Mobil yang membawa Shia dan Dante berhenti di Parkland memorial hospital tepat di samping wanita dengan seragam dokter yang memang menunggunya. Teresa Tylor, sahabatnya yang bekerja sebagai dokter itu menampakan raut terkejut ketika melihat pakaian Shia yang berwarna merah darah.
“kau terluka?” ucap Teresa panik, dia memperhatikan Shia secara seksama.
“Itu darahnya.” Ucap Shia bersamaan dengan pintu mobil yang terbuka, menampakkan seorang pria yang terbalut kemeja putih yang kini berubah merah darah.
“Oh Gosh. Bagaimana dia bisa begini? Apa kamu menabraknya? Sudah kubilangkan berhentilah balapan liar Shia.” Cecar Erika panik. Wanita itu mengkode kepada perawat yang bersamanya agar membawa pria itu dengan cepat.
“Dia menyelamatkanku, aku berhutang budi dengannya” jawab Shia dengan atensi yang sepenuhnya tertuju pada para perawat yang memindahkan tubuh Dante ke ranjang pasien dan membawanya masuk ke dalam. Kedua wanita itu mengikuti dengan sedikit berlari.
Langkah Shia terhenti didepan ruang operasi, jelas ia tau ruang itu terbatas dan ia tidak boleh masuk.
“Aku akan lakukan yang terbaik.” ucap Teresa yang dibalasi anggukan Shia.
Shia mendudukkan dirinya pada kursi tunggu. Mulai dari detik, menit hingga 2 jam sudah berlalu namun belum ada satupun yang keluar dari ruang operasi tempat Dante berada.
Shia menundukkan wajahnya, raut lelah terlihat diwajah cantiknya, rambut coklatnya yang tadi terikat kini dibiarkan digerai dengan sedikit berantakan. Dia bahkan tidak peduli dengan pandangan orang-orang yang menatapnya seolah bertanya kondisinya.
Ceklek
Suara pintu terbuka menyadarkan Shia. Wanita itu berdiri dan mendekat kearah Teresa yang menseka peluh di dahinya.
“Bagaimana kondisinya?” Tanya Shia
“Kondisinya sangat serius. Dia mengalami cedera kepala parah. Kami akan melakukan yang terbaik untuk merawatnya, tetapi kami tidak bisa memberikan jaminan apakah dia akan pulih sepenuhnya”
“Kumohon sembuhkan dia sebanyak yang kau bisa Ter” Ucap Shia memohon, saat ini dia dipenuhi dengan rasa bersalah
“Kau tenang saja. Aku pernah mendapat kasus seperti ini sebelumnya. Kita akan menunggu ia sadar dan melakukan operasi lanjutan untuk mengeluarkan gumpalan darah pada otaknya dan memperbaiki fungsi otaknya. Ia akan baik-baik saja”
“Terima kasih banyak Teresa, aku benar-benar beruntung memilikimu” ucap Shia tulus.
“Senang bisa membantumu Shia, tapi apa kau tidak mengenalnya? keluarganya? Dia tidak mengenakan cincin, jadi kurasa dia belum menikah.” ucap Teresa, pasalnya saat memperhatikan Dante, dia merasa pria itu jauh lebih dewasa dari mereka
“Selain namanya Dante, aku tidak tau apapun” Ucap Shia, jujur saja dia memang tidak tau latar belakang pria itu selain namanya saja.
“Kurasa kau berurusan dengan seseorang yang berpengaruh”
“Maksudnya?”
“Pria itu.. emm bagaimana ya mengatakannya, dia terlihat tampan dan berwibawa” Shia menatap Teresa tak yakin, tapi jika diingat bukankah Dante mengatakan jika hotel tempatnya menginap itu milik Dante.
