernah mampu bersaing dengan lelaki idaman lain istriku. Saat perpisahan pahit yang didukung secara sadar oleh mertua dan keluarga istriku terjadi, aku tidak pernah percaya pada pepatah bijak yang mengatakan bahwa pelangi akan muncul setelah badai. Sebab saat badai itu datang, rasanya telah menghancurkanku, maka aku sendiri tidak akan pernah bisa melihat pelangi.Dan Tuhan berkehendak lain. Dalam perasaan terpuruk dan selalu menganggap gelap dunia ini, Dia m
Tuduhan keji Mayang jelas membuat Aji naik pitam. Dia memiliki banyak ucapan kemarahan dalam hati. Akan tetapi, dia ingat pada tujuan awal datang ke kamar sang ibu. Maka, dengan susah payah lelaki itu menelan semuanya. Lantas, Aji berusaha keras untuk menyunggingkan senyum yang mungkin terlihat aneh karena dipaksakan.“Mama, aku yakin, Mama tidak berpikir apa yang barusan Mama ucapkan itu benar. Mama sendiri yang bilang kalau Retno lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar.”“Iya, Aji. Tapi sesekali istrimu itu juga keluar entah ke mana.”“Apa itu di malam hari?”Mayang mencebik. “Aji, memangnya yang seperti itu hanya bisa dilakukan di malam hari saja? Begini lho, bukannya Mama mau menjelek-jelekkan istrimu, tapi ‘kan aneh sekali, tiba-tiba saja dia bisa membeli mobil semewah itu. Itu mobil lho, bukan mobil-mobilan.”Aji menelan ludahnya lagi. Pelipisnya sejak tadi berkedut karena perkataan ibunya yang selalu menjelek-jelekkan Retno, tetapi tidak mau disebut sedang menjelek-jelekkan
Lewat tengah malam, Aji diam-diam turun dari atas ranjang. Dia berjalan pelan menuju meja rias istrinya hanya demi mengambil sebuah kotak kecil.Benar, itu memang kado pemberian Siska. Aji begidik ngeri saat mengingat pesan dari mantannya itu yang dibacakan Retno saat makan malam tadi.Aji memandangi kado tersebut lekat-lekat sebelum mengendap keluar kamar, tidak ingin sampai membangunkan sang istri. Dengan langkah kaki cepat dan dipanjang-panjangkan, dia berjalan menuju depan. Tampaknya, Aji hendak keluar.Tak butuh waktu lama bagi Aji untuk sampai di teras rumah. Anehnya, dia tidak terlihat menuju garasi, tetapi terus berjalan hingga ke pos satpam. “Pak Mul.”Seseorang dengan kaos oblong dan sarung yang menyilang di pundaknya tampak berjingkat sebelum mengecilkan volume televisi. “Bapak. A-ada apa, Pak? Apa ini sudah subuh?” Dia langsung berdiri.Aji tersenyum. “Belum, ini mungkin masih jam satu atau setengah dua..”‘Lhah, kok Bapak sudah bangun?’ tanya si satpam tanpa suara. Dia t
Sudah barang tentu ucapan rekan kerja yang memotong perkataannya itu membuat rahang Aji mengeras. Dia memberikan tatapan tajam mengintimidasi, menghapus semua ekspresi ramah yang tadi sempat dia berikan. Melihat hal itu, Roni pun menelan ludah. Sepertinya dia sudah salah bicara. Meski ucapannya tadi hanya bercanda, tampaknya Aji sangat tidak berkenan. Dia pun memegang pundak pria di hadapannya itu.“Aji, aku-““Kamu tidak tahu apa-apa,” potong Aji seperti ingin membalas Roni. Roni yang terkejut dengan reaksi Aji pun menjadi kian tergagap. “A-aku-““Ini hadiah dari istriku. Kamu mengucapkan selamat ulang tahun padaku kemarin. Dan istriku membelikan mobil ini padaku.”Mulut Roni menganga. Dia sungguh tidak mengira jika Aji ternyata berasal dari keluarga yang perekonomiannya jauh di atas dirinya. Penampilan manajer pemasaran yang baru itu terlihat terlalu sederhana untuk seseorang yang berada. Terlebih, kemarin Aji juga mengendarai mobil keluaran lama yang dia pikir masih belum lunas c
Jeder!Sudah barang tentu dengan refleks Siska nyaris berteriak atas jawaban yang terdengar seperti petir di siang bolong. “Apa?!”Itu adalah arloji yang sangat berharga, mewah, dan tentunya mahal. Akan tetapi, Aji memberikannya begitu saja pada orang lain. Satpam? Seorang satpam. Mengenaskan!Bagaimana mungkin Siska tidak ingin pingsan mendengarnya!‘Aji, kamu benar-benar sudah menbanting kemewahan dari arloji itu dengan membiarkannya melekat di pergelangan tangan seorang rendahan!’“Kenapa Sis? Apa kamu keberatan aku memberikannya pada orang yang lebih membutuhkan?”‘Iya, dong! Segitu cintanya kamu sama Retno!’ Siska berusaha keras untuk tersenyum dan mendustai kata hatinya. “Tidak, Ji. Aku senang kalau memang itu berada di tangan yang tepat.”“Syukurlah kalau begitu. Aku tahu, kamu memang orang baik.”Hati Siska tersenyum getir. Namun, bukannya menyerah, Siska justru kian terobsesi untuk merebut Aji dari sang istri. ‘Retno harus merasakan sakit hati dan penghinaan yang lebih besar