Share

BAB 5 - Ini yang Pertama Kalinya untuk Ipang dan Julie

“Siapa sangka punya istri ternyata merepotkan kayak begini?”

Gumaman Ipang disambut dengan toyoran di kepalanya, hal itu tentu saja langsung membuat Ipang melotot pada Julie yang kini ia papah.

“Jules…,” geram Ipang dengan kekesalan yang sudah di ubun-ubun. “Nggak sopan kamu sama yang lebih tua!”

Tanpa diduga, Julie langsung mendongak dan berteriak, “Berisik!”

Ipang menghela napasnya dan kembali berusaha membawa Julie keluar dari The Clouds. Belum ada lima belas menit sejak ia tiba di klub malam milik sahabatnya, Badai. Di chat-nya tadi, Suri mengatakan kalau Julie tengah ke toilet dan Ipang memutuskan untuk mengecek keberadaan Julie terlebih dahulu di sana.

Siapa sangka perempuan berstatus istrinya tersebut, tengah disentuh oleh lelaki hidung belang yang wajahnya ingin ia hantamkan ke aspal saat itu juga.

“Mas!”

Seruan yang disertai tepukan di bahunya membuat Ipang menoleh, mendapati adiknya yang ternyata mencarinya sejak tadi hingga menemukan ia dan Julie di sini, sudah dekat dengan pintu keluar khusus untuk pemilik dan pegawai The Clouds—juga kelima sahabat si pemilik klub tersebut.

“Julie kenapa?” tanya Suri saat melihat sahabatnya dipapah dengan kepala yang merunduk hingga rambutnya menutupi seluruh wajahnya.

“Tadi baru muntah,” beri tahu Ipang. “Aku mau langsung bawa dia pulang. Kamu juga pulang gih.”

Suri mengangguk dan membantu Ipang memapah Julie dari sisi satunya. Bertiga, mereka keluar dari pintu yang memang tidak dilewati pengunjung lain. Suri membantu Ipang mendudukkan Julie di kursi penumpang.

“Kamu pulang sendiri?” tanya Ipang setelah menutup pintu mobilnya untuk Julie. “Mas antar aja ya.”

“Nggak usah, sopir Papa baru sampai kok,” tolak Suri. “Justru Mas yang harusnya aku tanya, aku perlu ikut Mas pulang nggak? Julie kalau mabuk tuh bener-bener sesuatu.”

“Nggak usahlah, nanti kamu capek.” Lagipula ia sudah melihat bagaimana Julie muntah begitu saja, apa lagi yang bisa lebih merepotkan daripada itu?

Suri menatap kakaknya ragu-ragu, ia ingin bersikeras, tapi ia sadar kalau kini kakaknya adalah suami dari sahabatnya. Kemudian satu pemikiran muncul di benaknya.

Biarkan saja kakaknya mengurusi Julie yang sedang hangover parah seperti saat ini. Siapa tahu hal itu bisa menjadi ajang bonding keduanya.

“Oke. Hati-hati di jalan ya, Mas,” pesan Suri yang segera diiyakan oleh Ipang.

Ipang masih berdiri di samping mobilnya sampai ia memastikan Suri benar-benar masuk ke mobil miliknya yang kini sudah dikemudikan oleh sopir. Setelah Suri pulang, Ipang buru-buru masuk ke mobilnya.

Lelaki itu mengamati Julie yang kepalanya bersandar di jendela mobil. Sebelum benar-benar menjalankan mobilnya, Ipang melongok ke belakang dan mengambil bantal berbentuk kepala babi berwarna pink (hadiah ulang tahun dari Suri tahun lalu, entah kenapa harus bantal babi warna pink).

Ditempatkannya bantal itu dengan hati-hati di antara kepala Julie dan jendela. Setelahnya, barulah ia mengemudi ke rumah yang tidak disambangi Julie selama dua hari—karena saat ini hari sudah berganti, jadi genap tiga hari Julie tak pulang ke rumah.

Hmmm.”

Gumaman tersebut membuat Ipang menoleh, mendapati kepala Julie bergerak menyesuaikan diri dengan bantalnya.

“Kamu minum berapa banyak sampai tewas begini?” tanya Ipang yang tahu kalau Julie tak akan menjawabnya. Namun, lelaki itu tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya—untuk kemudian mengomel pada sang istri.

“Kalau tadi aku nggak dateng, gimana caranya kamu lepas dari laki-laki kurang ajar itu?” tanya Ipang lagi. "Mau kamu muntahin kepalanya?"

Tentu saja tak ada jawaban dari Julie. Malah yang selanjutnya Ipang dengar adalah dengkuran halus dari sebelahnya. Alhasil Ipang melirik Julie dengan tidak percaya.

"Kamu bener-bener ya, Jules," desah Ipang lagi. "Aku jadi kayak orang gila karena ngomong sendiri begini."

"Ah.... Berisik."

Ipang tahu harusnya ia berhenti bicara di detik ia memasuki mobilnya ini. Lihat sekarang, sudah harus membawa Julie yang hangover, omongannya hanya ditanggapi dengan gerutuan kesal.

“Suri aja bandelnya nggak kayak kamu, Jules.”

“Gerutu terus kayak nenek sihir!”

“Apa kamu bilang?” Beruntung Ipang tidak menekan pedal gas dengan refleks. “Nenek sihir?!”

Ipang menggeleng tak percaya. “Wah, kamu harus aku kasih pelajaran, Jules. Liat aja besok pagi ya!”

Ipang memilih untuk tutup mulut sampai kemudian mereka sampai di rumah, tidak peduli dengan Julie yang bergerak gelisah di tempatnya setiap lima menit sekali.

Begitu tiba di rumah, Ipang memarkirkan mobilnya di halaman dan kembali memapah Julie menuju lantai dua.

“Harusnya bikin rumah pakai lift sekalian kayak si Badai,” keluhnya saat berhenti di pertengahan tangga menuju lantai dua dengan napas yang terengah-engah.

Kalau Julie terbangun dan tidak sibuk mendengkur seperti saat ini, pasti ia sudah mengejek Ipang dengan, ‘Dasar jompo!’.

“Berat banget sih, Jules,” keluh Ipang untuk yang terakhir kalinya, mumpung Julie masih memejamkan matanya.

Begitu tiba di lantai dua, Ipang segera melangkah ke kamar Julie dan menyalakan lampu kamar tersebut.

