Setelah selesai makan malam, Karta dudud di sofa ditemani ketiga istrinya."Coba kalian cek dulu, apa sudah masuk," ucap Karta."Iya sudah, Mas," jawab Indah dan Ayu hampir bersamaan.Namun, Gendis hanya diam tak menjawab. Wajah Gendis tak sesemringah kedua istri Karta."Oh iya Gendis, berapa nomor rekening kamu. Aku ingin mengirim uang bulanan untukmu," ucap Karta sembari sesekali menatap ponselnya.Ayu yang mendengar apa yang diucapkan oleh Karta pun melirik tajam kepada Gendis."Emmm s-saya tidak punya rekening, Mas," jawab Gendis pelan."Loh, kenapa nggak punya?" tanya Karta menoleh kepada Gendis."Selama ini kan saya hidup dengan kekurangan, Mas, jadi jangankan untuk disimpan, untuk kebutuhan sehari-hari saja kadang masih kurang," ucap Gendis.Karta terdiam mendengar ucapan Gendis. Namun, dengan cepat Ayu memanfaatkan keadaan itu."Gendis, kalau kamu nggak punya rekening, kamu bisa kok titipkan uangmu ke aku dulu. Nanti kamu bisa ambil kapan saja saat kamu butuh," ucap Ayu.Indah
Hari ini, Karta dan Anjarwati sudah pergi untuk menilik empang-empang milik mereka."Ndis, Mbak mau pergi ke rumah orang tua Mbak dulu, ya," ucap Indah sembari membenahi penampilannya."Oh iya Mbak, hati-hati di jalan ya, Mbak," jawab Gendis yang tengah mengepel lantai rumah."Iya Ndis, oh iya nanti kalau ada apa-apa kamu jangan sungkan untuk telepon aku, ya," ucap Indah lagi.Dengan wajah tertunduk, Gendis pun menjawab. "T-tapi saya nggak punya telepon, Mbak," ucap Gendis."Ya Tuhan, aku lupa. Ya sudah kalau begitu nanti kamu bisa ambil uangmu dari Ayu untuk membeli ponsel. Jaman sekarang ponsel itu sangat penting, Ndis," ujar Indah menyarankan.Sembari mengembangkan senyumnya saat mengingat bahwa ia telah mendapat jatah bulanan dari Karta, Gendis pun menjadi lebih tenang."Iya baik, Mbak. Nanti saya akan ambil uang itu dari mbak Ayu untuk membeli ponsel," jawab Gendis sembari tersenyum."Ya sudah kalau begitu aku pergi dulu ya soalnya aku banyak kerjaan di tempat orang tuaku," ucap
Hari ini, Karta dan Anjarwati pulang terlambat. Keduanya bahkan belum sampai di rumah meski azan isya sudah berkumandang.Tampak Ayu yang duduk di sofa menunggu kedatangan Karta dan Anjarwati."Yu, kamu tumben duduk di sini? Lagi nunggu mas Karta, ya?" tanya Indah menghampiri Ayu.Namun, bukannya menjawab pertanyaan dari indah, Ayu malah melengos begitu saja membuang wajahnya."Nggak usah sok peduli, deh," jawab Ayu ketus.Indah mencoba duduk di samping Ayu dengan wajah mejoleh ke kanan dan ke kiri."Yu, kamu kenapa sih kok jadi begini sama aku? Apa aku ada salah sama kamu?" tanya Indah lagi.Lagi-lagi Ayu tak menjawab. Ia lebih memilih mengalihkan fokusnya pada ponsel di tangannya.Indah tak diam saja mendapatkan respon cuek dari Ayu. Ia meraih tangan Ayu hingga membuatnya menoleh."Tolong katakan padaku, Yu! Apa salahku sampai kamu bersikap begini padaku. Dulu kita nggak begini, Yu! Aku ingin kita seperti dulu lagi," ucap Indah.Dengan kasar Ayu menarik tangannya yang dipegang oleh
Gendis menangis sesenggukan dengan posisi duduk di atas ranjang membelakangi Karta yang masih memejamkan kedua matanya.Tampak cahaya dari luar kamar yang sedikit menembus celah jendela dan mengenai dinding kamar meski jendela belum dibuka."Bapak, aku rindu sama bapak," batin Gendis yang air matanya semakin deras mengalir saat ia mengingat Hartono.Gendis tak menyangka jika ia akan merasakan sakit pada batun dan juga tubuhnya.Begitu tega Karta mentiksa jiwa dan raganya. Setelah Karta puas mencabiknya dengan ikat pinggang yang terbuat dari kulit. Namun, malamnya ia masih sempat menggaul*nya."Emmm kenapa sih berisik sekali," ucap Karta dengan suara parau sembari membuka kedua matanya.Spontan Gendis menutup mulutnya dengan sebelah telapak tangannya agar suaranya tak terdengar oleh Karta. Namun sayangnya, Karta memilih untuk bangun dan menghampiri Gendis yang pundaknya masih berguncang menahan kesedihan."Ada apa kamu menangis?" tanya Karta sembari melingkarkan tangannya pada pinggang
