Share

Bertemu Orang Tua Bella

"Mama mau kemana?" tanya Leo.

"Mama mau menemui orang tua mama."

"Aku mau ikut," rengeknya.

"Tapi Leo kan harus sekolah." Seorang wanita berpakaian baby sitter tiba-tiba muncul, tampaknya ia adalah pengasuh Leo yang diceritakan Mbok Minten baru masuk hari ini setelah kemarin izin tak masuk kerja karena keluarganya sakit.

"Memangnya Leo udah sekolah?"

"Iya, Non Bella, Leo kan sudah PAUD. Kok Non Bella bisa lupa? Ngomong-ngomong, selamat datang kembali di rumah ini," sapanya lembut.

"Saya hilang ingatan, ngomong-ngomong nama kamu siapa?"

"Saya Tiar, Non."

"Leo, Sayang. Hari ini Leo sekolah, ya, gak usah ikut sama mama." Aku membujuknya.

"Emm...oke, deh."

Dia anak yang sangat pintar dan menggemaskan, andai saja aku tak berada dalam situasi ini, aku ingin menjadi ibunya. Namun, aku harus secepatnya meninggalkan rumah ini, sebelum mereka menyadari bahwa aku bukanlah Bella, lalu menuduhku sebagai penipu. Setelah itu Tiar membawa Leo ke kamar, sementara aku bergegas menuju meja makan.

"Kamu mau kemana, pagi-pagi begini sudah rapi?" tanya Mama Clara, sementara Opa William dan Oma Sandra tampak tengah menikmati sarapan pagi mereka.

"Mau ke rumah kedua orang tuaku, boleh, kan?"

"Tentu saja boleh." Opa William menyahut. "Karena mobil kesayangan kamu hilang, maka kamu boleh menggunakan mobil mana saja yang kamu suka di garasi, kuncinya tanyakan sama Jono."

Aku termenung mendengar ucapan Opa William, rupanya Bella bisa menyetir dan memiliki mobil sendiri, enak juga jadi dia. Sementara aku, jangankan membawa mobil, membawa motor pun aku tidak bisa.

"Bella pergi bersama aku, kok, Opa." Tiba-tiba Gio datang lalu menyahut.

Untunglah dia datang tepat waktu, sehingga aku tak perlu mengatakan bahwa aku tidak bisa menyetir.

"Tapi bukankah hari ini kamu ada meeting penting sama klien ya?" tanya Villia tiba-tiba.

"Sudah aku cancel, hari ini aku ingin mengantar Bella kemana pun dia mau."

"Bagus, Gio, opa bangga sama kamu."

Tiba-tiba wajah Villia, Mama Clara dan Oma Sandra tampak masam, sepertinya mereka bertiga tidak suka jika Gio memberikan perhatian terhadapku.

"Bella, kamu tidak boleh menginap di sana, kamu harus segera kembali ke rumah ini nanti sore."

"Kenapa sih, Mas? Biarkan saja dia di rumah kedua orangtuanya," ucap Oma Sandra tiba-tiba.

"Kalau Bella menginap di sana, berarti Gio juga harus menginap di sana."

Aku dan Gio hanya mengangguk, lalu setelah itu segera sarapan. Aku menghela napas saat melihat roti tawar yang diatasnya ditaruh ikan salmon mentah dan caviar. Makanan yang menurut banyak orang sangat mewah itu tidak cocok dengan perutku, membayangkannya saja aku sudah mual. Apalagi di sebelahnya terdapat jus berwarna hijau, sepertinya itu jus sayuran. Kalau dipikir-pikir, mengapa menu sarapan orang kaya benar-benar tidak menggugah selera.

"Apakah aku boleh meminta menu sarapan yang lain?" tanyaku.

"Non Bella mau saya buatkan sarapan apa?" tanya Carlota dengan nada yang lembut tapi tetap saja tatapannya begitu sinis padaku.

"Aku mau roti dan susu saja, tapi Mbok Minten yang siapkan."

"Baik, Non, akan simbok siapkan," ujar Mbok Minten lalu bergegas menuju dapur.

"Padahal dulu kamu sangat menyukai salmon dengan taburan caviar," ujar Gio tiba-tiba.

Aku hanya tersenyum dan tak menanggapi ucapannya, jika salmon yang dimasak mungkin aku bisa makan, tapi jika mentah, aku tak bisa memakannya. Beberapa saat kemudian, aku memakan makanan yang dihidangkan Mbok Minten, padahal sebenarnya aku ingin sekali memakan nasi uduk atau batagor, tapi aku harus menahan perasaan itu, karena sekarang aku harus berpura-pura menjadi menantu konglomerat.

