"Clara Arabella, 23 tahun." Suara manja Clara terdengar di telinga pria yang saat ini berdiri di hadapannya. "Saya Dev." Devan menyalami gadis di depannya. "Silakan duduk." Clara menawari Dev duduk di kursi kosong yang ada di depannya. "Thanks." Keduanya duduk di sebuah kafe, menghadap jalanan yang sedikit lengang. Lepas tengah hari, tak banyak kendaraan yang lalu lalang. Orang-orang sudah ada di dalam kantor masing-masing dan akan keluar dua hingga tiga jam kedepan. "Maaf ya, tadi pagi perut saya mulas, jadi tidak bisa turun ke bawah." Pria dengan kacamata bulat itu tersenyum sambil mengatupkan kedua tangan di depan dada, menunjukkan penyesalan terdalam darinya di depan wanita yang baru ia temui siang ini. Sebenarnya, Dev tidak sakit perut sama sekali. Dia sengaja memancing Clara, melihat respon yang akan ia tunjukkan karena Devan mengingkari janjinya. "Sebagai permintaan maaf saya, Anda bisa pesan apa saja. Saya yang akan mem
"Bagaimana bisa kamu memberiku obat perangsang yang begitu kuat? Apa kamu ingin membunuhku? Jika iya, kenapa kamu menolongku dan membuat Lidya turun tangan? Bukankah akan lebih mudah jika kamu menggagahi tubuhku semaumu seperti sebelum-sebelumnya? Apa kamu belum puas jika aku belum pingsan seperti kemarin?" Hening. Berbagai pertanyaan itu tak mendapat jawaban sama sekali. "Sweety?" Suara Rio tertangkap indera pendengaran Monika, beberapa detik setelahnya. Dia semakin mengendurkan dekapannya, membuat tubuh mereka saling berhadapan satu sama lain. "Hey, are you Ok?" Rio menggerak-gerakkan tangan di depan wajah Monika, menyita atensinya. "Do you hear me?" "Hah?" Monika menatap Rio dengan pandangan heran. 'Bukankah aku baru saja menamparnya?' Monika menatap telapak tangan kanannya di bawah sana sebelum kemudian memejamkan mata. Dia berusaha menguasai diri dan menyadari situasi yang terjadi. Dia tidak pernah menampar Rio. Itu hanya ada di dalam bay
Nyonya Liliana masuk ke dalam ruang rapat diikuti Leo di belakangnya. Tangannya gemetar, tapi coba bersikap setenang mungkin. Dia duduk di kursi yang biasa ditempati oleh Rio, membuat semua orang bertanya-tanya."Selamat sore, semuanya." Leo membuka pertemuan dengan menyapu pandang ke sepuluh orang yang duduk di kursinya masing-masing. "Pada kesempatan kali ini, nyonya Liliana Dirgantara yang akan memimpin rapat internal kita. Semua akan berjalan seperti biasanya, tidak ada yang berbeda sama sekali. Semoga kalian bisa menangkap apa yang saya sampaikan."Leo mengakhiri monolognya dan ditanggapi dengan anggukan. Meski merasa tidak yakin karena ketiadaan Rio di sana, tapi para staf khusus itu mencoba bersikap seprofesional mungkin. Mereka harus melakukan pekerjaan dengan objektif, bukan subjektif."Baik, mari kita mulai dengan presentasi dari departemen pemasaran." Leo mempersilakan pria dengan kacamata bulat di samping kanannya.Nyonya Liliana duduk diam di
Rio dan Monika sedang ada di balkon apartemen milik Pram dan Lidya. Keduanya bercengkerama bersama. Ah, lebih tepatnya Rio yang lebih banyak mendominasi percakapan mereka. Dia memaksa Monika untuk meletakkan kepala di atas pangkuannya. "Aku adalah budakmu. Aku akan melakukan apapun untuk membahagiakanmu. Percayalah dan pegang kata-kataku ini." Rio mengatakan itu dengan sungguh-sungguh, tak ada nada bercanda sama sekali. "Tidak perlu janji. Buktikan kata-katamu itu!" ketus Monika. Dia trauma dengan pengkhianatan Devan padanya, jadi tidak ingin mempercayai lagi janji-janji palsu seperti itu. "Aku tidak memiliki sepeser uang pun sekarang. Jika tidak bergantung pada istriku, lalu aku harus menempel pada siapa lagi? Makanya pagi ini aku mengatakan padamu, bahwa kamu bisa memberikan hukuman apapun padaku, tapi jangan pernah meninggalkanku." Rio membelai pipi Monika, membuat semburat merah samar-samar muncul di pipi mulusnya. "Jadi..." Monika meraih rahang k
