"Ini semua kamu yang masak, Ndis?" tanya Karta menatap Gendis.Gendis pun menganggukkan pelan kepalanya. Tampak senyuman di bibir Karta saat mendapat jawaban dari Gendis."Wah, kamu ini benar-benar hebat. Kamu benar-benar istri yang baik," puji Karta pada Gendis. Tangannya mengusap lembut kepala Gendis membuat Ayu kegerahan.Raut wajah Ayu menjadi merengut melihat Gendis yang diperlakukan begitu manja dan mendapatkan pujian dari Karta.Ayu mengeratkan kepalan tangannya menahan amarah yang mulai muncul. Sekuat tenaga Ayu menahan rasa cemburunya pada Gendis saat itu."Sial! Ngapain sih mas Karta muji-muji gadis itu. Nggak penting banget," batin Ayu kesal.Namun, tiba-tiba saja Ayu mengembang senyum tipis saat mengingat kejahatan yang telah ia lakukan pada Gendis."Sekarang kamu seneng dipuji mas Karta tapi kamu lihat saja nanti," batin Ayu lagi.Seketika senyum Ayu pun memudar saat Karta menoleh ke arahnya. Dengan cepat Ayu merapihkan rambutnya yang tergerai lurus, mencoba menarik perha
Seluruh tubuh Gendis bergetar menahan tangis saat dirinya diserbu dengan beberapa orang yang mengatainya dan mengejeknya.Gendis hanya bisa tertunduk mendengarkan setiap kata yang menusuk hatinya. Ia masih terus memikirkan tentang keanehan saat itu.Bagaimana ayam yang ia masak rasanya bisa seasin itu padahal ia tak banyak memeberikan garam pada masakannya. Gendis hanya bisa membatin dalam hatinya."Sudahlah, Mas. Lebih baik kita maklumi saja Gendis yang masakannya keasinan. Mungkin dia masih belajar memasak apalagi kan dia baru di rumah ini jadi mungkin dia masih canggung," ucap Indah yang lagi-lagi membela Gendis di hadapan Karta dan membuat Ayu geram."Mbak Indah tuh ngapain sih pake sok-sokan belain Gendis di hadapan mas Karta. Pasti mereka berdua sudah sekongkol buat mengambil hati mas Karta dan ingin menyingkirkan aku. Aku harus berbuat sesuatu sebelum mereka berhasil menyingkirkan aku dari kehidupan mas Karta," batin Ayu yang sudah mulai dilema memikirkan dirinya sendiri."Kamu
Akhirnya Gendis selesai membersihkan dirinya dan ia pun keluar dari kamar mandi. Ia langsung berjalan ke arah meja rias dan memandangi sejenak wajahnya dari pantulan cermin.Tampak bercak merah di sekitar lehernya. Gendis hanya bisa memandangi tanda merah itu dan berusaha menutupinya dengan foundation miliknya."Emph Sayang, kamu sudah bangun," ucap Karta dengan suara parau khas bangun tidur.Wajahnya yang masih satu tampak sangat jelas dari pantulan kaca. Perlahan Gendis pun memutar tubuhnya dan menatap ke arah Karta."Iya, Mas. Saya sudah bangun. Mas mau saya buatkan kopi?" tanya Gendis menawarkan.Bukannya menjawab, Karta malah menatap dalam Gendis yang masih menggulung rambutnya yang basah dengan handuk.Karta masih belum melepaskan pandangannya dari Gendis. Perlahan Karta menurunkan kakinya dan memijak lantai lalu berjalan menghampiri Gendis.Kini keduanya pun saling berhadapan dengan posisi Gendis yang masih duduk di kursi dan Karta yang berdiri menatap Gendis."Kamu tambah cant
Dengan air mata yang masih berderai, Gendis menyelesaikan semua pekerjaan rumah sendirian.Sesekali Gendis melirik ke arah Ayu yang tengah duduk di sofa sembari menonton TV dan menikmati camilan."Tante Gendis, Raya haus," ucap seorang anak kecil. Tangannya menarik pelan baju Gendis.Gendis yang tengah menyapu pun langsung menoleh ke arah anak kecil di belakangnya."Oh, kamu haus, ya. Sebentar ya, Tante ambilkan minum dulu," ucap Gendis yang dengan gesit mengambilkan Raya air minum.Setelah meminum air yang diambilkan oleh Gendis, Raya pun tersenyum manis pada Gendis."Terima kasih, ya, tante Gendis," ucapan Raya dengan lembut.Gendis pun mengusap kepala Raya dengan lembut kemudian Gendis berjongkok di hadapan Raya untuk menyeimbangkan posisinya."Emmm Raya, tante Gendis buat leh tanya sesuatu tidak?" tanya Gendis menghentikan kalimatnya.Sejak dari kemarin ia sudah merasa penasaran dan ingin bertanya tapi belum mendapatkan kesempatan sehingga saat ada kesempatan untuk menanyakannya