"Indah, apa hari ini kamu masih pergi ke rumah orang tuamu?" tanya Karta."Masih Mas. Aku masih harus ke sana karena masih harus membantu menyusun barang di toko," jawab Indah.Dengan keberanian yang telah dikumpulkan, Gendis melangkahkan kakinya menghampiri Karta yang tengah duduk di meja makan."Mas, ini bajunya sudah selesai aku setrika," ucap Gendis lembut."Ya ampun, kamu itu jadi istri kok nggak berguna banget sih, Ndis! Bisa-bisanya baju mau dipakai baru disetrika," sindir Ayu."Iya, Ndis! Lain kali kamu harus lebih paham bagaimana mengurus Karta! Belajar dari mereka yang tidak lelet seperti kamu," ujar Anjarwati yang ikut mencela Gendis."Iya maaf, Bu. Gendis janji tidak akan mengulangi hal seperti ini lagi," jawab Gendis yang lebih memilih mengalah.Meski hatinya merasa sangat lelah tapi Gendis tak mau mengambil resiko dengan menjawab ucapan mertuanya yang nantinya malah akan membuatnya jadi semakin salah.Entah bagaimana cara pikir orang-orang di rumah itu yang selalu menunt
Keesokan harinya, Gendis mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasanya. Sementara Ayu hanya sibuk memainkan ponselnya tanpa mau membantu Gendis.Tanpa terasa peluh mulai jatuh membasahi wajah Gendis hingga membuatnya tamoak mengkilap.Tiba-tiba terdengar suara bel yang membuat Gendis menghentikan kegiatannya sejenak."Siapa ya, yang datang. Apa mas Karta sudah pulang," batin Gendis sembari menatao ke arah pintu yang masih belum dibuka pintunya.Tanpa berlama-lama Gendis langsung berjalan ke arah pintu dan membukanya perlahan. Tampaklah Indri yang berdiri tegak di muka pintu."I-indri." Kalimat Gendis terhenti begitu saja saat melihat Indri yang tengah berdiri di hadapannya. Seolah tak percaya bahwa Indri datang menemuinya."Mbak Gendis, tolong, Mbak," ucap Indri dengan nada suara setengah tersengal. "B-bapak, Mbak," lanjut Indri dengan terbata-bata.Mendengar ucapan Indri membuat Gendis seketika ikut panik dan penasaran."Ada apa, Ndri? Bapak kenapa?" tanya Gendis yang mulai ikut panik
"Gendis ... Gendis!" Karta berteriak memanggil Gendis sembari menerobos masuk ke dalam rumah Hartono."I-itu seperti suara mas Karta," ucap Gendis lirih sembari mejoleh ke arah Indri yang ada di sebelahnya.Untuk sejenak Gendis pun menghentikan kegiatannya yang terbagi menyuapi makan Hartono."Gendis, itu seperti suara juragan Karta! Cepat kamu temui dia! Sepertinya dia sedang marah," ucap Hartono menatao Gendis yang saat itu masih tercengang di posisinya.Setelah tersadar dari lamunannya, Gendis pun segera meletakkan mangkok yang berisi bubur.Namun, baru saja Gendis menurunkan sebelah kakinya ke pantai, tiba-tiba saja Karta muncul di depan pintu dengan wajah penuh amarah dan menatap tajam ke arah Gendis."Beraninya kamu pergi ke sini," dengus Karta sembari mengepalkan kedua tangannya. Deretan giginya mengerat dengan cukup kuat menahan amarah yang siap pecah."J-juragan." Hartono yang melihat Karta pun mencoba menyapanya tapi Karta tak menghiraukannya meskipun Hartono telah susah pa
Setelah penyiksaan yang Karta lakukan pada Gendis di kamar mandi bahkan Karta pun menyetu*uhi Gendis di kamar mandi.Lagi-lagi, Karta menikmati tubuh Gendis disaat dirinya tengah tak berdaya dan merasakan perihnya penyiksaan Karta saat itu tapi pria tua yang kini menjadi suaminya itu malah begitu menikmatinya bahkan setiap tetes air mata Gendis semakin membuatnya berhas*at.Gendis hanya bisa menangis tersedu-sedu di kamarnya sembari membalut tubuhnya dengan handuk.Rambutnya basah, tangannya keriput karena diguyur air cukup lama oleh Karta. Sementara sekarang Karta malah berbahagia di luar kamar bersama dengan istri dan juga ibu mertuanya."Ya Tuhan, haruskah aku merasakan semuanya ini," ucap Gendis lirih. Handuk yang dililitkan ditubuhnya, diremaa cukup kuat.Suara gelak tawa Karta dari luar kamar begitu terdengar jelas hingga membuat Gendis semakin merasa sedih.Bisa-bisanya pria yang sudah menyiksanya jiwa raganya dengan begitu brutal, kini malah tertawa terbahak-bahak di luar sana