Share

chapter lima - pelarian

Vio berjalan memasuki rumahnya yang tampak masih sepi. Vio bernafas lega.

"Sepertinya Ibu dan yang lainnya belum kembali. Syukurlah."gumam Vio pelan.

Vio mengendap-endap memasuki rumah dan langsung menuju kamarnya. Vio mengemasi barang-barangnya.

Memasukkan bajunya ke dalam koper. Setelah semua terkemas. Vio bersiap keluar dari kamarnya dilantai dua. Perlahan Vio menggeret kopernya yang memang tidak terlalu berat dan kecil itu.

Vio menuruni tangga, belum sampai setengah tangga terlewati, terdengar suara mesin mobil. Vio menghentikan langkahnya. Jantung Vio berdegup kencang. Habislah jika itu benar ibu tirinya. Tak lama terdengar suara pintu depan dibuka.

"Sialan! Ibu sudah datang!"gumamnya pelan dengan kekesalan. Vio bergegas naik kembali ke kamarnya. Vio mengunci pintu kamarnya. Vio berfikir keras, Sudah pasti dia tak akan bisa keluar mengingat perangai Mariah dan kejadian malam terakhir diantara mereka.

"Pertama sembunyikan dulu kopernya."gumam Vio menyembunyikan koper dikolong tempat tidurnya. Lalu Vio keluar dari kamarnya karena mendengar Mariah meneriakkan namanya.

"Vio!"

"Vio!"Mariah menaiki tangga ke lantai dua.

Suara Mariah begitu kuat hingga sampai ke lantai dua. Vio baru saja menutup pintu kamarnya. Sudah mendapati Mariah diujung tangga atas.

"Kau!"

"Dasar anak tidak tau balas budi!"tukas Mariah melangkah kan kaki mendekat.

"Kau sudah membuat malu keluarga Hendrawan."

Vio bersiap untuk segala kemungkinan yang terjadi. Benar saja, Mariah langsung mengangkat tangannya tinggi-tinggi hendak menampar Vio, namun Vio sigap menahan tangan ibu tirinya itu.

"Dasar anak tak tau terima kasih. Kami sudah merawat mu sampai sekarang. Apa ini balasan mu?" Sentak Mariah menarik tangannya.

"Aku tak pernah meminta dirawat oleh kalian. Kalau sejak awal tidak suka kenapa tak melemparkan ku ke panti?" balas Vio menatap balik Mariah.

Mariah tertawa kesal.

"Jika aku tau kau akan begitu tak tau diri seperti sekarang, sudah pasti ku lempar kau ke jalanan."

"Lemparkan saja."tantang Vio.

"Tentu saja! Aku akan lemparkan kau pada direktur Marsal. Ini karena aku sudah cukup baik pada mu, setidaknya dia bisa memberimu cukup makan dari pada di jalanan. Berterima kasihlah."

"Dia bahkan sudah memiliki istri dan anak. Apa Ibu sama sekali nggak punya perasaan?"

"Kupikir mereka tidak masalah."

"Huuuuhhh... Kalau begitu kenapa tidak kau saja yang jadi selingkuhannya?"ucap Vio menatap Mariah dari atas kebawah dengan pandangan merendahkan ."Kau lebih cocok dengan nya dari segi apapun. Kurasa Ayah pun juga tidak keberatan. Jika untuk memperluas bisnis."

"Kurang Ajar!" Mariah melayangkan tamparan di pipi Vio. Namun lagi-lagi Vio berhasil menahannya. Lalu melepas dengan mendorong.

"Aku bukan orang lemah yang bisa kau tampar sesuka hati ibu." tegas Vio menatap Mariah dengan mata menantang.

Vio berbalik dan masuk kedalam kamarnya.

BLAAMM!(suara pintu ditutup)

"Anak haram tidak tau diri!"teriak Mariah kesal dari luar kamar Vio.

"Tiga hari lagi kau harus menemui Direktur Mariah! Jangan kabur! Kau akan tau akibatnya."

Vio terdiam menahan amarahnya di dalam kamar. Vio memejamkan matanya mengatur emosinya, setitik kristal bening meluncur dari bola matanya yang indah.

"Vio. Tidak ada waktu untuk menangis! Pikirkan cara kabur dari sini." gumam Vio pelan menghapus air matanya.

Vii melihat keluar jendela kamarnya. Kamar Vio berada di lantai dua, disisi sebelah samping bangunan megah itu. Via melongok kebawah. Di ukurnya kira-kira ketinggian sampai ketanah.

Vio mencari tali di dalam kamarnya. Begitu mendapatkannya, Vio mengaitkannya pada pegangan koper. Lalu mulai menurunkannya perlahan dari jendela. Sesekali Vio menoleh kearah pintu, berharap Mariah tak menerobos masuk. Vio juga menyisir pandangan keluar area.

"Semoga tak ada yang curiga dengan apa yang aku lakukan ini."gumam Vio.

Badan Koper mendarat sempurna di tanah halaman samping. Dengan bergegas Vio menarik tali yang terkait itu hingga terlepas.

"Baiklah, selanjutnya pikirkan bagaimana cara keluar dari sini. Tak mungkin juga aku terjun dari jendela kan?"

