Pasangan suami istri itu mengantarkan Cedric pergi ke bandara. Meskipun Anna sudah meminta sang ayah untuk tetap tinggal selama beberapa hari ke depan, tetap saja Cedric tidak mau melakukannya. Dengan alasan masih ada pekerjaan yang harus dilakukan, akhirnya dia pergi meninggalkan mereka dan kembali ke ibukota. Anna bersandar di bahu Eric ketika melihat pesawat yang ditumpangi oleh ayahnya telah lepas landas. Akhir-akhir ini begitu banyak kebahagiaan yang menghampiri mereka. Sampai-sampai Anna merasa khawatir jika kebahagiaan ini bisa segera diambil kapan saja dari pelukannya.Secara tiba-tiba air matanya keluar, Anna menarik napas dan langsung saja menghapus jejak air matanya. Entah apa yang sudah membuatnya takut hingga hatinya menjadi gelisah.Gerakan Anna tak luput dari pandangan Eric. Pria itu segera melonggarkan pelukan mereka dan melihat wajah sang istri. Seketika dia membelalak terkejut saat melihat Anna yang sedang menangis."Ada apa? Apa yang membuatmu menangis?" Eric berta
Ketika hari sudah mulai gelap, Eric segera mengajak Anna untuk pergi dari kawasan pantai. Meski sebenarnya dia masih ingin bepergian berdua tetapi Eric tidak mau istrinya kelelahan. "Apakah besok kamu akan mengajakku ke tempat lain yang ada di Bali?" Anna bertanya dengan tidak sabar. Sejak dia menginjakkan kaki di tanah Bali, sang suami tidak henti menyenangkan hatinya. Membuat Anna terus saja bertanya-tanya, apa yang selanjutnya akan dilakukan untuk membuatnya senang?"Kita lihat saja besok!" Eric menatap dengan senyum menggodanya, "Atau ... apakah kamu memiliki tempat yang ingin kamu kunjungi? Aku bisa mengantarmu ke tempat manapun yang kamu inginkan.""Oh, ya? Bagaimana jika aku ingin kamu mengajak ke ujung dunia?" Anna semakin senang tiap kali mendengar jawaban Eric tentang usahanya menyenangkan Anna. "Tentu saja akan kulakukan! Selama tidak membahayakan, pasti akan aku laksanakan untuk tuan putri yang cantik ini," ucap Eric, mengusap wajah Anna, membuat dia tertawa geli. "Sek
Vania menunggu dengan tidak sabaran hingga dari dalam jendela mobil, dia melihat Liam yang kembali dengan tergesa-gesa. "Dimana? Apakah mereka ada di sana?" Vania bertanya dengan tidak sabaran." "Tidak ada siapapun di dalam sana. Hanya rumah kosong yang sudah lama tidak ditinggali. Sebaiknya kita segera pergi dari sini karena kita tidak tahu ada apa saja di sini." Tempat yang mereka singgahi kali ini adalah sebuah rumah di tengah ilalang yang tumbuh. Sebenarnya sejak awal yang sudah berpikir bahwa tidak mungkin majikannya ada di sini. Hanya saja dia berusaha untuk berpikir positif. Berharap bahwa mereka bisa ditemukan di sini. Akhirnya rombongan mobil mereka kembali bergegas dengan mobil Vania yang memimpin. Mereka segera pergi menyusuri jalanan dan berharap ada secercah cahaya yang menjadi titik terang keberadaan Eric dan Anna. Di sisi lain, entah sudah berapa lama dia tertidur, ingatan terakhir kali yang Anna ingat adalah kedua tangannya ditahan saat dia mencoba untuk melawan.
