“Permisi." Elvan mulai mengetuk pintu waktu tiba di depan rumah Nayla yang rupanya cukup mewah.
Tidak lama seseorang sudah membukanya dari dalam dan orang itu ia tebak adalah si gadis yang bernama Nayla. Elvan sempat terkejut beberapa detik saat melihat penampilan Nayla yang hanya mengenakan tank top di atas perut berwarna hitam dengan celana jins. Jangan lupakan bahwa perut gadis itu juga terlihat ramping dan mulus.“Eh, k–kamu bukannya kakak tingkat yang famous di kampus, ya? Kak ... Elvan Ganendra, kan?" Nayla membelalak mata sambil menutup mulutnya yang terbuka dengan kedua tangan.Elvan memejamkan mata, baru awal saja sudah seperti ini. Ia lalu mencoba untuk bersabar, dan kembali membuka matanya seraya menatap gadis di hadapannya itu dengan datar.“Hem.”Nayla mengernyit sebentar, sebelum matanya berbinar kembali setelah memorinya teringat sesuatu yang tadi malam telah dibahas papa dan mama tirinya. Nayla sungguh senang saat ini."Ya ampun? Jadi jodoh aku beneran Kak Elvan yang ini, yah? Astaga. Ternyata kalau dari deket jadi ganteng bangetttt! Pantesan fans kamu di kampus bejibun, Kak."Elvan mendelik tajam dengan reaksi itu. Membuatnya terpaksa menghela napas pelan, ini sungguh di luar dugaan. Harapannya jika mungkin gadis itu akan membencinya—sudah pupus saat ini juga. Perempuan itu malah kegirangan melihat kedatangannya.“Bisa kita berangkat sekarang? Di mana orang tuamu?” Elvan mengalihkan pembicaraan, berusaha menahan diri untuk tidak emosional.“Eh, memangnya kita mau ke mana, Kak? Kenapa cari orang tua aku?” jawab Nayla dengan polos. Walau sebenarnya hanya pura-pura agar lebih lama berbincang dengan Elvan.“Mau minta izin ke mereka. Kamu lupa kalau sekarang kita mau fiting baju sama cincin?” Elvan mendecak pelan dengan tangan mengepal di sisi celana.“Oh, iya, lupa. Hehe.” Nayla menyengir kuda, hingga kedua matanya menyerupai bentuk bulan sabit. Aktingnya sungguh pro.Elvan berdecak malas. “Mana mereka? Nanti aku dikira nyulik karena bawa anak orang sembarangan.”“Eh, tidak usah izin, Kak. Mereka juga tidak ada di rumah, kok. Mending kita berangkat sekarang aja, Kak." Nayla berucap semangat sekali. Ia pun bergegas menutup pintu.Nayla sudah menyukai Elvan sejak melihatnya tadi. Ah, lebih tepatnya ia memang salah satu fans Elvan saat di kampus. Jika biasanya ia hanya bisa memandang dari jauh, maka saat sekarang bisa berhadapan langsung, Nayla akan menobatkan hari ini menjadi hari yang paling bahagia seumur hidupnya.Elvan menghela napas panjang lagi, kemudian menaikkan sebelah alisnya waktu memperhatikan penampilan Nayla dari atas hingga ke bawah. “Mau pamer tubuh? Apa tidak bisa ganti pakaian dulu?"Nayla mengikuti arah pandang Elvan, lalu mengerutkan kening. “Hah? Aku pakai baju, kok. Memangnya ada yang salah?”“Kamu bodoh, ya? Mau fiting baju harus pakai tank top gitu? Apa baju di lemarimu kekurangan bahan?" dengkus Elvan tajam.Bibir Nayla mengerucut sebal. “Ihh, ini itu baju favorit aku, Kak. Terus tinggal dipakein jaket aja. Lagian nanti di sana juga bakalan disuruh lepas baju lagi. Mending sekalian pake ini.”“Jadi kamu tidak mau ganti? Oke, terserah. Aku tidak tanggung jawab kalau terjadi sesuatu,” desis Elvan. Ia kemudian membalikkan badan hendak menuju mobilnya.“Ihh, tunggu, dong,” tahan Nayla seraya memegang lengan Elvan.“Apa lagi?” Elvan menepis tangan Nayla.“Beneran bakal terjadi sesuatu, ya? Kamu tidak serius, kan, Kak?”“Kenapa juga aku bohong?” dengkus Elvan.Nayla melangkah lebih dekat, memastikan jawaban Elvan sekali lagi. “Terus, apa yang bakal terjadi kalau aku tetep pake tank top?"Elvan mendelik tajam, ia langsung mendorong dahi gadis itu agar tidak terlalu dekat dengannya. Elvan lalu menghela napas panjang, geram dan tidak mengira gadis di hadapannya ini sangat bodoh.