“Dia bilang dia pemilik hotel Ston tempatku berada semalam” Ucap Shia dengan mata berbinar “Pinjamkan aku mobilmu” Ucap Shia pada Teresa
“Kuncinya ada diruanganku, dan sepertinya kau harus mengganti pakaianmu dulu” Ucap Teresa dengan tawa kecilnya
“kau benar, terimakasih Teresa”
“Sama-sama. Oh ya, pasien akan dipindahkan keruang inap. Lantai 5 ruang Lavender.” Ucap Teresa yang dibalasi anggukan Shia. Teresa melangkahkan kakinya hendak menuju ruang obat namun terhenti sejenak, Teresa sedikit menolehkan kepalanya ke belakang menatap pada Shia yang mengernyit bingung.
“Jangan lupa urus administrasinya. Kita memang sahabat namun aku juga butuh bayaran untuk pekerjaanku” Ucap Teresa dengan senyum kapitalis yang jelas terlihat, Shia terkekeh geli.
“aku bisa memberikan berapapun yang kau mau Teresa..” ucap Shia dengan senyum tipisnya
“Oh benar, untuk sementara aku hampir lupa jika kau nona muda keluarga Clarikson yang mendunia” Seru Teresa diikuti dengan tawa gelinya
Setelah kepergian Teresa, Shia segara menuju ruangan dokter muda itu untuk mengambil kunci mobil dan kemeja milik Teresa.
Dia menuju parkiran rumah sakit dan kembali menuju hotel menggunakan mobil Mercedes benz milik Teresa.
“Permisi” Sapa Arshia pada resepsionis yang menyambutnya
“Ya nona” ucap resepsionis itu ramah
“Apa pemilik hotel ini bernama Dante?” tanya Shia, sejenak ada ekspresi terkejut dari wajah wanita yang menjadi resepsionis hotel itu sebelum kembali tersenyum tipis
“Maaf nona, tapi pemilik hotel ini Mr Kingston” Jawabnya
“kalau gitu bisa bantu aku mencari nama Dante didaftar pengunjung, pria itu sedang sekarat sekarang. Aku tidak tau harus menghubungi siapa” Ucap Shia jujur
Seperti menimbang sesuatu akhirnya resepsionis itu mengangguk dan mengetikkan sesuatu pada komputernya “Maaf nona, tapi nama Dante tidak terdeteksi sebagai pengunjung hotel”
“Apa boleh aku melihat rekaman CCTV sekitar jam 6 pagi tadi”
“Maaf nona, tapi orang luar tidak bisa melakukan itu, anda harus mendapatkan izin Mr Kingston jika ingin melakukannya” Raut wajah Shia berubah kusut begitu mendengar jawaban.
“Aku tidak bercanda saat bilang dia sekarat” Ketus Shia
“Maaf nona, kami tidak bisa membantu” Ucap resepsionis itu cepat. Arshia merasa ada yang salah dengan situasi saat ini. lalu dia teringat sesuatu
Shia langsung melenggang menuju lift, menekan angka 16. Harapannya Shia dapat bertemu dengan wanita yang menjadi lawan cumbuan Dante tadi pagi
Setelah Shia mengembalikan kunci mobil pada Teresa di ruangannya, langkahnya membawanya menuju lift yang membawa ke lantai 5. Menyusuri koridor yang tenang, ia akhirnya sampai di depan pintu ruangan lavender. Dengan langkah hati-hati, Shia membuka pintu itu. Ruangan tersebut terasa hening, terasa tenang dengan warna-warna lembut dan lampu yang redup. Namun, perhatian Shia segera tertuju pada sosok pria yang terbaring di ranjang. Dante, seorang pria yang baru dikenalnya, terlihat rapuh dalam seragam pasien. Perban di kepala dan infus yang terpasang di tangan kanannya menyiratkan bahwa Dante tengah melewati masa sulit. Shia mendekati ranjang, mengambil tempat di kursi di sampingnya. Tatapannya terkunci pada wajah Dante yang tertutup oleh matanya yang tenang. Mata biru Shia memperhatikan setiap detail, mencoba membaca ekspresi yang mungkin ada di balik ketenangan itu. lalu Shia nampak menilai perawakan Dante. Rupa pria itu sangat menawan. Rambut hitam yang terlihat lembut, Rahang kokoh
