Share

Sihir Lewat Mimpi

"Kumaha Neng, lancar di jalanna?" tanya Abah yang baru saja pulang sehabis mengajar. Sebenarnya belum waktunya beliau selesai mengajar. Namun, karena mendengar cucu kesayangannya datang, akhirnya beliau menyuruh seseorang untuk menggantikannya.

"Alhamdulillah, Bah. Hanya sedikit gangguan dari makhluk wanita yang terus saja bertanya apa aku melihatnya atau tidak." Aku menghembuskan nafas dalam saat kembali mengingat sosok wanita itu.

"Abaikan saja. Dia tidak mungkin bisa mendekat karena kamu sudah berada di tempat yang aman.”

Kami pun kembali berbincang sambil menunggu makan malam yang disiapkan Mamah dan dua orang santri di dapur. Aku memilih menghampiri Mamah dan meninggalkan Abah yang tengah berbincang dengan Pak Ahmad.

Samar kudengar keduanya tengah membahas mengenai ilmu sihir yang dikirim ke keluargaku. Beberapa saat kemudian, kami makan dengan lauk seadanya, tetapi terasa begitu nikmat. Selesai makan, aku memilih untuk mencari angin sebentar karena merasa gerah. Wajar saja, mengingat daerah itu memang dekat dengan pantai.

Semilir angin malam membalut tubuhku yang hanya menggunakan gamis berbahan tipis tetapi tidak menerawang. Beberapa santri terlihat berlalu lalang meski waktu sudah mendekati tengah malam.

Di lantai dua, tatapanku tak sengaja bertemu dengan tatapan seorang pemuda yang kebetulan baru keluar dari dalam kelas. 

"Neng, masuk. Sudah malam, pamali!" tegur Mamah dari ambang pintu.

"Ya, Mah." Aku pun dengan patuh memasuki rumah panggung sederhana itu.

"Mamah sudah minta Abah menghubungi sepupu kamu, Ranti supaya kamu ada temannya di sini," serunya seraya menunjukkan kamar yang akan aku tempati selama di sini.

"Hatur nuhun, Mah," balasku seraya memeluknya sebelum beranjak ke kamar.

(Terimakasih)

Kurebahkan tubuh lelah ini di atas tempat pembaringan yang tidak terlalu besar, tetapi cukup nyaman. Karena rasa lelah setelah perjalanan panjang, akhirnya aku pun terlelap dalam buaian mimpi.

Mimpi yang membawaku ke sebuah hutan berkabut. Suara burung pemakan bangkai saling bersahutan dan memekakan telinga. Astagfirullah, di mana aku sekarang. Kususuri jalan di depan yang tertutupi kabut. Namun, berapa lama pun aku berjalan tetap saja kembali ke tempat semula aku berdiri tadi.

Bibirku terus melafalkan istigfar saat sekelebat bayangan hitam terus berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya di depan. Seekor anjing hitam dengan lidah menjulur menatap tajam ke arahku. Refleks aku mundur beberapa langkah hingga membentur pohoh pinus besar di belakang.

Anjing itu mulai menggonggong dan mengejarku. Aku berlari sekuat tenaga sambil melafalkan ayat kursi dan ayat lainnya yang kuhafal. Anjing itu semakin mendekat, tetapi langkahku makin berat.

Akhirnya aku terjungkal ke tanah karena tersandung akar pohon yang mencuat ke permukaan. Kulihat anjing hitam tadi semakin mendekat, dan tiba-tiba berubah wujud menjadi sosok kakek tua berbaju hitam. Kakek itu tiba-tiba saja menyentuh pergelangan kakiku dan menghilang ditelan kabut putih yang entah sejak kapan mendekat kemari.

"Sri, Neng, bangun Geulis." Suara Mamah membangunkanku.

Kuatur napas yang sedikit memburu dan beberapa kali mengucap istigfar. Jam menunjukkan pukul empat dini hari dan itu artinya sebentar lagi waktunya salat subuh berjamaah.

"Ayo bersiap, kita ke masjid untuk shalat berjamaah," ajak Mamah.

Beberapa menit kemudian, kami jalan beriringan. Suara lantunan muratal terdengar begitu menyejukkan hati dari pengeras suara masjid di depan.

Satu per satu santri dan jamaah sekitar masjid mulai berdatangan untuk melaksanakan salat berjamaah.

Suara kumandang azan subuh menggetarkan hatiku yang sedikit kalut setelah mengalami mimpi buruk semalam.

