Aku merasa seperti seorang pendekar.
Sialan.
Bagaimana bisa aku terjebak dalam hal seperti ini?
Kugendong Gilang di belakang punggungku. Tubuhnya lunglai jadi aku berusaha untuk memeganginya dengan satu tangan.
Sementara tanganku yang lain memegang pedang. Aku tidak tahu teknik menggunakannya dengan benar. Tapi asalkan dapat melukai mereka, kurasa itu lebih dari cukup.
Semua ini demi bertahan hidup, itu kilahku saat ini. Sekaligus untuk memompa keberanian kalau-kalau mereka menyerangku.
"Oke." kataku sambil membuka pintu dengan kaki kananku setelah itu aku mulai berlari menuju pintu keluar.
"Kak! Itu dia orangnya!" Seeseorang bertudung hitam menunjukku. Dia sendirian saat di persimpangan.
Aku harus membungkamnya sebelum teman-temannya datang. Kuayunkan pedang itu ke arah wajahnya, tapi dia cukup cepat menghindar dan berla
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Aku bahkan tidak memelankan laju kendaraan di jalanan berbatu itu. Tujuanku saat ini adalah Penginapan Merinda. Bagaimanapun, aku tak tahu letak rumah sakit atau klinik terdekat. Masih kupikirkan cara agar mereka tidak menolak saat ada seorang laki-laki melambaikan tangan di tengah jalan. Mataku terbelalak tapi kakiku bergerak lebih cepat karena mobil berhenti tepat beberapa senti di depannya. "Tono? Tono, kan?" tanyaku saat menyadari pemilik wajah familiar itu. Lelaki itu mengerutkan alisnya saat mengajakku bicara dari jendela mobil. "Waduh, Mbak Delilah ini kemana saja, tho?' "Maaf. Tapi yang lebih penting, antarkan aku ke rumah sakit. Gilang sekarat." Kataku sambil menunjuk kursi di sebelahku. Begitu Tono melihat si penumpang, matanya terbelalak. "EEEE, LHA DALAH??! MAS GILANG KENOPO, MBAK?" "Nanti saja ceritanya. Ayo k
"Sudah bangun?"Wajah Rani yang berlumuran darah adalah hal yang pertama kali kulihat saat aku membuka mata. Harus kuakui, kalau itu bukan pemandangan yang menyenangkan.Tapi, untungnya aku tahu dengan jelas bahwa ini hanya mimpi.Kami berdua ada di kamar yang aku pinjam di rumahnya. Aku terduduk di tepi ranjang, sementara ia berdiri membelakangi jendela dan menatapku dengan senyum yang samar."Tenang saja, aku takkan datang lagi. Bagaimanapun aku sudah kalah darimu.""Baguslah. Katakan apa yang kau inginkan. Aku sedang sibuk."Wanita itu mengedikkan bahunya, "Kuberi kau sebuah peringatan sebagai hadiah. Kuakui tekadmu memang mengerikan. Hanya saja, kau pikir memangnya kami akan semudah itu untuk melepaskanmu?"Dahiku berkerut saat melihatnya menyeringai. Sejujurnya, aku tak merasa dimudahkan, sih."Kau sempat menanyakan padaku be
Dinar memegangi bahuku yang gemetar setelah pemeriksaan kandungan. Aku sudah diperbolehkan pulang dan urusan administrasi sudah terselesaikan. Namun alih-alih menjenguk Gilang, aku terduduk di lobby sambil memegangi foto hasil USG. Kehamilanku sudah berjalan selama delapan minggu dan sama sekali tidak kusadari. Ukuran janinnya sepanjang tiga senti. Ibu jariku bahkan lebih besar darinya. "Jangan diliatin terus. Ntar bisa bolong tuh fotonya." Kata Dinar sambil duduk di sebelah kursiku. Ia nampak lebih santai dari sebelumnya. "Njir. Gue enggak siap." "Lah? Terus mau lo bunuh? Darah daging sendiri? Beneran?" Aku bisa mendengar nada menyebalkan dari setiap pertanyaan yang ia lontarkan. Entah kenapa kata 'bunuh' terasa amat kasar. Aku cuma ingin ia menghilang. Ah, sial! Aku memang manusia sampah. "Gue tanya Gi
Segalanya terasa berjalan lambat. Aku bisa melihat Dinar berusaha mengatakan sesuatu padaku.Ia sedang berada di kursi di sebelah kiriku, tapi suaranya terdengar sangat jauh.Sementara itu orang-orang nampak berjalan mondar-mandir atau mungkin, semacamnya. Entah mana yang benar, yang jelas mereka sedang bergerak.Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Setelah kuketahui mengenai kematian Gilang, rasanya ada sebuah dengungan yang sangat keras, menulikan kedua telingaku.Di saat bersamaan, aku tak bisa merasakan gravitasi. Tubuhku terasa ringan dan melayang. Melayang jauh hingga rasanya kepalaku mampu menyentuh langit-langit jika aku sedikit mendongak.Dinar sepertinya menarik pundakku lalu menyuruh untuk duduk di kursi lobi sambil terus mengatakan sesuatu yang tidak kupahami.Suaranya memang terdengar jauh tapi sedikit demi sedikit aku bisa mendengarn
