Jam enam pagi. David meninggalkan rumah sakit setelah berjaga malam. Dia merasa lelah dan mengantuk. Secepatnya dia ingin segera tiba di rumah, mandi dan merebahkan badan. Jalanan mulai ramai. Orang-orang memulai aktivitas pagi. Ada yang pergi ke sekolah, kuliah, ke kantor, mungkin ke pasar, dan macam-macam urusan lainnya. Sekian banyak manusia, semua memenuhi jalanan. Ada saja keperluannya, dan tak ada habisnya.
Baru sepuluh menit meninggalkan rumah sakit, saat baru melewati lampulalu lintas, David melihat seorang bapak tua di pinggir jalan. Dia kelihatan gemetar. Pucat pula wajahnya. Apa dia sakit? David berbelok, mendekati bapak itu. Dia menghentikan mobilnya dan menghampiri bapak tua yang sedang duduk di pinggir jalan itu.
"Selamat pagi, Pak," sapanya.
Lelaki tua itu mengangkat kepalanya. Dia terlihat heran ada seorang anak muda tampan di depannya.
"Bapak baik-baik saja?" tanya David.
"Aku lupa pulang," jawab bapak itu, tampak matanya berkaca-kaca.
"Lupa pulang?" David agak heran dengan jawabannya. David duduk di sisinya. "Bapak tinggal di mana?"
"Di rumah bagus ... jauh ... tapi aku lupa di mana," katanya.
"Bapak kok bisa sampai sini?" David makin penasaran.
Bapak tua itu yang ternyata bernama Pak Amin. Pak Amin sebenarnya tinggal dengan anak dan menantunya. Sebelumnya dia tinggal di tempat lain, di rumahnya sendiri dengan anaknya yang satu lagi. Dengan lancar Pak Amin menceritakan bagaimana dia bisa keluar rumah lalu bingung tidak tahu jalan pulang. Dia ingin membeli kacang di warung tidak jauh dari rumah anaknya. Sayangnya, dia tidak ketemu warung itu, tidak juga bisa menemukan jalan kembali ke rumah. David merasa iba dengan Pak Amin yang sudah pikun itu.
David mengeluarkan roti dari tasnya, diberikannya pada Pak Amin. Roti itu langsung dilahap. Gigi pak Amin sudah tinggal beberapa, lucu jadinya kalau mengunyah. Selesai makan roti, Pak Amin mengeluarkan kertas dari sakunya. Dia gunakan kertas itu untuk melap mulutnya.
"Pak, ini kertas, bukan tisu. Sebentar ...." David mengambil tisu dan diberikan pada Pak Amin. Lalu kertas di tangan Pak Amin diambilnya.
Hampir saja dia buang, tapi terbaca oleh David tulisan nama Amin Haryoso. Dia lebarkan kertas itu. Itu nama dan alamat Pak Amin. Sepertinya anak Pak Amin yang menulis dan menaruh di saku.
David mengeluarkan botol air mineral, dia berikan pada Pak Amin. Begitu diterima, Pak Amin langsung meneguknya sampai setengah. Dia benar-benar haus dan lapar rupanya.
"Pak Amin mau pulang?" tanya David lagi.
"Iya. Aku mau tidur. Capek," jawabnya sambil mengangguk.
"Ayo, aku antarkan, Pak." David berdiri. Dia mengulurkan tangan membantu Pak Amin berdiri dan menuntunnya ke mobil.
"Ke rumah yang besar. Bukan rumahku, rumah anakku," katanya.
"Iya, Pak." David tersenyum.
David mengantarkan Pak Amin sesuai alamat yang tertera di kertas itu. Benar juga, rumahnya besar memang. Sepertinya anak Pak Amin ini orang sukses. Tapi bagaimana bisa Pak Amin lolos keluar rumah? Jelas ada sekuriti yang selalu berjaga di depan rumah besar itu.
Di depan pagar besar dan tinggi, David berhenti. Menemui sekuriti yang berjaga di sana. Setelah tahu tujuannya, langsung David diminta masuk. David membawa mobil ke halaman dan dia parkir di sana.
"Betul. Ini rumahnya. Kamu teman anakku, ya?" kata Pak Amin begitu turun dari mobil. Terlihat wajahnya berubah gembira karena bisa kembali pulang. David hanya tersenyum mendengar kata-kata Pak Amin.
"Itu dia. Fani ... anakku." Pak Amin tersenyum.
Fani menyambut Pak Amin dengan cemas bercampur rasa lega. Segera dia mengungkapkan kecemasannya karena tidak berhasil menemukan Pak Amin. David tersenyum melihat reaksi Fani begitu Pak Amin pulang.