Siapa gerangan pemilik suara merdu itu? Aku sendiri tak bisa melihatnya karena tempat itu disekat dengan hijab yang lumayan tinggi. Selesai salat, aku berdoa kepada sang pemilik jiwa agar senantiasa berada dalam lindungannya. Tak lupa, aku pun meminta supaya kedua orang tuaku senantiasa terhindar dari segala marabahaya yang mengintai mereka.

Aku tahu, mereka tengah berada dalam incaran orang-orang munafik itu. Namun, tak ada satu makhluk pun yang memiliki kekuasaan tanpa seizin Allah.

"Astagfirullah." Saat hendak bangun dari duduk, kakiku tiba-tiba saja sukar digerakkan dan terasa begitu sakit.

"Kenapa, Neng?" tanya Mamah yang baru selesai melaksanakan salat sunahnya.

"Kaki Sri sakit, Mah." Aku meringis seraya memegangi pergelangan kaki kiriku yang seperti dipatahkan.

"Kelamaan duduk mungkin, Teh," sela seorang santri yang duduk di sampingku.

"Biasanya juga gak begini," sahutku.

Entah siapa yang memanggil Abah, sebab kakekku itu sudah berada di belakang. "Umapi uih, mapah bakal kiat teu, Neng?" tanyanya.

(Kalau pulang, jalan kaki bakal kuat gak,)

"InsyaAllah Bah." Aku pun berdiri dengan dibantu oleh Silfi dan juga Ayu.

***

"Semalam, kamu lupa berwudhu sebelum tidur, Neng?" tanya Abah yang duduk di samping tempat tidur.

Astagfirulah, aku memang lupa berwudhu dan membaca doa kemarin malam. Karena lelah aku melupakan semuanya, maafkan aku ya Allah.

"Iya, Bah. Semalam, karena lelah Sri langsung tidur," jawabku jujur.

"Ada mimpi aneh?" tanya Mamah yang masuk membawa segelas air putih.

"Iya." Aku pun mulai menceritakan mimpiku semalam. Abah tampak mangut-mangut, sedang Mamah tampak sangat khawatir setelah mendengar penuturanku barusan.

Abah mulai membacakan ayat ruqyah pada air yang dibawa Mamah tadi. Setelahnya, air itu diberikan padaku untuk diminum dan diusapkan ke pergelangan kaki yang sakit. Meski masih terasa sakit, tetapi setidaknya tidak separah tadi.

"Lain kali, jangan sampai lupa berwudhu dan baca ayat kursi sebelum tidur! Supaya terhindar dari orang-orang syirik dan dengki!" nasihat Abah.

"Iya, Bah." Setelah itu aku pun memilih beristirahat karena masih sakit.

Sore menjelang, kakiku sudah bisa digerakkan dan aku tengah membantu Mamah menjemur kerupuk di halaman depan rumah.

"Assalamualaikum," sapa sebuah suara dari belakang. Aku lantas menoleh dan membalas salam itu.

"Ustaz Ilham-nya ada, Teh?" tanya pria yang kemarin malam sempat beradu pandang denganku.

"Ada Kang, di dalam. Silahkan," sahutku mempersilakannya masuk.

Aku berjalan ke arah dapur membantu Mamah memasak untuk makan malam nanti. Suara seseorang mengucap salam membuat kami berdua saling bertukar pandang. "Biar Sri yang lihat, Mah." Aku pun berjalan ke arah pintu depan.

Mataku berbinar seketika saat melihat siapa yang mengucap salam tadi. "Ranti," seruku seraya memeluknya erat.

"Kumana damang, Teh?" sapanya balik memelukku erat.

(Apa kabar)

"Alhamdulilah sehat, ayo." Aku segera menariknya ke dalam menemui Mamah.

Kami bertiga sedikit berbincang seraya melanjutkan acara masak yang sempat tertunda tadi. Dari sana aku tahu kalau Ranti ternyata pindah pondok ke kampung sebelah. "Aku kira kamu masih mondok di sini?" tanyaku.

"Enggak ,Teh. Soalnya kata Ibu biar dekat rumah. Makanya pindah," jawab Ranti.

"Yah, gak bisa nemenin dong selama aku di sini," ujarku sedih. Meski kami tinggal berjauhan, tetapi Ranti adalah sepupuku yang paling dekat denganku. Dia adalah anak dari bibi pihak ayahku.

"Paling bisa cuma seminggu. Gak pa-pa, kan?" tanya Ranti.

"Iya," sahutku antusias. Yang terpenting kami bisa bersama meski hanya sementara.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fitri Yani
seram kali ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status