Telapak tangan Juned mengeluarkan cahaya. Juned merasakan kekuatan yang besar mengalir dalam tubuhnya. “Permisi, Mbak. Apa kamu mau dipijat?.” Pertanyaan Juned seolah ambigu di kepala Marina. Dia kan hanya ingin berobat, kenapa harus di pijat. Dari sini Marina mulai ragu dengan pengobatan yang dilakukan Juned. “Kenapa kok pijat?” Juned kembali mendekat ke arah Marina, lalu memegang tengkuk leher Marina yang jenjang. “Sepertinya ada darah yang menggumpal di dada kamu.” Kata Juned sambil memijat lembut leher Marina. “Oleh sebab itu, harus dipijat seluruh badan untuk melancarkan peredaran darah.” Marina mengerutkan kening, bola matanya berkeliling mengamati sekitar “Apa benar-benar harus mas?” Dengan santai dan percaya diri Juned berkata, “ kalau tidak mau sembuh, enggak usah.” Marina tersenyum tanpa kegembiraan, “Saya mau sembuh, mas” telapak tangannya mulai berkeringat. Juned menyuruh Marina menanggalkan kemeja beserta celana jeans yang melekat, menggantinya dengan
Celana dalam itu lembut dan halus, dan seperti masih ada aroma dari Lilis yang tertinggal di dalamnya. Merasakan pakaian dalam di tangannya, Mau tak mau Juned membayangkan apa yang tadi dilihatnya. Hal yang membuat Juned semakin antusias dan bersemangat. Juned tak bisa melakukan dengan Lilis, namun dia hanya bisa berfantasi dengan barang milik Lilis saja. Di lepas ikat pinggangnya dan memasukkan celana dalam Lilis ke balik celananya. Tepat ketika Juned hendak memainkan kelima jarinya, tiba-tiba terdengar suara dari arah belakangnya. “Juned.. kamu sudah selesai mengobati pasiennya?” Lilis sudah berdiri di belakang Juned dalam keadaan rambut yang sudah basah. Juned sangat ketakutan hingga rohnya serasa mau keluar. Untuk beberapa saat dia menarik keluar tangannya dan membiarkan celana dalam merah tetap berada di dalam celananya. “Su.. sudah Tante.” Kata Juned dengan suara terbata-bata. “Juned, apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Lilis. “eeee, enggak ngapa-ngapain
Setelah kejadian tadi Juned merenung di dalam kamarnya. Membayangkan semua kejadian tadi. Sekian lama berkutat dalam pikirannya sendiri hingga akhirnya tertidur entah berapa lama. Tidurnya terganggu ketika mendengar suara pintu kamarnya terbuka. “Astagaa.. kenapa Tante Lilis ada di kamarku?” gumam Juned dalam hati sambil terus berpura-pura tidur. Sesekali dia mengintip dari kelopak matanya. Lilis hanya mengenakan daster bertali dengan motif bunga. Memperlihatkan pahanya yang mulus tanpa cacat sedikit pun. “Juned, sudah pagi. Kenapa masih....” Lilis berkata lirih sambil membuka selimut yang menutupi tubuh Juned. Dia berhenti berucap ketika melihat sesuatu yang ada di balik selimut itu. “Aduh.. aku lupa memakai bajuku semalam.” Gumam Juned penuh kekhawatiran. Juned memutuskan untuk tetap berpura-pura tidur sambil menahan malunya kepada Lilis. Barang milik Juned bereaksi ketika Lilis mendekatkan wajah ke arahnya. Lilis menelan ludah beberapa kali sambil memperhatika
Ternyata Vivi muncul di sana dengan penuh amarah kepada Sugeng. Dengan langkah yang cepat Vivi menengahi mereka berdua yang nyaris baku hantam. “Kenapa kamu selalu membuat onar di kampung ini? Jangan mentang-mentang anak kepala desa, terus kamu bisa berbuat seenaknya!.” Teriak Vivi dengan kencang. Sugeng hanya tersenyum tipis mendengar perkataan Vivi, “Kalau saja kamu bukan istri Anton, sudah aku habisi sekalian seperti si lembek ini!” Dada Juned semakin terbakar mendengar hinaan dari Sugeng. Kali ini dia tidak ingin diam saja harga dirinya terus diinjak-injak. “Sini kalau kamu berani, aku akan melawanmu.” Juned berusaha meraih Sugeng namun dihalangi oleh tubuh Vivi. Di tengah keributan antara Juned dan Sugeng, terdengar suara tawa yang menggema. “Ha ha ha ha. Sugeng, Sugeng.. Apa kamu enggak malu kalau melawan pria lemah macam Juned?” Sulastri muncul di antara mereka. Sugeng menahan amarahnya bersamaan dengan munculnya Sulastri, “Sulastri sayang, kenapa kamu kemari?