Ini pertama kalinya ia masuk ke kamar Julie, kamar ini tadinya adalah kamar tamu, yang interiornya hampir sama dengan kamar tamu lainnya di rumah itu.

Lelaki itu merebahkan tubuh Julie di ranjang. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia melepas heels yang dipakai Julie dan menaruh clutch perempuan itu ke atas meja. Ipang memperhatikan Julie yang masih tertidur sambil mendengkur—jauh dari kata anggun dan malah mengingatkan Ipang dengan adiknya, Suri.

“Pantesan kalian akrab, kelakuan 11-12,” ucap Ipang sambil keluar dari kamar Julie.

Ia bergegas turun ke lantai satu untuk mengambil satu pitcher air mineral dan gelas. Pasti hal pertama yang akan dicari Julie ketika bangun nanti adalah minuman.

“Jules!” panggil Ipang saat ia kembali ke kamar Julie dan menemukan Julie sudah terbangun.

Lebih parahnya adalah perempuan itu tengah memuntahkan sisa-sisa dari isi perutnya ke lantai.

Terburu-buru, Ipang menaruh pitcher dan gelas tersebut di nakas. Sudah terlambat untuk mengajak Julie ke kamar mandi, jadi yang ia lakukan adalah membantu menghalau rambut Julie yang panjang agar tak menghalangi wajahnya, juga memijat pelan tengkuk Julie.

Usai memastikan tak ada lagi yang keluar dari mulut Julie, Ipang mengambil tisu dan membersihkan sekitar mulut Julie. Ia juga membantu Julie minum hingga akhirnya ia bertanya, “Udah mendingan?”

Julie mengangguk lemah, lalu Ipang membiarkannya berbaring di ranjang. Lelaki itu tak tega membangunkan ART di rumahnya untuk membersihkan bekas muntahan Julie, tapi dibiarkan sampai pagi juga bukan pilihan yang tepat.

Akhirnya Ipang melepas kemejanya dan menyisakan kaos putih polosnya saja yang membalut tubuh bagian atasnya supaya tak perlu repot-repot menyingsingkan lengan kemeja.

Ipang membersihkan bekas muntah Julie sambil menahan diri untuk tidak memaki atau mengucapkan sumpah serapah atas kesialan yang ia lalui malam ini.

“Duh, panas….”

Keluhan yang Ipang langsung kenali berasal dari bibir Julie, membuat lelaki bertubuh tinggi tegap itu mendongak.

“Oh ya, lupa nyalain AC,” ucap Ipang dengan keringat yang juga mulai bercucuran dari keningnya.

Ipang baru saja akan membersihkan tangannya dan menyalakan AC, ketika ia berdiri dan mendapati Julie tengah duduk di ranjang sambil berusaha membuka ritsleting di punggungnya.

“Jules!” Entah sudah berapa kali dalam satu hari ini Ipang memanggil nama Julie dengan nada tinggi. “Mau ngapain kamu?”

“Geraaah,” rengek Julie sambil terus berusaha mencari di mana ritsletingnya. “Duuuh, kok susah sih? Panaaas!”

“Julie!”

“Berisik! Bantuin dong!”

Kedua bola mata Ipang hampir mencelat keluar dari kelopaknya saat Julie berhasil menurunkan ritsleting blusnya dan melepasnya begitu saja di depan Ipang.

Tidak hanya blusnya, dengan mata setengah terpejam Julie juga mulai membuka kancing rok selutut yang ia pakai. Ipang langsung membanting kain yang tadi ia gunakan sebagai lap, lalu membersihkan tangannya secepat kilat dan menyalakan AC kamar Julie.

“Sialan kamu, Jules!” maki Ipang sambil membuka lemari pakaian Julie dan mengambil piyama yang paling pertama ia lihat di atas tumpukan baju.

Ketika ia menghadap Julie, rok perempuan itu sudah terlepas dari pinggulnya dan sudah turun hingga pertengahan pahanya yang menggunakan celana ketat sewarna kulitnya.

Ipang naik ke atas ranjang dan segera mengenakan piyama Julie dengan tatapan yang ia arahkan ke mana pun asal bukan ke dada perempuan di hadapannya.

Ada sesuatu yang bergejolak di dalam diri Ipang saat jemarinya yang gemetar berusaha mengancingkan piyama Julie dan tak sengaja menyentuh kulit Julie yang… lembut.

Ipang bahkan tak pernah membayangkan akan menyentuh Julie seperti ini.

“Oh, God, please,” desah Ipang sambil memasukkan kedua kaki Julie ke dalam celana piyamanya setelah menyingkirkan rok Julie ke sembarang arah.

Ia memakaikan celana itu lagi-lagi tanpa melihat langsung, kepalanya memilih menoleh ke arah jendela kamar Julie. Ipang tidak mau membahayakan dirinya dan Julie kalau sampai nekat menatap tubuh indah Julie.

Entah karena terlalu sering mengeluh atau karena aksi Julie yang benar-benar di luar dugaan, Ipang butuh berdeham beberapa kali agar tenggorokannya terasa basah.

Bibirnya pun kering kerontang saat akhirnya melihat Julie sudah berpakaian lengkap, tertutup, dan kembali berbaring di ranjang sambil mendengkur.

Seakan-akan ia tidak bertingkah memancing Ipang hanya karena kegerahan seperti tadi.

Ini bukan pertama kalinya Ipang melihat tubuh perempuan nyaris tanpa sehelai benang pun. Tapi ini pertama kalinya bagi Ipang melihat Julie seperti itu, perempuan yang rasanya malah seperti adiknya sendiri walau statusnya kini adalah istrinya.

“Jules….” Ipang menggeleng frustasi sambil melempar pakaian Julie ke keranjang cucian yang tak jauh darinya.

Ia pun bergegas membersihkan sisa muntah Julie dan sebelum keluar dari kamar istrinya, ia berkata, “Kamu bener-bener keterlaluan malam ini.”

***

Julie tidak pernah tidak menyukai pertemuannya dengan Suri dan Candy. Satu-satunya hal yang tidak ia suka adalah efek di pagi hari setelah malamnya ia minum bersama sahabatnya.

“Duh, ini kepala bisa dilepas dulu nggak sih?”

Seraya memegangi kepalanya yang masih terasa berat, Julie berusaha bangkit untuk duduk dan menyandarkan punggungnya di headboard ranjangnya.

“Siapa yang gantiin bajuku?” gumamnya lagi saat menyadari kalau ia sudah menggunakan piyama.

