Dengan masih gemetaran Lintang mengatur napas.
“Iya, maaf, Pak. Maaf …” Lintang membungkuk, lalu cepat-cepat dia menyeberang, sedikit menyeret Wulan. Wulan pun tampak panik dan sedikit pucat karena terkejut dengan kejadian tiba-tiba itu. Sampai di pinggir jalan, Lintang masih sempat menoleh pada pemilik mobil itu yang sudah masuk lagi dalam mobilnya.Pria itu, si dokter muda tampan, kembali fokus dengan kemudi. Tapi dia tidak segera pergi. Dia meminggirkan mobil dan memperhatikan dua gadis itu. Seorang kira-kira berusia tujuh belas tahun, satu lagi sepuluh tahun. Masing-masing membawa tas di punggung. Terlihat lusuh. Mereka jelas tergesa-gesa, sampai tidak begitu memperhatikan jalan."Hm, mau ke mana mereka? Seperti buru-buru," gumam David. Dia terus memperhatikan keduanya. Gadis yang lebih besar menuntun yang kecil. Rasa iba muncul di hatinya. Melihat kedua gadis itu membuat terenyuh saja."Banyak sekali orang yang hidup sulit, kalau saja aku bisa berbuat sesuatu," bisik hati David.Ponsel David berdering. Dia cepat menerima panggilan itu.“Ya, aku on the way. Sepuluh menit lagi sampai.” David mematikan telpon.Dia kembali menoleh ke seberang jalan. Kedua gadis tadi berjalan di taman kota yang tampak lengang. Baguslah, mereka baik-baik saja. David segera menjalankan kendaraannya. Dia ditunggu untuk operasi pagi ini. Dia tidak boleh terlambat.Di taman cantik dan luas itu, yang terasa asri dan segar, Lintang dan Wulan berdiri memandang sekeliling."Boleh aku main? Mau lihat kolam itu," kata Wulan lagi, sambil menunjuk kolam di tengah taman."Iya, jangan jauh-jauh. Kamu harus tetap bisa lihat Kakak,ya?" pesan Lintang.Wulan tersenyum. Dia berlari kecil mendekati kolam. Dia senang sekali. Lintang menarik nafas dalam, memandang sekeliling. Taman kota ini cantik. Ibu pernah membawanya ke sini. Tapi yang dia ingat tidak seperti ini dulu. Keadaannya sudah lebih bagus. Jam segini tidak terlalu ramai. Karena hari masih pagi. Jika sore, mungkin akan lebih ramai.Lintang memperhatikan Wulan yang berlari mengejar burung dara yang banyak di taman. Burung-burung itu turun di ubin taman mencari makanan. Saat Wulan mendekat, burung-burung itu terbang naik ke pohon atau ke sarangnya. Wulan begitu gembira. Sesekali dia melihat Lintang sambil tersenyum. Lintang lega, melihat Wulan bisa kembali tersenyum, sungguh membuat dia terharu. Ya, sejak Mito pulang, senyum Wulan hampir tak pernah muncul di bibir mungilnya. Wulan terus tersenyum, lebar, sambil berlari ke sana sini mengejar burung di taman yang indah.*****Operasi selesai dan berjalan lancar. Sebelum pulang David menyempatkan menjenguk pasiennya, seorang gadis kecil sebelas tahun yang menderita DBD. Kakaknya seorang gadis berusia lima belas tahun, terlihat sabar menemani adiknya yang berbaring lemah. Dia berusaha membuat adiknya mau makan, sambil dia bercerita, sesekali adiknya tersenyum lebar.Sejak si adik masuk rumah sakit, si kakak seperti tidak mau pergi dari sisinya. Padahal anak seusia itu biasanya akan lebih senang jalan di luar, bertemu teman, ke mall, atau nonton. Tapi dia setia menemani adiknya. Apalagi jam begini orang tuanya masih bekerja.Melihat mereka berdua, David teringat dua gadis yang hampir dia