Share

Bab 3 Kalut

"Huft, akhirnya aku dapat merebahkan diri juga. Hari ini lelah sekali, ditambah lagi tadi ketemu wanita psycho."

Setelah beberapa saat merebahkan diri dari penatnya, Aubrey kemudian gegas membersihkan dirinya yang tampak lengket karena penuh dengan keringat. Setelahnya dia mengganti pakaiannya dengan piama dan memutar lagu-lagu favorit dari telepon genggamnya.

Lantunan lagu Kelly Clarkson yang berasal dari telepon genggam Aubrey mengisi seluruh ruangan kamar Hotel Bourbon Orleans tempat dia menginap. Matanya menerawang menatap langit-langit kamar, dan seperti sebuah kaset film, dia mencoba mengingat semua kejadian-kejadian yang tadi dialaminya.

Kamar yang terletak di lantai tiga dan menghadap sungai Mississippi itu adalah kamar khusus yang dibuat Abraham untuk Aubrey, jika dirinya sesekali berkunjung dan bosan dengan suasana mansionnya. Begitulah kehidupan Aubrey, penuh dengan fasilitas mewah.

Hotel Bourbon Orleans yang terletak di Bourbon Street around Jackson Square dekat Louisiana State Museum adalah milik Abraham Calandre – kakek Aubrey. Jadi semua karyawan tentu saja mengenal siapa Aubrey, karena sekali-sekali dia membantu di hotel. Meskipun, tampak luarnya begitu dingin dan cuek, tetapi Aubrey pribadi yang sangat hangat. Dia tidak pernah membentak karyawan-karyawan yang berbuat kesalahan di depan umum seperti gadis kaya pada umumnya. Aubrey sangat menghargai semua karyawan kakeknya. Itulah mengapa dia sangat disukai dan disegani.

Sebenarnya, Abraham ingin mewariskan seluruh usahanya kepada Aubrey, tetapi dia bersikeras tidak ingin menjadi pengusaha. Dia lebih mencintai dunia seni. Dengan melukis dia dapat menyembuhkan luka di hatinya atas kehilangan kedua orang tua yang amat sangat dia butuhkan. Oleh karena itu, Abraham akhirnya menghormati keputusannya untuk menjadi seniman.

Meskipun, Abraham begitu menyayangi Aubrey. Namun, bagi Aubrey tidaklah cukup. Dia selalu merasa iri kepada teman-temannya yang tumbuh dengan cinta dan kasih sayang kedua orang tua.

Pada akhirnya, dia pun menarik diri dari lingkungan sosial dan hidup dengan dunianya sendiri. Dengan melukis dia dapat menghilangkan penatnya dunia. Baginya ‘Painting is Healing’.

Apalagi, setelah dia tahu orang tua mereka dipaksa meninggalkan dunia ini dengan menyisakan Aubrey saja. Dia selalu berharap dan bertanya, mengapa sang ibu tidak membawanya serta, tetapi ketika melihat begitu sedih dan terpukulnya Abraham. Sedikit demi sedikit dia pun mengerti, bahwa masih ada kehangatan cinta untuk dirinya, meskipun hanya dari seorang wali tunggal.

Pikiran Aubrey makin larut bersama lantunan lagu yang terus berputar. Malam itu rembulan begitu indah membulat sempurna menyinari kamar Aubrey melalui jendela yang terbuka gordennya. Akhirnya, dia pun terlelap seperti bayi yang polos.

***

Cahaya mentari pagi menerobos jendela kamar Aubrey. Dia memicingkan matanya, melihat jam di atas nakas, Dan kemudian bergelung kembali di dalam selimutnya.

Di tempat lain. Dominique yang baru saja tertidur sehabis menemani rengekan Cassandra yang menginginkan tidur bersamanya, terganggu oleh Tony. Akhirnya, dengan berat hati dia membuka mata dan bertanya apa mau Tony mengganggunya sepagi ini.

“Hei, Dom. Kok aku sudah di sini saja. Kepalaku sangat pusing dan tidak mengingat seluruh kejadian yang terjadi tadi malam.”

“Hei, Stupid man. Tahu tidak, karena ulah gilamu kalau sedang mabuk, Cassandra hampir saja berkelahi dengan wanita yang kau rayu semalam. Kalian berdua sama gilanya, suka mencari masalah.” Dominique dengan kesal memarahi Tony.

“Sorrylah, Dom. Namanya juga pesta kalau gak gila, gak asyik.” Tony berkelakar sambil tertawa.