Julie memang tidak sekuat Candy kalau urusan minum—ia dan Suri sama-sama payah, sebenarnya. Tapi di antara mereka bertiga, kelakuan Julie setelah mabuk benar-benar parah dan yang lebih membahayakannya lagi adalah Julie hampir tidak pernah berhasil untuk ingat seutuhnya mengenai apa yang ia lakukan.

Dulu saat kuliah pun, ternyata ia pernah berjalan di trotoar tanpa alas kaki sambil menyanyikan lagu-lagu daerah. Kalau tidak dihentikan Suri dan Candy, mungkin ia sudah dikira sebagai pengamen sungguhan.

“Paling si Mbak yang gantiin.” Julie berusaha berpikir positif meskipun sulit. Ia bahkan tak ingat bagaimana ia bisa pulang ke rumah Ipang.

Daripada otaknya terus bekerja tanpa hasil, akhirnya Julie bangkit dari ranjang dan segera mandi. Sekilas ia bisa melihat pakaian yang kemarin ia kenakan di keranjang cucian, lalu bernapas lega karena itu berarti kemungkinan besar yang menggantikan pakaiannya adalah ART rumah tersebut.

Begitu selesai mandi dan berganti pakaian dengan kaos oblong serta celana pendek, Julie turun ke lantai satu. Harum masakan yang sepertinya baru selesai dimasak mengundang cacing-cacing di perutnya untuk demo.

“Wah, capcay lagi?” Julie duduk di kursinya saat ART yang bernama Mbak Widi tersebut menaruh piring saji berisi capcay yang masih hangat ke atas meja.

Julie masih ingat, setiap hari setelah ia resmi tinggal di rumah ini, menu sarapan yang tersisa (karena ia bangun lebih siang daripada Ipang) adalah capcay.

Memang Mbak Widi menawarinya menu lain yang bisa ia buatkan, tapi biasanya Julie si pemalas memilih untuk makan apa saja yang ada daripada harus menunggu lagi atau berpikir lagi menu apa yang ingin ia makan.

“Mbak,” panggil Julie setelah berpikir beberapa saat. “Ini perasaanku aja atau emang setiap hari sarapannya Ipang—eh, Mas Ipang tuh, pakai capcay terus ya?”

Rasanya Julie ingin menampar mulutnya sendiri karena kebiasaan memanggil Ipang tanpa embel-embel ‘Mas’ di depan orang lain. Kalau di depan Suri atau Candy mungkin tidak masalah, tapi mereka yang tidak tahu sejarahnya sampai Julie merasa seperti seumuran dengan Ipang pasti akan menganggapnya tidak sopan.

“Oh, ini emang pesenannya Den Ipang, Non. Den Ipang nggak pernah absen makan capcay kalau buat sarapan.”

“Emangnya dia nggak bosen?”

“Sejauh ini sih nggak pernah bosen, Non.”

“Aneh,” gumam Julie dengan refleks. “Oh ya, semalem Mbak yang gantiin baju aku ya? Makasih ya, Mbak. Sebenernya aku nggak begitu inget sih tentang semalem, tapi pasti Mbak Widi yang repot-repot bangun lagi, maaf banget ya, Mbak.”

Perempuan bernama Widi itu kebingungan dengan apa yang dimaksud Julie. Semalam ia tertidur setelah menonton sinetron favoritnya yang entah sudah episode ke berapa ratus.

Lagipula sejak ia bekerja untuk keluarga Ailendra, mereka tidak pernah mengharuskannya tidur setelah atasannya pulang—karena mereka bisa pulang sangat larut sekali.

“Mbak, tapi—”

“Mbak Widi.”

Panggilan itu membuat Julie dan Mbak Widi menoleh ke arah yang bersamaan, di mana Ipang baru turun dari lantai dua dengan penampilannya yang sudah rapi.

“Ya, Den?”

“Boleh minta tolong buatin kopi?” ucap Ipang sambil melirik sekilas ke arah Julie yang sudah segar dan dengan pakaian kasualnya.

Semalam ia susah tidur karena perempuan yang tengah menatapnya seakan-akan tak punya dosa sama sekali ini. Lihatlah sekarang, Julie bahkan sudah bisa menikmati sarapannya dengan tenang, seakan-akan semalam tak terjadi apa-apa.

Mbak Widi mengangguk mengiakan dan meninggalkan mereka berdua di ruang makan. Julie bersikap biasa saja dan terus mengisi piringnya, lalu mulai sarapan di bawah tatapan dingin Ipang.

“Kamu nggak bosen makan capcay terus?”

Demi Tuhan, kenapa juga hal pertama yang ditanyakan Julie malah soal capcay?

Rasanya Ipang ingin menyiram kopi panas ke kepalanya sendiri saat ini.

“Emang kenapa?” tanya Ipang balik dengan berlagak (sok) tenang. “Aku suka capcay. Kalau kamu nggak suka, mending kamu minta Mbak Widi masak sesuatu yang kamu suka.”

“Ah, bukannya nggak suka sih. Tapi aneh aja, kayaknya kamu tiap hari makannya capcay terus, nggak ganti-ganti.”

“Hm….” Ipang malas menanggapi soal capcay, akhirnya ia memilih untuk membahas soal kepergian Julie selama tiga hari kemarin. “Kamu ke mana tiga hari kemarin?”

Awalnya Julie malas menjawab, tapi ia teringat kata-kata Suri kemarin dan obrolan singkat dengan ayahnya. “Ke rumah sakit, kerja, terus ke rumah sakit lagi. Papa sakit, jadi jadwal operasinya yang harusnya bulan depan, bakal dimajuin.”

“Kok kamu nggak kasih tahu aku kalau Om—Papa Rayyan sakit?”

Julie berjengit tak nyaman mendengar bagaimana Ipang menyebut ayahnya dengan sebutan ‘Papa’. Tapi ia tak memungkiri, kini Ipang pun adalah menantu dan anak ayahnya juga.

“Aku lupa karena panik. Sorry, belum biasa jadi istri orang, apalagi istri kamu.”

Lelaki yang hari itu mengenakan kemeja hitam dengan dasi yang belum benar-benar terpasang rapi itu hanya menghela napas. Cuma Julie yang akan mengatakan kalau ia belum biasa jadi istri orang.

“Terus kenapa kamu waktu itu bilang kalau kamu pengangguran?” Ipang beralih pada masalah kedua.