tabrak tadi pagi. Entah kenapa David merasa dua gadis itu menjalani yang hidup sulit. Dari pakaian dan tas yang mereka bawa tampak lusuh. Padahal jika diperhatikan mereka cukup cantik. Mungkin jika mereka hidup lebih baik dan bersekolah, mereka murid yang cerdas."Semoga mereka baik-baik saja." Dalam hati David bicara. Dia beranjak meninggalkan kamar itu, dia akan segera pulang setelah ini."David!” Mendengar panggilan itu David menoleh."Ya, Mas?" David menghentikan langkah menunggu dokter yang memanggilnya."Nanti jam tujuh malam aku ada operasi. Bisa dampingi tidak?" tanya dokter itu."Mas Thomas bukan dijadwal sama Dokter Lio?" balas David."Dokter Lio dapat kabar orang tuanya sakit. Beliau baru berangkat ke Purwokerto, menengok ke sana," jawab Thomas."Hm, baiklah. Aku bisa," jawab David. Dia memang baru selesai operasi siang ini, tapi karena sore tidak harus ke klinik dia kira cukup waktu untuk istirahat."Belum ada rencana malam mingguan, kan?" Mereka berjalan bersama menyusuri lorong rumah sakit."Belum, Mas," sahut David. David paham ke mana arah percakapan Dokter Thomas."Dua perawat cantik itu masih berharap kelihatannya. Satu tinggi, kulit putih, hidung mancung, sabar dan lembut. Satu lagi sawo matang, ga terlalu tinggi, tapi cekatan dan sangat cerdas. Ga tertarik?" ujar Thomas.David nyengir. Dokter Thomas tidak pernah bosan mengganggu David agar cepat dapat pendamping. Selalu ada saja komentar Thomas tentang para perawat yang naksir David."Kalau sama-sama tenaga medis, terlalu sibuk di rumah sakit dua-duanya, aku takut komunikasi kami ga sehat," jawab David."Masih kebayang mantan?" tanya Thomas. "Listy?"David hanya mengurai senyum. Dia tidak menjawab, tapi Thomas bisa paham. Sebenarnya Thomas sengaja selalu menggoda David agar dia mau membuka diri. Sudah bukan waktunya David tenggelam dalam sedihnya karena Listy. Listy sudah sukses dan bahagia di Jakarta. Lalu David? Dia pun seharusnya mengejar kebahagiaannya juga.*****David menuju ruang operasi. Tidak lama lagi operasi akan segera dimulai."Sore, Dokter." Seorang perawat yang masih muda dan berwajah manis menyapa David."Sore, Tan." David tersenyum. "Dokter Thomas sudah datang?""Mungkin sebentar lagi. Saya sedang menyiapkan semuanya. Apalagi yang kurang, Dok?" tanya Tanti. Dia salah satu perawat terbaik di rumah sakit itu.David memeriksa standar kelengkapan mereka. "Oke, ga masalah."Tanti tersenyum. Manis. Dia menatap David dengan tatapan berbeda. Dia sangat bersemangat bisa melakukan operasi dengan dokter paling tampan di rumah sakit ini. Cukup banyak yang suka Dokter David. Tanti salah satu yang tidak bisa tahan untuk tidak mengejar dokter ganteng itu."Hmm-mmm ...." Seseorang berdehem di belakang mereka.David dan Tanti menoleh. Thomas masuk ruangan."Sore, Dokter," sapa Tanti."Sudah, fokus kerja. Tanti, jemput pasiennya," kata Thomas."Baik, Dok." Tanti cepat keluar ruangan. Dengan satu perawat lain Tanti menuju ke kamar pasien."Wajah Tanti merona kalau dekat kamu," ujar Thomas pada David."Sudah, Mas, ga usah mulai," tandas David.Thomas tersenyum. Terus saja dia menganggu David. Thomas benar-benar penasaran, setelah pisah dengan Listy, belum ada yang bisa merebut lagi hati David. Wanita