“Apakah ini nyata?” Tanya Juned lirih, Tangannya ingin meraih tubuh Vivi yang sudah sangat birahi karena ulah tangannya sendiri. “Juned!!!” “Keluar kamu, Dasar laki-laki perebut istri orang kamu!!” Terdengar suara Anton dari luar klinik yang membuyarkan hasrat dari kedua insan tersebut. Juned dan Vivi terkejut hingga jantungnya berasa mau copot. “Lebih baik kamu sembunyi saja, Vi!” Perintah Juned dengan nafas yang berembus kencang. Vivi gelagapan mencari tempat persembunyian yang aman di dalam klinik. Tanpa pikir panjang dia bersembunyi di dalam sebuah lemari. Sementara Juned mencoba mengatur nafas agar terlihat tenang. Berulang kali dia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. “Juned cepat keluar!!” Anton yang berada di luar semakin berteriak semakin kencang. Juned perlahan membuka pintu kemudian berhadapan dengan Anton. “Apa-apaan kamu teriak-teriak di tempatku?!” Dengan kepala yang terangkat Juned ingin menunjukkan keberaniannya. “Halah jan
Setelah mampu mengobati 2 pasien secara ajaib dalam satu hari, Nama Juned kini menjadi buah bibir di kampungnya. Para warga yang dulu tak ingin berobat ke tempat Juned, kini berbondong-bondong mencarinya untuk berobat. “Juned, tolong obati penyakitku!!” “Aku dulu, Juned!!” “Penyakitku lebih parah, biarkan aku terlebih dulu!!.” Teriakkan para warga saling menyahut di tengah terik matahari. Kerumunan para warga membuat Juned begitu kerepotan. “Tolong sabar, saudara-saudara! Semua pasti dapat giliran masing-masing.” Kedua telapak Juned diangkat ke atas untuk menenangkan massa yang saling dorong. “Syukurlah, pengobatanmu kini jadi ramai.” Kata Lilis dengan semringah mendata satu persatu calon pasien. Satu per satu Juned mengobati penyakit setiap pasien. Dengan kemampuan ajaibnya dia dengan mudah dan cepat. “Terima kasih, Juned. Aku merasa sangat bugar sekarang.” Ujar salah satu warga yang selesai berobat kepada Juned. Juned tersenyum puas dapat berguna bagi orang lain.
Cekleekk... “Maaf, aku mengganggu kalian.” Marina terkejut melihat mereka berdua yang hampir ciuman. Juned dan Lilis gelagapan dengan kedatangan Marina yang tiba-tiba. “Marina kenapa kamu ke sini malam-malam!” Juned tak kalah terkejut dengan kehadiran Marina bersama seorang wanita yang memakai kursi roda. Untuk beberapa saat Marina kebingungan menyikapi apa yang barusan ia lihat. Tubuhnya terpaku seperti sebuah patung. “Maaf, aku permisi dulu.” Kata Lilis memecah keheningan, sambil berjalan keluar klinik melewati Marina yang masih terpaku. Sementara Juned mencoba mengatur nafasnya yang sempat tersengal-sengal menormalkan birahinya. Setelah dirasa sudah stabil, Juned kembali bertanya kepada Marina, “Mar? Ada apa?.” Marina langsung tersentak mendengar pertanyaan Juned. “Ini teman saya, dia mengalami stroke di bagian kakinya sejak 6 bulan yang lalu.” Marina masih gelagapan saat berbicara. “Baiklah bawa kemari, aku akan coba memijatnya. Siapa tahu bisa kembali normal.”