“Kupikir nggak sepenting itu untuk kamu tahu aku ngapain aja. Toh selama bukan buka klinik pasang susuk, pesugihan, atau ternak babi ngepet, apa yang aku kerjain termasuk halal dan legal kok.”

“Uhuk!”

“Idih, joroook!” gerutu Julie saat mendapati nasi yang muncrat dari mulut Ipang ke dekat piringnya.

Lelaki itu melotot setelah berhasil menormalkan kembali pernapasannya. Ia menelan makanannya dan berkata, “Kamu tuh yang ngomongnya aneh-aneh, bikin orang kaget aja. Mana ada ternak babi ngepet?!”

“Astaga, apaan sih, Pang? Ngomongin itu doang bisa langsung bikin keselek. Payah.”

Ipang menaruh sendoknya dan mengeluarkan kartu kredit yang tempo hari ia letakkan di meja makan. Ia sodorkan kartu itu pada Julie yang menatapnya dengan bingung.

“Aku minta nomor rekeningmu, kamu belum bales chat-ku waktu itu.” Ipang berdeham tak nyaman saat kembali membahas mengenai chat-nya yang belum dibalas Julie hingga detik ini. “Aku tahu kamu punya salon yang cukup berhasil, tapi mau gimana pun, kamu istriku. Jadi udah kewajibanku untuk nafkahin kamu.”

Ipang pikir Julie akan menolak atau mendiamkan kartu yang ia berikan—seperti adegan yang sering Candy tulis di novelnya dan ia ceritakan ulang pada Suri dan Julie (yah, kali ini Ipang harus akui beberapa kali sebenarnya ia sering mencuri dengar kegiatan adik dan sahabatnya).

Tapi yang dilakukan Julie berikutnya adalah mengambil kartu tersebut dengan cepat. Kedua matanya berbinar saat bertanya, “Pinnya?”

“Ulang tahunmu.”

“Asyik! Boleh dipakai buat apa aja kan?”

“Iya.” Ipang mengangguk ragu. “Emang kamu ada kepikiran mau beli sesuatu?”

“Beli mobil.”

“Hah?!”

“Bercanda!” Julie tertawa melihat raut wajah Ipang yang terkejut. “Mobilku masih bagus, baru selesai dimodif dua bulan lalu. Tapi makeup-ku habis, jadi aku pengen beli makeup lagi ke Sephora kayaknya.”

“Oh, ya udah pakai aja.” Ipang hanya mengangguk. Menjadi kakak lelaki satu-satunya untuk Suri membuat Ipang sudah terbiasa dengan rutinitas membelikan makeup untuk adiknya sejak dulu.

Bertambah dengan membelikan untuk Julie rasanya bukan masalah besar.

“Nomor rekeningku nanti aku chat,” kata Julie lagi. “Aku bukan perempuan matre sih, tapi kayaknya hal yang menyenangkan dari pernikahan ini baru kartu kredit dan transferan bulanan deh.”

Ipang tak tahan untuk tidak menepuk jidatnya mendengar kejujuran dari mulut Julie. Ia memilih untuk cepat-cepat menghabiskan sarapannya dibanding terus bersitatap dengan Julie dan kepalanya memutar balik apa yang terjadi semalam.

“Oh, ya.” Julie kembali bersuara ketika Ipang sudah menghabiskan sarapan dan kopinya, lalu berdiri untuk segera pergi dari ruang makan. “Semalam yang nganterin aku pulang siapa? Aku nggak inget soalnya.”

Kata-kata Julie membuat Ipang terdiam di tempatnya. “Kamu… nggak inget sama sekali soal semalam?”

“Nggak, tapi kamarku kayaknya ada bau-bau aneh gitu,” jelas Julie sambil mengerucutkan bibirnya. “Bau apa ya? Kayaknya aku nggak nyimpen makanan di kamar.”

Bau muntahmu, Jules! Rasanya ingin Ipang menjawab istrinya dengan nada suara yang naik dua oktaf, tapi ia memilih untuk diam sampai Julie berhenti mengoceh.

“Aku nggak tahu,” jawab Ipang sebelum akhirnya pergi begitu saja meninggalkan Julie sendiri di ruang makan.

Kalau Julie tak ingat, maka tak ada gunanya juga Ipang memberi tahu Julie. Bisa-bisa perempuan itu malah menganggapnya mengada-ada dan mereka akan menggelar hajatan perang dunia yang entah keberapa.

Biarlah yang sudah terjadi semalam, hanya membekas di ingatannya saja.

***

“Kamu udah makan?”

“Belum, Bang.”

Septa menggeleng pelan begitu mendengar jawaban adiknya. Ia meraih pergelangan tangan Julie dan beralih pada ayahnya yang tengah berbaring dan ibunya yang duduk di samping ranjang.

“Pa, Ma, aku mau bawa Julie ke kafetaria dulu ya.”

“Iya, sana, ajak adekmu makan,” kata ayahnya yang langsung mengibaskan tangannya. “Adekmu itu terlalu khawatir sama Papa, malah ngelebihin mamamu.”

“Papaaa.” Julie merengut, tapi orangtuanya malah tertawa dan Septa terus menarik pergelangan tangannya agar mengikutinya.

Pasrah, Julie bangkit dari sofa yang ia duduki dan pamit pada kedua orangtuanya. Hari ini Septa sengaja mengambil cuti untuk menemani orangtuanya dan Julie yang sulit diusir.

“Ipang?”

Suara kakaknya yang memanggil nama tersebut dengan terkejut membuat Julie yang berjalan agak di belakang Septa langsung mendongak. Di depan pintu kamar rawat inap ayahnya, Ipang berdiri canggung sambil membawa beberapa tote bag yang entah apa isinya.

Ipang mengangguk pelan. “Om—Papa Rayyan lagi istirahat?” tanya Ipang yang lagi-lagi masih lupa untuk mengganti sebutan ‘Om’ menjadi ‘Papa’ seperti yang diminta ayah mertuanya tersebut.

“Lagi ngobrol sama Mama sih.” Septa membuka pintu kamar dengan agak lebih lebar. Ia mundur dan otomatis membuat Julie juga berjalan mundur. “Masuk aja. Sapa aja Papa sama Mama dulu, abis ini ikut aku ke kafetaria.”

“Bang,” sergah Julie langsung dengan suara tertahan agar tidak terlalu didengar kedua orangtuanya. “Udah, kita aja yang ke kafetaria.”

