Di bawah malam purnama itu, Kiara dan Moa melakukan perjanjian tanpa sepengetahuan orang-orang. Keduanya bertemu di perbatasan hutan dan melakukan perjanjian di sana.
"Jika aku berhenti membantai penduduk, kau akan menyerahkan dirimu padaku?"Kiara mengangguk. "Aku akan datang padamu, jadi kau bisa membunuhku. Tapi ingat, kau juga harus menepati janjimu padaku.""Aku pegang janjimu. Namun jika kau mengingkarinya, akan aku pastikan seluruh keluargamu akan aku habisi, termasuk putri semata wayangmu itu."Kiara mengepalkan kedua tangannya.***Kedua mata Moa terbuka lebar dan ia mendudukkan tubuhnya. Mimpi tentang perjanjian bersama Kiara selalu berulang dan membuat tidurnya tak tenang. Setelah sekian tahun, ia tidak bisa melupakan dendamnya begitu saja. Moa menatap pedang miliknya. Pedang berwarna silver itu menyimpan sisi gelap Kiara di dalamnya, dan siapa sangka kalau sisi gelap milik Kiara lah yang membuat kekuatan pedangnya"Ada apa?" Nara bertanya begitu Moa berhenti secara tiba-tiba. Pria itu tiba-tiba berputar balik dan membawa Nara pergi ke arah lain. "Ada apa?" Nara kembali bertanya."Seseorang memasuki hutan." Moa menjawab. "Ma-manusia?" Moa mengangguk. Ia dan Nara berlari menuju sebuah pohon besar. Moa tiba-tiba melepas mantelnya dan memakaikannya pada Nara. "Kau diam di sini dan jangan berani kabur," titahnya, lebih terdengar seperti ancaman. Setelah itu, dengan cepat Moa pergi dari sana dan menghilang dari pandangan Nara. Gadis itu semakin menyudutkan tubuhnya ke pohon. Kalau pun dia nekat pergi, bau dari mantel itu akan tetap bisa tercium oleh Moa dan makhluk itu akan dengan cepat menemukannya. "Kali ini siapa lagi yang datang?" gumam Nara. "Apakah kakek kembali ke sini?" Sementara itu Moa pergi mencari sosok yang menginjakkan kaki ke dalam hutannya. "Ini tidak hanya seperti langkah manusia, namun juga--"
"Nara--" Yooshin yang semula berniat maju mendekati Nara langsung berhenti saat Moa mendekat ke arahnya. "Aku sudah memperingatkanmu sejak awal. Seharusnya kau menurut dan menyerah saja," ujar Moa. "Aku tidak akan pernah menyerah padamu." Yooshin mencabut pedang miliknya tanpa melepas tatapannya barang sedetik pun. Ia lalu menatap Nara di belakang sana. Gadis itu tak bisa berbuat banyak dan tampak begitu khawatir. "Setidaknya dia masih hidup karena aku tidak membunuhnya langsung. Seharusnya kau bersyukur." Moa tersenyum miring. Ia berjalan memutari Yooshin. "Kau tahu kenapa aku masih membiarkanmu hidup hingga detik ini? Karena ... gadis itu yang menyuruhku." Moa memegang kedua bahu Yooshin dan menunjuk ke arah Nara. "Nara ... ""Dia memintaku untuk tidak membunuhmu." Dari posisinya, Moa bisa melihat kedua mata Nara yang berkaca-kaca. Netra milik gadis itu tampak berkilau karena pantulan cahaya api berwarna biru di sekelilingnya.
Moa membawa tubuh Nara ke permukaan dan ia langsung kehilangan keseimbangannya. Pria itu menatap Nara yang masih tak sadarkan diri. Suhu gadis itu juga kian menurun. Moa meraih wajah Nara dan ia mendekatlan wajahnya. Diberinya napas buatan, berharap gadis itu segera menunjukkan pergerakan.Dengan tenaga yang masih tersisa, Moa berusaha mengeluarkan air yang kemungkinan masuk ke dalam tubuh Nara."Sadarlah! Kau bisa!" Moa kembali memberikan napas buatan.Setelah beberapa saat, Nara terbatuk pelan namun kedua matanya tak kunjung terbuka."Hei. apa kau mendengarku? Kau bisa mendengarku?" Moa menepuk-nepuk pelan permukaan pipi Nara namun gadis itu masih memejamkan kedun matanya, sesekali mengerutkan dahi.Moa menatap kedua telapak tangan milik Nara yang terluka. Gadis itu nekat sekali. Jika saja pedang yang melukainya adalah pedang milik Moa, nyawanya pasti akan langsung melayang kurang dari satu menit.Begitu hujan reda. ia segera membawa Nara pergi dari sana. Ia tak akan bisa bergerak l
Tubuh Nara seakan membeku saat material lembut itu menyapu permukaan bibirnya. Tubuh Moa perlahan kembai menjauh, dan menatap Nara yang masih tampak terkejut."Kau hanya perlu makan, tidak usah banyak bicara." Ucapan Moa membuat Nara tersadar dari lamunannya."Iya, maaf." Nara menunduk.Meskipun samar, Moa bisa melihat wajah Nara yang dihiasi oleh rona merah. Ia kembali menyuapkan sepotong kentang dan langsung disambut oleh Nara. Diam-diam, Nara memperhatikan wajah Moa."Wajahmu masih terlihat memar." ujar gadis itu pelan."Sudah tidak begitu sakit." ujar Moa. "Harusnya kau mengkhawatirkan pemuda itu."Kedua mata Nara melebar. "A-aku yakin kau tidak membunuh Yooshin.""Kenapa kau begitu percaya padaku?" ujar Moa."Aku tahu kalau kau bukanlah makhluk yang bisa dengan mudah berdusta. Aku yakin kau menepati perkataanmu.""Dan kau sengaja melakukan hal itu?" tebak Moa.Nara tersentak pelan. "A-aku--""Kau senga