Aku sembuh!! Marina, kakiku sudah tidak lumpuh lagi.” Winda kegirangan sekaligus terharu mendapati kesembuhan kakinya.Juned menghentikan pijatannya, memberikan ruang bagi Winda mengekspresikan kebahagiaannya. Dengan senyuman yang lebar, Juned turut merasakan kebahagiaan yang dirasakan Winda.Winda terduduk sambil memegang bra di dadanya agar tak lepas. Marina yang mengetahui hal itu membantu memasangkan pengaitnya.“Syukurlah, Winda. Kakimu bisa gerak lagi.” Kata Marina yang ikut bahagia, lalu memeluk sahabatnya itu dengan erat.Winda terus menggerak-gerakkan kakinya seolah tak percaya dengan apa yang terjadi. Matanya mulai berlinang air mata yang membasahi pipinya.“Terima kasih, Juned! Terima kasih banyak!” Ucap Winda di tengah rasa haru bercampur bahagia.Juned yang awalnya ikut senang, berkata dengan nada rendah, “Iya, sama-sama.”Dia memberikan setengah senyum yang seolah dipaksakan. Juned menggosok rambutnya dengan tangannya, lalu berbalik dan menjauhi mereka berdua.“Sumpah!,
Tak lama, aroma harum sayur daun kelor memenuhi rumah. Lilis membawa sepanci kecil sayur daun kelor ke meja makan. “Ayo, kita makan dulu,” ujarnya dengan nada ringan.Juned berjalan perlahan ke meja makan, duduk di kursi sambil memandangi sayur itu. Dia tampak ragu, mengingat apa yang terjadi sebelumnya saat menyentuh daun kelor. Vivi, yang duduk di sebelahnya, mencoba memberi semangat.“Juned, ini cuma sayur biasa. Mungkin tadi kamu Cuma kebetulan aja tergores. Lagipula, siapa tahu daun kelor malah bagus buat tubuh kamu,” ujar Vivi sambil tersenyum.Juned menghela napas. “Iya, mungkin kamu benar. Aku harus berpikir positif.”Dengan sedikit ragu, Juned mengambil sendok dan mulai menyendok sayur ke piringnya. Lilis, yang duduk di depannya, tersenyum puas melihat hasil masakannya.“Tuh, coba dulu, Juned. Ini resep spesialku,” kata Lilis sambil menatapnya penuh harap.Juned mengambil sesendok sayur daun kelor dan membawanya ke mulut. Namun, tepat saat dia hendak memasukkan makanan itu,
Anton tersenyum tipis, senyum yang penuh dengan makna licik. “Sabar, Sugeng. Kita enggak perlu gegabah. Kita harus cari kelemahan terbesar dari kekuatan Juned, tapi sebelum itu kita gunakan kelemahan terkecilnya dulu.”Sugeng mengangguk pelan, meskipun matanya masih menunjukkan keraguan. “Tapi kenapa sih mesti Lastri? Kita kan punya cara lain buat menjatuhkan Juned.”Anton mendesah pelan, seolah menjelaskan sesuatu yang sangat sederhana. “Karena Lastri itu salah satu kelemahannya yang terkecil. Kalau kita bisa mengganggu dia lewat Lastri, Juned bakal kehilangan fokus. Dia sibuk mengurus cewek itu, sementara kita bisa bebas melakukan apa aja. Ini cuma soal waktu sebelum kita mengetahui cara untuk melemahkan kekuatannya.”Sugeng melirik ke arah Juned sekali lagi, yang masih tak bergerak dari tempatnya. “Tapi, gimana kalau dia tahu kita yang di balik semua ini?”Anton mendekatkan wajahnya ke arah Sugeng, nada suaranya semakin rendah tapi penuh ancaman. “Kalau sampai dia tahu, itu artinya