“Banyak omong banget, sih!"“Aku cuma nanya, kok. Kalau aku tetep pake ini, memangnya bakalan terjadi apa, Kak?”Elvan mengusap wajahnya kasar. Ia sungguh tidak percaya akan mempunyai tunangan yang bodoh dan polos seperti Nayla. Ditambah lagi sangat cerewet, sungguh membuat Elvan kesal setengah mati.“Mending kamu cepetan ganti atau kita batalin fiting baju hari ini,” ancam Elvan.“Ihh, belum dijawab pertanyaanku tadi. Ada apa, sih, Kak? Baju ini paling nyaman yang aku punya tahu.” Nayla bersedekap dada."Bakal ada laki-laki yang nafsunya muncul setelah lihat penampilanmu itu. Tapi terserah, sih, aku cuma mengingatkan," desis Elvan akhirnya karena tidak mau mendengar rengekan Nayla lagi.Nayla seketika membelalak lebar. Jawaban itu di luar perkiraannya. “Yang bener, Kak? Termasuk kamu juga, dong?"“Kecuali aku!” Elvan menyahut spontan dengan kebohongan, padahal tebakan Nayla memang benar.Nayla mendelik. “Kok, kasar, sih, Kak."***Seusai dari tempat fitting baju dan cincin untuk acara pertunangan Minggu depan, Elvan membawa Nayla pulang. Awalnya gadis itu ingin jalan-jalan sebentar, namun Elvan menolak karena ia sudah sangat lelah. Lelah fisik juga batin. Sebab menghadapi Nayla teramat menyiksanya.Di dalam mobil menuju perjalanan pulang, Nayla menekuk wajahnya kesal dan mendengkus berulang kali. Elvan yang melihatnya hanya berdecak malas dan tidak berniat untuk membujuk.Bagi Elvan, di awal pertemuannya kali ini, Nayla sudah sangat merepotkan. Belum lagi cerewetnya minta ampun, sampai-sampai ia ingin sekali meninggalkan gadis itu di toko tadi. Beruntungnya Elvan masih mempunyai hati nurani.Dari awal saja, Elvan memang berniat ingin membuat gadis itu membencinya agar—siapa tahu ia bisa berbicara dengan papanya dan membatalkan perjodohan itu.Sayangnya, Elvan tidak tahu apa saja yang ada di dalam pikiran Nayla saat ini setelah respon penuh kebencian yang ia berikan pada gadis itu.Apakah masih menyukainya?Atau sudah mulai membencinya?“Kenapa nerima perjodohan ini?” Elvan akhirnya mencoba bertanya langsung.“Karena katanya kamu tampan," balas Nayla asal.Elvan mendelik, kemudian berdecak kasar. “Aku memang tampan, semua orang tahu itu, tapi harusnya kamu nolak perjodohan ini karena aku tidak akan menyukaimu."Nayla menoleh menatap Elvan dari samping, memajukan bibirnya dengan alis menaut. “Ih, kamu gay, ya, Kak? Gadis secantik ini masa kamu tolak, sih? Kamu harusnya malah bersyukur karena dijodohin sama aku, Kak."“Jangan sembarangan, ya, kamu. Aku benci sama kamu bukan berarti aku tidak suka perempuan. Aku bukan gay, sialan!” murka Elvan.Nayla tersentak kecil, reflek menolehkan kepala ke kaca mobil. Ia tidak suka dibentak. Dan respon Elvan kali ini cukup membuatnya terkejut.“Jawabnya biasa aja, dong, Kak. Aku, kan, cuma bercanda.”Elvan mendengkus. Tipikal gadis lebay dan baperan seperti Nayla selalu ia benci. “Aku tidak akan menyukaimu, apalagi sampai jatuh cinta padamu. Jadi aku peringati, kalau keputusanku nerima perjodohan ini karena terpaksa. Kamu juga jangan sampai jatuh cinta terhadapku."“Kenapa? Kenapa tidak boleh?” sahut Nayla spontan.“Karena perasaanmu bakal sakit, aku tidak mau tanggung jawab,” jawab Elvan sejujur-jujurnya. Membuat Nayla seketika terdiam, lagi dan lagi terkejut dengan respon lelaki itu.“Kamu bisa menyukai laki-laki lain, dan sebaliknya. Setelah kita tunangan nanti, kamu jangan caper ke aku kalau di kampus. Singkatnya kamu harus pura-pura tidak mengenaliku,” lanjut Elvan, tanpa memikirkan perasaan Nayla sama sekali.Elvan bahkan berusaha tidak peduli dengan perkataannya yang mungkin saja atau memang sudah menyakiti hati Nayla. Sebab Elvan hanya ingin gadis itu membencinya.Elvan juga sudah berencana untuk bersikap romantis hanya di depan kedua orang tua mereka. Jika di luar, tentu saja ia akan menganggap Nayla sebagai orang asing.Itulah rencananya, namun bukankah hidup selalu penuh rahasia?Dan Elvan berharap semua berjalan sesuai ekspektasinya.Nayla terkekeh pahit setelah terdiam lama dan hanya mendengarkan. Ia lalu menoleh, menatap wajah Elvan yang menawan itu. “Kalau sekarang aku udah terlan