Shia menatap sosok pria yang terduduk di ranjang pasien. Mata yang tertutup itu kini terbuka. Pandangan mereka bertemu, netra abu-abu gelap dengan kesan dingin itu menyapanya. Shia cukup tertegun, sosok Dante yang sekarang berada didepannya berbeda dengan tingkah pria itu sebelumnya yang terkesan menyebalkan. “Siapa?” suara serak itu menyadarkan Shia. Dante tidak mengenalinya. “Kau baik-baik saja?” Tanya Shia balik dengan langkah mendekat. Bersamaan dengan tangannya yang menuangkan segelas air dan menyerahkan pada Dante yang masih bersandar pada kepala ranjang. Dante melirik Shia dengan kening berkerut. Maniknya bersitatap dengan manik biru gelap milik Shia. Tentu saja pria itu sadar dirinya kini pasti berada di sebuah rumah sakit dan mengenakan seragam pasien. Namun bagaimana dirinya bisa berada disini. Merasakan tenggorokan yang kering. Dante meraih gelas yang disodorkan oleh Shia dan meminumnya hingga tandas. “Kau ingat ses-“ PRANK “ARGHH” Gelas kaca yang dipegangnya jatuh d
Los Angeles, USBRAK..“ITU BUKAN MAYATNYA!!” teriak seorang pria sambil menggebrak meja kerjanya, membuat dokumen yang tersusun rapi kini berhamburan ke lantai.“Apa kalian bisa menjelaskan apa yang terjadi” Tanya pria itu dengan desisan tajam. Dua orang yang berada didepannya menunduk takut. Saling menyenggol untuk menentukan siapa yang berbicara.“Apa kalian mendadak bisu.” Ucapnya dengan dingin.“I-itu jebakan.. kami dijebak” jawab Frank selaku pemimpin kompotan dengan takut-takut. Pria itu hanya diam seolah menunggu kelanjutan cerita yang ingin didengarnya.“Benarkah? Ceritakan padaku jebakan seperti apa yang dibuat olehnya”“Bom yang kami tembakan pada mobil itu berhasil meledak, saat kami ingin mendekat, tiba-tiba kami semua pingsan dan saat bangun sudah berada didepan gerbang” Ucap Frank dengan badan bergetar.“Kami rasa ia sudah mati tuan. Mo
Setelah mengantar Dante menuju kamar, Shia kini berkutat di dapur, sebenarnya sudah cukup lama dia tidak memasak bagi orang lain, dengan sedikit kaku ia mulai mengaduk telur dengan beberapa potong wortel dan bumbu lalu mendadarnya dilanjutkan dengan cornet. Shia mengangkat dan meyusun keduanya diatas roti tawar. Menuangkan saos dan mayonnaise lalu menutup kembali dengan roti dan memotong roti tersebut menjadi dua bagian berbentuk segitiga. Senyum tipis tertera di bibirnya ketika melihat bentuk sandwice buatannya. Tidak buruk pikirnya.“Kau memasak?” Tanya DanteShia menoleh, menatap Dante yang shirtless hanya menggunakan celana selutut yang baru di belinya tadi. Rambut hitam pria itu terlihat basah begitu pula dengan aliran air yang mengalir membasahi tubuh atletisnya yang memiliki roti sobek disana.‘astaga’ Shia terdasar“Gunakan bajumu” Ucap Shia yang otomatis membalikkan tubuhnya.Dante ters