"Dokter David?" Fani menatap David kaget. Fani salah satu pasien yang pernah David rawat. Sama sekali tidak dia sangka, dokter tampan favoritnya ini yang menemukan Pak Amin. Berulang kali Fani mengucapkan terima kasih karena David mau mengantar ayahnya, sebenarnya ayah mertuanya.
Fani memanggil seorang pembantunya untuk membawa Pak Amin ke dalam agar segera beristirahat. Lalu dia menceritakan jika kemarin sore, saat ada truk barang datang ke rumah, Pak Amin lolos. Semua sibuk membantu mengangkat barang, termasuk sekuriti. Tidak ada yang mengawasi Pak Amin. Fani sadar Pak Amin hilang ketika waktu makan malam mertuanya sudah tidak ada di rumah. Sudah beberapa kali Pak Amin sempat tersesat. Karena itu Fani selalu menulis nama Pak Amin dan alamat rumah lalu dia masukkan di kantung baju Pak Amin, berjaga-jaga jika kejadian seperti ini.
"Jiwa melayani Pak dokter memang luar biasa. Bukan cuma yang di rumah sakit yang bayar, yang diperhatikan. Tapi bisa peka sama orang tua di pinggir jalan. Mata yang melihat, hati dokter tersentuh. Tuhan memberkati selalu, ya Dok," ujar Fani dengan hati penuh kelegaan.
"Amin ...." David mengangguk.
"Aku doakan dapat jodoh gadis yang punya hati sama. Peduli sama orang lain." Senyum Fani melebar.
"Terima kasih sekali lagi, Bu. Saya permisi. " David berpamitan.
Dia meninggalkan rumah besar itu dan pulang. Sampai rumah jam delapan pagi. Kakaknya, Diana dan suaminya, Hero sedang sarapan. David segera bergabung makan bersama mereka. Diana bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan dan Hero adalah seorang pilot. Jadi dia lebih jarang ada di rumah karena harus mengembara di udara.
Pernikahan Diana dan Hero sudah hampir empat tahun, tetapi belum juga dikaruniai seorang anak. Mereka sudah mencoba berkonusltasi dengan dokter kandungan melihat semua kemungkinan agar segera mendapat momongan. Tapi belum juga anak tampak hasilnya.
"Anak itu berkat, Kak. Kalau sudah waktunya, pasti Tuhan kasih," kata David, saat Hero dan Diana sedikit mengeluh masih belum juga Tuhan anugerahi keturunan.
"Kamu bicara kayak bukan dokter tahu," sahut Hero. "Dokter pasti jawabnya, coba konsul dokter kandungan. Mungkin ada hormon atau, apa namanya yang bermasalah. Jika perlu tes ini, itu, atau kalau mungkin bayi tabung."
David terkekeh mendengar itu. "Kakak sudah pernah melakukan semuanya. Kecuali bayi tabung. Kak Hero sama Kak Diana sehat, ga ada masalah. Ya, cuma soal waktu. Kalau Kak Hero sering di rumah kali, bisa cepat berhasil. Haa ... haa …."
Hero tidak mau kalah. Dia goda David balik. "Lalu, kamu kapan mau cari cewek lagi?"
Jika ditanya soal ini David seketika tidak bersemangat. Mukanya berubah jadi lesu. "Ga mau mikir, Kak."
"Dave, kamu harus yakin, jika memang dia jodohmu pasti balik, kalau ga, terbukalah. Lihat sekeliling, pasti ada hati yang punya cinta lebih besar buat kamu." Hero menasihati David. David mengangkat kedua bahunya dan tersenyum kecut.
Suasana sedikit sendu jadinya. Mereka tidak banyak bicara lagi sambil menghabiskan makanan di piring masing-masing.
"Baiklah, aku dan Diana mau jalan dulu. Kamu jangan meratapi nasib terus." Hero berdiri, menepuk pundak David dan menuju ke kamarnya.
"Tenang saja, kamu seganteng ini, masa ga ada yang mau." Diana masih menggoda adiknya. David nyengir mendengar ucapan Diana.
Diana mengusuk kepala David dan menyusul suaminya. Tak lama terdengar kendaraan mereka meninggalkan rumah.
"Aku tuh ga muluk-muluk pinginnya. Dapat istri wanita sederhana. Bisa jadi tempat curhat, sabar dengerin aku. Misal mau berkarir, oke, tapi yang utama ya keluarga." David bergumam sendiri. Ternyata mikir juga Pak Dokter ganteng?