Pak Darmo menghela napas berat, tetapi ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri di sana, menatap Lastri dengan tatapan yang sulit diartikan.Lastri, yang sejak tadi berdiri diam di belakang Juned, akhirnya memberanikan diri melangkah maju. Dengan suara pelan tetapi tegas, ia berkata, “Pak, aku nggak pernah bermaksud melawan Bapak. Aku Cuma ingin hidupku berjalan sesuai dengan yang aku inginkan. Kalau Bapak kasih aku kesempatan, aku janji akan buktikan kalau aku bisa membuat keputusan yang benar.”Pak Darmo memandang Lastri untuk waktu yang terasa sangat lama. Wajahnya menunjukkan konflik batin yang mendalam, seolah ada perang yang terjadi di dalam dirinya. Tetapi pada akhirnya, ia hanya menghela napas panjang dan melangkah masuk ke dalam rumah tanpa mengatakan apa-apa.Bu Mirah menatap Juned dan Lastri dengan ekspresi penuh rasa syukur sebelum mengikuti suaminya ke dalam. Kini hanya tinggal Juned dan Lastri yang berdiri di halaman rumah.“Kamu enggak apa-apa?” tanya Juned, suaranya
Pak Darmo mendadak terdiam ketika Juned menahan tangannya, tapi itu hanya sesaat sebelum wajahnya berubah memerah, matanya menatap Juned dengan kemarahan yang membara. Ia menarik tangannya dengan kasar dan melangkah mendekati Juned, suaranya menggema di halaman rumah yang sunyi.“Juned, apa hakmu ikut campur dalam urusan keluarga kami?!” suara Pak Darmo terdengar penuh tekanan.Juned tetap berdiri tegak, tidak mundur sedikit pun. “Saya memang enggak punya hak, Pak. Tapi apa yang Bapak lakukan tadi enggak bisa saya biarkan. Lastri hanya ingin menyampaikan pendapatnya, dan dia berhak untuk itu.”“Dia anak aku!” Pak Darmo membentak keras. “Kamu enggak tahu bagaimana sulitnya membesarkan dia! Kalau aku mau mendidiknya dengan keras, itu hak aku sebagai orang tuanya. Kamu enggak ada urusan di sini!”“Orang tua memang punya hak mendidik anaknya, Pak. Tapi itu bukan berarti Bapak bisa menyakitinya, baik secara fisik maupun batin!” balas Juned dengan suara yang mulai meninggi. “Lastri bukan ba
Juned terus mengikuti Lastri secara diam-diam, hingga Lastri sampai di depan rumahnya. Gadis itu melangkah perlahan memasuki halaman rumah. Lampu depan rumah Lastri sudah menyala, dan dari jendela ia melihat bayangan seseorang yang sedang berjalan di ruang tamu.Belum sempat ia mencapai pintu, suara berat dan lantang memanggilnya.“Lastri! Ke mana saja kamu selama ini?”Lastri mendongak dan mendapati ayahnya, Pak Darmo, berdiri di ambang pintu. Wajahnya penuh dengan kemarahan. Di belakangnya, ibunya, Bu Mirah, berdiri dengan ekspresi khawatir.Lastri menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan dirinya. Ia tahu apa yang akan terjadi, tetapi ia sudah mempersiapkan hati untuk menghadapi ayahnya.“Aku gak ke mana-mana, aku gak pergi jauh, Pak,” jawab Lastri, suaranya tenang meskipun ada sedikit getaran. “Aku hanya butuh waktu untuk berpikir.”“Berpikir? Kamu pikir rumah ini tempat kamu keluar masuk sesuka hati?” bentak
Kabar hilangnya Novi dengan cepat menyebar ke seluruh desa. Pagi itu, suasana desa menjadi riuh. Warga saling berdatangan ke rumah Rini untuk memberikan dukungan dan membantu mencari gadis yang dikenal ramah tersebut. Namun, ada satu hal yang membuat banyak orang heran: Juned dan ayahnya, Pak Slamet, kepala desa, tampak tidak ikut berpartisipasi.Di tengah hiruk-pikuk warga yang saling berdiskusi dan menyusun rencana pencarian, Rini tampak duduk di beranda rumahnya, wajahnya sembab karena tangis semalaman. Beberapa ibu-ibu mencoba menenangkannya, sementara kelompok pemuda desa mulai menyisir sekitar desa untuk mencari jejak Novi.“Kenapa Juned enggak kelihatan, ya?” tanya salah satu pemuda bernama Bagas.“Iya, padahal biasanya dia selalu cepat bertindak kalau ada masalah kayak gini,” sahut yang lain.Di sisi lain, Juned yang akhirnya memutuskan untuk ikut mencari, bergerak sendiri tanpa bergabung dengan warga. Ia menyisir area di sekitar bukit k
