Share

Bongkahan Penyesalan

Arfan memasuki rumah megah kedua orang tuanya dengan langkah gontai. Pikirannya masih berada di rumah orang tua Alya. Laki-laki itu merasa begitu berat meninggalkan putri yang baru saja ditemuinya. Arfan yakin esok pagi saat bangun, pasti Aleta akan menanyakan keberadaannya.

"Dari mana kamu, Fan?" Bu Fania bertanya pada anaknya yang baru saja datang itu. Arfan bahkan tidak menyapa keluarga besarnya yang kini sedang menikmati jamuan makan malam ulang tahun Bu Fania.

Arfan baru menyadari saat mendengar pertanyaan mamanya itu. Ia kemudian menghela napas, lalu mengangguk hormat pada seluruh keluarganya tanpa menjawab pertanyaan mamanya.

"Fan, mama kamu tanya, kamu dari mana!" tegur papa Arfan yang bernama Pak Arya. Laki-laki itu geram melihat sikap kurang ajar anak sulungnya itu.

Lagi-lagi Arfan menghela napas. Rasanya seperti ada beban berat yang saat ini berada di punggungnya. Ia bahkan tidak menoleh ke arah papanya. Laki-laki itu hanya menekuri piring putih di depannya. Kepala Arfan begitu penuh dengan Aleta dan leukimia, serta ... Alya.

"Arfan habis ketemuan sama Alya, Ma, Pa," adu Meira yang kini dadanya serasa terbakar. Bagaimana tidak? Di depan keluarga besarnya pun Arfan seolah-olah mengganggapnya tidak ada. Sekadar senyum pun tak laki-laki itu berikan, apalagi permintaan maaf karena telah membuatnya menunggu dan akhirnya datang sendiri.

"Benar itu, Fan?" tanya Bu Fania dengan mata melebar. Arfan sudah berjanji untuk tidak akan pernah menemui Alya lagi, apapun alasannya. Akan tetapi, hari ini ia mengingkari. Bahkan sampai telat datang ke acara makan malam ulang tahun mamanya karena habis menemui mantan istrinya itu.

Arfan mengangkat wajahnya. Ia menatap mamanya dengan tatapan sendu. "Nanti Arfan jelaskan semuanya, Ma."

Acara makan malam itu akhirnya berlangsung dengan kaku. Apalagi saat ini semua orang telah tahu apa yang sebenarnya terjadi lima tahun yang lalu. Namun, dengan keberadaan Meira sebagai pengganti Alya, semua orang memilih bungkam. Kalaupun ada yang membicarakan peristiwa lima tahun yang lalu pun, hanya sekadarnya saja dan tidak pernah di hadapan Arfan, Meira, dan orang tua Arfan.

"Apa yang mau kamu bicarakan, Fan?" tanya Bu Fania saat menyusul Arfan yang duduk di teras belakang. Laki-laki itu memang lebih sering memilih menyendiri saat berada di acara keluarganya.

Arfan menoleh sekilas, kemudian tatapannya kembali lurus ke depan menunggu Bu Fania duduk di sampingnya.

"Mama enggak ingin lihat cucu Mama?" tanya Arfan tanpa menoleh ke arah mamanya.

"Cu-cucu?" ulang Bu Fania.

Arfan mengangguk. "Bukannya Mama ingin cucu?"

Bu Fania menahan napas. Ia merasa karma itu benar ada. Mungkin lebih tepatnya bukan karma, tetapi balasan untuk semua perbuatan yang dilakukan manusia.

Setelah pernikahan Arfan dengan Meira berlangsung, balasan dari perbuatan buruknya kepada Alya sepertinya mulai bekerja. Mulai dari adik perempuan Arfan. Ia tak mau menikah dengan laki-laki lain selain pacarnya. Sayangnya lelaki pilihannya itu berbeda keyakinan dengan keluarga Arfan.

Orang tua Arfan menentang keras, sampai akhirnya Adik Arfan yang bernama Arumi itu nekat berusaha mengakhiri hidupnya sendiri. Akan tetapi, usaha Arumi gagal. Ia berhasil diselamatkan. Hanya saja, akibat ia melompat dari sebuah jembatan layang, membuatnya lumpuh dan cacat permanen.