Setelah selesai makan malam, Karta dudud di sofa ditemani ketiga istrinya."Coba kalian cek dulu, apa sudah masuk," ucap Karta."Iya sudah, Mas," jawab Indah dan Ayu hampir bersamaan.Namun, Gendis hanya diam tak menjawab. Wajah Gendis tak sesemringah kedua istri Karta."Oh iya Gendis, berapa nomor rekening kamu. Aku ingin mengirim uang bulanan untukmu," ucap Karta sembari sesekali menatap ponselnya.Ayu yang mendengar apa yang diucapkan oleh Karta pun melirik tajam kepada Gendis."Emmm s-saya tidak punya rekening, Mas," jawab Gendis pelan."Loh, kenapa nggak punya?" tanya Karta menoleh kepada Gendis."Selama ini kan saya hidup dengan kekurangan, Mas, jadi jangankan untuk disimpan, untuk kebutuhan sehari-hari saja kadang masih kurang," ucap Gendis.Karta terdiam mendengar ucapan Gendis. Namun, dengan cepat Ayu memanfaatkan keadaan itu."Gendis, kalau kamu nggak punya rekening, kamu bisa kok titipkan uangmu ke aku dulu. Nanti kamu bisa ambil kapan saja saat kamu butuh," ucap Ayu.Indah
Hari ini, Karta dan Anjarwati sudah pergi untuk menilik empang-empang milik mereka."Ndis, Mbak mau pergi ke rumah orang tua Mbak dulu, ya," ucap Indah sembari membenahi penampilannya."Oh iya Mbak, hati-hati di jalan ya, Mbak," jawab Gendis yang tengah mengepel lantai rumah."Iya Ndis, oh iya nanti kalau ada apa-apa kamu jangan sungkan untuk telepon aku, ya," ucap Indah lagi.Dengan wajah tertunduk, Gendis pun menjawab. "T-tapi saya nggak punya telepon, Mbak," ucap Gendis."Ya Tuhan, aku lupa. Ya sudah kalau begitu nanti kamu bisa ambil uangmu dari Ayu untuk membeli ponsel. Jaman sekarang ponsel itu sangat penting, Ndis," ujar Indah menyarankan.Sembari mengembangkan senyumnya saat mengingat bahwa ia telah mendapat jatah bulanan dari Karta, Gendis pun menjadi lebih tenang."Iya baik, Mbak. Nanti saya akan ambil uang itu dari mbak Ayu untuk membeli ponsel," jawab Gendis sembari tersenyum."Ya sudah kalau begitu aku pergi dulu ya soalnya aku banyak kerjaan di tempat orang tuaku," ucap
Hari ini, Karta dan Anjarwati pulang terlambat. Keduanya bahkan belum sampai di rumah meski azan isya sudah berkumandang.Tampak Ayu yang duduk di sofa menunggu kedatangan Karta dan Anjarwati."Yu, kamu tumben duduk di sini? Lagi nunggu mas Karta, ya?" tanya Indah menghampiri Ayu.Namun, bukannya menjawab pertanyaan dari indah, Ayu malah melengos begitu saja membuang wajahnya."Nggak usah sok peduli, deh," jawab Ayu ketus.Indah mencoba duduk di samping Ayu dengan wajah mejoleh ke kanan dan ke kiri."Yu, kamu kenapa sih kok jadi begini sama aku? Apa aku ada salah sama kamu?" tanya Indah lagi.Lagi-lagi Ayu tak menjawab. Ia lebih memilih mengalihkan fokusnya pada ponsel di tangannya.Indah tak diam saja mendapatkan respon cuek dari Ayu. Ia meraih tangan Ayu hingga membuatnya menoleh."Tolong katakan padaku, Yu! Apa salahku sampai kamu bersikap begini padaku. Dulu kita nggak begini, Yu! Aku ingin kita seperti dulu lagi," ucap Indah.Dengan kasar Ayu menarik tangannya yang dipegang oleh
Gendis menangis sesenggukan dengan posisi duduk di atas ranjang membelakangi Karta yang masih memejamkan kedua matanya.Tampak cahaya dari luar kamar yang sedikit menembus celah jendela dan mengenai dinding kamar meski jendela belum dibuka."Bapak, aku rindu sama bapak," batin Gendis yang air matanya semakin deras mengalir saat ia mengingat Hartono.Gendis tak menyangka jika ia akan merasakan sakit pada batun dan juga tubuhnya.Begitu tega Karta mentiksa jiwa dan raganya. Setelah Karta puas mencabiknya dengan ikat pinggang yang terbuat dari kulit. Namun, malamnya ia masih sempat menggaul*nya."Emmm kenapa sih berisik sekali," ucap Karta dengan suara parau sembari membuka kedua matanya.Spontan Gendis menutup mulutnya dengan sebelah telapak tangannya agar suaranya tak terdengar oleh Karta. Namun sayangnya, Karta memilih untuk bangun dan menghampiri Gendis yang pundaknya masih berguncang menahan kesedihan."Ada apa kamu menangis?" tanya Karta sembari melingkarkan tangannya pada pinggang