"Crystal Winter, finally, I found you."
Seorang pria dengan tatapan setajam elang tersenyum seraya mengangkat gelasnya yang berisi alkohol, mendekatkan ke bibirnya lalu mencicipi rasanya. Pengar, tetapi kali ini tidak terlalu.
***
"Jadi, kau benar-benar akan meninggalkan aku?" Crystal terisak, gadis itu bersimpuh di depan koper yang menganga.
Pria di depan Crystal adalah pemain piano pada awalnya, tetapi seiring berjalannya waktu ia lebih memilih menjadi seorang konduktor karena menurutnya menjadi pianis saja tidak cukup.
Memimpin sebuah orkestra adalah mimpi tertinggi Tian.
Rencana Tian telah diketahui oleh Crystal sejak satu bulan yang lalu. Tetapi, saat pria itu mengemas barang-barangnya, rasanya Crystal tidak bisa untuk tidak menitikkan air matanya karena ia harus menjalani hidupnya sendiri, untuk pertama kali
Tian beringsut mendekati Crystal, ia mengelus rambut di kepala gadis itu, lembut, penuh kasih sayang. "Hanya satu tahun, sayangku."
"Satu tahun itu tiga ratus enam puluh lima hari, Tian." Crystal menatap Tian jengkel.
"Aku tahu."
"Bisakah aku ikut bersamamu ke Paris?" Tatapan mata Crystal penuh harap.
"Sayangku, di sana aku tinggal di asrama." Tian mengucapkan lambat-lambat kalimatnya agar Crystal mengerti.
Berpisah dari Tian, pria yang ia anggap sebagai satu-satunya keluarga selama tiga tahun ia terbuang dari rumahnya sendiri bukan perkara mudah karena hanya Tian yang tahu cara menenangkannya, pria itu dengan sabar menemaninya melalaui hari-hari yang sulit.
Ia tidak tahu bagaimana caranya mengawali hidupnya tanpa Tian di sisinya. "Kita bisa menyewa apartemen di sana."
Tian menelan ludah. "Aku tidak bekerja selama satu tahun, Sayang." Ia merengkuh tubuh Crystal, membawa ke dalam pelukannya.
Tian mendapatkan beasiswa melanjutkan pendidikannya untuk mengambil titel master. Perusahaan rekaman yang menaunginya membiayai semua keperluannya dari tempat tinggal, biaya makan, dan uang saku.
"Aku bisa membiayai hidupku sendiri," ucap Crystal parau oleh ketakutan, ia tidak ingin berpisah dari Tian, ia tidak siap menjalani hidupnya yang sepi.
Ia sekarang tidak perlu merisaukan masalah uang karena hasil menjadi pemain biola di YouTube dengan identitas anonim cukup bagus, penonton Chanel YouTube Crystal cukup banyak. Ia tidak kesulitan mendapatkan uang untuk menopang hidupnya setiap bulan selama satu tahun belakangan ini.
"Sayang, aku mengerti. Tapi, aku diwajibkan untuk tinggal di asrama. Lagi pula, ini hanya satu tahun. Lebih baik kau simpan uangmu, kau bisa datang ke Paris sebulan sekali, kita masih bisa bertemu, asrama membolehkan tamu menginap saat akhir pekan."
"Aku tidak bisa hidup tanpamu, Tian."
Sesak mengimpit dada Tian, dua tahun yang lalu ia membuka pintu apartemennya dan mendapati Crystal menangis di depan pintu sambil memegangi kopernya, rasanya sangat menyakitkan sekaligus menyenangkan.
Ia memang menyukai Crystal sejak pertama kali mereka bertemu di fakultas, saat itu ia hanya seorang asisten dosen. Seiring waktu ia mendekati Crystal dengan caranya hingga mereka akhirnya bisa cukup akrab. Crystal, gadis itu meski kaya raya tetapi ia tidak pernah bersikap angkuh. Ia berbicara dengan sopan, selalu tersenyum, dan topik pembicaraan yang paling ia gemari adalah musik klasik. Mereka berdua bisa menghabiskan berjam-jam hanya untuk membicarakan tentang musik klasik, biola dan piano.
Ketika Crystal datang kepadanya dalam keadaan terpuruk, Tian tidak tahu harus sedih atau justru bahagia. Ia dengan senang hati menerima Crystal, merawatnya, dan pastinya menjadikan kekasihnya. Ia berencana akan menikahi Crystal nanti, saat ia telah menjadi seorang komposer musik yang sukses. Saat ia telah memiliki sebuah orkestra sendiri, rencananya begitu.
"Ini semua demi masa depan kita. Kita akan menikah nanti."