Monika tengah membantu Lidya membenahi belanjaannya, memasukkan berbagai kudapan ke dalam toples. Wanita hamil itu sengaja berbelanja banyak makanan karena tahu Rio dan Monika akan tinggal di rumah ini untuk sementara waktu. "Masih ada begitu banyak makanan di sini. Kenapa membeli lagi?" Monika heran karena Lidya berbelanja banyak. Bahkan lemari pendingin dua pintu miliknya hampir tidak muat lagi. Makanan itu terpaksa berjejal agar bisa masuk. "Karena kalian akan tinggal di sini." Lidya menjawabnya dengan gamblang, membuat Monika merasa bersalah. "Ah, maaf. Tapi kami akan pergi secepatnya." Lidya tersenyum, membantu memakaikan apron pada wanita cantik di depannya. "Kenapa buru-buru? Aku akan senang jika kalian ada di sini. Rumah jadi lebih ramai. Biasanya aku hanya sendiri saja." Dari kejauhan, tampak Pram mendekat. "Rio miskin sekarang. Kalian tidak punya tempat tinggal. Jadi untuk sementara, tinggal saja di sini." Monika bungkam. Dia
Bulan sabit menggantung di langit saat sebuah mobil Porsche Panamera warna biru terhenti di perempatan lampu merah. Pengemudinya seorang pria, dengan kemeja merah marun di tubuhnya. "Sweety, aku begitu merindukanmu," gumam Rio lirih, hanya terdengar oleh telinganya sendiri. Dia baru saja pulang dari kantor setelah rapat bersama Leo dan staf khusus perusahaannya. Ah, lebih tepatnya, perusahaan yang dulu menjadi tanggung jawabnya. Sejak beberapa jam yang lalu, pria 31 tahun ini terbebas dari semua tanggung jawabnya sebagai seorang CEO perusahaan multinasional bernama Diragantara Artha Graha. Liliana, ibu tiri sekaligus atasannya, sudah memecatnya dari posisi itu. Dan Rio menyambutnya dengan suka cita. Tapi, saat Leo menghubungi dan mengatakan kejadian tidak mengenakkan di perusahaan, mau tidak mau Rio harus bertindak. Dia memimpin rapat internal bersama kesepuluh staf dari setiap departemen yang ada di perusahaan. Momen itu sengaja Rio manfaatkan untuk
"Sweety, apa yang terjadi?" tanya Rio, memperhatikan wajah cantik istrinya yang sedang tersenyum dari samping. "Apa aku melewatkan sesuatu?"Monika melirik sekilas sebelum duduk manis di atas kursi. "Banyak," jawabnya singkat."Tentang apa? Apa kalian membicarakanku?""Kamu sudah mengizinkannya." Masih tetap sama. Monika memasang wajah datarnya, persis seperti Pram yang hampir tidak pernah menunjukkan mimik senang, sedih, atau bahagia. Manusia semacam ini ternyata banyak juga jumlahnya."Mengizinkan apa?" Rio masih tetap menuntut jawaban dari wanita pujaan hatinya ini."Cuci tangan dan basuh wajahmu. Waktunya makan." Monika memberikan titah seperti seorang ibu yang menyuruh anaknya.Lidya tersenyum lebar melihat interaksi Monika dengan sahabatnya. Wanita itu begitu perhatian, berbanding terbalik dengannya yang sering berbicara pada Pram sambil berteriak emosi. Bahkan, dia tidak pernah peduli apakah Pram sudah membersihkan tangan sebelum maka
"Bagaimana kalau pada akhirnya mereka bermain gila?" Rio bertanya sambil mengamati wajah cantik istrinya. Sejenak Monika bungkam. Dia tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. Jujur saja, dia tidak rela jika seorang pria lembut dan penuh perhatian seperti Devan terjerat dengan wanita yang tidak baik. "Sweety," panggil Rio. Netranya terpaku pada kedua bola mata Monika yang terlihat sedikit sayu. Entah karena lelah atau mulai mengantuk. Tapi, apa yang dia lakukan dengan Lisa sudah keterlaluan. Mereka memiliki affair sejak setahun yang lalu. Itu artinya, sekitar 365 hari Devan sudah mengkhianati kepercayaannya. Jika dikatakan khilaf, itu bullshit. Khilaf itu sekali atau dua kali. Kalau sampai satu tahun? Dia itu gila! "Sweety," ulang Rio untuk yang kedua kalinya. Dia menyentuh pipi Monika, membuat lamunan wanita ini tentang mantan kekasihnya harus terjeda. "Kamu sengaja memprovokasiku. Benar, 'kan?" Pertanyaan tajam dan menukik itu terl