Share

The Return of Friendship Shoes
The Return of Friendship Shoes
Author: Intanabellia

Bagian 1

Sekolah, sebuah gedung yang dikenal mempunyai banyak ruang yang berbeda-beda. Menjadi salah satu tempat utama untuk menuntut ilmu bagi sebagian besar manusia sebagai bekal masa depan. Gedung dengan berbagai tingkatan kelas dan pengajaran yang bertahap itu seakan tidak pernah kehilangan ramai suasana oleh warga sekolah. Ya, kecuali hari libur, sih. Orang bilang Sekolah ibarat tempat kedua yang kita singgahi setelah Rumah tempat tinggal. Di sana, seseorang akan menemukan dan berbaur dengan manusia yang beragam sifat, saling berdiskusi dan bekerja sama meraih yang terbaik. Koridor kelas tidak pernah kehilangan tapak dari derap langkah murid dan guru, atau bahkan penjaga sekolah.

Bila dijabarkan lebih lanjut, mungkin bagian pertama ini tidaklah cukup. Maka untuk itu, izinkan aku membawamu menikmati kisah yang ku suguhkan hari ini. Izinkan aku untuk memperkenalkan mereka dalam tiap lembar cerita nanti. Aku berharap, kamu akan bersedia.

Katanya Sekolah adalah tempat sederhana yang mudah ditemukan untuk berbahagia. Memecah tawa dalam canda yang mengudara dalam hangat suasana ruangan berbentuk persegi yang cukup luas. Meja dan kursi yang tertata selalu menjadi saksi bagaimana mereka melewati hari di ruangan bernama kelas itu. Tulisan-tulisan yang di buat sekreatif dan tertempel di dinding-dinding kelas menjadi kalimat penyemangat bagi para murid atau guru saat waktu belajar berlangsung. Seperti sekarang, saat jam istirahat tiba. Murid berjumlah 20 orang di dalam kelas nampak saling berceloteh melempar canda dan membagi tawa. Beberapa murid perempuan yang duduk di lantai dengan menyilakan kedua kakinya, membentuk pola lingkaran terlihat antusias mendengarkan salah satu di antara mereka tengah bercerita. Beberapa anak laki-laki berdiri didepan papan tulis yang terpajang, saling menulis dan menggambar sesuatu dengan kapur yang bahkan hampir menemui ujung habisnya. Di bagian belakang sekelompok murid laki laki ada yang saling bekerja sama dan bersaing, saling berseru dalam permainan video game di handphone milik masing-masing. Sisanya ada yang mengerjakan tugas, makan, juga tidur seperti yang di lakukan oleh murid laki-laki yang mendapat posisi berdekatan langsung dengan jendela kelas. Ia menelungkupkan kepalanya, seakan tertidur sebelum akhirnya mendongak saat lemparan kertas mendarat mengenai tangan putihnya.

"Woi! Ambil tugas di ruang guru sana! Buruan, kita nggak mau ya sampe telat gegara kamu nggak mau ambil." 

Suara yang berasal dari perempuan berambut panjang dengan polesan lipstik yang mencolok itu seketika memaksa ia untuk menegakkan badan. 

"Kenapa tidak kamu sendiri yang ambil? Kamu kan ketua kelasnya, dasar." pikir lelaki itu yang hanya di dengar oleh dirinya sendiri.

Lelaki itu Alan, ia berusia 15 tahun namun sudah memasuki kelas 11 MIPA 1 dimana teman-temannya satu sampai dua tahun lebih tua darinya. Alan itu orang yang cukup berprestasi, tidak heran ia dengan mudah ikut kelas akselerasi. Alan tidak seperti teman lainnya yang akan menjadi salah satu pemberi heboh di dalam kelas, saat istirahat seringkali ia pergi ke perpustakaan atau tidur seperti sekarang. Alan juga tidak mempunyai banyak teman, hal itu membuat Alan mencoret sekolah sebagai tempat bahagia kedua setelah Rumah. Menurut Alan, Sekolah adalah salah satu tempat dimana kesabarannya di uji, di mana ia harus menyiapkan mental saat mendapat perlakuan yang kurang baik dari teman-teman sekolahnya. Ya, Alan tidak seberuntung remaja lainnya.

