Suasana tegang di dalam sebuah kamar itu semakin menakutkan saat Cindy tidak lagi membuka mulutnya. Wanita itu memilih diam dan membiarkan Chris melakukan apa yang dia mau dan dia suka. Toh, ucapannya juga tidak akan mempengaruhi isi kepala Chris yang seperti batu.
Tangan Cindy dengan lincah membalik lembar halaman buku yang dia baca. Dia masih mengabaikan Chris yang bersandar pada lemari dengan tubuh basahnya. Suara helaan nafas dari Chris pun tidak membuat Cindy beralih. Dia sudah membulatkan tekat untuk diam dan menurut. Itu yang Chris mau.
"Baiklah, kau ingin nuansa warna peach? Kau mendapatkannya, Cindy." Chris mengambil sebuah baju dan memakainya cepat.
Cindy yang mendengar ucapan suaminya pun menutup bukunya cepat dan berteriak senang. "Akhirnya!" Cindy mulai berdiri dan menghampiri suaminya.
"Kau selalu melakukan itu." Chris bergumam tanpa menatap Cindy yang berada di belakangnya.
Tangan kecil itu perlahan melingkar denga
Wajah penuh keringat itu mendongak dengan suara yang tertahan. Matanya terpejam seolah menikmati apa yang baru saja dia alami. Setelah itu, tubuh besar Chris jatuh di atas tubuhnya. Tidak terlalu lama, karena Chris sadar akan perut Cindy yang sudah besar. Pelepasan yang sempurna."Apa kita harus menyelesaikan perdebatan dengan bercinta?" tanya Cindy geli.Dia sangat ingat ketika Chris marah hanya karena melihatnya menggunakan sepatu ber-hak tinggi ketika kuliah. Pria itu tanpa ragu melempar semua koleksi sepatunya ke kolam renang dari balkon kamar mereka. Sebenarnya Cindy tidak berniat menggunakan heels, namun entah kenapa bayinya menginginkan itu."Kau yang memulai." Chris meraih pinggang Cindy dan memeluknya erat."Apa? Kau saja yang selalu marah-marah." Cindy cemberut.Chris menghela nafas kasar, "Apa kita akan berdebat lagi? Jika iya, aku masih kuat untuk ronde kedua.""Jangan konyol!" Cindy mendorong wajah Chris
Maria mendorong kursi roda yang diduduki oleh gadis berwajah muram ke arah taman. Sejak masuk ke dalam yayasannya, Maria tidak pernah melihat senyum di bibir gadis itu. Mungkin dia masih mengalami trauma atas kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya. Kini gadis yang bernama Nessa itu hanya hidup sendiri dan kerabatnya dengan tega memasukkannya ke yayasan orang berkebutuhan khusus.Nessa memang tidak bisa berjalan, tapi bukan berarti dia tidak akan pernah bisa berjalan lagi. Jika dia mau, perawatan medis dapat membantu kakinya kembali berjalan. Namun entah kenapa Maria tidak merasakan adanya semangat dari diri Nessa. Tatapan gadis itu selalu kosong dan menampakkan kesedihan.Maria tersenyum menatap Caleb yang tengah bermain basket dengan anak-anak yayasannya. Pria itu tumbuh menjadi pria dewasa yang tampan dan mempesona."Jika kau mau, kau bisa bermain basket bersama mereka." Tawar Maria menyentuh pundak Nessa. Lagi-lagi tidak ada jawaban yang dia terima.
