Siska memastikan Daisha menyelesaikan pekerjaannya di ruang cuci. Bukannya senang melihat Daisha tersiksa kelelahan, dia malah mendapati pemandangan yang membuat kedengkiannya meluap. Melihat Daisha dan Henley sedang berduaan sambil menjemur baju, apalagi tuan muda itu nampak sumringah dengan gadis saingannya, bercanda bercengkrama seperti sepasang kekasih. Begitulah yang terlihat di mata Siska.Siska marah besar sampai menghentakkan kakinya ke tanah tak terima. "Aku benci! Gadis itu tidak pantas dengan tuan Henley! Akulah yang lebih pantas!" geramnya sambil mengepalkan kedua tangannya. Dia merogoh benda kotak di saku celemeknya menggunakan ide licik untuk mengalahkan Daisha. Mengambil beberapa potret senda gurauan Henley dan Daisha. Kemarahan menyelimuti melihat gambaran keduanya lalu benda kotak itu dikembalikannya ke kantong. Siska berlari ke kamarnya mengobrak-abrik benda yang ada di meja riasnya.Seorang pelayan teman sekamarnya muncul dengan raut khawatir. Dia menghampiri Sis
"Ehem!" Ford yang baru saja datang ke pantri mendehem tatkala melihat Daisha mengaduk kopi yang akan dia hidangkan untuk James. Pria itu turut berdiri di samping Daisha, lalu tangannya meraih kue kering di rak makanan."Kenapa nona diam saja? Tidak mau menyapa saya kah?" tutur Ford yang sedikit jengkel karena merasa diabaikan.Daisha menoleh terpaksa lalu menyunggingkan senyum yang terpaksa juga."Selamat pagi tuan Ford!" "Astaga! Bukan senyuman yang begitu yang kuharapkan!" seloroh Ford yang menelan paksa kue yang tersangkut di tenggorokannya."Lalu mau yang bagaimana? Sekarang anda suka menggangguku! Persis dengan tuan James!" ucap Daisha mendumel. Sejurus Daisha mematung, ingatannya memutar adegan kemarin ketika dirinya berciuman dengan James. Alih-alih dia tersipu malu sendiri.Ford tercengang dengan kicauan gadis itu. Sekarang Daisha lebih berani dari sebelumnya. Ford akui itu keren."Eh bagaimana hubunganmu dengan tuan James? Apakah semakin membaik?" tanya Ford yang pura-pura
Sesuai perintah James, dengan terpaksa Daisha ikut dalam adu pertandingan golf antara James melawan Henley. Harusnya itu tak jadi masalah ketika keduanya menganggap biasa. Tapi James menganggap itu sebagai persaingan sengit. Kedua pewaris Connor telah mengubah pakaian mereka menjadi casual dan santai. James yang jarang mengenakan pakaian seperti itu terlihat lebih tampan dan segar. Dia mengenakan kaos polo berwarna biru dongker dan celana pendek berwarna putih. Ditambah topi putih di kepalanya. Tentu saja itu menarik perhatian Daisha membuatnya tersipu secara diam-diam. "Sebenarnya dia tak pernah mengotori mataku dengan visual nya yang tampan bak pangeran itu, tubuhnya juga terlalu sempurna menurutku," batin Daisha yang tak lepas dari memandangi James. "Ah ini tidak benar! Dia punya karakter yang buruk sehingga orang-orang menganggapnya kejam dan mereka ketakutan, aku tidak boleh menyukainya! Aku hanya mencintai Juan!" alih-alih Daisha mengelak dari pesona James. Padahal akhir-akh
"Akhhh! Sepertinya aku tidak terlalu mahir di olahraga ringan seperti ini!" James terus mengeluh. Sampai dia melempar tongkat golf nya asal dan membuat Ford takut. Dan lagi keluhannya lebih berisik daripada usahanya untuk belajar. Itu karena sebenarnya dia tidak terlalu tertarik dengan golf semenjak dulu. Makanya dia melakukannya setengah-setengah. Hanya saja dia tidak boleh menyerah sebelum bertanding dalam tantangan ini. "Tapi anda sudah dikalahkan tuan Henley loh! Dan menurutku olahraga ini bisa anda lakukan untuk menarik rekan bisnis anda nanti, kebanyakan dari orang-orang kaya ataupun pebisnis suka dengan golf!" cakap Ford. Dia berbicara sesopan dan selembut mungkin menghadapi James dengan amarahnya yang satu paket. Apa yang dia katakan ada benarnya juga. Karena banyak sekali orang kaya yang suka golf, itu bisa menjadi pilihan utama dan berkuda adalah yang kedua. Namun James malah kesal, apa yang dikatakan Ford terdengar seperti menceramahinya. Pria tampan yang keras kepala da
"Apa benar ibu dan ayah akan pergi ke Argentina?" tanya Henley sedikit terkejut. Seperti biasa Dylan dan Vanda tidak pernah memberitahunya jauh-jauh hari kalau mereka akan melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri. "Ya betul, besok hari!" jawab Vanda singkat. "Apa? Besok?! Ckckck!" protes Henley seraya berdecak kecewa. "Pasti Legina yang memberitahumu? Iya kan?" tanya Vanda. Henley menekuk bibirnya seraya menaikkan sebelah alisnya. "Jangan cemberut begitu!" Vanda mencubit gemas pipi Henley lalu menggamit bahu anak bungsunya itu. Sedang Henley masih memasang wajah cemberutnya. "Maafkan kami sayang, urusan pekerjaan di sini sudah selesai, launching produk baru sudah dilakukan, daripada kakakmu yang amatir itu mengurus bisnis dengan perusahaan di Argentina, lebih baik ayah dan ibu saja yang melakukannya," papar Vanda yang berujung meremehkan kemampuan James dan dia juga sulit percaya padanya. Henley melepaskan tangan Vanda yang berada di bahunya dan agak beringsut menjauhi Vanda.
