"Dari mana aja kamu? Masih ingat pulang?" tegur Meira dengan sengit begitu Arfan membuka pintu rumahnya.Arfan mematung sejenak sembari menghela napas. Arfan merasa sangat lelah. Lima tahun sudah ia menjalani pernikahan dalam keterpaksaan, dan sampai detik ini tak sekalipun Meira bisa membuatnya merasa nyaman.Arfan merasa seperti berada dalam penjara yang diciptakan Meira. Semua aktivitasnya dipantau 24 jam. Jika ia melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan Meira, maka sambutan Meira saat ia memasuki rumah pasti seperti sekarang ini.Arfan meneruskan langkah tanpa memedulikan Meira. Niatnya untuk memberitahu Meira bahwa besok pagi ia akan ke Jakarta, ia tunda. Karena jika ia paksa memberitahu Meira saat ini, Arfan takut tidak bisa mengendalikan diri karena tentu Meira akan menentangnya."Fan! Aku tanya sama kamu!" seru Meira sembari mengejar Arfan. Begitu tiba di depan pintu kamar, Meira berhasil menyusul Arfan. Wanita itu menarik kasar bahu Arfan sampai Arfan berbalik menghadapnya.
Hari masih sangat pagi ketika Arfan tiba di rumah orang tua Alya. Subuh tadi ia bahkan sudah bertengkar hebat dengan Meira. Meira masih tidak mengizinkan Arfan pergi ke Jakarta meski sudah dijelaskan kalau ia akan pergi bersama seluruh keluarga Alya, tidak hanya berdua dengan Alya.Namun, Meira masih tidak terima dan mengancam akan mengadukan itu pada mama Arfan. Jadi, sebelum Arfan meninggalkan rumah, Meira sudah terlebih dahulu pergi ke rumah mertuanya. Dia pikir Bu Fania belum tahu kalau Arfan akan membawa Aleta berobat ke Jakarta."Aleta masih tidur?" tanya Arfan saat Alya keluar dengan menyuguhkan secangkir teh."Iya, masih," jawab Alya sembari meletakkan cangkir teh tersebut di meja tepat di depan Arfan."Ehm ... aku ... boleh liat dia?" Alya mengangguk. "Silakan."Sebelum menemui Aleta Arfan melirik teh yang asapnya masih mengepul di depannya. Ia menatap Alya sekilas kemudian mengambil cangkir teh tersebut dan menyesapnya perlahan. Begitu hangat teh tersebut menjalar ke tengg
Kontan tubuh Arfan menegang. "Calon suami Alya?" batin Arfan tidak terima. Akan tetapi, ia tetap menyambut jabatan tangan dari Prima.Tiga hari setelah proses pemeriksaan kecocokan sumsum tulang belakang Alya dan Arfan, akhirnya hasilnya keluar. Kali ini hanya Alya dan Arfan yang datang ke rumah sakit. Sementara Aleta dan kedua orang tua Alya menunggu di hotel dengan ditemani Prima. Prima sebenarnya ingin ikut ke rumah sakit karena melihat Alya tidak nyaman hanya pergi berdua dengan Arfan. Akan tetapi, Aleta tidak mau lepas dari laki-laki itu. Jadi, terpaksa Prima membiarkan Arfan dan Alya pergi berdua.Sepanjang berjalan menyusuri koridor rumah sakit, Alya dan Arfan hanya terdiam. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Alya harap-harap cemas karena teringat ucapan dokter, bahwa meskipun orang tua tetap ada kemungkinan hasilnya tidak cocok. Kalau sampai dirinya atau Arfan tidak cocok, Alya tidak tahu lagi harus bagaimana. Rasanya membiarkan Aleta untuk menjalani pengobatan
Alya dan Arfan berjalan menuju parkiran rumah sakit dengan langkah gontai. Keduanya sama-sama diam dan sibuk dengan segala pikiran yang ada di kepala masing-masing. Sama-sama bingung dengan pilihan yang kini ada di depan mereka. Saat ini mereka seperti sedang memakan buah simalakama. Jika harus membiarkan Aleta menjalani kemoterapi, Alya dan Arfan teramat sangat takut dan juga tidak tega. Mereka berdua takut fisik Aleta tidak kuat menerima obat-obatan yang cukup keras itu. Apalagi jika memikirkan pada akhirnya justru hal buruk yang akan menimpa putri mereka. Alya dan Arfan tidak sanggup membayangkan hal itu terjadi.Alya menghela napas panjang. Dadanya sangat sesak memikirkan hal itu. Apalagi jika mengingat ucapan Dokter Haikal tadi. "Jadi selain menggunakan sumsum tulang belakang, metode stem cell ini bisa juga menggunakan darah tali pusat dari saudara kandung pasien. Bahkan untuk pengobatan dengan darah tali pusat ini, tingkat keberhasilannya lebih tinggi dibanding dengan sumsum tu
