Bab 8 Luka Hati MentariMentari termenung setelah kepergian Adiaz dan Angela. Hatinya terasa kosong. Pikirannya kalut. Seandainya, dia tidak tutup mata sejak awal, mungkin semua masalah ini tidak akan terjadi. Mentari terlalu mencintai Adiaz, walaupun dia tahu kesalahan Adiaz, wanita itu masih tetap bertahan, seakan tidak terjadi apa pun, seakan tidak ada yang salah. Hal itu menyebabkan banyak luka di hati Mentari. Rani menghampirinya, “Kamu baik-baik aja, ‘kan? Mau makan lagi?" tanya Rani khawatir. Diam. Sama sekali tidak ada jawaban. Mentari masih melamun, menatap kosong ke depan. Semuanya seakan hanya mimpi buruk. Ia berharap bisa tidur panjang, lalu bangun ketika semuanya sudah baik-baik saja. Rani mendekap erat tubuh Mentari. Merasakan bajunya basah karena air mata gadis itu. “Sudah ... gak apa-apa. Kamu mau disakiti terus sama laki-laki bejat seperti itu? Sudah, jangan dipikirkan. Dia gak pantas buat kamu. Percaya sama aku, Mentari, Tuhan jauhkan kal
Di tempat lain, Angela sedang sibuk berbelanja. Dia berniat untuk menghabiskan semua uang dari Adiaz. Membeli banyak pakaian branded. Dia juga pergi ke salon untuk perawatan. Wanita itu benar-benar tidak peduli dengan keadaan Mentari yang semakin memburuk. “Bodo amat sama perempuan bodoh itu. Yang penting aku bisa beli barang-barang mahal. Hahaha. Sekarang aku punya bank pribadi." Angela berbicara sendiri. Kedua tangannya penuh dengan kantong belanjaan, perempuan itu tertawa senang, “Cukup untuk hari ini. Besok, kita shopping lagi. Tenang Angela ... sekarang kamu memiliki pohon uang yang akan selamanya menjadi milikmu, hahaha ....” Angela berbicara sendiri seraya melangkahkan kakinya keluar dari mal. Tiba-tiba, seseorang menghampirinya. Orang itu menatap Angela dengan tajam. Lalu ia menyeretnya ke belakang mal.“Sini, lu!" Rani menarik dengan kasar tangan Angela. Belanjaan Angela jatuh berserakan, kakinya tersandung.Angela meringis kesakitan. Dia ingin melepaskan cengkeraman ta
Jadi, lu … anak itu?" Rani tertawa sarkas. “Iya, gue anak itu. Lu gak puas apa, udah ngebunuh orang, bikin orang menderita. Punya otak gak, sih? Kenapa sampai segitunya cari uang? Kamu gak menyesal atas perbuatan kamu? Kenapa masih melakukan hal yang sama berulang kali? Mau berapa anak yang lu hancurkan hidupnya, mau berapa anak yang lu buat mereka kehilangan sosok ayah, pemberi nafkah, demi memberikan kesenangan ke orang gak tau diri seperti kamu?" Rani benar-benar sudah gelap mata. Dia mengambil sebuah batu yang besarnya satu kepalan tangan. Lalu menghantam kepala Angela dengan kuat. Darah mengucur deras. Angela meringis kesakitan. Dia berteriak minta tolong, tetapi percuma, tidak ada orang di sana. Dia mulai kehilangan kesadaran, dan mendengar sedikit apa yang diucapkan oleh Rani. ”Gue gak yakin kehidupan lu bakal baik-baik aja setelah ini. Lihat aja! Gue dan Mentari bakal buat kehidupan lu gak tenang. Elu memang berhasil dan merasa menang sekarang, tapi itu gak akan tahan
“Jangan ambil! Buang! Buang aja hapenya. Aku udah muak! Aku gak mau liat dia lagi!" teriak Mentari histeris. Vas bunga yang terbuat dari keramik, dilemparkan oleh Mentari ke arah Rani. Beruntung lemparannya meleset, mengenai ujung tembok. Rani kesal, “Kamu udah gila, ya!? Kalau bikin sakit hati, ya, jangan diliat. Kamu bodoh apa gimana?" Rani membuang ponsel Mentari ke tong sampah. “Udah, mulai sekarang, kamu gak usah hubungi dia lagi. Jangan mau tau keadaan atau apa pun yang dia lakuin. Jangan menyiksa diri! Kamu juga tahu kalau dia itu perempuan yang gak tau malu. Gak akan punya efek jera sebelum kena karma!" Rani berteriak penuh amarah. Mentari menangis, kemudian Rani menghampiri dan memeluknya. “Aku gak bisa Ran, delapan tahun bukan waktu yang sebentar!" “Aku paham perasaan kamu, tapi masa kamu mau kaya gini terus selamanya? Enggak kan? Udah besok aku antar kamu suatu tempat." “Ke mana?" “Besok juga kamu tahu. Sekarang kamu makan dulu. Kamu gak mau, ‘kan, dia bisa sebaha