"Pada akhirnya aku harus mengalah, menunggumu." Crystal menjauhkan dirinya dari dekapan Tian, ia menutupi wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya. "Kau pasti bosan melihatku menangis sepanjang waktu, hingga ingin menjauhiku."
"Aku ingin melihatmu tersenyum, seperti dulu saat pertama kali kita bertemu."
Crystal menggeleng lemah, ia telah lupa caranya tersenyum. Bagaimana ia bisa tersenyum sementara ia terbuang dari rumahnya sendiri, tinggal di apartemen kecil milik Tian sementara Jack, bajingan itu hidup mewah menggunakan harta kekayaan orang tuanya. Berfoya-foya seolah ia adalah seorang raja yang memiliki banyak selir, pria itu pergi berkeliling dunia dengan gadis-gadis cantik menggunakan jet pribadi. Sedangkan dirinya sama sekali tidak tahu bagaimana cara mengambil kembali apa yang menjadi haknya.
Lembut, Tian menyingkirkan telapak tangan Crystal. Ia menangkup kedua pipi gadis itu, menatap mata biru safir yang sembab oleh air mata. "Suatu saat kau akan tersenyum kembali, di atas panggung. Kau akan menjadi pemain biola yang tidak tertandingi."
"Dan kau akan menjadi seorang komposer," sahut Crystal.
Itu adalah mimpi-mimpi yang mereka rangkai sambil berpelukan setiap malam sebelum mereka terlelap.
"Bersabarlah, aku sendiri yang akan mengantarkanmu menuju panggung itu," ucap Tian.
Crystal mengangguk. Hanya panggung yang bisa mengembalikan hidupnya, orang yang mencemoohnya akan merangkak di kakinya kembali untuk menjilatnya.
"Mulai sekarang, aku tidak ingin melihat air matamu lagi, kau harus belajar mengurus dirimu, saat kau ingin menangis, mainkan biolamu, ia akan membawamu menuju masa depan di mana tidak akan ada lagi tangis di sana." Tian menyingkirkan sejumput rambut di kening Crystal kemudian mendaratkan sebuah kecupan di kening Crystal. Lembut, penuh kasih sayang yang sangat dalam.
Pria itu merengkuh Crystal ke dalam pelukannya, memeluknya erat-erat merasakan batinnya yang berkecamuk hebat.
Benar. Itu adalah air mata terakhir yang Tian lihat.
Crystal tidak tahu, siapa yang harus ia percaya di dunia ini. Tian adalah satu-satunya orang yang ia percaya, satu-satunya orang yang menjadi tempatnya bersandar. Tetapi, semua berakhir.
Hari di mana seharusnya menjadi hari yang menyenangkan karena kedua kalinya ia sengaja datang ke Paris untuk bertemu Tian, kebetulan juga pria itu berulang tahun yang ke dua puluh tujuh tahun. Sebagai kekasihnya tentu saja Crystal ingin memberikan yang terbaik untuk pria itu. Ia membelikan sebuah jam tangan yang bagi Crystal saat ini, cukup mahal dengan keadaannya. Tetapi, jika Crystal yang dulu jam tangan itu sama sekali tidak ada artinya.
Saat ia membuka pintu kamar Tian, dengan matanya sendiri, Crystal menyaksikan Tian sedang mencumbui seorang gadis yang berada di bawahnya. Tubuh keduanya tidak mengenakan pakaian, hanya selimut menutup rendah di pinggang Tian.
Bumi seolah menimpa kepalanya, tidak ada yang tersisa lagi selain kehancuran. Jika bisa memilih, Crystal lebih baik memilih raganya hancur bersama perasaannya, hancur menjadi debu lalu musnah tersapu angin. Ia tidak ingin melihat dunia ini lagi.
Tidak ingin.
Ia lebih baik mati dibandingkan berpijak di atas bumi yang untuk kedua kali membuatnya tersungkur dan kali ini ia tidak yakin jika ia mampu bangkit. Lututnya goyah, nyaris tidak mampu menopang berat tubuhnya, jantungnya terasa membengkak hingga rongga dadanya terasa sangat sakit, paru-parunya bahkan terasa tersumbat hingga untuk bernapas pun ia nyaris tidak mampu.
"Tian...," desahnya parau. Matanya nanar menatap kedua insan yang masih bercumbu mesra.
Tas dan kotak kado yang berisi jam tangan di tangan Crystal meluncur hingga menimbulkan suara benda terjatuh di atas ubin membuat Tian menghentikan cumbuannya kepada gadis di bawahnya lalu menoleh ke arah sumber suara. Tatapan mereka bersobok, saling diam beberapa detik sebelum akhirnya Crystal memilih berbalik.