Kemudian pernikahan Arfan dan Meira pun tak berjalan sesuai harapan orang tua dan keluarga besar Arfan. Karena sudah lima tahun mereka menikah, tetapi Meira tidak kunjung hamil juga. Padahal berdasarkan pemeriksaan medis, kondisi Arfan dan Meira sama-sama baik.

Usaha Meira untuk bisa hamil pun tak main-main selama lima tahun ini. Ia mengikuti berbagai program kehamilan. Mulai dengan inseminasi bahkan sampai bayi tabung. Akan tetapi sayangnya semua gagal dan Meira tak kunjung hamil juga.

"Kamu ... menemuinya?" tanya Bu Fania setelah terdiam cukup lama.

Arfan mengangguk.

Bu Fania menghela napas. Ada penyesalan besar di dadanya yang tidak bisa ia ungkapkan pada siapapun, meski Arfan sekalipun. Bu Fania ingat betul saat Arfan dan Alya datang ke rumahnya dan memberitahu kalau Alya telah hamil.

"Kamu pikir, dengan kamu hamil, kami akan nerima kamu sebagai menantu?" ketus Bu Fania saat itu. Arfan bahkan sampai berteriak tak terima dengan ucapan mamanya itu. Akan tetapi, Bu Fania tidak peduli.

"Aku masih punya anak lain selain Arfan. Aku enggak butuh anak dari perempuan seperti kamu meski itu anak Arfan!"

"Mama!" seru Arfan yang sangat kecewa dengan mamanya. Ia pikir dengan kehamilan Alya, keluarganya akan luluh dan mau menerima Alya, tetapi ternyata Arfan salah. Orang tuanya terlalu sombong dengan segala yang ada padanya.

"Mama enggak butuh cucu dari perempuan yang membuat anak mama berani menentang Mama!" tegas Bu Fania.

"Bawa dia pergi, Fan!" titah Pak Arya yang tidak ingin terjadi keributan di rumahnya.

Arfan dan Alya akhirnya meninggalkan rumah megah milik kedua orang tua Arfan itu.

"Namanya Aleta." Arfan mengulurkan ponselnya pada Bu Fania untuk menunjukkan foto Aleta yang ia ambil tadi.

Dengan ragu Bu Fania menerima ponsel putra sulungnya itu. Begitu melihat foto Aleta dalam ponsel Arfan, Bu Fania sampai lupa cara bernapas. Wajah anak perempuan dalam foto itu, persis Arfan saat seusia itu.

Kini Bu Fania merasa sedang dihujani bongkahan batu penyesalan yang begitu besar. Di usianya yang sudah cukup senja, ia bahkan belum mendapatkan hal yang paling diidam-idamkan, yaitu cucu. Bu Fania ingin sebelum meninggal, ia bisa menimang cucunya. Memberikan segala yang ia bisa pada cucunya.

Namun sayang, Meira dan Arumi tidak bisa mewujudkan keinginannya itu, justru Tuhan seolah-olah sedang mengolok-olok kesombongannya dengan kehadiran Aleta. Cucu dari perempuan yang telah ia hina dan bahkan tidak pernah ia terima keberadaannya.

"Mirip sekali sama kamu," lirih Bu Fania sembari tanpa sadar jari telunjuknya mengelus wajah Aleta.

"Mama ingin ketemu dia?"

Bu Fania langsung menoleh pada Arfan. Ia sadar diri kalau dulu telah menolak Alya dan kehamilannya. Jadi, rasanya tidak mungkin Alya dan keluarganya akan mengizinkannya untuk bertemu dengan Aleta.

"Apa ... mungkin?"

Arfan tersenyum miris. "Alya bahkan memberitahu Aleta kalau aku papanya sejak Aleta bayi. Padahal ...." Arfan tak bisa meneruskan ucapannya. Dadanya begitu sesak kalau mengingat selama ini ia sama sekali tidak pernah berusaha lebih keras untuk menemui Alya dan Aleta, hanya karena kesepakatannya dengan mamanya.

"Ceraikan Alya dan jangan pernah temui dia kalau kamu ingin Mama membujuk budhe buat cabut laporannya!" titah Bu Fania lima tahun lalu. Lebih tepatnya lima hari setelah kepergian Alya.