seperti apa yang akan bisa membalut luka dokter itu.Tak lama kemudian operasi mulai. Pasien mereka seorang bapak setengah baya. Seorang anggota kepolisian. Terkena usus buntu. Sampai hampir empat jam operasi berjalan. Lumayan lelah. Dari jam tujuh hingga jam sebelas malam.Thomas dan David keluar ruangan, masuk ke toilet. Mereka membersihkan tangan dan wajah mereka. Seperti biasa Thomas akan dengan semangat bercerita tentang keluarganya. Dia sedang kasmaran dengan istrinya sendiri, Agnes. Dia bangga bisa punya seorang istri yang menyayanginya dan dua anak lucu serta pintar.Dia tidak segan bercerita, awalnya bukan hal mudah bisa menerima Agnes hingga akhirnya dia benar-benar cinta pada istrinya. Akhirnya hubungan mereka selalu mesra layaknya orang pacarana saja. David merasa iri sebenarnya dengan Thomas. Meskipun seolah tak peduli, di hati yang terdalam, tentu David mendambakan cinta yang tulus buat dirinya.Mereka meninggalkan rumah sakit. Malam makin larut. Sudah hampir tengah malam. Sampai di rumah David membuat jahe hangat. Jika sedang tidak melakukan apa-apa dia sesekali masih teringat Listy. Dia makin sadar, dia dan Listy memang tidak mungkin bisa bersama. Semakin ke sini gambaran wanita idaman pendamping dirinya, makin jauh dari karakter Listy. Tidak ada lagi penyesalan karena perpisahan dengan Listy. David makin tahu seperti apa wanita yang dia cari."Tuhan, terima kasih. Ya, akhirnya aku bisa berterima kasih untuk perpisahan dengan Listy. Aku tahu seperti apa gadis yang akan jadi pendamping hidupku. Tunjukkan padaku, bawa dia padaku," doa David di hati.Selesai itu, dia masuk ke kamar. Mengganti baju dengan pakaian tidur dan merebahkan badan. Dia tersenyum membayangkan gadis imut yang lembut dan baik hati. Gadis itu pun membalas tersenyum manis padanya."Di mana bisa ketemu gadis seperti itu?" bisik hatinya.Sudah lewat jam enam pagi. Lintang dan Wulan belum keluar kamar. Mak Imah jadi heran. Biasanya setengah enam paling siang mereka bangun. Mak Imah pergi ke kamar kedua anak itu. Tidak terdengar suara apa-apa dari dalam kamar. Mak Imah memanggil keduanya beberapa kali, tetap tak terdengar apa-apa. Sepi. “Lintang! Wulan!” panggil Mak Imah lagi. Mak Imah membuka pintu kamar. Kamar masih gelap. Tapi bisa terlihat tidak ada siapa-siapa di ranjang. Tempat tidur rapi. Lalu ke mana mereka? Mak Imah membuka pintu lemari pakaian. Masih ada, tapi ... tas mereka tidak ada. Buku-buku ada di meja. Ini masih libur sekolah, tidak mungkin mereka ke sekolah. Mak Imah memastikan lagi lemari pakaian. Coba dia ingat pakaian anak-anak itu. Ya ... berkurang. Beberapa pakaian mereka tidak ada. Mak Imah menoleh lagi ke kasur. Boneka beruang besar Wulan tergeletak di sana. Tapi Mak Imah sudah menangis. Dia tahu dua anak manis itu pergi. Mak Imah lari keluar kamar, menemui majikannya. Pak dan Bu Lurah sedang