"Crys...." Tian bersuara. "Aku bisa jelaskan."
Sedikit pun Crystal tidak ingin mendengar, ia memilih tidak menoleh. Gadis itu menarik gagang pintu sambil berlalu hingga pintu tertutup dengan suara keras.
Tidak ada yang perlu dijelaskan, apa pun itu.
Yang terlihat sudah jelas terlihat, ia melihat pengkhianatan Tian di depan matanya.
Apa yang akan dijelaskan? Pembelaan?Brengsek!
Crystal berlari keluar dari asrama, yang ada di otaknya hanya ingin berlari. Ia tidak peduli orang lain menganggapnya gadis frustrasi, patah hati, menyedihkan, atau apa.
Terserah.
Gadis itu terus berlari sambil sesekali menyeka air matanya yang membanjiri kedua pipinya yang mulus hingga ia tiba di tepi sungai Seine. Tekadnya telah bulat, ia ingin mengakhiri semua kesakitan dalam hidupnya.
Selamat tinggal, Dunia.
Bersambung....
Jangan lupa tinggalkan jejak komentar dan rate.
Salam manis dari Cherry yang manis.
🍒Chapter 1Crystal WinterKetika titik kehidupanmu berada di atas, semua orang menyanjungmu, memujimu, dan berusaha menjilatmu. Tetapi, ketika kau jatuh pada titik terendah, lihat saja, mereka tidak akan sudi melirikmu. Mereka bahkan menertawakanmu.Dalam hidup seorang Crystal Winter, kesalahan pertamanya adalah mencintai biola melebihi hidupnya. Gadis cantik keturunan satu-satunya keluarga Winter itu menghabiskan lebih dari separuh hidupnya untuk bermain biola dan bergelimang kemewahan, ia adalah Violinist sekaligus salah satu sosialita di negaranya.Seorang Vionilist berlatar belakang putri pengusaha kaya raya, pemilik kebun anggur dan pabrik wine ternama di Eropa. Bukan hanya itu, mereka juga memiliki sejumlah peternakan sapi berikut pabrik keju. Kekayaan keluarga Winter mungkin tidak akan pernah habis dalam waktu seratus tahun.Namun, semuanya berubah saat ayah dan ibunya terlibat dal
Chapter 2Angel or Devil?Dunia bukanlah surga, maka kesenangan tidak akan pernah lama. Tetapi, dunia juga bukan neraka. Penderitaan tidak akan selamanya.Jika boleh Crystal memilih, ia tentu memilih mati dibandingkan hidup lebih lama lagi. Rasanya telah terlalu banyak penderitaan yang ia alami dua tahun ini. Ia telah hancur oleh pengkhianatan Jack dan sekarang ia harus kembali menghadapi pengkhiadan natan Tian, kekasihnya sendiri, orang yang paling ia percaya.Semua berakhir jika ia meninggalkan dunia ini. Seharusnya begitu.Namun, Tuhan rupanya masih menginginkan kehidupannya. Entah apa lagi rencana Tuhan, yang jelas ia telah enggan berurusan dengan kehidupan.Ketika kesadaran merayapi otak Crystal, ia merasakan aroma samar-samar desinfektan rumah sakit yang merasuk indra penciumannya berpadu dengan aroma kolonye mahal pria. Hal itu justru membuatnya frustr
Chapter 3Remember My NameYang berbahaya adalah kata-kata pujian namun dibaliknya terdapat motif untuk menghancurkan. Karena sebagian manusia menghancurkan manusia lain melalui pujian palsu.Crystal menggertakkan giginya diam-diam. Sikap sombong pria itu membuatnya jengkel. Ia menurunkan kakinya ke lantai, perlahan ia bergerak mendekati pria yang sedang menatapnya dengan tatapan lapar."Lepaskan pakaianmu," perintah pria itu dengan nada dingin.Crystal menghentikan langkahnya. Ia melirik ke arah pintu. Gamang."Tidak akan ada orang masuk ke ruangan ini kecuali aku mengizinkan."Kelegaan membanjiri pikiran Crystal, ia tidak perlu mengkhawatirkan orang yang mungkin mengganggu aktivitas mereka. Ia menghirup udara semampunya agar ia tidak mengalami sesak napas menghadapi pria arogan yang jelas akan melecehkannya. Tetapi, mengingat balas dendamnya kepa
