Share

Tuduhan Mandul dari Mertua dan Adik Ipar
Tuduhan Mandul dari Mertua dan Adik Ipar
Author: Merry Heafy

Tuduhan Mertua

'Akhirnya selesai juga,' gumam Laras dalam hatinya. Ia memandang bangga hasil karyanya merangkai bunga-bunga segar untuk dipajang di ruang tamu.

Wanita itu meraih ponselnya dari balik saku apron bermotif bunga babybreath yang masih dikenakannya. Mengambil beberapa potret bunga itu dari berbagai sudut. Ada kebanggaan dan kesenangan tersendiri di hati Laras saat melakukan kegiatan menyenangkan itu. Hanya cara itulah yang dapat membantunya mengusir rasa sepi karena belum dikaruniai buah hati meski sudah lima tahun menikah dengan suaminya.

Terdengar pintu di depan rumahnya diketuk dari luar. Laras yang mendengarnya segera menyudahi aktivitasnya memandangi rangkaian bunga di dalam vas yang terbuat dari kaca itu. Ia beranjak menuju ke pintu untuk membukakan pintu.

"Laras! Buka pintunya!" Terdengar sebuah suara yang sangat Laras kenal dari arah luar. Ia sudah dapat menebak jika suara itu adalah ibu mertuanya.

Pintu pun terbuka, dan benar saja dugaannya. Bu Intan, ibu mertuanya sudah berdiri angkuh di belakang pintu dengan wajah masam dan tak sedap dipandang.

"Eh, ibu. Masuk dulu, Bu." Laras menyunggingkan senyuman ramah seraya menyapa sang mertua.

"Lama banget sih, buka pintunya! Kamu ngapain aja! Nggak ngurus anak aja kamu sok repot gitu!" omel Bu Intan dengan memainkan bibirnya. Penampilannya sudah rapi dengan dandanan yang sangat 'wah'. Seperti hendak menghadiri acara penting. Mungkin acara dengan teman 'sok sialitanya', pikir Laras.

"Maaf ya, Bu. Laras lagi beres-beres rumah tadi. Yuk, masuk dulu, Bu," sahut Laras lembut sambil terus memasang senyuman manisnya. Ia tak mau membalas omelan ibu mertuanya dengan kata-kata ataupun tindakan yang akan membuat Bu Intan tersinggung.

"Nggak usah. Cepat kamu ganti baju, kita pergi ke rumah teman Ibu. Menantunya baru saja melahirkan," ucapnya tanpa basa-basi lagi. Wajahnya yang sudah dipoles make up tebal itu selalu menunjukkan kesan tak ramah pada menantunya. Laras tampak menghela napas berat.

"Iya bu. Tunggu sebentar. Ibu masuk dulu aja, ya. Laras baru mengganti bunga di ruang tamu," ucap Laras mengiringi langkahnya untuk mempersilakan Bu Intan duduk di sofa. Wanita itu tak urung melangkahkan kakinya masuk, meskipun matanya memancarkan rasa enggan dan malas berlama-lama di rumah menantunya.

"Tunggu, bu. Laras ganti baju dulu."

Bu Intan hanya menganggukan kepalanya dengan mimik wajah tak suka.

Laras beranjak menuju ke kamar untuk mengganti bajunya. Sebenarnya Laras sangat malas jika harus ikut dengan Bu Intan mengunjungi wanita-wanita yang baru melahirkan. Bu Intan tidak akan berhenti menyinyiri Laras yang sampai saat ini tak kunjung hamil. Padahal menantunya sudah menikah cukup lama dengan Angga Saputra, putra sulungnya.

Bukan ingin Laras pula untuk tak kunjung hamil. Wanita itu pun sangat menginginkan kehadiran buah hati dalam pernikahannya. Selama berumah tangga, awalnya Angga memang tak pernah mempermasalahkan masalah keturunan. Laras pun hanya menanggapi sebagai angin lalu setiap nyinyiran ibu mertuanya.

Akan tetapi, akhir-akhir ini nyinyiran mereka semakin menjadi. Ya, ibu mertua dan adik iparnya, Tasya. Kedua wanita itu selalu membenci Laras. Bahkan suaminya yang semula menjadi tempatnya bersandar juga mulai menunjukkan gelagat aneh. Suka membesarkan masalah sepele dan selalu terpancing dengan nyinyiran ibunya.

Sesampainya di rumah teman Bu Intan. Mereka langsung disambut ramah oleh Bu Rima, teman akrab ibu mertuanya.

"Jeng Intan, ini menantunya ya. Istrinya si Angga, 'kan. Cantik, ya," ucap teman Bu Intan memuji Laras. Wanita itu hanya menanggapi pujian itu dengan seulas senyuman tipis.