Tapi Septa adalah Septa, yang selalu pura-pura tidak punya telinga kalau adiknya tengah meminta sesuatu seperti saat ini. Jadi yang Septa lakukan adalah mengawasi bagaimana Ipang menyapa kedua orangtua Julie dan berbasa-basi sejenak, sebelum kemudian ia mengajak Ipang untuk ikut dengan mereka ke kafetaria rumah sakit.

“Abang rese,” gerutu Julie dengan bisikan.

“Sama suami sendiri juga,” balas Septa dengan volume yang sama. “Anggap aja lagi PDKT sih, Jules.”

Julie hanya menggerutu dengan sangat pelan dan mengerucutkan bibirnya. Septa berjalan dua langkah di depannya setelah melepaskan pegangan tangannya pada Julie, lalu meninggalkan Julie berjalan sejajar dengan Ipang.

Sejak kemarin ia berada di rumah dan Ipang memberikan kartu kreditnya, mereka tak banyak berinteraksi lagi. Julie sibuk di salon sedangkan Ipang… ia tidak tahu ke mana suaminya dan hanya mengira kalau lelaki itu hanya bekerja saja.

Jadi kehadiran Ipang di sini adalah sesuatu yang tidak pernah Julie duga.

“Kamu ngapain di sini?” Julie akhirnya tak tahan untuk tidak bertanya kepada Ipang. “Nggak kerja?”

“Jenguk Papa, aku bisa jadi menantu durhaka kalau nggak jenguk Papa,” jelas Ipang, kemudian ia menambahkan detail yang bahkan tidak ditanya oleh Julie. “Kemarin aku nggak sempet ke sini karena harus rapat. Jadi hari ini aku kerja setengah hari aja biar bisa jenguk Papa.”

“O-oh….” Julie menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Kenapa kerja setengah hari doang? Toh bisa jenguk pas jam makan siang aja kok.”

Ipang memilih untuk mengedikkan bahunya dan tak menjawab pertanyaan Julie. Mereka bertiga memasuki kafetaria rumah sakit dan Ipang mengikuti saja ke mana pun Septa melangkah menuju penjual soto mie.

“Kalau mau makan yang lain pesen aja ya, Pang. Makanan yang ada di sini cuma soto mie doang yang disuka Julie soalnya.”

“Oh, ya….” Ipang hanya mengangguk, tapi tak bergerak mencari makanan lain. Ia memilih untuk ikut memesan soto mie dengan Septa dan Julie.

Setelah selesai memesan, mereka mencari tempat duduk dan Ipang duduk di sebelah Julie yang langsung menatapnya dengan bingung.

“Kamu ngapain duduk di sini?” bisik Julie ketika Septa tengah menerima soto mereka yang diantar oleh pedagangnya.

“Suka-sukalah. Emang aku harus duduk di sebelah Septa?”

Julie mengembuskan napasnya dan melengos begitu saja. Septa sendiri tengah menggeser mangkok milik Ipang dan menahan dua mangkok di hadapannya.

Ipang memperhatikan bagaimana Septa memindahkan potongan tomat dari satu mangkok ke mangkok lainnya. Dari mangkok yang kini kelebihan tomat, kini Septa ganti memindahkan potongan risol berisi bihun tersebut ke mangkok yang satunya.

“Nih.” Septa menggeser mangkok soto tanpa tomat dengan risol yang kini jadi banyak itu kepada Julie. “Tadi Abang udah minta nggak pake tomat yang punya kamu, tapi dia lupa, katanya.”

“Oh, oke.” Julie menerima sendok dan garpu yang disodorkan kakaknya dan mulai memakan soto tersebut. Ia memang lapar, tapi ketika bersama ayahnya di kamar rawat inap tadi, rasa lapar itu seolah menghilang begitu saja.

Hal inilah yang selalu membuat ibu, kedua kakaknya, dan kedua kakak iparnya khawatir. Julie bisa tumbang kapan saja kalau tak diseret untuk makan.

“Ah ya.” Untuk sejenak, Septa bahkan lupa Julie kini tengah duduk berdampingan dengan suaminya.

Lelaki itu menebak Ipang tak tahu tentang kebiasaan makan Julie, karena Ipang sejak tadi menatapnya dengan penasaran.

“Julie tuh karena perempuan satu-satunya dan anak bungsu, manjanya keterlaluan, Pang.” Septa tertawa saat Julie mendongak dari mangkoknya untuk melotot padanya. “Yang lebih parahnya lagi, dua kakak iparnya juga ikut manjain dia karena mereka nggak punya adek cewek.

“Kalau makan, kami udah biasa nyodorin alat makan ke dia. Julie nggak suka tomat karena menurut dia itu buah atau sayuran, nggak jelas. Kalau makan soto mie begini, dia suka risolnya lebih banyak daripada mienya.”

Septa mencubit pipi adiknya dengan gemas.

“Tapi ya dia sekarang udah nikah, kalau dia manjanya keterlaluan, ya dibilangin aja. Kami nggak menuntut kamu harus manjain Julie kayak kami manjain dia. Yang penting dijaga baik-baik dan dibahagiain aja. Julie bahagianya gampang kok, dikasih makanan enak juga dia seneng.”

“Bang Septa, apaan siiih?” gerutu Julie gemas sendiri dengan kakaknya. Tidak biasanya sang kakak tersebut mengumbar banyak hal tentangnya ke orang lain.

Septa melirik Ipang yang juga tengah menatapnya. “Kamu yang apaan, Jules. Abang kan cuma ngasih tahu suamimu aja.”

Ipang sendiri baru tahu soal Julie yang tidak suka tomat, padahal Suri sering membuat jus tomat kalau sahabat-sahabatnya datang ke rumah. Apa saat itu Julie akan tetap meminum jus buatan Suri?

“Selain tomat, apa lagi yang Julie nggak suka?” tanya Ipang dengan refleks pada Septa.

Julie langsung melirik Ipang, tak percaya kalau lelaki itu akan menanyakan hal tersebut.

Hm… Julie nggak suka belut goreng padahal kami sekeluarga nggak suka,” jawab Septa yang kemudian beralih pada Julie. “Apa lagi Jules yang kamu nggak suka?”

“Apel, pir, sayur asem, sayur lodeh, cokelat yang terlalu manis, sama kopi rasa ampas.”