Alan berdiri, bersiap menuruti perintah Dayna si perempuan tadi yang menjabat sebagai ketua kelas. Ia tidak mempunyai keberanian yang cukup untuk melawan mereka, bahkan berujar satu kalimat pembela saja rasanya hanya akan menjadi kaca bencana untuknya seperti yang ia alami saat kelas 10, saat sekolah sedang mengadakan masa perkenalan. Di saat itu, Kakak kelas meminta murid baru membentuk kelompok dan membuat lagu untuk dinyanyikan bersama di depan hadapan kelompok lain. Kemudian, Alan di minta untuk mengambil sebuah buku guna menulis lirik di salah satu tas temannya, namun tanpa sengaja ia malah menjatuhkan tas tersebut. Membuat isinya berserakan, merasa bersalah ia pun meminta maaf dan segera mengambil satu persatu barang. Tetapi, temannya itu nampak sangat kesal, ia merebut kasar tas dalam genggamannya dan memakinya. Alhasil, pertengkaran terjadi dan membuat mereka di hukum satu kelompok akibat tidak adanya kekompakan. 

Koridor kelas terlihat sepi, hanya derap langkah kaki Alan yang mengisi keheningan, sesekali ia juga menoleh ke kanan kiri memperhatikan kelas kelas lain. Namun sepertinya ia memang di takdirkan untuk berteman dengan sial, belum juga Akan sampai di ruang guru, sebuah bola basket mendarat di kepala Alan, cukup keras dan membuatnya hampir terjatuh andai saja ia tidak segera mencari pegangan  dari sebuah tiang penyekat kelas. Ia mengaduh dan mengusap kepala beberapa kali, berharap rasa sakit di sana segera enyah. Beberapa detik, telinga Alan merekam jelas bagaimana suara tawa dari teman-teman yang sedang bermain basket di lapangan tengah menertawakan dirinya, bahkan sebagian dari mereka ada yang mengejek dan memberikan umpatan untuk Alan.  Tidak ingin berlama-lama, Alan segera memacu langkahnya lebih cepat untuk sampai di Ruang guru dan mengambil soal lalu kembali ke kelas.

"Ini, ya, Alan. Maaf Ibu nggak bisa ngajar, ada rapat yang harus Ibu hadiri. Kalian kerjakan dalam waktu dua jam mulai dari sekarang, nanti kamu tidak usah mengumpulkan tugasnya kemari, biar nanti Ibu datang ke kelas kalian saja, karena kebetulan rapatnya sudah selesai dan Ibu juga akan mengajar di samping kelas kalian." kata Guru perempuan berambut panjang dengan penjepit rambut sederhana yang menambah kesan lembut pribadinya itu. Ibu Mayra namanya, guru 35 tahun yang mengajar mata pelajaran Matematika. Tutur katanya yang lembut dan sopan membuat warga sekolah betah berbincang dengan Ibu Mayra. 

Alan mengangguk dan tersenyum kecil, segera ia berpamitan untuk kembali ke kelas. Beruntung dalam perjalanan ia kembali, Alan tidak lagi menemui kesialan. Permainan basket pun bahkan sudah berakhir, lapangan menjadi kosong. Hanya beberapa orang saja yang berlalu-lalang melewati lapangan tersebut. Alan cukup lega di buatnya. Saat kembali ke kelas, suasana masih sama, ramai. Ia mendekati meja di mana menjadi tempat singgah Dayna. Meletakkan tumpukan lembar soal itu di meja, dan mengatakan kepada Deyna bahwa ia sudah mengambilnya. Deyna pun memberikan sebuah jempol dan meminta Alan untuk segera pergi dari mejanya. Dua menit setelahnya, nyaring suasana Deyna menjadi pusat di mana semua teman sekelas memberikan fokus. 