Di apartemen, Dante duduk di sofa dengan tatapan yang tertuju pada televisi yang menampilkan berita, dia tersenyum tipis begitu melihat berita salah satu keluarga ternama“Dia rajin sekali mencari sensasi” celetuknya asal. Dante mematikan televisi itu, dia berjalan kea rah kamar yang berhadapan dengan kamar miliknya.Tanpa berpikir dua kali Dante membuka pintu kamar itu. “Jadi ini kamarmu, little tigris” gumamnya saat melihat bagian dalam kamar itu.Dante melangkah masuk. Kamar ini terlihat lebih kelam dengan warna dinding abu-abu dan juga beberapa lukisan abstrak yang didominasi warna hitam yang menghiasi dindingnya. Berbeda dengan kamar miliknya yang dilapisi cat dinding putihDante melangkahkan menuju lemari kaca berisi piala yang menarik perhatiannya. Piala penghargaan atas prestasi wanita itu di bidang akademik dan 4 mendali serta belasan piala kejuaraan drift yang di dapat 2 tahun terakhir.Netra abu-abu itu tera
Gerakan Shia yang membongkar belanjaannya terhenti, tatapannya mengambang “Aku tidak lagi memiliki alasan untuk melakukannya” Shia mengedipkan matanya, tersadar jika dia kembali mengingat kenangan lama“Sudahlah, makan saja ini. Aku membelinya di restoran favorit ibuku”Shia membuka kotak makanan di depannya. Lalu memakan pasta itu dengan tenang. Baru satu suapan ucapan Dante justru membuat suapannya terhenti“Dimana ibumu?” Shia mengulas senyum tipis lalu menatap Dante“Di tempat yang jauh”“Kapan terakhir kali kau bertemu dengannya?” Tanya Dante yang tanpa disadar membuka luka lama yang Shia rasakan“enam atau tujuh tahun yang lalu mungkin, aku hampir lupa” Ucap Shia nyaris seperti gumaman“Kau tidak ingin menemuinya?”“Mungkin suatu saat” balas Shia lalu kembali menyuapkan pasta ke mulutnya namun tidak bisa dipungkiri rasa sesak m
Shia terbangun ketika merasakan cahaya matahari yang mengusik tidurnya. Tangannya terangkat mengambil kain yang berada di kepalanya. Tunggu… jangan bilang Dante merawatnya??“Kacau sekali kau Shia..” Shia berdecak, dia tidak mengingat apa yang terjadi semalam.Gadis itu bangkit dan beranjak menuju kamar tempat Dante berada. Shia mengetuk pintu, sayangnya tidak ada jawaban hingga membuat Shia membuka pintu dengan pelan. Ia menatap Dante yang masih tertidur di atas ranjang dengan tubuh tertutup selimut.Shia mendekat, tangannya terulur hendak membangunkan Dante, namun tiba-tiba tangannya ditahan oleh Dante. Tanpa bisa Shia tebak, Dante membalikkan posisi mereka. Kini Shia berada di bawah Dante.Dada bidang pria itu terlihat menggoda namun tidak dengan tatapan Dante yang tajam. Ketika menyadari bahwa sosok di bawahnya adalah Shia dengan cepat dia bersingut menjauh.“Keluar” suara Dante terdengar berat dan serak. Shia masih terdiam, kesadarannya belum kembali. Dante mengalihkan pandangann
Los Angeles, US PLAK.. BUGH.. "Sangat mengherankan bahwa kamu tidak memberi tahu kami ketika Dante menghilang, Han!" ucap seorang pria paruh baya dengan kemarahan kepada ajudan putranya Situasinya menjadi lebih sulit ketika mereka baru saja pulang dari liburan mereka dan tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa putra sulung mereka menghilang tanpa kabar. "Maaf Tuan, saya tidak bisa menemukan keberadaan Dante" kata Han sambil menahan rasa sakit di bibirnya yang robek akibat tinjuan Jason padanya. "Maaf? Bisakah permintaan maafmu menghidupkan kembali Dante?" ucap Lyran, adik Dante, dengan mata yang berkaca-kaca. PLAK.. Satu tamparan melayang pada pipi Han, membuat wajah ajudan muda itu semakin terasa sakit. Kali ini pelakunya seorang wanita paruh baya yang baru saja tersadarkan dari keadaan syoknya. Untuk sesaat, wanita itu tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. "Kenapa kamu tidak menghubungi kami, Han?! Apa kamu meremehkan kami?" Wanita paruh baya yang me