“Nah.” Septa menjentikkan jemarinya. “Next time, kamu bisa tanya langsung ke Julie, Pang. Jules, kamu juga bisa tanya apa aja yang disukain Ipang. Abang nggak akan selalu ada sama kalian buat menjembatani komunikasi kalian berdua.”

Kata-kata Septa terasa telak untuk keduanya. Jadi yang Julie dan Ipang lakukan adalah menyantap makanan masing-masing, sementara Septa hanya menggeleng pelan melihat keduanya.

Sebagai kakak, Septa tentu saja khawatir dengan kondisi adiknya yang menikah bukan dengan calon suaminya yang sebenarnya. Tapi ia juga mengenal Ipang, mereka sempat satu SMP sebelum kemudian Septa memilih SMA yang berbeda dengan Ipang dan Julie dulu.

Septa tahu kalau Ipang cukup baik, di luar track record-nya yang merupakan seorang playboy dengan jam terbang yang cukup banyak. Tapi kekhawatiran Septa sebagai kakak tetaplah ada.

Ini Julie, adik satu-satunya yang dulu membuatnya adu tinju dengan anak sekolah lain karena membuat adiknya menangis setelah diejek mereka.

“Bang.”

Panggilan Julie membuat Septa keluar dari lamunannya. “Kenapa?” tanyanya. Keningnya segera berkerut saat Ipang tak ada di sisi adiknya. “Ipang ke mana?”

“Lagi mau tambah minum.” Julie menunjuk ke arah penjual minuman yang dihampiri Ipang. “Gimana soal Raveno? Dia udah ketemu?”

“Belum. Dia tuh manusia atau belut sih, Jules? Susah banget ditemuinnya.”

“Mana kutahu.” Julie menggulung mienya dengan garpu. “Kata orang kantornya juga dia nggak pernah keliatan, tapi dia masih kerja, cuma ya… remote working gitu.”

“Orangtuanya nggak tahu dia ada di mana.”

“Kenapa dia mesti kabur gitu ya, Bang?” Julie menopang dagunya dengan satu tangan. “Dia yang salah, dia yang kabur.”

“Dia tahulah nyawanya nggak bakal bertahan lama kalau sampai ketemu sama Abang atau Bang Janu.” Septa mendesis marah ketika mengingat kembali bagaimana kehidupan adiknya jadi kacau balau karena lelaki itu.

Orangtua Raveno yang sebenarnya juga sudah tak terlalu peduli dengan anaknya tersebut (karena mereka sudah bercerai dan memiliki keluarga masing-masing), tidak mau terlalu ambil pusing saat Raveno kabur dari hari pernikahannya.

Diingat sampai hari ini pun, hari itu tetap jadi hari paling yang Septa benci.

Ia dan keluarganya menyayangi dan menjaga Julie sepenuh hati, bagaimana bisa ia membiarkan seorang lelaki yang membuat adiknya jadi kacau hidup bebas begitu saja tanpa mencicipi tinjunya?

“Abang kalau ketemu dia jangan sampai berpotensi bunuh dia lho,” pinta Julie dengan sungguh-sungguh.

Permintaan Julie rupanya menggelitik rasa penasaran Septa. “Kamu masih cinta sama dia makanya ngomong begitu ke Abang?”

Julie tak menjawab dan mengambil minuman Septa untuk ia habiskan karena miliknya sudah habis.

Tanpa Julie sadari, Ipang mendengar pembicaraan tersebut dan akhirnya duduk di samping Julie dengan dua gelas minuman yang tak ia bagi kepada istrinya, padahal awalnya ia membeli minuman itu untuknya dan Julie.

Rasa penasaran Ipang mulai terusik, apakah Julie memang masih mencintai mantan calon suaminya yang kabur itu?

Ipang sendiri kesal dengan Priska yang meninggalkannya di hari pernikahan mereka, tapi ia tidak akan mencegah Suri untuk memaki Priska jika adiknya itu bertemu dengan Priska—seandainya ia dan Suri ada di percakapan yang mirip dengan Julie dan Septa tadi.

Jadi kenapa Julie bersikap seperti itu? Apa jauh di dalam hatinya Julie masih berharap bisa menikah dengan Raveno?

Pertanyaan itu berputar di kepala Ipang hanya sebentar, tapi cukup membekas karena ia jarang memikirkan hal-hal seperti ini. Selama ini ia tak pernah memusingkan apa yang dipikirkan oleh perempuan, termasuk saat bersama dengan Priska.

Hanya Julie yang selalu berhasil membuatnya migrain entah kenapa.

“Sebentar, mbakmu telepon,” kata Septa pada Julie yang menunjukkan ponselnya di mana sang istri tengah meneleponnya. Lelaki itu pamit sebentar dari mereka berdua dan keduanya masih lanjut makan dalam keheningan.

Julie sudah menghabiskan isi gelas kakaknya, tapi ia masih merasa haus. Saat ia melirik Ipang punya dua gelas minuman dan salah satunya belum diminum sama sekali, Julie langsung tersenyum.

“Buatku ya?” tanya Julie dengan gembira. Tangannya sudah terulur untuk mengambil gelas tersebut, tapi Ipang langsung mengambil gelas itu dan menjauhkannya dari Julie.

“Nggak, ini punyaku.”

“Tapi masa kamu minum dua—eh, tiga gelas malah sama yang tadi!” Julie menunjuk satu gelas yang sudah kosong dan dua gelas yang masih ada isinya. “Bagi satu sih, pelit banget.”

“Beli sendiri sana.”

“Itu kan belum kamu minum,” tunjuk Julie pada gelas yang isinya memang masih utuh.

Tidak bertingkah sesuai dengan umurnya, Ipang bergegas meminum minuman yang gelasnya masih utuh tersebut hingga kini dua gelas minuman itu sudah resmi ditandai olehnya.

“Sekarang udah aku minum. Beli sendiri sana, jangan manja!” ucap Ipang dengan nada menyebalkan, yang membuat Julie tak tahan untuk tidak menginjak kaki suaminya.

“Dasar suami nyebelin!”

***

Julie pikir kehadiran Ipang di tengah-tengah keluarganya akan terjadi sekali seumur hidup. Tapi ketika seminggu kemudian ayahnya dijadwalkan menjalani operasi, Ipang mencegatnya begitu ia keluar kamar.

“Kamu mau ke rumah sakit?” tanya Ipang pada Julie yang sudah rapi.

