Share

Era Kebangkitan

"Mereka telah tidur untuk selamanya, dan tidak akan pernah merasakan sakit lagi." Aku memandang gelapnya langit seraya mengutuk diri, atas kebodohan yang kulakukan.

Empat hari sudah aku berkeliling, mencari jalan ke luar dari Hutan Ilusi. Namun, aku seakan hanya terus berputar, di antara rimbunnya pepohonan.

"Tolong! Siapa pun tolong aku di sini!"

Daun kuning keemasan yang gugur terinjak-injak, ketika aku mencari asal sumber suara itu. Sesampainya di sana, aku melihat seekor serigala tengah terhimpit pohon pinus.

Kudorong dahan besar itu dengan sekuat tenaga, lalu mengobati luka pada serigala malang itu. Pergelangan kaki hewan berbulu abu-abu itu, sepertinya mengalami cedera yang cukup serius. Ia mungkin tidak akan bisa berjalan untuk sementara waktu.

Bulir-bulir air hujan mulai turun. Awan hitam di atas sana menghasilkan kilatan cahaya, yang terlihat seperti sebuah lecutan. Aku dengan cepat menggendongnya, sebelum cuaca ekstrem semakin mengganas.

Ia berbisik, "Berjalanlah ke arah barat daya!"

Saat aku menoleh, ia telah berubah menjadi seorang wanita muda, yang sangat cantik.

Aku membatin, "Aku tidak menyangka akan bertemu dengan bangsa werewolf lagi." Rasa trauma setiap kali mengingat kejadian buruk di gua waktu itu, membuatku ragu untuk berbaik hati dengan bangsa serigala.

Atas instruksi yang ia berikan, kami akhirnya berteduh pada sebuah kerajaan yang telah runtuh. Sisi kanan istana itu penuh dengan tulang-belulang manusia. Tempat yang sangat misterius. Aku tidak tahu, jika di wilayah Autofalor ada kerajaan lain.

Dua minggu sudah kuhabiskan untuk merawat werewolf itu. Usahaku tidak sia-sia, kakinya sembuh, dan dapat berjalan seperti semula. Wanita serigala itu mengajariku kekuatan menstabilkan alam, sebagai bentuk balas budi.

Setiap malam tiba, aku selalu bermohon pada Dewa Naga—pemilik kekuatan paling tinggi yang sangat dihormati, untuk memberiku jalan ke luar dari tempat itu. Terjebak di hutan yang seakan memberikan candu untuk terus terpenjara, membuatku nekad untuk melakukan teknik peningkatan kekuatan secara paksa—menaikkan level magic dalam waktu yang sangat singkat.

Hanya itu satu-satunya jalan untuk membuka gerbang portal, yang bisa digunakan untuk bebas dengan cepat. Lagi pula, mungkin tidak ada jalan lain selain itu. Menghabiskan waktu berkeliling di tempat, yang menyesatkan juga akan membuang banyak waktu. Di samping itu, kristal phoenix harus kembali utuh, sebelum kekuatan kegelapan bangkit sepenuhnya.

Siang itu saat hujan gerimis melanda, aku datang untuk menemuinya. Dua hari sebelumnya, ia bilang ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting.

"Ada apa, Nona werewolf? Apa yang ingin kamu bicarakan?"

"Baiklah, aku yakin inilah saatnya kamu harus mengetahui segalanya. Ayo, ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu!" Wanita berambut pirang itu menggandeng tanganku, lalu mengajakku masuk ke dalam sebuah ruangan tanpa atap—sisi kiri reruntuhan istana.

Ia membawaku melihat sebuah lukisan anggota kerajaan. Pada lukisan itu, terdapat seorang pangeran yang sangat mirip denganku: manik abu-abu pekat bak kabut asap, rambut pirang yang bergelombang di bagian samping, dan rambut bagian bawah yang dipotong pendek. Dua orang yang ada di sampingnya juga seperti familiar.

"Siapa yang ada dilukisan ini?" tanyaku penasaran.

"Merekalah 'sang penakluk kegelapan' yang mengalahkan Kaisar Harvey. Aku, Austin, dan Sean adalah pahlawan perang." Wanita itu memegang pundakku, lalu tersenyum. Ya, senyum itu terlihat tidak asing.

"Di mana dua saudaramu sekarang?" Aku menatapnya. "Apakah mereka tinggal di sini?"

"Austin mendiami Blood Forest, dan menjadi Raja Wolf Alpha. Sedangkan Sean, dia bunuh diri. Oh iya, aku belum pernah mengatakan siapa namaku padamu. Aku adalah Putri Helcia yang terpenjara di Hutan Ilusi ini."

"Jadi, Helcia, kamu bisa membantuku mengalahkan Kaisar Harvey?" Aku menunggu jawabannya, menaruh harapan yang besar di sana.