Juned segera menghampiri Vivi dan meraih kertas yang disodorkannya. Ia membaca tulisan di kertas itu dengan cepat. “Kalau kamu ingin pacarmu selamat, kamu harus pergi dari desa ini, Juned.” Dahinya berkerut, mencoba memahami maksud ancaman itu.“Pacar?” Juned mengulang kata itu, bingung. Ia mengalihkan pandangannya ke Vivi lalu berganti ke Lastri “Aku kan enggak punya pacar? Maksudnya siapa yang dimaksud dengan pacarku?”Vivi menggeleng sambil menatap Juned dengan cemas. “Aku juga enggak tahu, Juned. Aku tadi terbangun karena suara kaca rumah pecah. Pas aku lihat ke depan, ada batu dan kertas ini. Aku langsung lari ke sini buat kasih tahu kamu.”Lastri yang duduk di dekat mereka ikut membaca tulisan di kertas itu. “Ini pasti perbuatan Anton atau anak buahnya,” gumamnya dengan nada marah. “Sepertinya mereka mulai bermain kotor lagi.”Sebelum Juned sempat merespons, pintu klinik terbuka dengan keras. Seorang wanita paruh baya masuk dengan wa
“Lastri?” Juned pandangan Juned beralih arah ke ambang pintu di mana sosok Lastri berdiri dengan wajah terkejut namun mencoba tetap tenang.Sementara itu, Lilis langsung bergegas memakai pakaiannya kembali, menatap Lastri dengan sorot mata cemas, takut Lastri salah paham.Lastri hanya menghela napas panjang sebelum berjalan perlahan ke arah mereka. “Tak perlu cemas, Tante. Aku sudah mendengar semua ceritamu,” katanya dengan suara pelan namun tegas. “Aku mengikuti kalian dari rumah karena aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.”Juned dan Lilis saling bertukar pandang, tidak menyangka Lastri ternyata sudah tahu lebih banyak daripada yang mereka duga.“Aku dengar kalian bicara di ruang tengah tadi,” lanjut Lastri, kali ini dengan suara yang sedikit bergetar. “Awalnya aku terkejut, tapi... setelah kupikirkan, aku bisa mengerti perasaanmu sebagai seorang perempuan. Tante Lilis, baik kamu ataupun Vivi telah merasakan ketidak adilan selama ini. Se
Malam itu, sekitar tengah malam, Lilis menarik napas dalam-dalam setelah membuka pintu klinik yang sudah gelap. Juned yang mengikuti di belakangnya merasa bingung, tapi tetap menuruti langkah bibinya tanpa banyak bertanya. Ruangan klinik terasa dingin dan sunyi, hanya diterangi cahaya lampu kecil yang remang-remang.Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar, Lilis duduk di kursi dekat meja kerja Juned. “Duduklah, Juned,” katanya sambil menunjuk kursi di seberang.Juned menurut, duduk dengan tatapan serius. “Tante, kenapa kamu tiba-tiba membawaku ke sini? Ada apa?”Lilis menghela napas panjang. Wajahnya tampak ragu, tapi akhirnya ia mulai berbicara. “Malam ini, kamu akan tahu tentang semuanya. Tentang siapa aku sebenarnya. Aku tak bisa membebanimu dengan diriku.”Juned terdiam sejenak. “Aku masih belum mengerti, Tante.”Lilis menatap Juned dengan mata yang penuh emosi. “Juned, Apakah aku pernah cerita sebelumnya? Aku ini bukan sia