Tadinya Julie ingin menginap di rumah sakit dari kemarin, tapi semua anggota keluarganya menentang rencana tersebut dan menyuruhnya pulang ke rumah. Makanya pagi ini Julie bangun terburu-buru supaya bisa sesegera mungkin ke rumah sakit.

“Iya,” jawab Julie sambil lalu. “Minggir dong. Aku buru-buru nih.”

“Ya udah, ayo.”

“Ayo apa?”

“Ke rumah sakit.”

Julie sampai melongo selama beberapa saat. “Kamu mau berobat?”

“Hah?” Kali ini Ipang yang dibuat bingung oleh Julie. Lelaki bertubuh tegap itu mulai memijat pelipisnya. “Aku nggak sakit, Jules. Tapi obrolan kita yang nggak jelas juntrungannya sekarang ini yang kayaknya bakal bikin aku migrain.”

Kata-kata Ipang langsung membuat Julie memicingkan matanya, sebal dengan bagaimana Ipang selalu menganggap pembicaraan mereka hanya membuatnya sakit kepala. Lelaki itu tak tahu saja, kalau Ipang sakit kepala, maka Julie biasanya malah sakit hati karena Ipang.

“Kamu mau ke rumah sakit juga?” ulang Julie sambil menyabarkan dirinya sendiri. “Ngapain? Kamu sakit? Mau berobat?”

“Bukan aku yang sakit.” Ipang menjawab dengan geregetan sendiri. “Kan Papa Rayyan mau operasi hari ini.”

“Kamu….” Kali ini Julie menatap Ipang dengan ragu-ragu. “Kamu mau ikut nungguin Papa operasi?”

“Iya.”

Kalau Julie adalah ikan, ia pasti sudah seperti ikan yang dilempar ke daratan alias sedang megap-megap mencari oksigen. Seorang Ipang… mau menunggui ayahnya operasi?

“Kamu tuh kebanyakan melamun deh, Jules.” Ipang mendecakkan lidahnya melihat respons Julie.

Lelaki itu berinisiatif untuk meraih pergelangan tangan Julie dan menggandengnya. Mereka turun ke lantai satu bersama dan Ipang mengarahkan mereka ke mobilnya yang terparkir di sebelah Porsche Macan Turbo berwarna carmine red milik Julie.

“Kenapa nggak pakai mobil sendiri-sendiri?” tanya Julie seraya menunjuk mobilnya.

“Lebih efektif kalau bareng-bareng.”

Karena malas berdebat di halaman rumah, akhirnya Julie masuk ke mobil Ipang dan segera memasang seat belt-nya. Julie tak tahu harus membuka pembicaraan atau tidak dengan Ipang. Lelaki itu sukses membuat pikirannya terbagi dua, antara operasi ayahnya dan sikap Ipang yang jauh di luar dugaannya.

Entah ini efek membaca banyak tulisan Candy atau memang Julie saja yang terlalu negatif pikirannya, tapi Julie pikir Ipang akan bersikap dingin padanya dan tidak… sepeduli ini padanya atau keluarganya.

Mereka memang saling kenal sebelum akhirnya mendadak menikah. Tapi rasanya lebih banyak Julie yang mengenal Ipang dibanding sebaliknya. Julie bisa menghitung dengan jarinya berapa kali ia dan Ipang bicara sejak SMA hingga sehari sebelum hari pernikahan mereka.

Jadi berinisiatif menemaninya menunggui sang ayah yang akan dioperasi hari ini… benar-benar tidak pernah Julie duga sama sekali.

“Kamu aneh banget, Pang.”

“Aneh kenapa?” Biasanya Ipang malas dengan perempuan cerewet.

Priska lebih kalem daripada Julie, tidak seemosional perempuan yang ada di sampingnya ini. Namun, untuk kali ini, Ipang merasa lega karena setelah kebisuan yang cukup lama di antara mereka, akhirnya Julie membuka obrolan di antara mereka.

“Aneh kenapa?”

“Kamu mau nungguin Papa operasi.”

“Mungkin aku belum bisa jadi suami yang baik, tapi aku berusaha jadi menantu yang baik dulu untuk saat ini,” jawab Ipang dengan lugas tanpa menoleh sama sekali ke arah Julie. “Aku udah pengalaman nungguin orang operasi, percayalah.”

Julie langsung menggigit bibirnya mendengar kalimat terakhir Ipang yang diucapkan sambil lalu. Yang dimaksud Ipang pastilah ketika ia menunggui operasi ibunya yang berakhir dengan buruk. Saat itu Ipang masih kelas 3 SMP dan sebagai sahabat Suri, Julie dan Candy juga ada di sana.

Mereka kembali berdiam diri sampai mobil Ipang tiba di area parkir rumah sakit. Begitu turun dari mobil, Julie berjalan dengan tak sabaran menuju kamar rawat inap ayahnya.

Langkah Julie yang kecil membuatnya dengan mudah dikejar oleh Ipang, yang satu langkah kakinya setara dengan tiga langkah Julie.

Dengan sabar, Ipang menemani Julie yang tak lepas dari ayahnya dari saat mereka bertemu hingga kemudian ayahnya harus dibawa ke ruang operasi.

Mereka semua menunggu dengan sabar, berdoa dan berharap keadaan Rayyan setelah keluar dari ruang operasi akan baik-baik saja.

Ketika mereka duduk di deretan kursi besi yang terasa dingin tersebut, Ipang merasakan suasana yang dulu pernah ia rasakan. Bedanya adalah dulu ia hanya bersama ayah, adik, dan dua sahabat adiknya.

Kini Ipang bersama ibu mertuanya, kedua kakak ipar dan istri mereka, juga istrinya yang hanya duduk diam tanpa mengatakan apa pun. Keluarga Julie lebih besar daripada keluarganya (sebelum kedatangan tiga istri ayahnya yang baru), membuat Ipang entah kenapa merasa asing tapi juga familier dengan kebersamaan seperti ini.

“Mau ke mana, Jules?”

Suara Janu membuat Ipang menoleh, ternyata istrinya sudah berdiri seraya membenarkan posisi tali sling bag di bahunya.

“Mau ke toilet dulu, Bang.”

Janu mengangguk pelan dan tanpa menoleh pada Ipang sama sekali, Julie berlalu begitu saja menelusuri lorong yang sejak tadi hanya dilalui oleh perawat atau pegawai rumah sakit lainnya.