Jam enam pagi. Lintang terbangun. Dia menoleh ke arah Wulan yang masih tidur. Lintang duduk. Dia tidak melihat Praja dan Rasti. Ke mana mereka?Saat itu pintu terbuka. Praja masuk, menyapa Lintang sambil tersenyum."Dari mana?" tanya Lintang."Dari mandi di kali," jawab Praja. Dia menyimpan ember kecil peralatan mandinya."Bu Rasti?" Lintang menanyakan Rasti."Di belakang, memasak. Buat sarapan." Praja mengambil sepatu dan memakainya.Dia bersiap akan berjualan. Mumpung liburan sekolah, dia punya waktu bekerja lebih banyak, menyisihkan uang untuk keperluan sekolah nanti. Jika sudah kembali sekolah, waktu bekerja akan terbatas. Rasti masuk membawa masakan yang baru selesai dia masak."Ini sarapan sudah siap." Diletakkannya makanan itu di tengah ruangan."Tapi saya belum mandi, Bu. Wulan malah belum bangun," kata Lintang."Ga apa-apa, mandi nanti saja. Cuci muka situ di belakang. Baru ke kali mandi," sahut Praja.Li
Dua minggu sudah Lintang dan Wulan berada di kota. Meski tidak mudah, mereka mulai membiasakan diri. Tidur tanpa kasur, hanya di atas tikar. Makan makanan sangat sederhana. Untuk mandi, Lintang pergi ke kamar mandi umum, meski harus membayar. Daripada di sungai, dia tidak bisa. Kasihan Wulan juga. Hanya mencuci pakaian yang dia lakukan di sungai. Bu Fani, sangat baik pada mereka. Di rumahnya, saat sedang bekerja, mereka diberi makanan yang enak. Lintang dan Wulan bekerja serajin mungkin. Mereka sangat berterima kasih karena sudah diberi pekerjaan. Seminggu mereka dibayar tiga ratus ribu. Buat Lintang itu besar sekali. Yang membuat Lintang dan Wulan betah di rumah Bu Fani, Bu Fani punya anak balita yang lucu. Fenna Namanya. Cantik, berumur empat tahun. Lincah dan suka menyanyi. Sesekali Lintang dan Wulan ikut menjaga Fenna. Sedang suami Bu Fani baru dua kali Lintang dan Wulan melihatnya, karena dia selalu bekerja di siang hari. Di rumah itu juga ada ayah mertu
Malam itu Praja dan Rasti berusaha membujuk Lintang dan Wulan agar mau memaafkan Mito dan bersedia pulang. Tapi tetap saja tidak berhasil. Kedua gadis itu kekeh, tidak akan pulang. Mereka terlanjur luka dan sakit dengan perlakuan Mito selama ini.Pagi-pagi sekali Lintang dan Wulan bangun. Mereka berniat akan pergi dari gubuk itu. Uang yang Lintang punya sekarang mungkin cukup untuk mencari kamar kos yang kecil saja. Kalau makan mereka pasti bisa berhemat. Dengan tas di pundak, mereka cepat-cepat pergi."Kak, kita mau ke mana?" tanya Wulan."Kita lihat saja nanti. Yang penting kita pergi. Mas Mito pasti akan kembali mencari kita," jawab Lintang.Mereka pergi ke mana saja kaki membawa, pergi beli mie ayam untuk sarapan, lalu berjalan lagi menyusuri jalanan yang mulai ramai.*****Pagi jam tujuh jalanan memang padat. Orang-orang berjejalan di atas aspal ingin segera tiba di tempat tujuan masing-masing. Hari ini cerah, matahari tid
Lintang dan Wulan terus saja berjalan masuk gang demi gang. Sejauh mungkin dari rumah Fani. Entah sudah belok berapa kali, sudah berapa gang mereka lewati. Sampai mereka tiba di sebuah rumah kosong. Terlihat rumah itu sudah lama ditinggalkan. Banyak bagian rumah yang rusak. Atapnya bolong-bolong, temboknya beberapa bagian retak, dan terlihat rapuh. Mereka bersembunyi di sana. Mereka takut jika mereka ada di jalan, sangat mungkin Mito akan menemukan mereka. "Kak, kita mau ke mana lagi? Kita gak ada tempat," kata Wulan. Dia hampir menangis. "Lan, maafkan Kakak." Lintang memegang tangan adiknya. Hatinya sedih sekali Wulan harus menderita seperti ini. "Kenapa ibu harus mati, Kak? Sekarang kita jadi gelandangan. Kita ga punya rumah. Ga bisa sekolah. Kenapa kita ga seperti Mas Bimo? Punya ibu dan ayah yang baik dan sehat yang sayang sama dia. Kenapa, Kak?" Wulan tak tahan lagi. Dia benar-benar menangis. Bahunya sampai berguncang-guncang karena rasa pedih yang begitu dalam. Lintang seketi