Kepalaku terasa pening. Lagi. Mungkin ini sudah yang ketiga kalinya dalam hari ini. Sepertinya, aku menjadi sering melupakan banyak hal. Dinar sampai 'menitipkan' aku pada ibunya yang tinggal di pinggiran kota Jogja. Beliau tinggal bersama seorang pembantu, yang sudah berusia lanjut, setelah orang tua Dinar bercerai. Ibu Dinar, yang biasa kupanggil Tante Inka, sangat menyambut hangat kedatanganku yang saat itu sedang hamil empat bulan. Ya, setelah malam-malam mengerikan itu, Dinar dan aku kembali ke Jakarta. Kujual apartemen yang belum lunas itu beserta semua perabotan. Perusahaan Gilang perlahan-lahan berjalan dengan baik setelah aku menggunakan hasil penjualan apartemen sebagai modal. Secara teori, aku sudah termasuk kategori tuna wisma. Alhasil, kalau tidak sedang menginap di rumah Dinar, aku sering sekali tidur di ruangan Gilang. Seminggu s
Namaku Ilyas Jingga Cakrawala. Umur lima belas tahun. Anak laki-laki biasa yang masuk ke SMA biasa dengan nilai yang biasa-biasa saja.Hari ini adalah hari pertama untuk masa orientasi siswa. Naas, aku harus menjalani hari penuh kesia-siaan selama satu minggu kedepan.Masih dengan seragam putih biru dengan kalung papan kardus juga topi kerucut sisa tahun baru, aku lebih tampak seperti badut daripada seorang siswa.Entah apa yang dipikirkan kakak kelas juga para guru yang mengawasi tingkah laku kami. Katanya sih untuk mempertahankan tradisi. Omong kosong, seharusnya mengajarkan tari reog atau mungkin, pertunjukan ketoprak saja.Itu lebih bermanfaat daripada menjemur anak-anak remaja tanggung di bawah terik sinar matahari pada siang bolong.Apa mereka tidak tahu bahwa hal itu bisa membakar kulit serta menyebabkan dehidrasi? Belum lagi, terpapar sinar matahari dalam jangka waktu panjang
Arun tertawa renyah begitu mendengar cerita di warung bakso itu.Kami bertiga duduk di food court, salah satu mall di Jakarta, sambil menyantap makan siang yang tertunda tadi.Nafsu makanku sempat hilang setelah melihat tetesan air liur itu. Tante Dinar sepertinya juga merasakan hal yang sama. Karena setelah itu, beliau menghabiskan waktu dengan berputar-putar di jalan sekitar sana sampai Arun pulang sekolah.Setelah itu kami mencari tempat yang 'bersih' dan malah, tergoda dengan aroma bakmi kuah."Untung Arun belum pernah makan disana. Warung itu soalnya sempet viral dulu. Sampe temen-temen Arun banyak yang nyobain."Tante Dinar mencibir, "Halah! Paling kalau kamu enggak tahu, pasti juga ikut ketagihan.""Enggak, Ma!" Seru gadis berambut hitam panjang itu tak mau kalah. "Sebelumnya, Arun sempet curiga sih. Kan warungnya rame tuh, jadinya banyak temen-temen yang bel
Mama tidak ada di rumah saat aku pulang. Arun dan Tante Dinar kembali ke rumah mereka yang terletak di perumahan sebelah. Sepertinya hari ini mereka tidak akan menginap.Setelah aku berganti baju, kuambil botol plastik berisi kalung ular itu untuk segera kulempar ke Kali Kuningan sebelum hari gelap.Dengan sepeda kayuh, perjalanan itu hanya memakan waktu lima menit.Daerah sekitar sungai adalah perkampungan yang rapat penduduk. Banyak orang lalu lalang disana. Anak-anak kecil berlarian sambil berteriak-teriak. Memaksaku untuk turun dan menuntun sepeda.Kalau dilihat dari jumlah sampah yang membludak, sepertinya semua warga juga membuang sampah di sana.Bahkan aku melihat ada kasur kapuk berwarna merah muda lusuh yang mengapung di sana, tapi anehnya, sama sekali tak menyumbat aliran air sungai.Itulah kenapa, pemandangan seorang anak laki-laki yang melemp