Share

VELIN-SEAN (INDONESIA)
VELIN-SEAN (INDONESIA)
Penulis: Ayne Kim

PROLOG

VELIN menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah kafe yang terletak sedikit terpojok karena terimpit dua bangunan tinggi. Hotel yang tingginya melebihi batas penglihatan seorang Velin, dan sebuah bangunan yang masih belum terlihat siap ditempati. Velin menarik napas mencoba menangkan diri karena terlalu gugup. Ia yakin, di dalam sana teman-teman seangkatan dengannya telah berkumpul dan mungkin bercerita tentang kesuksesan masing-masing setelah 5 tahun tidak bersua.

Jujur saja, Velin ragu untuk memasuki kafe yang

terlihat sepi itu. Ia ragu jika di dalam sana akan menjadi seseorang yang terasingkan karena hidupnya tidak memiliki perubahan selama 5 tahun. Dan juga ragu untuk bertemu dengan orang-orang yang dihindari semasa SMA dulu.

Semua mengacaukan otaknya yang terlalu kecil dan pas-pasan untuk berpikir. Seandainya saja otaknya itu bisa lebih genius, mungkin ia akan bekerja di sebuah perusahaan ternama, bukan menjadi pengantar bunga.

Apa lagi yang bisa dilakukan perempuan yang cuma tamat SMA? Pekerjaan di kota besar tidak menjamin sama sekali. Bahkan yang sudah memiliki ijazah sarjana saja bisa berakhir menjadi pengangguran. Lalu, bagaimana dengan dirinya yang hanya tamat SMA?

"Tidak berniat masuk?"

Velin menatap seorang perempuan yang berdiri tepat di sampingnya. Velin menarik napas sedikit kasar. Entah berapa lama ia melamun hingga tidak menyadari jika ada orang lain selain dirinya berdiri di depan kafe.

"Jika ragu, ayo pergi saja dari sini."

Velin mengernyitkan keningnya bingung. Perempuan cantik bak model itu mungkin sedang menyindirnya secara halus saat ini.

"Ada apa dengan wajahmu itu? Hah, aku juga ragu untuk masuk ke dalam sana. Kenangan saat masih SMA berputar terus di depan mataku."

Kalimat itu semakin membuat Velin berpikir lebih ekstra dari biasanya. Dan karena otaknya tidak bisa bekerja lebih, maka ia tidak bisa menemukan jawaban dari pertanyaan yang melayang tidak karuan di otaknya.

"Maaf, kamu siapa?" Entah keberanian apa yang mendera Velin hingga ia mampu mengeluarkan suara dari bibirnya yang sejak tadi terbungkam.

"Kamu tidak mengenalku?" Ada kekecewaan dari pertanyaan balik yang diucapkan sang lawan bicara.

Velin menggelengkan kepalanya.

"Natasya. Si cupu yang selalu memakai kacamata tebal. Berjerawat dan kutu buku."

Velin membungkam mulutnya. Natasya? Dia tidak percaya apa yang ia lihat. 5 tahun tanpa mendengar kabar dari masing-masing teman semasa SMA dulu membuat begitu banyak perubahan, salah satunya Natasya. Bagaimana bisa siswi yang dikenal nerd semasa SMA, berubah menjadi perempuan cantik bahkan layak untuk menjadi model.

Wajah itu begitu mulus tanpa ada bekas jerawat di sana. Bahkan terlalu sempurna untuk disebut sebagai manusia. Mungkin, lebih tepatnya saat ini Natasya seperti bidadari yang setiap wajahnya terpahat sempurna.

"Apa kamu melakukan operasi?" Velin memukul kepalanya karena pertanyaan bodohnya itu.

Natasya tersenyum menanggapi pertanyaan Velin. "Ya, kamu benar. Aku melakukan banyak perubahan di tubuhku. Aku tidak ingin menjadi bahan kejahilan lagi."

Lagi-lagi Velin mengangguk seperti orang bodoh. "Pantas saja, itu terlihat sangat sempurna." Velin menunjuk pada wajah Natasya. "Maaf," tambahnya lagi. Ia takut jika Natasya tersinggung dengan kalimat konyolnya.

"Tidak masalah. By the way, mau masuk atau cabut?"

Velin menatap Natasya dengan senyum percaya dirinya. "Kita sudah di sini bukan? Kenapa menyia-nyiakan waktu begitu saja."

"Kamu yakin?" Natasya bertanya untuk meyakinkan dirinya sendiri.

"Ya. Setidaknya kita bisa membanggakan diri di dalam sana, meskipun harus menahan malu karena tidak mampu melakukan apa pun lebih dari yang sekarang ini."

Natasya mengangguk.

"Kamu benar."

Natasya berjalan dengan gontai dan disusul oleh Velin dari belakang. Bohong jika seorang Velin tidak gugup sama sekali, tetapi setidaknya, ia masih punya teman yang memiliki pemikiran seperti dirinya. Ya, Natasya tidak jauh beda darinya. Ragu karena beberapa alasan tertentu.