Vio tercenung. Vio melongok lagi keluar jendela, lalu mulai menaiki jendela hendak melipir dan turun kebawah melalui pralon dan tumbuhan rambat di sisi tembok. Namun terdengar suara handel pintu dibuka. Vio urung lakukan, bergegas Vio duduk di ranjang pura-pura memainkan gawai nya.

Benar saja. Mariah muncul di balik pintu.

"Cepat keluar!" perintahnya dengan nada ketus.."Adikmu dan ipar mu sudah sampai dibawah. Kau harus ikut menyambutnya. Mereka terpaksa kembali karena kau tiba-tiba menghilang."

"Tidak. Jika mereka ada perlu denganku mereka bisa datang ke kamarku."tolak Vio melengos.

"Jangan membantah. Atau kau mau aku mempercepat pertemuan mu dengan direktur Marsal?" ancam Mariah menaikkan nada satu oktaf.

"Ceeehhhkkkk.." Vio memalingkan wajahnya.

Tak berapa lama Vio turun juga. Di ruang utama Rena dan Felix sudah duduk bersisian. Tentu saja hati Sila sakit. Bagaimana tidak, pria yang selama tiga tahun itu menjadi kekasihnya kini justru berakhir menjadi iparnya. Namun Vio tak boleh terlihat lemah dan menangis, itu akan membuat mereka senang.

"Apakah tak ada yang ingin kau katakan Vio?"tanya Mariah penuh penekanan begitu Vio menapakkan kakinya di ruang utama.

"Apa piknik nya tidak menyenangkan? Kalian kembali begitu cepat."Vio tersenyum sinis.

"Kami terpaksa kembali karena Felix khawatir kaka tiba-tiba menghilang." tukas Rena berusaha tampak senang.

"Bukankah ada hal lain yang musti kamu sampaikan Vio." ketus Mariah dengan senyum terpaksa.

"Apa yang harus aku katakan?"Vio bertanya balik, Mariah selalu saja punya cara untuk membuat dia disudutkan dan mencoba mempermalukan.

"Huuuuhh, kau bahkan kabur dari acara pernikahan adikmu,"

"Maaf kak jika kamu masih belum bisa menerimanya, tapi mau bagaimana lagi, Felix lebih memilihku."ucap Rena yang berlagak merasa bersalah itu.

Vio tersenyum geli.

Dia memang pandai berakting. Harusnya dia membintangi film saja. batin Vio muak.

"Benar Vio, walau bagaimanapun Felix adalah adik ipar mu sekarang. Harusnya kau meminta maaf karena tidak mengikuti rangkaian acara sampai selesai."Mariah berlagak menjadi ibu yang baik. Ada Felix di sana.

"Aaa, benar! Harusnya kalian juga meminta maaf padaku untuk penyebab kepergian ku itu." tukas Vio dengan senyum terpaksa.

"Apa maksud mu Vio?" sentak Mariah geram.

"Ah, aku minta maaf kak. Pasti karena sudah nggak kuat melihat Felix bersanding denganku."ucap Rena , "pasti sangat menyakitkan melihat dia lebih memilih aku yang mendapat restu dari orang tua kak Felix dari pada kak Vio. Mungkin karena mereka tau, kak Vio anak haram."

"Hmmmpp.... Ya, aku sangat berterima kasih karena menggantikan ku dan membuka mataku. Hingga aku terbebas dari pria tidak setia dan mertua yang banyak tuntutan itu." kekeh Vio tak mau kalah.

"Vio!" Felix ikut bersuara.

"Aaahh,, maaf aku bahkan tidak melihatmu lagi Felix. Untung saja kau bersuara." ucap Vio melangkahkan kakinya,

"Vio, kita harus bicara."ucap Felix beranjak dari duduknya.

"Maaf, Aku masih ada urusan diluar. Buat diri kalian senyaman mungkin di rumahku." tukas Vio lagi berjalan menuju pintu utama.

"Vio."panggil Felix hendak menyusul tapi ditahan oleh Rena.

"Vio! Kau mau kemana?" sentak Mariah menyusul Vio yang sudah memegang handel pintu, berhenti sesaat.

"Ingat kau masih harus menemani direktur Marsal tiga hari lagi."

"Baiklah! Akan ku ingat." ucap Vio tanpa menoleh langsung membuka pintu keluar.

BLAM!

Vio, menarik nafasnya dalam. Vio berjalan perlahan, dia menuju halaman samping dimana kopernya menunggu untuk di evakuasi. Vio tertegun,mendapati tempat itu kosong! Koper yang seharusnya ada di sana menghilang.

'Hei! kemana koperku?' batin Vio panik, dia bertolah toleh mencari setiap sudut area itu.

'Kenapa koperku tak ada disini? Kemana perginya? Aku sangat yakin tadi masih ada disini? Kenapa sekarang tidak ada?' Vio makin gusar dan panik.

"Mungkinkah, mereka menemukannya? Lalu menyembunyikannya?"gumam Vio antara kesal, marah dan takut bila apa yang dia pikirkan adalah benar.

'Aku tak bisa kembali masuk sekarang, bisa bisa nanti malah makin dikekang.' batin Vio menoleh kearah pintu.

'Biar saja koperku hilang, Aku tetap akan melanjutkan rencana.' batin Vio lagi.

Vio melangkah keluar halaman rumah itu, Vio tertegun.....

Bersambung....

___€€€___

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status