"Hai guys! Ada tugas dari Bu Mayra yang harus kita kerjakan dalam dua jam kedepan! Segera kerjakan dan kumpulkan kembali ke mejaku nanti, inget kita kelas unggulan dan jangan mempermalukan kelas dengan ada yang tidak mengerjakan tugas ini!" perintah Deyna dengan lantang, ia dengan gesit membagikan satu persatu lembar. Anehnya, Deyna sengaja melewati meja Alan, ia tidak memberikan lembar soal tersebut dan berjalan begitu saja dengan membawa satu lembar sisa yang merupakan bagian Alan. Alan menghela napas, ia bangkit dan berdiri. 

"Jangan bercanda, Dey. Berikan kertasnya." kata Alan memohon. 

Deyna berdecak, ia mengibaskan rambut panjangnya dengan sombong. Ia ikut berdiri dari tempat duduknya, memandang Alan dengan remeh. Lantas sengaja meremas pelan kertas itu, membuat lembaran itu menjadi lusuh. Tidak berhenti di situ, Deyna juga menjatuhkannya ke lantai. Saat Alan hendak mengambil, sebuah kaki dengan sepatu bermerk mahal menginjak tangan Alan. Membuat Alan meringis dan menatap kaki dari cowok yang sedang berada di sampingnya itu. Setelah di rasa puas, kaki itu kembali pada posisi semula, meninggalkan bekas merah di punggung tangan Alan. Hal itu sontak mengundang tawa dari teman-temannya.

"Dasar bodoh!"

"Kenapa dia tidak melawan saja, sih? Memang lemah."

"Lihat, dia nampak mengenaskan sekali, hahaha"

Alan mendengarnya, sangat jelas. Membuat ia terdiam beberapa saat sebelum akhirnya kembali ke meja dan mengerjakan tugas itu dengan sedikit menunduk. Meski ia berusaha menyibukkan diri dengan soal-soal hitungan di depan matanya, kalimat juga tawa dari teman-teman yang merendahkan Alan masih terngiang-ngiang di dalam isi kepalanya. Saling bersahutan, membuat satu tetes air mata Alan jatuh begitu saja dan dengan cepat ia menghapus bekas itu dengan sedikit kasar.

"Sial! Kenapa aku harus menangis! Memangnya siapa mereka? Seberapa pantas mereka untuk ku tangisi seperti ini? Fokus, Lan! Ayo kerjakan tugasmu" batin Alan berusaha menyemangati dirinya sendiri.

Alan pernah melawan, namun tenaganya tidak sebanding dengan mereka. Alan pernah membela, namun sayang suaranya tidak cukup untuk sekadar menghentikan suara dari mulut-mulut yang mengelilinginya, menyuarakan kalimat kasar yang tidak hanya sesekali singgah dan menciptakan ribut dikepala. Sampai sekarang, Alan masih tidak mengerti kenapa teman-temannya bersikap buruk kepadanya. Memangnya salah apa yang telah dia lakukan? Seburuk itukah salahnya? Sungguh, Alan di buat gila dengan pemikiran ini. Seringkali ia berpikir apa dengan pergi akan membuat semua menjadi lebih baik? Namun pikiran sehat Alan dengan sigap menamparnya dengan kuat. Jika seperti ini sudah tidak bisa ia tahan, lantas bagaimana dengan seseorang di sana yang harus Alan jaga baik senyum ataupun tawanya. Bagaimana bisa ia membiarkan orang itu menangis karena ulah yang ia perbuat sendiri? Alan menghela napas, tidak ingin berlama-lama tenggelam dalam pikirannya, ia segera memberikan semua fokus untuk mengerjakan soal demi soal matematika dari Bu Mayra tersebut setelah beberapa kali menghela napas untuk menemukan tenang dalam dirinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status