Bu Lurah menunggu suaminya di teras, waktu Pak Lurah datang. Wanita setengah baya itu tahu, suaminya tak menemukan kedua putri asuh mereka. Dia pulang sendirian dengan wajah lesu. Pak Lurah duduk di ruang tamu. Dia selonjorkan kakinya. Rasanya pegal berkeliling sepanjang hari mencari Lintang dan Wulan. Dia bahkan meminta beberapa orang untuk membantu mencari mereka. Tidak ada hasil. Bu Lurah makin galau. Hari sudah sore, sebentar lagi gelap. Lintang dan Wulan akan menginap di mana? Mereka tidak punya saudara. "Mito mana?" tanya Pak Lurah. "Dia belum pulang. Entah ke mana saja dia mencari. Kuharap dia berhasil." Bu Lurah menghela nafas. Berat sekali rasanya semua ini. Hari makin gelap waktu Mito datang. Dia juga tak berhasil menemukan Lintang dan Wulan. Wajahnya tampak kusut. Dia kelelahan. "Ndak ada?" tanya Bu Lurah, ikut lesu. Mito menggeleng. Dia pergi ke sekolah Lintang, menanyakan alamat semua temannya. Mito mendatangi setiap rumah teman Lintang satu per satu. Tak ada yang ta
Jam enam pagi. David meninggalkan rumah sakit setelah berjaga malam. Dia merasa lelah dan mengantuk. Secepatnya dia ingin segera tiba di rumah, mandi dan merebahkan badan. Jalanan mulai ramai. Orang-orang memulai aktivitas pagi. Ada yang pergi ke sekolah, kuliah, ke kantor, mungkin ke pasar, dan macam-macam urusan lainnya. Sekian banyak manusia, semua memenuhi jalanan. Ada saja keperluannya, dan tak ada habisnya. Baru sepuluh menit meninggalkan rumah sakit, saat baru melewati lampulalu lintas, David melihat seorang bapak tua di pinggir jalan. Dia kelihatan gemetar. Pucat pula wajahnya. Apa dia sakit? David berbelok, mendekati bapak itu. Dia menghentikan mobilnya dan menghampiri bapak tua yang sedang duduk di pinggir jalan itu. "Selamat pagi, Pak," sapanya. Lelaki tua itu mengangkat kepalanya. Dia terlihat heran ada seorang anak muda tampan di depannya. "Bapak baik-baik saja?" tanya David. "Aku lupa pulang," jawab bapak itu, tampak matanya berk
Jam enam pagi. Lintang terbangun. Dia menoleh ke arah Wulan yang masih tidur. Lintang duduk. Dia tidak melihat Praja dan Rasti. Ke mana mereka?Saat itu pintu terbuka. Praja masuk, menyapa Lintang sambil tersenyum."Dari mana?" tanya Lintang."Dari mandi di kali," jawab Praja. Dia menyimpan ember kecil peralatan mandinya."Bu Rasti?" Lintang menanyakan Rasti."Di belakang, memasak. Buat sarapan." Praja mengambil sepatu dan memakainya.Dia bersiap akan berjualan. Mumpung liburan sekolah, dia punya waktu bekerja lebih banyak, menyisihkan uang untuk keperluan sekolah nanti. Jika sudah kembali sekolah, waktu bekerja akan terbatas. Rasti masuk membawa masakan yang baru selesai dia masak."Ini sarapan sudah siap." Diletakkannya makanan itu di tengah ruangan."Tapi saya belum mandi, Bu. Wulan malah belum bangun," kata Lintang."Ga apa-apa, mandi nanti saja. Cuci muka situ di belakang. Baru ke kali mandi," sahut Praja.Li
Dua minggu sudah Lintang dan Wulan berada di kota. Meski tidak mudah, mereka mulai membiasakan diri. Tidur tanpa kasur, hanya di atas tikar. Makan makanan sangat sederhana. Untuk mandi, Lintang pergi ke kamar mandi umum, meski harus membayar. Daripada di sungai, dia tidak bisa. Kasihan Wulan juga. Hanya mencuci pakaian yang dia lakukan di sungai. Bu Fani, sangat baik pada mereka. Di rumahnya, saat sedang bekerja, mereka diberi makanan yang enak. Lintang dan Wulan bekerja serajin mungkin. Mereka sangat berterima kasih karena sudah diberi pekerjaan. Seminggu mereka dibayar tiga ratus ribu. Buat Lintang itu besar sekali. Yang membuat Lintang dan Wulan betah di rumah Bu Fani, Bu Fani punya anak balita yang lucu. Fenna Namanya. Cantik, berumur empat tahun. Lincah dan suka menyanyi. Sesekali Lintang dan Wulan ikut menjaga Fenna. Sedang suami Bu Fani baru dua kali Lintang dan Wulan melihatnya, karena dia selalu bekerja di siang hari. Di rumah itu juga ada ayah mertu