"Ah, lihat siapa yang datang!" Teriakan menggema dan itu datang dari lelaki yang memakai pakaian terlalu mencolok.

Velin bahkan hampir tertawa kencang saat menyaksikan penampilannya. Kemeja warna kuning dan dilapisi dengan jas berwarna hijau kotak-kotak. Dasi yang warna terlalu bertolak belakang. Bagaimana bisa dasi warna merah menjadi pelengkap kemeja warna kuning? Terlalu lebay.

"Maaf, kami sedikit terlambat." Natasya membungkuk memberi hormat sebelum duduk di tempat kosong, kemudian disusul oleh Velin.

"Wah, si ratu plastik ternyata." Kalimat menyakitkan itu keluar dari bibir seorang Tania. Velin ingat jelas wajah yang selalu terpoles bedak tebal itu. Apa bedanya operasi plastik dengan tambal bedak berlapis-lapis?

Velin melirik Natasya yang tersenyum ramah. Perempuan itu terlalu santai menanggapi hinaan kasar yang diutarakan oleh Tania.

"Terima kasih sudah menyambutku."

Keraguan inilah yang ternyata dialami oleh Natasya. Velin tidak yakin apakah ia bisa setenang Natasya jika nantinya mereka semua melempar pertanyaan-pertanyaan aneh.

"Ngomong-ngomong, apa kamu itu ... Velin?" Tania beralih kepada Velin.

Velin menelan ludahnya. Ia yakin kini gilirannya yang akan menjadi sasaran hinaan dari teman-teman seangkatan dirinya.

"Kamu tidak jauh beda dari dulu ya. Selalu terlihat menyedihkan."

Natasya memegang tangan Velin yang terletak di bawah meja. Menyalurkan kekuatan untuk bertahan dalam keadaan yang tampak kacau.

"Apa pekerjaanmu?" Velin mengalihkan atensinya kepada lelaki yang terlalu norak dalam berpakaian.

"Aku?" Velin menunjuk dirinya. "Aku, ah ... hanya pengantar bunga."

"Benar-benar menyedihkan?" Tania kembali mengucapkan kata-kata menyakitkan. "Kamu terlalu menderita."

"Siapa bilang kalau pengantar bunga itu menderita?"

Semua mata menatap ke arah pintu di mana seorang lelaki tampan berjalan ke arah mereka.

"Arga!" Tania selalu menjadi yang pertama menyadari siapa yang datang meskipun tidak bertemu sangat lama.

"Kapan balik dari Paris?" Tania menggeserkan kursi agar Arga duduk di sampingnya.

Velin menunduk menyadari jika Arga, lelaki yang ia hindari selama bertahun-tahun itu duduk di depannya.

"Seminggu yang lalu. Bagaimana kamu bisa tahu?" Arga tersenyum manis kepada Tania.

Tania terlihat sedikit malu. Wajah itu memerah. "Aku mengikuti akun Instagram-mu."

Natasya hampir memuntahkan minumannya saat nada suara Tania terdengar manja dan terkesan dibuat-buat menjadi seksi.

"Oh, begitu rupanya." Arga masih setia dengan senyumnya namun matanya bukan menatap Tania melain menatap Velin dengan penuh binar. "Hai, lama tidak bertemu."

Velin mengangkat wajahnya saat jemari-jemari mengacak rambutnya.

Matanya membulat sempurna. Mata Onix milik Arga begitu penuh binar membuat jantung Velin berdetak lebih cepat berkali lipat dari biasanya.

"Aku merindukanmu."

Bukan hanya Velin yang terkejut. Tania, Natasya dan yang lain yang turut bergabung dalam acara reuni dadakan itu terkejut bukan main. Bagaimana bisa seorang lelaki yang dulunya menolak Velin, tiba-tiba merindukan sosok itu?

"Kamu tidak merindukanku?"

Velin masih mematung dengan detak jantung yang masih sama.

"Aku menginginkanmu menjadi kekasihku."

What the hell?

Rasanya Velin ingin membentur kepalanya ke dinding untuk menyadarkan dirinya dari mimpi yang terlalu tiba-tiba itu.

"Tidak semudah itu. Lo harus melangkahi mayat gue dulu jika lo mau jadi pacar Velin."

Keterkejutan di kafe itu semakin menjadi saat kehadiran lelaki lain yang entah datang dari mana ikut bergabung.

"Lo tahu 'kan, gue juga suka sama cewek aneh ini."

Velin menatap wajah lelaki yang memegang tangannya dengan sempurna. Velin sangat tahu betul siapa lelaki yang menyebutnya aneh itu.

"Sean?"

Dan hanya senyum tipis yang terukir di bibir tebal nan seksi milik lelaki bernama Sean itu.

"Selamat datang di neraka." Bisikan itu terlalu pelan, layaknya desiran angin yang lewat begitu saja. Sean kembali, dan Velin akan kembali hidup dalam neraka yang dibuat oleh Sean sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status