"Tidak akan, itu mustahil aku alami."Nayla mengangkat bahu. “Takdir tidak ada yang tahu, loh, Kak. Bisa aja benci jadi cinta, kan? Tuhan juga maha membolak-balikkan hati. Tidak ada yang tahu kalau suatu saat kamu bakalan jatuh cinta sama aku.”Elvan mencebik, hendak berbalik untuk masuk ke mobil karena sudah malas berbasa-basi lagi. Namun tiba-tiba Nayla menahan lengannya, membuat Elvan menoleh kembali dengan alis menaut. “Apa lagi, sih? Urusan kita hari ini sudah selesai." Elvan langsung melepas tangan Nayla. Ia tidak ingin gadis itu menyentuhnya.“Jangan dulu, ih. Aku sendirian di rumah, aku juga masih mau ngomong sama kamu. Memangnya kamu tidak mau tahu tentang aku, Kak? Kamu tidak penasaran aku itu kayak gimana?” gerutu Nayla.“Tidak sama sekali. Aku sudah membencimu, jadi aku tidak akan penasaran sama kehidupanmu apalagi sifatmu. Intinya aku sudah tahu kalau kamu itu perempuan cerewet, baperan, dan merepotkan. Dan perempuan kayak gitu bukan tipe aku,” jelas Elvan terdengar keja
“Temenin aku di sini ya, Kak? Aku tidak bisa di rumah sendirian tahu." Nayla kembali memegang lengan Elvan.“Aku tidak peduli, aku ada urusan. Kamu anak orang kaya, kalau butuh sesuatu tinggal panggil asisten kamu bisa, kan. Jangan manja jadi cewek." Elvan mendecih kecil sambil melepaskan tangan Nayla.Nayla buru-buru menggeleng. “Asisten aku pulang kampung sejak tiga hari yang lalu, Kak."Elvan mendengkus kasar. “Memangnya orang tua kamu ke mana, sih?” “Mereka gila kerja, aku hampir setiap hari di rumah sendirian, Kak. Lagian sebentar lagi kamu bakalan jadi tunangan aku, harusnya kamu sering-sering perhatiin aku, dong, Kak."Elvan mengusap wajahnya kasar. “Bisa tidak, sih, jadi cewek mandiri? Aku banyak urusan, dan kamu bukan salah satu urusan aku yang penting. Tidak peduli meskipun kamu calon tunangan aku atau bukan.”“Pokoknya temenin aku, Kak Elvannn,” rengek Nayla tidak menyerah. Elvan bergidik ngeri, lalu mendecih malas. “Sialan ya, kamu. Aku jadi semakin membencimu."Meskipun
Nayla menyentuh pipinya yang terasa nyeri. Ditatapnya sang papa dengan alis menaut kesal. “P–papa? Aku tidak bolos, kok, Pa. Tadi ada insiden di jalan yang bikin kaki aku keseleo sampai harus ke klinik, tapi aku udah izin ke guru.”“Halah, bohong! Tadi papa ke kampus dan kata dosen kamu hari ini kamu tidak masuk tanpa ada keterangan! Apa kamu pikir bisa membodohi saya, hah?”“Apa? Tapi aku beneran serius, Pa. Aku udah minta temen aku buat izinin ke wali kelas kalau—““Papa benar-benar capek menghadapi sikap kamu, Nayla!"“Pa—““Kapan, sih, kamu bisa membanggakan papa? Sampai papa mati baru kamu mau serius kuliah? Tolonglah, jangan bikin papa malu lagi, Nayla,” sahut Anton tegas. Ia mengusap wajahnya kasar sebelum berjalan melewati Nayla begitu saja.Nayla mengepalkan jemari tangannya saat menyadari sesuatu. Ia menunduk, menahan segala emosi di dalam hatinya.“Kamu tidak izinin aku ke dosen hari ini, ya, Kak? Kok kamu egois banget, sih,” gumam Nayla.Gadis itu memutuskan ke dapur untuk
