Sebelum pulang, aku memperhatikan aplikasi CCTV-ku. Kulihat ibu tengah memarahi Icha.
Ibu sedang memainkan gawainya, lalu Icha datang membawa sesuatu, Icha bertanya tentang barang yang dibawanya.
Ibu bukannya menjawab, malah memarahinya. Lalu tak segan mengusir Icha untuk menjauhinya.
'Ibu lupa kalau tingkah lakunya dipantau olehku sekarang,' batinku.
Aku tak memperlihatkan kejadian ini pada Niar. Takutnya akan menambah rasa khawatirnya semakin besar.
Lalu kulihat Mak Elin kesulitan mengerjakan pekerjaan rumah karena sambil mengasuh Farhan. Ibu dan Kak Ayu sama-sama tak mau direpotkan mengasuh anak-anak.
Karena takut terlalu lama, kami langsung pulang.
Sesampainya di rumah, ibuku menatap kami sembari melihat jam yang terpasang di dinding ruang tamu, seolah memberi kode kalau kami pulang terlambat.
"Kenapa, Bu?" tanyaku padanya.
"Kalian bawa jam, kan? Lihatlah sekarang sudah jam berapa?" tanya ibu ketus.
"Nggak baw
Aku menunggu Kak Aldo datang karena kami janjian akan melihat-lihat rumah. Rencana aku akan pindah ke sana bersama keluargaku.Setelah aku memeriksa rekening koran tabungan Niar, aku menemui Kak Ayu menanyakan keberadaan Kak Aldo. Kak Ayu juga tidak begitu tau dimana suaminya berada."Coba saja kamu telepon, Den!""Sudah, tapi nggak diangkat.""Ya sudah, kita tunggu saja.""Baik, Kak."Aku menunggu Kak Aldo sembari bermain dengan Icha. Dia sangat senang memiliki mainan baru. Sebuah topi bulu berkarakter kelinci dengan telinganya yang dapat digerakkan seperti menari dengan menekan cakarnya. Terdapat pula hiasan lampu kelap-kelip didalam topi tersebut."Makasih ya, Papa. Aku punya buni het," kata Icha."Sama-sama, Icha. Papa juga seneng kalau kamu seneng, Cha!"Icha menyunggingkan senyumnya. Ia bermain masak-masakan sembari memakai topi karakter yang baru kubelikan tadi.Tak lama Bang Aldo datang."Hi, Bro. M
Seusai membalas pesan dari Bang Aldo, tiba-tiba ibu telepon.'Siap-siap disemprot oleh ibu,' gumamku.Aku mengangkat telepon ibu."Halo, Deni. Kamu kok diem-diem pindah dari sini? Siapa yang ajarin bersikap seperti itu?""Memangnya salah kalau aku pindah ingin mandiri bersama keluargaku? Anak dan istriku butuh tempat yang nyaman, Bu.""Memangnya di rumah ibu nggak nyaman? Kamu aja hidup bersama ibu hampir tiga puluh tahun, nggak nyaman di mana coba?""Itu berbeda, Bu, kondisinya. Aku nyaman karena aku anak ibu. Sementara istriku dan anakku, ibu menganggap mereka orang lain. Betulkan apa yang aku katakan?""Nggak begitu, Den. Cepat kalian pulang lagi. Ibu harap kalian bisa tinggal di rumah ini lagi. Ibu kangen sama Icha," katanya."Maaf, Bu. Aku belum bisa menuruti kata Ibu. Biarkan kami tenang di tempat yang baru. Ibu doakan kami saja, ya!"Aku menutup telepon dari Ibu. Wanita itu memang yang melahirkanku, tapi aku tak b
Selama di jalan perasaanku tak enak, tapi kulapangkan hati ini agar tetap berpikiran positif. Sampai tiba di kantor, aku langsung menghubungi gawai istriku.Panggilan awal, seperti biasa Niar jarang memegang gawainya. Lalu aku panggil lagi, kemudian dia angkat."Halo, Dek. Kenapa baru diangkat? Ini panggilan kedua loh, Dek!" Aku berbicara dengan oktaf lebih tinggi dari biasanya."Maaf, Bang. Aku lagi nyuapin Farhan.""Eh ... Maaf, Dek. Aku hanya khawatir aja. Lain kali panggilan pertama harus diangkat ya!""Iya, Bang.""Ya sudah, kalian baik-baik saja kan?" tanyaku."Iya, baik.""Kamu minta Bibik nginep aja, Dek. Selama aku di sini," usulku."Mmm ... Iya.""Kamu minta langsung saja sama Bik Surti untuk nginep juga. Nanti gajinya ditambah.""Ya.""Dek?""Iya, Bang.""Oke, udah dulu ya. Aku mau kerja dulu.""Baik, Bang. Udah ya, Bang!" Niar menutup teleponnya.Sebenarn
Sore ini jadwalku untuk pulang. Sambil menunggu sore, saat jam istirahat, aku melepon rumah. Entah kali ke berapa aku khawatir dengan keadaan mereka.Saat suara panggilan, Niar biasanya tak langsung mengangkat, aku harus menunggu sampai nada ke sekian, lalu diangkatlah telepon itu."Assalamualaikum. Dek, gimana kabarnya? Nanti sore aku pulang ya!""Waalaikumsalam. Baik, Bang.""Semua baik-baik saja?""Ya. Bram datang pasang kamera.""Oh iya, kamera CCTV. Alhamdulillah kalau sudah terpasang. Bibik masuk hari ini?""Ada, Bang.""Okey. Aku kangen sama kamu, Sayang. Kamu jangan lupa minum obatnya. Besok kita kembali ke dokter, ya!""Iya, Bang. Udah ya, Bang!"Ok Niar. Sampai jumpa nanti malam ya!""Iya."Setelah itu aku seperti biasa pergi makan siang bersama Rio. Kami saling bercerita mengenai keluarga. Dia orang yang sangat kurindukan, kalau aku jadi pindah nanti.***Keputusan mutasiku s
