Aneh…
Aku merasa hampa saat melihat jari manisku yang kini kosong tanpa adanya benda bulat yang biasanya bertengger di sana.
Apa karena aku telah memakainya bertahun-tahun ya? sensasi ini sangat menyebalkan.
“ Kau baik-baik saja? wajahmu terlihat pucat.” Tanya Reihan.
“ Apa kau melihatku mengenakan cincin saat masuk kelas tadi? ” Aku terus bertanya padanya sambil menatap tempat dimana cincin itu seharusnya berada.
“ Tidak.” Jawabnya singkat, “ apakah cincin itu sangat penting bagimu? Kau terlihat sangat khawatir?”
“ Entahlah.” Jawabku tak berani menatapnya, “ Aku harus menemukannya bagaimanapun caranya.&rdquo
_Adrian_Luci pulang saat aku sibuk bertelepon dengan klien. Dia berhenti sejenak kemudian dan langsung duduk di sofa tepat di sampingku.Aku tersenyum padanya dan dia pun membalasnya dengan lambaian. Dia sepertinya sedikit bermasalah.Ku selesaikan panggilanku dan berjalan ke arahnya, “ Apa ada yang ingin kau tanyakan padaku? Kau terlihat sangat gusar sejak tadi.”“Ah! Ya… Aku kehilangan cincinku. Kau pernah melihatnya?”Aku tahu itu. cincin itu sengaja ku sembunyikan karena sihir yang ada di dalamnya. Sihir yang dapat menarik ingatan seseorang dalam sekejab.Ku gelengkan kepalaku, “tidak. Apakah itu sangat penting?”
Aku yakin Bryan pasti akan memberikanku kabar bagus.Dia pasti mendapatkannya kali ini.Aku yakin.====================================================================Nihil.Tak ada informasi apapun.Apa ini semua lelucon?Sama seperti Luci informasi yang ku dapatkan tentangnya hanya informasi dasar saja. Tak ada informasi khusus selain dia adalah seorang dokter.Tidak ada informasi lain yang berguna.Apa ini omong-kosong lainnya?Ku ambil handphoneku dan menghubungi Bryan sesampainya di kamarku.
_Alex_Aku berdiri di balkon menatap pemandangan hutan di sekitarku sambil menghirup udara segar selagi menunggu mangsaku. Kedatangan anjing kampung itu sepertinya lambat, seharusnya dia sudah disini sejak tadi.Anjing kampung sialan itu mengambil cincin yang telah ku kerjakan bertahun-tahun begitu saja, dia bahkan memastikan sihir didalamnya dan seenak jidat menggali informasi tentangku.Ketika mereka berdua hidup bersama banyak sihir yang terbuang sia-sia untuk menyegel ingatan Luci secara paksa. Anjing kampung itu terlalu lancang menurutku, aku bahkan tak bisa mengatakan apapun pada Luci tentang hal ini atau pun mengambilnya kembali.Sekarang cincin itu benar-benar ‘hilang’ jika sesuatu terjadi lagi pada Luci….aku tak tau apa yang akan terjadi akiba
Lucas menatapku bergantian dengan pria di hadapanku, kami masih setia menunggu jawaban darinya.“Karena…” Adrian tak begitu yakin dengan apa yang ingin dia katakan, “Luci berkencan dengan pria di sebelahmu makannya aku marah!” sayangnya itu adalah jawaban yang salah, bahkan anak kecil masih lebih baik dalam berbohong ketimbang dirinya. Lagipula untuk apa aku berkencan dengan Luci? pemikirannya sangat konyol.Lucas menarik nafas keras dan itu terdengar dramatis menurutku. Dia langsung menjatuhkan benda yang sedari tadi di genggamnya lalu menatapku seksama, “kau berkencan dengan Luci?!”“Tidak.” ku bantah pertanyaanya tadi dan Lucas pun langsung melihat kembali kearah Adrian.“Kau pembohong!”