Madeline Cindy, gadis tangguh berusia 20 tahun yang mengambil banyak pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Menjadi tulang punggung keluarga sudah menjadi suatu keharusan untuknya. Cindy harus mengumpulkan banyak uang untuk operasi kaki Ibunya yang lumpuh karena kecelakaan.Hidup di kota besar seperti New York sangatlah sulit. Kau harus bisa memutar otak jika tidak ingin tidur di pinggir jalan dan meminta belas kasihan dari orang lain. Cindy bersyukur jika Caleb mendapatkan beasiswa untuk sekolah menengah atas sehingga dia tidak perlu bingung dengan biaya sekolah adiknya itu.Pernah terbesit rasa iri yang Cindy rasakan ketika melihat orang lain bisa tertawa dan membelanjakan uang mereka tanpa khawatir. Seperti remaja pada umumnya, dia juga ingin melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi tapi Cindy harus mengubur semua mimpi itu. Sekarang bukan saatnya dia memikirkan dirinya sendiri karena yang terpenting adalah Ibunya. Cindy ingin Ibunya bisa kembali
Chris memandang seorang gadis dari kejauhan. Jari-jari tangannya mengelus bibir tipisnya sambil berpikir, "Apa benar dia gadis yang dimaksud Ayah?" tanya Chris pada Anton."Benar, Tuan. Semua keterangan tentang gadis itu sudah ada di dalam file yang Anda pegang."Chris melirik dan membuka map hitam yang ada di pangkuannya. Halaman pertama menampilkan foto Cindy yang tengah tersenyum sambil menyuapi seorang wanita yang duduk di kursi roda."Ini Ibunya?" tanya Chris sambil menunjuk foto itu."Iya, Tuan. Setelah kecelakaan 7 tahun yang lalu, Maria mengalami kelumpuhan."Chris menggelengkan kepalanya dan menutup map itu, "Aku malas membaca, ceritakan secara singkat tentang gadis itu." Anton hanya mengangguk dan mengambil map yang diberikan oleh Chris."Nama gadis itu Madeline Cindy," Anton mulai bercerita, "Berusia 20 tahun. Hidup bersama Ibu dan adiknya yang bernama Caleb. Adiknya masih berusia 16 tahun dan duduk di sekolah menengah atas. Setel
"Aku pulang."Cindy membuka pintu rumahnya dan berjalan ke arah dapur untuk meletakkan makanan yang sempat dia beli setelah selesai menidurkan Violet tadi. Untung saja Rose tidak memintanya untuk menginap lagi sehingga dia bisa menemani Ibunya malam ini."Ibu?" panggil Cindy sambil menyiapkan makan malam. Dia bersyukur bisa membeli makanan lezat malam ini dengan gaji pemberian Rose. Wanita itu benar-benar pengertian.Bunyi dentuman bola basket membuat Cindy menghentikan kegiatannya. Dia menoleh ke arah Caleb yang baru saja datang dari pintu belakang. Tubuh polos pria itu terlihat basah karena keringat. Sepertinya Caleb baru saja selesai bermain basket di lahan kosong belakang rumah."Di mana Ibu?" tanya Caleb pada Cindy masih dengan memainkan bola basketnya."Berhenti Caleb! Kau ingin merusak lantai rumah?!"Caleb meletakkan bola basketnya dan menghampiri Cindy yang sedang menyiapkan makanan di dapur. Pria itu mengambil gelas dan mengisinya
Tangan kecil Cindy dengan lembut mencuci kaki ringkih Ibunya. Di saat seperti ini, ingin rasanya dia menangis, menangisi nasib keluarganya yang benar-benar jatuh pada titik terendah.Cindy tidak masalah jika mereka hidup dalam kekurangan, karena uang masih bisa dicari. Namun tidak dengan kesehatan, melihat Ibunya yang hanya duduk di kursi roda setiap hari membuat Cindy sakit hati.Ingatannya kembali berputar ke masa lalu di mana Ayahnya telah pergi meninggalkan mereka. Sejak saat itu, Maria yang menggantikan tugas Ayahnya untuk mencari uang. Wanita itu begitu semangat membanting tulang untuk kebahagiaan anaknya yang masih bersekolah, tapi takdir berkata lain. Maria mengalami kecelakaan yang harus membuat kedua kakinya tidak bisa berjalan. Kendala biaya yang membuatnya seperti ini.Sampai sekarang, Cindy belum menemukan siapa pelaku tabrak lari tersebut. Bisa saja dia menuntut dan mencari sampai ditemukan, tapi apa daya dia hanyalah rakyat
Denganhoodiepolos berwarna hitam, Cindy mulai memasuki sekolahnya. Hari ini dia hanya ada kelas sampai jam 2 siang dan setelah itu dia akan kembali bekerja di toko bunga.Cindy telah memulai kuliahnya sejak 2 hari yang lalu. Perasaannya sempat campur aduk begitu harus memulai hari barunya. Dia takut jika tidak akan ada yang mau berteman dengannya dan sialnya itu benar terjadi.Cindy harus mulai menguatkan mental dari sekarang. Jika tidak, dia akan menjadi gi
Cindy terdiam dengan bingung. Dia masih tidak percaya dengan pria yang ada di depannya saat ini. Jujur saja, Cindy tidak ingin melihat Chris untuk saat ini."Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Cindy tidak sukaChris melirik jam tangannya sebentar, "Sebentar lagi malam, ayo kita pulang."Cindy menatap Chris aneh, "Kenapa aku harus pulang denganmu?"Chris berdecak dan melipat kedua tangannya di dada, "Aku pernah berjanji untuk membawamu makan makanan yang sehat dan aku pikir saat ini adalah waktu yang tepat.""Kau berkata seolah tidak terjadi apa-apa di antara kita. Apa kau lupa jika kau membuatku menangis saat terakhir kali kita bertemu," ucap Cindy dengan kesal."Itu karena kau saja yang cengeng. Jika kau tidak keras kepala tentu aku tidak akan melakukan itu.""Ya ya ya terserah kau Tuan angkuh. Yang pasti aku tidak bisa pulang sekarang, pekerjaanku banyak." Cindy kembali duduk dan merangkai bunganya yang sempat dia tinggalkan tadi.