Kuraih tangan istriku, kemudian aku memeluknya. Saat ini Niar tak berontak di peluk olehku."Sabar, Sayang. Itu tidak seperti yang kau pikirkan. Semua terjadi karena kebetulan, Dek!" Aku membisikkan kata-kata tepat di telinganya.Lalu dia mendorongku perlahan, langsung menatapku dengan sorot mata yang tajam. Aku juga memandang manik hitam itu."Kebetulan tapi berulang," katanya singkat."Benar, Dek. Memang dua kali ketemu. Dan kalau kamu keberatan, aku tak akan mengulanginya lagi. Jikapun aku berpapasan dengannya, aku kan memilih menghindar darinya. Bagaimana, Dek? Kamu puas dengan janjiku?"Niar menghela napas pelan-pelan. Lalu ia mengangguk. Meng-iyakan semua perkataanku."Baiklah, Sayang. Aku janji takkan memperdulikannya."Tapi aku harus tau ini perbuatan siapa? Apa ada hubungannya dengan Ibu? Aku jadi semakin yakin dengan itu.Kemudian Niar mengangkat bokongnya. Dia ke toilet, lalu kembali ke kamar. Aku pun menyusulnya.
[Niar, cepat kirimkan lagi uangmu 6.5 juta. Cepat! Ibu harus membayar arisan.]Ternyata ini yang membuat Niar tertekan."Dek, sabar ya. Tarik napas, hembuskan, biar agak tenang. Setelah tenang, boleh cerita sama aku. Tapi kalau masih belum mau, nggak apa-apa. Yang penting kamu tenang." Aku menghiburnya seraya mengusap pundaknya.Niar mengangguk pelan. Sekarang Niar terlihat lebih baik."Aku tau, penyebabnya pasti ini kan?" Aku memberikan gawai Niar dan memperlihatkan isi pesan Ibuku.Niar diam, dia ketakutan."Tenang, Sayang. Kamu tak boleh kalah dengan hal macam ini."Lalu aku mengambil kembali gawainya, ku buka aplikasi M-banking, ku transfer semua dana di rekening Niar."Ku amankan dulu uangmu ya. Agar kamu tak terdorong untuk mentransfer uang ke Ibuku. Nanti ke depan ku buatkan lagi rekening baru untukmu.""Iya, Bang." Niar setuju."Satu lagi. Nomormu yang ini sudah tidak aman. Aku akan membelikanm
"Mohon maaf, saya tidak bisa membayarkan. Karena saya sudah menyetop memberikan uang saya pada ibu dan kakak saya," jelasku."Mengapa?" Bu Rita, sang penelepon bertanya alasannya."Mereka tak pantas mendapatkannya, Bu! Sudah, ya, Bu! Tagih saja sendiri pada Ibu dan kak Ayu, Bu Rita!" tegasku."Mmm ... Baiklah." Bu Rita menutup teleponnya.Aku sebenarnya kasihan melihat ibu ditagih orang seperti ini. Tapi, aku ingin lihat ibu mendapat pembelajaran dari perbuatannya.Ibu harus paham, selama ini perbuatannya sangat merugikan kami semua karena menyebabkan luka pada istriku.***Sore ini, saat baru sampai rumah, kak Ayu meneleponku."Deni, kamu kok tega ngomong kayak gitu ke Bu Rita. Tau nggak, gara-gara mulut embermu, Bu Rita menyebarkan gosip kalau Ibu tak mampu lagi bayar arisan karena dibiarkan anak-anaknya.""Lalu, aku harus gimana?" tanyaku pada kak Ayu."Ya, kamu salah bicara seperti itu tentang ibumu. Har
Aku cukup malu tadi saat marah-marah pada Cella. Padahal dia nggak berbuat apapun pada Niar.Untung Niar langsung respon dan mengatakan kalau Cella sedang menolongnya. Aku sangat senang, istriku lebih terbuka.Karena banyak menyimpan luka, ia lebih irit berbicara. Sedikit demi sedikit, ada penerimaan terhadap semua yang terjadi dalam hidupnya."Bang, sudah nih belanjanya." Niar membuyarkan pikiranku tentangnya."Oh, iya. Ayo kita ke kasir." Kami membayar semuanya. Lalu membawa semua belanjaan menuju tempat parkir."Pa, Tante tadi memangnya siapa sih?" Icha membuka pertanyaan."Oh, dia dulu temen Papa.""Oh, pantes. Kan pernah datang ke rumah ya, Pa?" tanyanya."Iya, pernah. Kamu masih inget?""Inget, Pa. Icha hanya melihatnya dari jauh, Pa.""Oh iya," jawabku.Ternyata Icha bener-bener nanya detail tentang Cella. Sesekali ku lirik istriku, ekspresinya datar."Tante Cella cantik ya, Pa."