_Luciana_ Sebagai mahasiswi pindahan tahun ketiga jurusan Hubungan Internasional di Forks, Washington. Aku hanya ingin menjalani rutinitasku dengan tenang hingga lulus. Tidak seperti sebelumnya yang harus terus berpindah-pindah dari satu kota kekota lain karena pekerjaan waliku. Tempat baru, suasana baru, teman baru semuanya membuatku harus memulainya lagi dari nol. Namun, mengapa harus pindah ke kota ini? Kota kecil yang terlihat sendu seolah ditinggalkan bahkan matahari pun enggan menampakkan dirinya, hanya ada awan mendung dan rintik hujan yang selalu mengiringi. Aku benci tempat ini! Suasana di sini seolah mengingatkanku akan hal yang telah lama kulupakan. Hal yang selalu membuat kepalaku berdenyut sakit setiap kali potongan puzzle itu terbuka. Seperti sekarang, perasaan gelisah itu terus menghantui hingga membuat tubuhku bergetar hebat diiringi kucuran keringat dingin yang perlahan turun dari dahiku. Ukh! Kepalaku berdenyut sakit, ini semakin sering terjadi sejak kepindahanku
Aku coba menahan Reihan sekuat tenaga namun gagal. Reihan malah semakin menggila.“Rei, cukup!”“Cukup kau bilang?! Pria brengsek ini berani menyentuhmu! Kau pikir aku akan diam saja saat si brengsek ini menyentuhmu bahkan menarikmu kasar ke pelukannya?” Reihan sangat marah, emosinya tak stabil bahkan dia menginjak tangan pria itu berkali-kali hingga terdengar suara tulang patah di sertai jeritan melengking yang terdengar hingga satu ruangan.Ya Tuhan! Ini seperti penyiksaan sepihak. Aku harus segera menghentikannya.Kuputuskan menyeret Reihan menjauh dari sini sekuat tenaga. Aku bahkan sampai melupakan rasa mual dan pusing yang kuderita tadi. Kami harus segera pergi sebelum terlambat.“Kau pikir kau akan selamat keluar dari sini? Jangan harap kalian akan pergi dari sini dengan mudah. Akan kubalas berkali-kali lipat! Kubuat kau sangat menderita dengan melihat gadis kesanganmu berada di bawah selangkanganku sambil memoh
Kakak besar? Bunuh? Adrian terdiam sejenak, bukannya dia syok atau apa. Dia hanya tak habis pikir dengan perkataan gadisnya yang menganggapnya dirinya gangster atau seorang pembunuh, dari mana dia mendapatkan pikiran konyol itu? Adrian terus menatap gadis di depannya yang kini tengah gugup akibat tindakannya barusan. Dia sangat manis, apalagi ekspersi terkejutnya tadi. Ingin sekali menariknya dalam pelukanku. Sayangnya keberadaan makhluk menyebalkan di belakangnya membuyarkan semua angan. Tatapan matanya kini beralih pada Reihan. Kapan adik bodohku ini berhenti membuat ulah? “Reihan!” seruku padanya. Reihan berjalan ke arahku dengan santai seolah tak terjadi apapun,”Hai?” SHIT!
Hampir setengah jam perdebatan panjang yang alot itu berlangsung. Butuh banyak usaha untuk mengeluarkan gadisnya dari kantor polisi. Semua ini membuatnya lelah, beberapa kali Adrian menghela nafas frustasi hingga ketiganya sampai keparkiran mobil tempat Adrian memarkirkan mobilnya “Kemarilah.” Aku memanggil Reihan kearahku meninggalkan gadis itu di belakang. Reihan menghampiriku dengan ragu. Apa segitu menakutkannya diriku hingga dia seperti ini? Inilah alasan kami tidak pernah dekat walaupun kami bersaudara. “Gadis itu pacarmu?” Aku menanyakan padanya tapi yang kulihat hanya ekspresi konyol dan bingung. “Maksudmu Luci?” Reihan menangkap isyaratku, “Tidak, dia hanya sahabatku di kampus. Kenapa?” Jadi nama gadis itu – Luci. “Dia pasanganku.” Aku menjawabnya tegas. “Oke. APPPAAAA?!” Reihan seketika heboh sendiri, “Tunggu! Dia pasanganmu? Kau tidak sedang bercandakan?” Kutatap sinis dirinya menandakan ketidaksukaanku. Dia sangat berisik. Reihan menatapku tak percaya, bahkan dia men