"Aku ke kamar dulu," pamit Alya pada Arfan dan Bu Narti yang masih berdiri di depan pintu.Bu Narti kemudian mempersilakan Arfan untuk masuk. Setelah berbasa-basi beberapa saat, Arfan kemudian menjelaskan hasil tesnya dan Alya kepada orang tua Alya dan juga Prima yang memang masih ada di sana."Terus sekarang gimana, Nak Arfan?" tanya Bu Narti yang kini hatinya kembali gerimis. Harapannya bahwa cucunya akan mendapatkan donor dari salah satu orang tuanya kini pupus. Dada Bu Narti teramat sesak jika membayangkan Aleta harus menjalani kemoterapi. Ia sangat tidak tega.Arfan menarik napas dalam. Ia menunduk kemudian memejamkan kedua matanya. Beberapa saat kemudian ia kembali mengangkat wajahnya. "Kita berdoa agar Aleta diberi jalan pengobatan yang terbaik, Bu. Karena sakit ini dari Allah, aku percaya Allah pasti udah siapin solusi yang terbaik."Tak lama setelah itu, Arfan kemudian pamit untuk kembali ke kamarnya. Ia ingin segera menelepon mamanya. Ia masih ingat perkataan Alya dulu. "Sal
Suara ketukan pintu di kamar hotel Alya sore ini, entah mengapa membuat tubuh Alya gemetaran dan mengeluarkan keringat dingin. Wajah Alya bahkan kini menjadi seputih kapas."Al, kamu kenapa? Sakit?" tanya Bu Narti saat melihat wajah pucat putrinya serta butiran keringat berukuran cukup besar di keningnya."Enggak tahu, Bu. Tiba-tiba tubuh Alya gemetaran," jawab Alya sembari meremas jemarinya sendiri."Ya Allah, apa kamu masuk angin? Ya udah, kamu tiduran dulu aja. Biar ibu yang buka pintu.""Iya, Bu."Alya kemudian berbaring di sisi Aleta yang masih tertidur sejak jam dua tadi. Setelah semalam Arfan memberitahu bahwa mamanya akan datang, jantung Alya tiba-tiba berdebar-debar. Bahkan semalaman ia tidak bisa tidur.Selama ini Alya pikir dirinya baik-baik saja. Tidak ada trauma yang ia simpan di hati dan kepalanya. Ia bisa menjalani hari-hari dengan baik-baik saja meski terasa sulit. Akan tetapi, begitu mendengar bahwa Bu Fania akan datang, tiba-tiba Alya seperti tak punya daya.Ia tidak
"Ma, jangan bahas itu dulu!" tegur Arfan sembari menerima secangkir teh hangat dari mamanya. "Loh, kenapa?" tanya Bu Fania. "Niat Mama ke sini kan, emang mau bahas itu.""Iya, tapi Mama liat dulu gimana kondisi Alya!" tegas Arfan.Bu Fania mendengus kesal. Ia tak berkata apa-apa lagi."Minum dulu, Al!" titah Arfan sembari mengangsurkan cangkir teh itu pada Alya.Alya pun menerimanya dan menyesap teh hangat tersebut."Udah?" tanya Arfan saat Alya menyerahkan cangkir itu kembali kepadanya.Alya mengangguk.Beberapa saat mereka berempat hanya terdiam di ruangan itu. Alya masih mencoba mengumpulkan ketenangannya yang sempat porak poranda. Alya akui, keberadaan Arfan di sisinya mampu memberikan pengaruh besar, sehingga kini ia merasa kembali baik-baik saja."Kemarin Arfan bilang sama Mama kalau katanya hasil tes kalian enggak ada yang cocok sama Aleta." Bu Fania kembali membuka suara. Ia sudah tidak sabar untuk berbicara pada Alya. Bahkan saking inginnya masalah ini cepat beres, ia sampai
[Gimana kondisi kamu sekarang? Udah baikan?]Alya membaca pesan dari Arfan tanpa berniat membalasnya. Bagaimanapun ia harus menjaga jarak, karena sekarang Arfan bukan siapa-siapanya lagi.Alya menghela napas dan meletakkan ponselnya di samping bantal. Setelah Arfan dan mamanya pergi dari kamar hotelnya, Alya memang belum beranjak dari tempat tidur. Alya merasa napasnya dingin dan dan tubuhnya terasa amat ringan. Jadi, daripada pingsan, ia memilih untuk beristirahat beberapa saat. Sementara Aleta berada di tempat tidur kakek dan neneknya.Arfan memang menyediakan suite room untuk Alya, Aleta, dan kedua orang tua Alya. Yang di dalamnya ruangan besar itu terdapat satu king bed, dua singel bed, kamar mandi dengan fasilitas mewah, dapur, meja makan, serta in house movie yang mereka gunakan untuk menerima tamu. Jadi, meskipun berada di hotel, Aleta tidak merasa jenuh karena ruangan tersebut cukup luas dan dilengkapi fasilitas yang mewah.Beberapa saat setelah menerima pesan dari Arfan itu,