"Ya, tentu saja bisa. Bahkan, aku tau di mana pecahan ke-empat berada. Sebelum itu, kamu harus membuka kunci portal terlebih dahulu, untuk dapat ke luar dari sini." Helcia berkata sambil melihat ke arah lain. Tidak lama setelahnya, dia pun berjalan ke luar ruangan.

Entah apa yang dipikirkan gadis berambut pendek itu. Mata ambernya—oranye kecoklatan, sebelumnya terlihat memerah. Apakah dia sengaja mengakhiri percakapan, agar bisa menghindari pertanyaan-pertanyaan dariku?

Aku yakin, Helcia sangat terluka, karena aku bertanya tentang masa lalunya. Ya, tidak ada yang lebih menyakitkan dari rasa trauma. Berpisah dan hidup tanpa saudara memang sangat menyedihkan.

Semenjak hari itu, aku semakin giat berlatih mengasah kemampuan portal. Sebenarnya, aku tidak terlalu yakin, kekuatan magic-ku akan cukup untuk melakukan transformasi. Namun, keadaan terus mendesak.

Aku gagal, dan terus gagal. Entah mengapa portalku selalu tidak bisa diaktifkan. Padahal, aku telah berusaha cukup keras menggunakan semua kekuatanku.

Musim gugur pun akhirnya tiba. Aku telah memasuki bulan ke-dua, setelah pengakuan identitas oleh Helcia, di hari itu. Setiap hari, aku seakan hanya berlatih hal yang sia-sia.

Helcia selalu menyemangati, meski aku terus-menerus mengalami kegagalan. Akhirnya, tiga hari sebelum musim gugur berakhir, aku berhasil membuka gerbang portalku.

*

"Jangan harap kamu bisa mengalahkanku, Achilio!" Austin berubah menjadi serigala yang buas, lalu menyerang secepat kilat. Aku tak menyangka, ternyata dia adalah wolf yang kutemui di gua waktu itu.

Serangan bertubi-tubi darinya, kuhindari dengan cepat. Ketika terdapat celah untuk berbicara, aku pun bertanya, "Kenapa kamu sangat membenci Zay, Austin?"

Akan tetapi, Austin tidak menjawab pertanyaanku. Duel yang kami lakukan sepertinya tidak akan berujung damai. Ingin rasanya mengakhiri semuanya dengan sekali tebasan, tetapi aku tidak ingin mengulang kesalahan yang sama—seperti di Hutan Ilusi.

"Wah, kamu begitu peduli padanya, ya!? Sayang sekali, itu tidak akan berarti apa-apa baginya!" Austin mencengkram kuat leherku, membuat nafasku tersengal-sengal.

"Ke ... kepedulian tidak mengharapkan timbal balik!" Aku mencoba melepaskan cengkraman itu dengan sekuat tenaga.

"Dialah yang membuat ibu meninggalkan ayah! Semuanya gara-gara dia ... perang berdarah, dan terbunuhnya saudaraku. Aku sangat membencinya!" Dia membanting tubuhku ke lantai, dan berhasil membuatku meringis kesakitan.

"Jika terus seperti ini, aku bisa terbunuh. Sedangkan, jika aku melakukan perlawanan, Austin pasti akan terluka. Di lain sisi, aku tidak mungkin membunuh saudara Helcia," pikirku dalam hati.

"Kenapa kamu juga harus mewarisi sifat seperti ibu? Rela memberikan semuanya hanya untuk vampir sialan itu!" Mata tajamnya membelalak, mendelik beringas.

"Sudah cukup, Kak!" Helcia menghalangi Austin yang hendak menerkamku.

"Dia tau Sean akan bereinkarnasi, karena dia bisa melihat masa depan. Sekarang sudah terlambat, Naga Matahari telah terbunuh. Dunia telah kehilangan cahaya ... para vampir kini bebas dari segelnya." Austin kembali berubah menjadi wujud manusia. Air mata tampak mengalir deras di pipinya.

"Belum sepenuhnya terlambat ... masih ada harapan. Kita bertiga akan mendapatkan semua pecahan itu sebelum mereka." Helcia membantuku berdiri. "Ini adalah era kebangkitan kita. Ayo, kita ulangi masa kejayaan seperti di masa lalu!"

Aku mengangguk pelan. "Austin, aku mohon, beri aku satu kesempatan lagi untuk merubah sejarah kelam ini. Aku bukanlah apa-apa, tanpa adanya kalian."

Pria itu mematung. Tampaknya dia sedang berpikir keras, untuk mencari keputusan yang tepat untuknya.

"Kak, dia berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua darimu." Helcia sepertinya mencoba untuk melelehkan kerasnya hati Austin. "Kepercayaan yang kita acuhkan selama ini, harus kita bayar, kan?"

Austin menghela napas panjang, sebelum akhirnya berkata, "Achilio, aku memaafkan kesalahanmu, baik di masa kini maupun di masa depan. Bergegaslah, karena kita akan segera menoreh tinta baru, di dalam sejarah revolusi!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status