Ipang tahu di saat seperti ini tak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu operasi selesai dan dokter keluar dari ruang operasi tersebut. Ipang sudah mengenal Rayyan sejak lama, dulu Suri sering menginap di rumah Julie dan Ipang beberapa kali menjemput adiknya hingga berkenalan dengan Rayyan.

Meskipun lelaki itu sempat menentang idenya dan Julie untuk menikah setelah ditinggalkan pasangan masing-masing, tapi akhirnya Rayyan tetap memberikan restunya dan berpesan untuk menjaga putri satu-satunya tersebut apa pun yang terjadi.

Saat itulah Ipang benar-benar sadar kalau tindakan impulsifnya mengajak Julie menikah dengannya, bukan tindakan yang bisa ia ragukan kembali sedetik setelah ia resmi menyandang status sebagai suami Julie.

“Mas, Julie kelamaan nggak sih di toiletnya?” tanya Ivanka, istri Januar yang tengah hamil muda.

“Udah berapa lama dia ke toilet?” Janu mengecek jam tangannya. “Lho, hampir setengah jam?”

“Jangan-jangan dia nyasar.” Ivanka mulai terlihat khawatir. “Aku cariin dulu deh ya, Mas—”

“Biar aku aja, Mbak,” sela Ipang dengan refleks.

Kalau keluarga Julie khawatir Julie akan tersesat, maka perempuan itu memang payah dalam menghafal tempat dan jalan. Meskipun Julie sudah dewasa, dari perlakuan keluarganya terhadap perempuan itu Ipang bisa menebak kalau Julie memang bisa sungguh-sungguh tersesat di rumah sakit ini.

Janu dan Ivanka mengangguk, lalu Ipang segera bergegas menelusuri jalan yang tadi sepenglihatannya, dilalui oleh Julie. Lelaki itu mengikuti petunjuk dari perawat dan penanda yang tertempel di dinding.

Ketika ia meminta seorang perempuan yang akan ke toilet untuk mengecek apakah ada Julie di sana, perempuan itu mengatakan toilet tersebut kosong dan tak ada perempuan dengan ciri-ciri yang Ipang maksud.

“Ke mana dia? Nggak mungkin beneran nyasar kan?” gumam Ipang sembari berjalan ke tempat yang lebih ramai.

Dari ruang tunggu tadi ke toilet ini hanya membutuhkan dua kali belokan dan tak banyak percabangan yang membuat orang lain bingung.

Ipang mencoba menelepon ke ponsel Julie, tapi panggilannya tidak diangkat. Lelaki itu bergegas ke kafetaria, tapi tidak menemukan Julie di sana.

Saat ia melihat taman rumah sakit yang ada di belakang gedung, Ipang mencoba peruntungannya dengan bergegas ke sana.

Taman itu agak ramai di satu sisi yang paling dekat dengan apotek, dihuni oleh orang-orang yang bukan pasien dan beberapa pasien dengan perawatnya yang mungkin sedang menghirup udara segar.

Tadinya Ipang hampir menyerah, tapi baju Julie yang berwarna salmon pink cukup menarik perhatian dibanding orang-orang di sekitarnya. Perempuan itu duduk di kursi besi yang ada di depan kolam ikan dan memunggungi Ipang.

“Jules,” panggil Ipang seraya berjalan mendekatinya.

Semakin langkahnya mendekat, Ipang semakin memicingkan matanya untuk mengamati kalau pundak Julie bergerak naik-turun dengan cepat.

Ipang hampir berlari untuk menghampiri Julie dan begitu ia berdiri di hadapan Julie, ternyata perempuan itu tengah menangis seraya memeluk tasnya kuat-kuat.

“Hei, kamu kenapa?” Ipang tentu saja khawatir. Setengah jam yang lalu perempuan itu pamit untuk ke toilet, tapi ia tak kunjung kembali dan ternyata sedang menangis di sini. “Jules.”

Julie mendongak dan kedua matanya terbelalak kaget melihat sosok Ipang di depannya. Ia langsung ingin berhenti menangis, tapi sedu sedan itu tetap keluar meskipun ia tahan.

“Jules,” panggil Ipang dengan lebih lembut. Tubuhnya agak merunduk dan tangannya menyentuh bahu Julie. “Kamu kenapa? Yang lain nyariin kamu karena kamu nggak balik-balik dari toilet.”

“Aku….” Julie menyedot ingusnya dengan tak elegan dan kali ini Ipang memakluminya. “Aku takut…. Takut Papa kenapa-kenapa.”

Kini Ipang jadi mengerti kenapa Julie menangis sendirian di sini. Semua orang yang menunggui operasi Rayyan Rayadinata tentu saja khawatir. Julie si putri bungsu kesayangan semua orang akan membuat mereka lebih khawatir padanya jika ia menangis di sana.

Sementara itu, Julie yang memang sangat dekat dengan ayahnya tentu saja merasa takut. Namun, ia lebih tidak ingin membuat semua orang semakin khawatir karena ketakutannya.

“Papa pasti kuat dan bisa ngelewatin semuanya sampai selesai kok,” ujar Ipang dengan pelan. Ia beranjak duduk di sebelah Julie dan kembali menepuk bahu istrinya.

Julie mengangguk seadanya seraya berusaha menghapus air matanya dengan punggung tangan, tapi semakin dihapus, semakin banyak air mata yang keluar.

Awalnya Ipang ragu, tapi pada akhirnya ia menarik Julie ke dalam pelukannya dan menepuk punggung Julie dengan pelan, juga canggung.

Ini pelukan pertama mereka sebagai suami-istri dan rasanya….

Ipang tak menemukan kata-kata yang tepat untuk mendeskripsikannya. Yang jelas, ia hanya berlaku sopan untuk menenangkan Julie. Harusnya bukan masalah kan?

“Tenang aja, Jules. Semuanya bakal baik-baik aja kok,” ucap Ipang.

Ipang tak tahu kalimat penghiburan apa lagi yang bisa ia ucapkan di situasi seperti ini karena ia sendiri tahu, kalimat-kalimat itu sebenarnya tak terlalu berhasil menenangkannya jika dirinya yang ada di posisi Julie.

Tubuh Julie yang semula kaku berada di pelukan Ipang, akhirnya mulai rileks dan ia semakin menempelkan wajahnya di dada Ipang. Selama beberapa saat mereka hanya diam, hingga kemudian Ipang menyadari sesuatu.

“Jules, kamu bersihin ingusmu di kaosku ya?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status