Tepat pada saat itu Liam sudah berada di depan Eric. Seketika itu juga dia baru bisa keluar sembari menggendong Anna. Segera Eric membawa Anna berjalan meninggalkan hutan sesuai dengan arahan Liam. "Maaf sudah membuat Anda menunggu, Tuan," ucap Liam, dia mengulurkan tangan, hendak berganti menggendong Anna. "Biar saya yang menggendong Nyonya Anna." Namun, Eric segera menolak dengan berkata, "Biar aku saja. Pastikan tidak ada orang yang mengikuti kita!" "Baik." Eric segera membawa Anna masuk ke dalam mobil yang ditumpangi oleh Vania. Ketika dia masuk, seketika Vania langsung terkejut melihat kondisi Anna yang sudah berdarah-darah di bagian bawahnya. "Eric, apa yang terjadi? Kenapa Anna bisa perdarahan seperti ini?" Eric terbelalak, dia baru melihat darah di kedua kaki Anna. Dilihatnya sang istri yang sudah pucat dengan kedua mata terpejam."Anna, Sayang ... bertahanlah!" "Segera ke rumah sakit terdekat!" Eric memberikan perintah. "Anna, bangunlah, ya! Jangan tidur, Sayang! Kamu
Eric hanya bisa pasrah setelah mendengarkan penjelasan dokter mengenai kondisi kedua mata istrinya. Saat ini Anna sedang beristirahat setelah diberikan obat penenang. Kehilangan penglihatan yang dialami oleh istrinya itu tentu saja sangat membuat jiwanya terguncang. Hingga Anna terus saja menangis dan berteriak meminta penglihatannya kembali. Ditambah dengan mereka yang baru saja kehilangan bayi, Eric sangat memahami reaksi yang diberikan oleh sang istri. Perlahan Eric mengangkat tangan kemudian menyentuh luka lebam di area sekitar mata Anna. Pukulan tongkat baseball yang dilayangkan oleh Agatha ternyata mengenai saraf yang ada di area sekitar mata Anna hingga membuat pandangannya gelap. Meskipun dokter berkata bahwa hal ini masih bisa diobati, tetap saja Eric sangat cemas dan takut jika keadaan akan terus seperti ini.Eric menundukkan kepala, menenangkan diri sejenak sebelum akhirnya dia bangun kemudian memberikan kecupan di dahi Anna. Diusapnya kepala Anna kemudian dia memberikan j
Butuh waktu sampai Anna bisa kembali pulih seperti sedia kala. Tidak cukup sehari atau dua hari, bahkan hingga di hari ke 10, Anna tetap tidak bisa melihat apapun yang berada di depannya. Setiap harinya hanya mengurung diri di kamar. Anna sangat terluka dan merasa tidak berdaya dengan kondisinya sekarang. Dia menolak untuk makan dan hanya sedikit saja yang masuk ketika ada Vania. Eric melihat itu menjadi sedih, dia pun berusaha untuk tetap di dekat Anna. Membawa serta pekerjaannya ke vila supaya bisa mengawasi istrinya. "Bagaimana? Apakah ada tanda-tanda pria itu?""Maafkan saya karena belum bisa menemukan mereka. Saya sudah mencari ke pesisir pantai tetapi saja tidak ada. Pelabuhan dan juga bandara, seluruhnya sudah kami lihat dan tidak ada data orang keluar dengan menggunakan nama Jason Aldric Shailendra." Eric terdiam mendengarnya, jika Jason tidak keluar dengan nama aslinya, mungkinkah dia menggunakan nama palsu untuk bisa pergi keluar dari pulau Bali? "Kalau gitu, sebarkan f
Anna masih belum bisa menerima kondisinya. Setiap kali dia mau melakukan sesuatu, selalu saja sulit dilakukan. Anna tidak bisa bergerak dengan bebas dan selalu saja membutuhkan bantuan orang lain bahkan hanya untuk sekedar ke kamar mandi. Dan yang lebih membuat frustasi adalah, Anna tidak bisa lagi menyalurkan hobinya. Tidak ada yang dapat dia lakukan untuk mengalihkan perhatiannya dari semua yang sudah dia alami.Anna sudah tidak sanggup lagi dengan smeuanyang menimpanya. Dia berjalan menuju meja riasnya kemudian membuka laci dan mengambil meraba-raba beberapa benda di dalamnya hingga dia mengeluarkan sebuah gunting. "Tidak ada gunanya aku hidup," Anna berucap lirih, dia pasrah, dia akan pergi meninggalkan semua kepahitan yang dirasakannya. Anna mengangkat tangan yang memegang gunting dan seketika itu juga gerakannya tertahan."Apa yang kamu lakukan?" Mendengar suara itu, air mata Anna langsung keluar. Dia menangis dengan kencang, Eric langsung saja memeluknya erat. Eric sangat
Setelah selesai memberikan pelajaran pada Daphne, Vania kembali ke kediaman putranya. Tepat ketika dia sampai, tiba-tiba suaminya datang. Seketika amarah Vania kembali naik sebab teringat dengan kelakuan anak tirinya."Untuk apa kamu datang? Apakah kamu senang dengan semua yang telah menimpa putramu? Itukah yang kamu inginkan? Kamu menginginkan mereka untuk berpisah, dan sekarang karena mereka masih bersama, jadi kamu merasa bahagia putramu yang lain telah membunuh calon cucuku."Edmund memejamkan kedua matanya, tangannya terkepal dengan erat, dia berusaha untuk menahan dirinya. Dengan nada suara yang rendah, "Aku tidak pernah merasa seperti yang telah kamu katakan."Vania tertawa setelah mendengarnya, kemudian tatapannya kembali menjadi tajam, "Tidak mungkin! Kamu yang meminta Anna untuk pergi meninggalkan Eric.""Memang benar bahwa aku sangat ingin mereka berpisah. Tapi itu sebelum aku mengetahui bahwa Anna sedang mengandung cucuku. Aku pun merasa marah dengan sikap Jason yang berse