Lintang berjalan cepat masuk gang di depannya. Rumah-rumah sudah gelap. Hanya satu atau dua rumah yang lampunya menyala. Itu pun hanya di satu ruangan. Di mana Wulan? Pria itu tinggal di rumah yang mana? Dengan rasa cemas Lintang memperhatikan satu per satu rumah yang masih menyala lampunya. Tapi rumah yang mana? Apa Lintang harus mengetuk setiap pintu rumah? Ini tengah malam!!Rasa cemas dan takut makin mendera Lintang. Tapi dia harus menemukan Wulan. Tak peduli jika itu Mito sekalipun ternyata yang membawa Wulan. Dia harus menemukan adiknya. Dingin terasa menusuk kulit. Jaket tipis Lintang tidak terlalu menolong mengatasi dingin dan angin malam. Dengan kebingungan, Lintang memandang ke sekeliling pada rumah-rumah dengan lampu menyala."Uhuukk ... uuhukk ...." Terdengar suara batuk."Wulan?" bisik Lintang. Itu seperti suara batuk Wulan. Lintang menghentikan langkah, memasang pendengarannya. Lintang berdiri di depan sebuah rumah yang tak terlalu besar. Lampunya
Wajah gadis ini cantik, tapi lusuh, dan terlihat begitu sedih. Matanya indah meskipun sayu. Itu yang tampak di mata David. Lintang menghiba memohon belas kasihan padanya. Yang ada dalam pikiran Lintang tidak lain adalah kesembuhan Wulan. Hanya itu. Dokter tampan ini harapannya. Dia akan lakukan apa saja agar Wulan bisa sembuh kembali. "Dokter, kekurangan biaya akan saya bayar dengan bekerja. Saya bisa kerjakan apa saja. Menyapu, mengepel, memasak, mencuci. Apa saja. Tolong, Dokter," kata Lintang lagi. Suaranya terdengar pedih dan memilukan. David merasa begitu iba melihat Lintang sangat kacau. Tampak jelas Lintang sangat takut jika terjadi sesuatu yang buruk pada Wulan. "Tentu. Aku akan mengobati Wulan. Tugas dokter menolong orang sakit. Aku yang membawa Wulan ke sini. Jadi aku tidak akan meminta bayaran apa-apa. Simpan saja uang kamu." David mengatakan itu dengan tulus, bukan hanya karena ingin menenangkan Lintang. "Tapi, saya dan Wulan ... kami tidak punya tempat tinggal. Saya mi
Lintang membangunkan adiknya. Saatnya Wulan makan dan minum obat. Wulan mencoba duduk, bisa, tapi masih terasa lemas badannya. Lintang mulai menyuapi Wulan. Sementara mengunyah makanan, Wulan teringat pada majikan mereka Bu Fani. Bu Fani orang yang sangat baik. Mungkinkah David dan Diana sama seperti majikannya itu? "Kak, apa mereka baik seperti Bu Fani?" tanya Wulan. "Iya, Lan. Kak dokter bilang kamu akan dirawat sampai sembuh," jawab Lintang. Dia meniup bubur lalu menyuapi Wulan lagi. Wulan memandang Lintang. Setelah dia sembuh, apa yang mereka akan lakukan? Kembali ke jalanan? Tidur di pinggir jalan? Pekerjaan juga sudah tidak ada. Bagaimana nasib mereka nanti? Ingat hari-hari berat yang telah dia jalani, juga sakit yang mendera hingga seperti mau mati, Wulan merasa pahit di hatinya.
David telah berangkat ke rumah sakit. Lintang memandang ke seluruh ruangan di rumah itu. Senyumnya lebar karena sangat gembira. Masih tidak percaya dia diberi kesempatan boleh bekerja di rumah ini! Segera dia ke kamar belakang ingin memberitahu Wulan. Tapi ternyata dia tidur. Nanti saja kalau Wulan bangun Lintang akan memberitahu adiknya. Nah, ayo, mulailah bekerja. Tunjukkan pada pemilik rumah ini, mereka tidak akan kecewa. Menit berikut, Lintang sudah mulai bergerak, membersihkan rumah dari bagian depan sampai ke belakang. Dia berhati-hati sekali agar tidak ada barang yang rusak. Dia bekerja dengan semangat dan senyum lebar. Jika dia berhasil bekerja dengan baik, dia bisa tinggal di sini. Karena hati yang gembira waktu berjalan sekian lama tidak terasa. Tidak juga terasa Lelah. Selesai membereskan semuanya, dia memasak untuk makan siang. Wulan tidak boleh telat minum obatnya. Lintang membuat sup untuk Wulan. Saat dia masuk ke kamar, adiknya sudah bangun dan duduk bersandar pada ban