Beberapa saat kemudian, aku telah selesai sarapan, lalu Gio segera mengajakku menuju mobilnya. Mataku seketika membelalak saat melihat mobil Lamborghini berwarna hijau. Untuk pertama kalinya aku menaiki mobil mewah itu.

"Ayo masuk!" ujar Gio sambil membukakan pintu mobil untukku.

Aku mengangguk, lalu hendak masuk. Namun, sebelum itu aku sempat melirik seorang lelaki yang sejak tadi berdiri dan menatap tajam ke arahku.

Tidak lama kemudian Gio masuk mobil dan bersiap untuk menyalakan mobilnya.

"Dia siapa?" tanyaku sambil menunjuk lelaki itu setelah kami sama-sama berada di dalam mobil.

"Dia Herdi, sopir pribadi Villia."

"Kenapa Villia memiliki sopir pribadi, sedangkan aku tidak?"

"Karena kamu pernah menolaknya saat Opa menawarkan sopir pribadi untukmu, lagi pula kamu bisa menyetir sementara Villia tidak."

"Oooh," jawabku, lalu setelah itu Gio segera melajukan mobilnya.

"Sebenarnya aku merasa penasaran dengan apa yang terjadi padamu hingga kamu hilang ingatan."

"Entahlah, aku juga tak tahu."

"Sebenarnya selama ini kamu berada di mana?"

"Ada seseorang yang menampungku di rumahnya."

"Di mana? Aku harus bertemu dengannya untuk mengucapkan terima kasih."

"Di Arab Saudi."

"Hah?" Tiba-tiba ia menoleh ke arahku lalu mengernyitkan dahi.

"Maksudku, orang yang menolongku adalah orang Arab yang sedang berlibur di negara ini, tapi sekarang mereka sudah kembali ke negara asalnya."

"Ooh."

Aku menghela napas setelah mengarang cerita bohong tersebut, padahal selama ini aku jarang sekali berbohong.

Beberapa saat kemudian, kami tiba di sebuah rumah. Saat aku dan Gio keluar dari mobil, tampak sepasang paruh baya yang langsung menghambur ke arahku.

"Bella, Sayang, kamu masih hidup, Nak?" Wanita paruh baya itu langsung memelukku dengan erat, sementara lelaki yang tampaknya adalah suaminya itu menatapku dengan tatapan berkaca-kaca.

"Bella, kamu kemana saja, Sayang?" Kini gantian lelaki paruh baya tersebut yang memelukku dengan erat.

Entah mengapa, aku merasa sangat nyaman saat sepasang paruh baya ini bergantian memelukku, rasanya ada sesuatu yang membuatku terhipnotis sehingga aku hanya pasrah dengan apa yang mereka lakukan. Aku memegangi dadaku, entah mengapa perasaanku terasa sangat hangat. Mungkin karena sejak kecil aku belum pernah dipeluk oleh ayah dan ibuku. Mereka tak pernah menunjukkan perasaan hangat atau menunjukkan bahwa mereka menyayangiku.

"Gio, mengapa kamu tak mengatakan semua ini, sejak kapan Bella kembali?" tanya lelaki berkacamata itu.

"Maafkan Gio, Ayah, Bunda, baru kemarin kami menemukan Bella, tapi sayangnya dia hilang ingatan."

"Apa?" Mereka berdua tampak terkejut saat mendengar ucapan Gio.

"Iya, Bella tak ingat dengan dirinya dan siapapun."

"Bella Sayang, tapi kamu ingat, kan sama ayah dan bunda?"

Aku hanya menggeleng.

"Apa yang terjadi padamu, Nak, hingga kamu harus seperti ini?" Mereka tampak menatapku dengan tatapan berkaca-kaca, entah bagaimana caranya aku merasa bersalah saat melihat gurat kekhawatiran di wajah mereka.

"Gio minta maaf karena pernah lalai dalam menjaga Bella, tapi mulai saat ini Gio janji akan menjaga Bella dengan nyawa Gio."

Bisa-bisanya dia berkata seperti itu, padahal jika dia adalah suami yang baik, dia tidak mungkin berselingkuh hingga menikahi selingkuhannya itu.

"Baiklah, Gio, Bella, ayo masuk!"

Aku dan Gio mengangguk, lalu segera memasuki rumah yang lumayan besar tapi tak sebesar rumah Gio. Setibanya di dalam rumah tersebut, aku melihat beberapa foto anak kecil yang terpajang di dinding. Foto anak itu sama persis dengan fotoku saat aku masih kecil. Sepertinya itu foto Bella, tapi bagaimana caranya foto kami begitu sangat mirip, bahkan foto saat kami kecil pun bagaikan pinang dibelah dua.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status