Chapter 4Want More?Cinta dikenal di setiap sudut kota, di setiap jalanan, di setiap rumah, dan di setiap ranjang yang ditiduri oleh sepasang kekasih. Tapi, cinta kadang menjadi hal yang paling menakutkan karena banyak orang menjadi hancur karena cinta."Nona, Tuan Muda memintamu untuk bersiap-siap," kata seorang maid yang baru saja masuk ke dalam kamar Crystal. Ia adalah kepala maid di rumah itu dan ia tidak datang sendiri, ia bersama seorang pelayan lain yang tampak lebih muda.Chiaki, sejak ia kembali dari rumah sakit pria itu tidak menampakkan batang hidungnya lagi di tempat tinggal mereka. Tepatnya sudah satu Minggu."Baiklah." Crystal yang sedang membaca tabloid meletakkan benda di tangannya ke atas meja."Perkenalkan, dia, Donna. Donna akan mengurus semua keperluanmu."Crystal mengangguk."Mulai saat ini aku yang akan mengurus semua kebutuhanmu,
Chapter 5Back on StageAda kalanya kita harus mengalah meski kita tidak melakukan kesalahan. Bukan berarti kita kalah, tetapi lebih kepada bijak menyikapi sesuatu yang tidak bisa kita paksakan.Crystal dan Chiaki memasuki sebuah toko yang ternyata menjual biola. Semula Crystal mengira itu hanya sebuah toko yang menjual biola tetapi ternyata tebakannya salah saat Chiaki merengkuh pinggangnya dan membawanya melangkah menuju ke bagian belakang tempat itu. Ternyata mereka membuat sendiri biola-biola itu."Kau boleh memiliki semua jika kau mau," ujar Chiaki.Crystal menatap mata Chiaki seakan tidak percaya mendengar ucapan Chiaki. "Satu saja cukup.""Kalau begitu beberapa.""Cukup satu," ucap Crystal keras kepala, lagi pula tangannya hanya dua, ia hanya bisa memainkan satu buah biola. Jadi, untuk apa ia memiliki terlalu banyak?Meskipun di
Another ManSegalanya berubah dalam sekejap mata, seperti angin sepoi-sepoi yang tiba-tiba berubah menjadi badai topan yang menghancurkan segalanya. Maka, jangan mudah terperdaya dengan apa yang tampak di depan matamu."Kau berjalan sangat lambat," gerutu Chiaki, mereka memasuki sebuah hotel berbintang lima.Crystal mendengus, ia telah berjalan dengan langkah lebar untuk menyeimbangkan langkahnya dengan Chiaki, tetapi faktanya ia tetap tertinggal di belakang pria itu.Chiaki menekan tombol lift. "Dasar, Siput." Ia itu mengejek Crystal dengan memanggilnya Siput saat Crystal telah berdiri di sampingnya.Crystal membeliak, menatap Chiaki dengan sorot mata jengkel.Sama sekali tidak lucu!"Kenapa? Ingin memakiku?" Chiaki menaikkan sebelah alisnya.Crystal hanya memutar bola matanya enggan men
Let's Play the GameIt's easy to look at people and make quick judgments about them, their present and their pasts, but you'd be amazed at the pain and tears a single smile hides.Chiaki mengeringkan rambut Crystal menggunakan handuk di tangannya, menurut Crystal itu adalah pemandangan yang tidak lazim hingga membuatnya terheran-heran. Tetapi, Crystal diam tidak berkomentar, ia memilih untuk menikmati kebaikan Chiaki."Aku tidak menyukai warna rambutmu, Donna akan mengembalikannya ke warna semula setelah kau kembali ke rumah," ujar Chiaki datar.Terserah saja, apa pun warna rambutnya, Crytsal merasa jika ia bukan pemilik raganya lagi. Ia telah menjual jiwa dan raganya kepada iblis kaku yang sifatnya berubah-ubah membuatnya hanya bisa mengangguk pasrah."Buka handukmu," ujar Chiaki setelah ia rasa cukup mengeringkan rambut Crystal.Crystal yang duduk di kursi
DinnerSetiap orang memiliki bekas luka yang ingin mereka sembunyikan. Bersyukurlah jika luka itu hanya di luar, bukan di hati yang meski bisa disembunyikan tetapi sulit untuk disembuhkan."Kau lelah?" Chiaki mengusap punggung telanjang Crystal yang masih lembap akibat keringat yang membasahi tubuhnya saat mereka bercinta beberapa menit yang lalu.Crystal menggeleng pelan, tetapi menyadari Chiaki mungkin tidak melihatnya, ia menyahut, "Tidak juga.""Apa itu berarti itu kau menginginkan kita bercinta lagi?"Crystal mendongakkan kepalanya, matanya menatap Chiaki dengan ragu-ragu."Katakan saja, jangan ragu ataupun merasa malu," ucap Chiaki dengan nada sangat lembut.Darah Crystal terasa memanas dan jantungnya seolah mencelus. "Jika kau menginginkan, aku tidak akan menolak karena kau pemenangnya."