Ketika James memilih meninggalkan makan malam bersama keluarganya karena keributan yang dibuat Henley. Pria itu berjalan sendirian menuju balkon lantai 3, dimana posisinya dekat dengan lorong menuju tempat gym dan meditasi. Tempat itu dulunya sering dipakai Juan untuk menyendiri dan bermeditasi. James menoleh ke dalam ruangan yang dikelilingi tembok transparan itu meskipun hanya sebagian. Dia tersenyum tipis dengan tatapan nyalang, di sana tersimpan bayangan Juan yang tak bisa James lupakan.Kemudian lanjut menelusuri balkon, dia duduk di salah satu kursi bersebelahan dengan meja bundar. Merogoh sebungkus rokok yang ada di saku celananya. Menarik satu batang rokok, menyimpan bungkusnya di meja, lalu meletakkan sebatang rokok itu di antara dua bibirnya.Serta merta dia menyalakan korek api membakar rokok, setelah dia sesap mengeluarkan asap yang membumbung tinggi ke udara.James mencoba menenangkan dirinya setelah mendengar keluhan Henley beserta respon yang bocah itu dapatkan dari D
Sudah beberapa jam berlalu, James terbaring di atas tempat tidurnya dengan posisi terlentang menatap langit-langit kamar nya. Menjadikan kedua lengan kekar itu sebagai bantalan kepala. James menatap gusar, pertaruhan membuatnya tidak tenang karena itu berkaitan dengan nasib Daisha. Senekat itu Henley menguji kesabaran James."Apa yang melatar belakangi keinginannya itu?" gumamnya tidak tenang."Cih! Dasar bedebah kecil!" dengus James geram seraya menggemeretakan giginya."Bocah itu sengaja ingin membuat aku cemburu? Atau jangan-jangan dia juga suka pada Daisha? Bisa-bisanya dia mencari kesempatan dalam kesempitan!" geram James tak kuasa menahan kesalnya, dia mencakar-cakar bantal guling nya. Kemudian menendangnya hingga ujung ranjang.Dia pun terduduk karena mau posisi senyaman apapun tidak menghilangkan kekesalannya."Seharusnya aku tidak menyetujuinya tadi! Akhhhh!" James mengacak rambutnya gusar. Kini penyesalan tinggalah penyesalan. Memang mulut dan hati tidak pernah sinkron ya Ja
"Nona Daisha menjadi bahan taruhan anda?" Ford beranjak dari duduknya. Responnya sangat terkejut, dia tidak habis pikir tuannya tega menjadikan Daisha sebagai bahan taruhan."Tidakkah kau mencerna kata-kataku dengan baik? Henley sendiri yang bilang padaku! Jika dia menang, Daisha akan menjadi teman kencannya, bocah itu mengatakannya setelah aku memberitahu apa yang kumau, barulah dia mengatakan keinginannya, memang dasar bocah licik!" tukas James sewot. Maka dari itu dia bertekad memenangkan pertarungan dari Henley. "Oh jadi begitu," Ford mengangguk paham. Dia sudah salah paham pada James berpikir bahwa James yang tega melakukannya."Apa sih yang kau pikirkan Ford? Tentu saja tuan James tidak akan rela nona Daisha jadi bahan taruhannya, apalagi menang atau kalah belum dapat dipastikan, setelah aku paham soal percintaan bagi pria tidaklah semudah itu untuk melepaskan wanita yang dia cinta bersama dengan orang lain," batin Ford merutuki dirinya sendiri."Yah ini sangat rumit! Aku berha