Budhe Arfan yang berliannya ada di tas Alya, memutuskan untuk melaporkan Alya ke polisi. Betapapun Arfan memohon agar budhenya itu mencabut laporannya, tetapi suara Arfan seperti tidak terdengar. Sehingga Arfan memohon pada mamanya agar mau membujuk budhenya untuk mencabut laporannya. Arfan tidak bisa membayangkan kalau Alya harus dipenjara, apalagi istrinya itu sedang hamil.

Bak memakan buah simalakama, Arfan sangat bingung saat itu. Bercerai atau membiarkan Alya dipenjara adalah pilihan yang sama sulitnya. Arfan sadar betul bahwa kekuatan uang bisa mengalahkan semuanya. Apalah dirinya jika dibanding budhenya yang kaya raya. Sampai habis darahnya untuk membela Alya di pengadilan nanti pun, ia tidak akan mungkin menang.

Arfan akhirnya mengangguk setuju. "Arfan akan menceraikan Alya."

"Apa jaminan kamu enggak akan menemuinya?" Ternyata tak cukup sampai disitu kesepakatan mereka.

"Maksud Mama?"

"Mama bukan orang bodoh, Fan. Bisa aja kalian sudah bercerai, tapi di belakang Mama kamu masih ketemu dia."

"Enggak, Ma. Enggak akan," ucap Arfan meski dalam hati ia sendiri merasa ragu.

Bu Fania menggelengkan kepalanya. "Mama enggak percaya."

"Lalu mau Mama apa?"

"Nikahi Meira!"

"Ma!" bentak Arfan.

"Kalau kamu tidak mau, Mama juga tidak akan melakukan apapun."

"Ma, tolong .... Cukup Arfan dan Alya bercerai, jangan minta Arfan melakukan hal yang lebih dari itu, Ma!"

"Keputusan ada di kamu. Mau liat pencuri itu dipenjara atau ... turuti kata-kata Mama."

Kekuatan uang membuat laporan budhe Arfan lebih cepat diproses. Dua hari setelah negosiasi Arfan dengan mamanya, surat panggilan untuk Alya dari kepolisian Arfan terima. Arfan tidak bisa membayangkan kalau Alya akhirnya menjadi buronan dan berakhir di balik jeruji besi.

Arfan benar-benar bingung dan putus asa. Ia ingin membawa Alya pergi sejauh mungkin, tetapi itu tidak mungkin. Alya pasti tidak akan mau melarikan diri. Apalagi jika tahu kalau ia telah dilaporkan ke polisi. Alya pasti lebih memilih untuk menghadapinya. Apapun resikonya.

Karena tidak ada pilihan lain selain menuruti keinginan mamanya, Arfan akhirnya setuju. Karena memang apa yang Alya ucapkan dulu saat Arfan mengajak menikah benar adanya.

"Menikah itu bukan cuma soal aku dan kamu, tapi juga keluargamu dan keluargamu."

Dan pada akhirnya keluarganyalah yang membuat pernikahannya dengan Alya hancur.

"Apa Mama ... pantas ketemu anak kamu?" tanya Bu Fania setelah ia dan Arfan terdiam cukup lama.

"Sebelum semua terlambat, Ma," ucap Arfan. Ia sebenarnya sangat takut kalau-kalau umur Aleta tidak akan lama lagi. Apalagi saat tadi ia menemui Aleta secara langsung. Aleta tidak bisa berjalan, kulitnya lebam-lebam, badannya kurus, dan wajahnya begitu pucat. Arfan sangat takut, meski ia mampu membawa Aleta berobat kemanapun, tetapi Arfan sadar ada satu hal yang ia tidak akan pernah mampu melawannya, garis takdir.

"Maksud kamu?" Bu Fania menatap wajah putranya.

"Aleta ... sakit. Dia ... mengidap leukimia."

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Yulisma Rustam
penyesalan itu datangnya selalu terlambat.
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
semoga Aleta bisa sembuh dan bahagia manusia manusia DURJANA adalah Kuasa dan Hak ALLAH biar mereka kenyang dengan Pembalasan dari NYA
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
klo klga nya Arfan sfh kena karma apa hude nya Arfan yg jahat itu sdh kena karma nya juga apa sdh d bikin bangkrut karena k sombongan nya dn klga Arfan yg lain juga keluarga besar Arfan itu yg sombong2 itu ..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status