Malam itu Praja dan Rasti berusaha membujuk Lintang dan Wulan agar mau memaafkan Mito dan bersedia pulang. Tapi tetap saja tidak berhasil. Kedua gadis itu kekeh, tidak akan pulang. Mereka terlanjur luka dan sakit dengan perlakuan Mito selama ini.Pagi-pagi sekali Lintang dan Wulan bangun. Mereka berniat akan pergi dari gubuk itu. Uang yang Lintang punya sekarang mungkin cukup untuk mencari kamar kos yang kecil saja. Kalau makan mereka pasti bisa berhemat. Dengan tas di pundak, mereka cepat-cepat pergi."Kak, kita mau ke mana?" tanya Wulan."Kita lihat saja nanti. Yang penting kita pergi. Mas Mito pasti akan kembali mencari kita," jawab Lintang.Mereka pergi ke mana saja kaki membawa, pergi beli mie ayam untuk sarapan, lalu berjalan lagi menyusuri jalanan yang mulai ramai.*****Pagi jam tujuh jalanan memang padat. Orang-orang berjejalan di atas aspal ingin segera tiba di tempat tujuan masing-masing. Hari ini cerah, matahari tid
Lintang dan Wulan terus saja berjalan masuk gang demi gang. Sejauh mungkin dari rumah Fani. Entah sudah belok berapa kali, sudah berapa gang mereka lewati. Sampai mereka tiba di sebuah rumah kosong. Terlihat rumah itu sudah lama ditinggalkan. Banyak bagian rumah yang rusak. Atapnya bolong-bolong, temboknya beberapa bagian retak, dan terlihat rapuh. Mereka bersembunyi di sana. Mereka takut jika mereka ada di jalan, sangat mungkin Mito akan menemukan mereka. "Kak, kita mau ke mana lagi? Kita gak ada tempat," kata Wulan. Dia hampir menangis. "Lan, maafkan Kakak." Lintang memegang tangan adiknya. Hatinya sedih sekali Wulan harus menderita seperti ini. "Kenapa ibu harus mati, Kak? Sekarang kita jadi gelandangan. Kita ga punya rumah. Ga bisa sekolah. Kenapa kita ga seperti Mas Bimo? Punya ibu dan ayah yang baik dan sehat yang sayang sama dia. Kenapa, Kak?" Wulan tak tahan lagi. Dia benar-benar menangis. Bahunya sampai berguncang-guncang karena rasa pedih yang begitu dalam. Lintang seketi
Lintang berjalan cepat masuk gang di depannya. Rumah-rumah sudah gelap. Hanya satu atau dua rumah yang lampunya menyala. Itu pun hanya di satu ruangan. Di mana Wulan? Pria itu tinggal di rumah yang mana? Dengan rasa cemas Lintang memperhatikan satu per satu rumah yang masih menyala lampunya. Tapi rumah yang mana? Apa Lintang harus mengetuk setiap pintu rumah? Ini tengah malam!!Rasa cemas dan takut makin mendera Lintang. Tapi dia harus menemukan Wulan. Tak peduli jika itu Mito sekalipun ternyata yang membawa Wulan. Dia harus menemukan adiknya. Dingin terasa menusuk kulit. Jaket tipis Lintang tidak terlalu menolong mengatasi dingin dan angin malam. Dengan kebingungan, Lintang memandang ke sekeliling pada rumah-rumah dengan lampu menyala."Uhuukk ... uuhukk ...." Terdengar suara batuk."Wulan?" bisik Lintang. Itu seperti suara batuk Wulan. Lintang menghentikan langkah, memasang pendengarannya. Lintang berdiri di depan sebuah rumah yang tak terlalu besar. Lampunya