“Iya, gilamu menyusahkan orang lain, tahu. Sudah sana, aku mau tidur, lelah sekali mendengar rengekan sepupumu itu.”

“Kenapa lagi si Cass. Dia ingin tidur denganmu lagi?”

“Yah, begitulah.”

“Kenapa gak hajar aja, sih, Dom. Sekalian pengalaman baru untuk memecahkan beku hatimu itu, loh.”

Dominique merasa kesal dengan ucapan Tony. Dia pun melemparkan semua bantal ke arah Tony dan menyuruhnya keluar dari kamar tidur.

Tony dengan tertawa terbahak-bahak berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan Dominique pun melanjutkan tidurnya.

Matahari semakin meninggi. Aubrey pun tengah merasakan lapar yang mendera. Dia bergegas membersihkan diri, kemudian menelpon resepsionis untuk mengantarkan makan siangnya.

Selesai mandi, ternyata pesanan Aubrey sudah selesai dan diantarkan. Waiter yang telah sampai di depan kamar Aubrey pun mengetuk pintu dan mengkonfirmasi pesanannya.

Aubrey gegas membuka pintu dan hendak mengambil makan siangnya. Namun, tiba-tiba Cassandra lewat di depan kamarnya. Dia tampak terkejut, ternyata mereka satu lantai.

Secepat kilat Aubrey menutup pintu, dia tidak ingin melayani Cassandra dan kehilangan selera makannya. Cassandra yang tadinya ingin membuat masalah, karena Aubrey langsung menutup pintu jadi dia urungkan niatnya dan gegas ke kamar Dominique.

“Dominique, are you awake? Aku boleh masuk, tidak?”

Dominique yang mendengar suara Cassandra di depan pintu, pura-pura tidak mendengarnya. Dia sangat malas dan lelah jika hari ini harus berurusan dengan Cassandra lagi. Namun, hal itu tidak membuat Cassandra lantas pergi dari pintu kamarnya. Dia terus mengetuk dan merengek.

“Dom, kau belum makan siang, loh. Kita makan bersama, yuk!”

"Tadi malam hanya sedikit makanan yang masuk ke perutmu. Nanti kau sakit, Dom."

"Come on, Dom. Jawab aku."

Dominique meremas rambutnya dan tampak frustrasi. “Ah, sampai kapan sih wanita itu terus menggangguku. Seandainya bukan sepupu Tony, sudah aku caci maki dia.”

Dominique dengan enggan akhirnya berjalan menuju pintu kamarnya. Dia membukakan pintu untuk Cassandra.

“Ada apa lagi, sih, Cass. Aku ngantuk sekali, nih, kau tidak mencoba mencari Tony di ruang makan.”

“Hei, Dom. Aku mengajak kau, lagipula Tony sudah biasa berkeliaran sendiri.”

“Baiklah, masuk dan tunggu aku. Aku akan membersihkan diri terlebih dahulu.”

Dengan senyum bahagia, Cassandra memasuki kamar Dominique. Setidaknya meskipun banyak ditolak oleh Dominique, pada akhirnya dia akan luluh juga. Itu yang dipikirkannya.

“Duduklah di sana. Jika ingin minum, kau ambillah sendiri di kulkas.”

Cassandra duduk di sofa ruang tamu yang terdapat di kamar itu. Dengan gaya centilnya dia menatap punggung Dominique yang hilang di balik pintu ruang tidur.

Tanpa diduga, Cassandra menyusul Dominique ke ruang tidur dan memeluknya dari belakang. Tangan kanannya menelusup ke dalam kemeja Dominique dan memberikan sentuhan-sentuhan yang bagi siapa pun merasakannya akan membangkitkan gairah dalam dirinya.

Dominique tampak jengah dan menghempaskan tangan Cassandra. “Ingat Cass, jangan melewati batas. Kau adalah sepupu Tony, oleh karena itu aku menghargaimu. Bersikaplah seperti wanita terhormat.”

Cassandra yang tampak kecewa dengan kesekian kalinya penolakan Dominique, akhirnya melepaskan pelukannya dan kembali ke ruang tamu. Dengan wajah kesal dan cemberut dia menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu tersebut. Kemudian, dia berselancar di akun sosial medianya dan menatap akun @Dominiquehameed63.

“Wait and see, Dominique. Engkau akan jatuh luruh akan pesonaku. Ketika hari itu tiba, bukan hanya hatimu, seluruh tubuhmu pun akan menjadi milikku.” Cassandra bermonolog.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status