Nara menatap kedua tangannya yang sudah sembuh. Luka yang sebelumnya menghiasi kedua telapak tangannya itu kini sudah tak terlihat lagi, berkat Moa.Gadis itu menghela napas, lalu menengadahkan kepalanya ke atas, menatap dedaunan di atas sana yang menari-nari tersapu angin."Maafkan aku. Yooshin," batinnya. "Aku juga tidak mengerti kenapa aku melakukan semua ini."Nara mengepalkan tangannya, lalu memejamkan mata. Mendadak, entah kenapa, ia merasa begitu berdosa kepada kedua orangnya. Jika keduanya masih hidup, mungkin Nara bisa melihat raut kekecewaan yang ada di wajahnya.Nara meremas pakaiannya."Ada makhluk jahat yang hidup jauh sebelum kakekmu lahir. Mereka jahat, sangat jahat, dan tidak memiliki belas kasihan sedikit pun.""Apa mereka membenci manusia, Bu?""Hm. Mereka sangat membenci manusia. Dan yang jadi masalahnya adalah, mereka itu abadi dan hampir tidak bisa dikalahkan bahkan oleh raja di negeri ini. Makhluk itu seolah tidak memiliki rasa takut, dan akan terus menyerang man
"Aku tidak akan pernah lagi membiarkan Yooshin pergi ke hutan itu." Tuan Hwang membuang napas pelan melihat keadaan putranya. Yooshin terlihat belum sadarkan diri."Aku benar-benar menyesal. Maafkan aku," ujar Seungmo."Anda tidak bersalah. Tuan. Akulah yang lalai dalam memperhatikan putraku. Harusnya aku melarangnya pergi ke sana lagi. Dia sudah beberapa kali menghadapi situasi yang berbahaya yang bisa mengancam nyawanya, aku tidak bisa membiarkannya menghadapi hal seperti itu lagi."***"Kakekmu, Kim Seungmo, adalah manusia picik yang juga aku benci hingga detik ini. Dia penyebab dari semua ini. Dia mengadu dombakan aku dan juga ibumu. Dia tahu kami membuat kesepakatan dan dia mengacaukan segalanya. Dia dan juga orang-orangnya membunuh penduduk lalu berkata pada Kiara kalau akulah yang membunuh mereka semua.""Ibumu marah dan menyudutkanku. Dia dan ayahmu diam-diam masuk ke dalam hutan di malam purnama dan membunuh semua keluargaku. Dia membunuh mereka saat mereka dalam kondisi lema
Waktu tak terasa berlalu dengan begitu cepat. Nara yang masih berada di dalam Hutan Moa mulai perlahan kian terbiasa dengan kehidupannya di sana. Di samping itu, seharusnya Moa berperan sebagai sosok yang patut Nara jauhi, namun pada kenyataannya justru mereka berdua melakukan hal yang sebaliknya. Gadis yang sempat berencana membuat senjatanya sendiri secara diam-diam kini justru seolah melupakan tujuannya itu.Asap terlihat mengepul melewati dahan-dahan pohon, lalu berterbangan ke langit dan menghilang bersama dengan angin. Sementara di bawahnya, si pelaku pembuat kepulan asap itu tampak menikmati ikan bakar dengan wangi yang begitu menggoda, membuat air liur seolah hampir menetes keluar dari ujung bibir yang sudah lembap."Kau berencana makan itu sendirian?" Moa bertanya dari bawah pohon, menatap anak manusia yang terlihat fokus pada ikan bakar di depannya.Nara mengangguk dengan semangat. "Tentu saja. Aku lapar sekali." ujarnya. Ia menyudahi acara bakar ikannya dan kini sibuk meniu
"Terlihat cocok untukmu." Moa menatap panampilan baru Nara dengan pakaian berwarna putih, lengkap dengan jubah berwarna senada. Bagian pundak yang dihiasi bulu-bulu halus menambah poin plus penampilan gadis itu."Ini keren!" Nara memutarkan tubuhnya dan terlihat senang. "Kau mendapat ini dari mana?""Hanya iseng, aku melihatnya di salah satu desa yang aku kunjungi," jawab Moa."Kunjunganmu itu bermakna mengerikan. Beruntung pakaian ini tidak ada bercak merahnya," cibir Nara. "Ngomong-ngomong kenapa kau sampai membawakan ini untukku?""Udara mulai dingin kan, sebentar lagi musim dingin datang jadi aku memutuskan membawakan itu untukmu. Manusia lemah sepertimu pasti akan membuatku kerepotan di tengah udara dingin.""Astaga, kau menyebalkan sekali." Nara menggelengkan kepalanya. "Tapi penampilan kita terlihat seperti Yin dan Yang, hitam dan putih. Aku suka, meskipun kau pasti mencurinya." Salah satu sudut bibir Nara naik.Moa berdeham, lalu beranjak dari tempatnya. "Aku akan masuk ke dal