"Ya ampun, El. Kamu keren banget, ya. Dari dulu sampai sekarang aku selalu gagal ngalahin kamu. Makin jago, sih,” puji Emma sambil mengikat rambut panjangnya ke belakang.Elvan telah menghentikan laju motornya di garis finis yang disepakati oleh Elvan. Gadis itu baru sampai di sebelahnya selang dua menit kemudian. Elvan membuka helm, begitu juga dengan Emma yang sudah tertawa sambil menepuk sebelah pundaknya.Elvan mengalihkan pandangan, tidak tersanjung dengan pujian itu. “Mau makan di mana? Kamu jangan kabur.”Emma terkekeh geli. “Ya kali aku jadi pengecut. Aku traktir kamu di tempat biasanya, kok."Elvan mengangguk setuju. “Duluan sana, biar aku yang di belakang.”“Wih, kamu takut aku kenapa-napa, ya, El?” goda Emma.Elvan tidak membalas dan mulai memakai helmnya kembali. Kunci motornya ia putar, mesin pun menyala. Meski begitu sebenarnya ucapan Emma memang benar adanya.Emma pun mendengkus kecil, Elvan memang suka sekali mengabaikannya. Ia akhirnya tidak lagi berbicara dan langsun
Nayla tersentak kecil, sebelum menggeleng cepat dan tersenyum manis sambil buru-buru merapikan rambutnya. “Tidak ada apa-apa, kok. Yuk, berangkat sekarang, Kak."Elvan menaikkan sebelah alisnya. “Mata kamu—"“Oh, tadi tidak sengaja kena make up, hehe. Udah, ih, Kak. Jangan banyak tanya,” jawab Nayla berbohong, lalu segera mendorong tubuh Elvan agar berbalik dan berjalan ke motor.Elvan diam saja meski sedikit curiga, ia menaiki motornya lalu memakai helm. Saat melihat Nayla kesusahan memakai helm dari balik kaca spion, Elvan berdecak sebal.Ia sengaja tidak membantu dan hanya melihatnya sampai Nayla bisa sendiri. Gadis itu lalu memukul pundak Elvan karena tidak peka.“Kamu rese banget, ya, Kak. Kenapa aku tidak dibantu?” gerutu Nayla sambil naik ke jok belakang motor Elvan."Jadi cewek harus mandiri," decak Alvian yang lantas melajukan motornya.“Nyebelin banget, ish! Jadi cowok, tuh, juga harus peka, Kak!”Nayla memukul helm Elvan, tapi cowok itu tidak menghiraukan. Tetap fokus denga
"Eh, Manusia Batu! Kamu juga harus ketawa, dong! Ceritaku tadi lucu banget, kan?"Elvan duduk di kantin bersama tiga sahabatnya sambil menikmati makanannya. Suasana sangat seru ketika Emma terlihat bercanda dengan riang. Emma juga sesekali memukul lembut lengan Elvan sambil tertawa.Elvan yang mendapat perlakuan itu hanya tersenyum santai tanpa kesan marah atau kesal. "Iya, aku percaya. Habisin itu makanannya sebelum dingin."Emma terkekeh geli, lalu mengangguk-angguk. "Sumpah, deh. Pokoknya nanti kamu harus nonton filmnya, ya, El!""Iya-iya."Sementara itu, Nayla yang duduk agak jauh bersama Clara, memperhatikan mereka dengan perasaan cemburu yang tiba-tiba memuncak. Meskipun dia tahu Emma adalah sahabat Elvan, tetapi melihat keakraban mereka membuat hatinya tidak nyaman. Padahal saat dengannya sikap Elvan sangat kasar dan cuek."Kenapa Kak Elvan bisa tertawa akrab dengan Kak Emma? Padahal dia tunanganku," ucap Nayla di dalam hati.Nayla berusaha menyembunyikan rasa kesalnya, namun
Nayla tersenyum tipis. "Makasih karena karena hari ini sudah memberiku rasa sakit lagi, Kak Elvan."Nayla perlahan menjauh, ia merasa hatinya semakin berat. Ia berbalik dan memilih pulang sendirian, serta mencoba menghapus bayangan Elvan dan Emma dari pikirannya. Tetapi, semakin ia berusaha melupakan, semakin kuat bayangan mereka yang tertawa bersama muncul lagi di benaknya.Bahkan ketika ia sudah di dalam taksi pun, pikirannya masih dipenuhi dengan kekecewaan dan rasa kesal. Ia merasa seperti sengaja ditolak dan diabaikan oleh Elvan, orang yang baru saja akan ia anggap spesial. Hatinya terasa hancur, dan Nayla tidak bisa menahan emosinya yang mulai menggebu-gebu. Emosi kesal, cemburu, sakit, dan sedih, semuanya bercampur menjadi satu."Kenapa aku harus melihat mereka bersama?" batin Nayla dengan senyuman pahit."Elvan yang baru saja marah padaku hanya karena menyapanya, sekarang begitu hangat dan akrab dengan Emma. Mengapa dia memilih pulang bersama dia? Apa karena mereka sahabat y