"Cantik sih, tapi buat apa kalau nggak bisa hamil!" tukas Bu Intan telak. Bu Rima langsung terdiam dan memandang Laras dengan tatapan tak enak karena pujiannya justru mendatangkan sindiran pedas yang terlontar dari mulut Bu Intan.

Tanpa banyak bicara lagi, mereka dituntun masuk ke dalam rumah yang besar dan cukup mewah itu. Maklum, suami Bu Rima merupakan seorang pengusaha sukses di kota kecil ini.

Mereka melangkah menuju ke ruang tamu. Bu Rima memerintahkan asisten rumah tangganya untuk memanggil menantunya. Wanita itu datang sambil menggendong bayi kecilnya dan duduk di antara mereka bertiga.

"Uluh, uluh, Lucunya …," ucap Bu Intan semringah. "Cewek apa cowok ini?" tanya ibu mertuanya masih dengan senyum mengembang.

"Cewek, Bu," jawab Reva. Laras sempat berkenalan terlebih dahulu dengannya tadi.

"Cantiknya," puji Ibu mertua Laras seraya menggendong bayi yang masih merah itu. Baru berusia tiga hari.

"Laras, coba kamu tanya promil apa sama Nak Reva ini. Biar cepat ngisi, Ibu juga mau cepat-cepat nimang cucu," celetuk Bu Intan seakan tak peduli perasaan menantunya. Hati Laras mencelos. Ingin rasanya dia pergi saja dari tempat itu.

Beliau sangat tahu bagaimana gigihnya Laras mencoba segala macam promil. Dari yang tradisional sampai modern. Semua cukup menguras emosinya juga menguji kesabaran Laras dan suaminya. Entah sudah berapa stik test pack yang memberinya harapan palsu. Kala tidak mendapati tamu bulanan. Nihil. Tidak ada hasil. Di sana hanya tercetak satu strip, negatif!

Laras menatap pedih bayi cantik dalam gendongan Bu Intan. Reva tampak menatap Laras prihatin. Ia hanya memberi kode lewat ekor matanya agar Laras lebih bersabar lagi untuk menghadapi tabiat mertuanya.

Laras hanya membalas dengan anggukan kepala, samar.

"Atau jangan-jangan kamu sebenarnya ikut KB, Ras. Biar nggak hamil? Kamu 'kan biduan makanya nggak mau hamil! Takut body-mu melar, berubah setelah melahirkan! Benar, 'kan!" tuduh Bu Intan.

Laras tersenyum kecut, bisa-bisanya mertuanya tanpa perasaan justru mengaitkan profesinya saat ini dengan dirinya yang tak kunjung hamil. Terlepas dari profesinya, Laras pun ingin hamil dan melahirkan. Ingin menjadi sempurna sebagai wanita.

"Nggak, Bu. Laras nggak pakai apa-apa. Ibu tahu sendiri gimana Laras sering ikut program hamil, 'kan," bela Laras, bibirnya gatal jika tidak menanggapi ucapannya. Semakin Laras diam justru semakin dihina habis-habisan diri Laras oleh mertuanya itu.

"Alaah! Tapi mana hasilnya? Jangan-jangan kamu itu MANDUL!" sentaknya, menekan intonasi pada akhir kalimatnya. Membuat bayi dalam dekapannya menangis terkejut dengan nada menyentak Bu Intan.

Reva langsung meraih bayi kecilnya kembali dalam dekapannya. Lalu berusaha menenangkan tangisnya.

"Sudah, Jeng. Lebih baik bahas yang happy-happy aja. Tuh, cucuku sampe kaget sama suaramu tadi, Jeng," ucap Bu Rima melerai ketegangan yang tengah terjadi.

"Eh, iya, Jeng. Aku minta maaf. Habis aku udah bosen banget bilang kalau aku ini mau punya cucu," geram Bu Intan sambil melirik tajam ke arah Laras.

Sudah kebal bagi Laras rasanya mendengar berbagai macam tuduhan dari Bu Intan. Ia juga seakan sudah lupa kapan terakhir kalinya menangisi setiap nyinyiran ibu mertuanya. Laras lebih memilih diam saat ini. Ia tak punya daya apa pun untuk sekedar menangisi sikap Bu Intan.

Suaminya yang berubah juga menjadi alasan kuatnya untuk selalu tegar. Laras tahu jika suaminya tengah berselingkuh sejak beberapa bulan yang lalu.

Laras merasa pernikahan ini sudah tak mungkin lagi untuk dilanjutkan. Jika harus berakhir maka Ia akan dengan senang hati menerimanya. Laras bahkan ingin membuktikan pada ibu mertuanya, adik iparnya dan seluruh dunia sekalipun kalau dirinya tidak MANDUL!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status