Sayang, ini Ibu, Nak. Ayo kita pulang. Ayah dan Ibu datang untuk menjemputmu. Buka pintunya ... keluarlah, Mentari." Tidak ada jawaban. Berkali-kali membujuk, tetapi hasilnya nihil. Mentari diam seribu bahasa, duduk dengan memeluk kakinya sendiri dengan erat. Pikirannya kosong, matanya tak lepas memandangi layar ponsel yang tak pernah jauh dari tangannya. Entah sudah berpuluh bahkan beratus pesan ia kirimkan pada Adiaz, meskipun hasilnya hanya ceklis satu dan tak pernah menjadi dua apalagi biru. Meskipun Rani telah mengganti ponsel Mentari dan hanya memasukkan nomor-nomor tertentu saja, tetapi nomor Adiaz sudah terekam kuat dalam ingatan Mentari. Beribu kali pun nomor itu dihapus, Mentari selalu dapat mengingatnya. Tanpa ia ketahui, Adiaz pun kini telah mengganti nomor ponselnya.Tidak peduli seberapa dalam luka yang Adiaz buat di hatinya, gadis itu tetap setia menunggu kabar dari lelaki yang kini sudah melupakannya. Nafsu makannya hampir tak pernah ada jika saja Rani tidak memaksa
Mona merasa kasihan. Dia menarik suami dan anaknya pergi dari situ. Tidak mau membuat Mentari bertambah hancur. “Lho, Mama kenapa, sih? Tadi padahal semangat sekali, mau kasih dia pelajaran. Kita harus bawa dia ke kantor polisi, sekarang juga. Biar dia kapok." Mona membekap paksa mulut suaminya. “Sstt, Pa. Coba lihat tangannya, perhatikan baik-baik." Dua … tiga … lima … goresan luka, yang sengaja dibuat di pergelangan tangan Mentari. “Maaf … aku janji tidak akan membuatmu marah lagi. Aku janji akan pura-pura tidak tahu kamu bermain di belakangku. Aku janji .…" ceracau Mentari tak karuan membuat Mona semakin merasa iba. “Pa. Sudahlah, kita pergi saja dari sini." “Kenapa, Ma? Anak kita berdarah, lho––“ Belum selesai suaminya berkata, tangannya sudah ditarik paksa.Saat Mona dan suaminya sudah tidak ada, Mentari masuk kamar dan menangis. Terkadang ingatannya sadar terkadang juga tak dapat terkontrol. Hari itu … dia akan bunuh diri. Dalam keadaan hancur dan sakit ….Bukannya ini
Johan––laki-laki tua itu mampu membuat Angela terbuai, ternyata Johan adalah seorang bandar besar.Menjelang pagi, mereka baru menyudahi semuanya. Angela pun pulang dengan perasaan bahagia. Wanita itu menang banyak malam tadi, selain mendapatkan uang yang lumayan jumlahnya ia juga puas mengonsumsi barang haram yang selama ini ia kenalkan pada Adiaz. Bedanya, biasanya ia menikmati barang haram itu harus dengan mengeluarkan uang yang nominalnya tidak sedikit, tetapi kali ini ia bisa sepuasnya tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun. Satu lagi yang membuat Angela merasa di atas angin, Johan sangat puas dengan pelayanan yang ia berikan dan berjanji akan selalu mendatanginya. Sebagai bentuk keseriusan, Johan membekali Angela satu buah kartu debit miliknya untuk dipergunakan Angela sepuasnya. “Aaahh ... akhirnya, dewa keberuntungan berpihak padaku.” Angela berkata sendiri seraya menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur.“Eh, tunggu ... tadi Johan bilang akan sesering mungkin mengunjung
Tiba di kafe, Mentari mengirimkan pesan pada Adiaz, menanyakan keberadaannya. Namun, sama sekali tidak ada balasan walaupun terkirim. Ternyata, Angela senang menikmati kebodohan Mentari. Tidak berputus asa, Mentari menunggu di salah satu sudut kafe. Sudah dua jam berlalu, tidak ada tanda-tanda kemunculan Adiaz. Sampai akhirnya, waktu sudah semakin beranjak naik, saat ini waktu sudah hampir tengah malam.“Maaf, Kak. Kami sudah mau tutup.”“Lho? kenapa cepat sekali tutupnya? Bisa kasih saya waktu sebentar? Calon suami saya sebentar lagi tiba." “Maaf, Kak. Gak bisa. Ini sudah waktunya kafe kami tutup, Kak." “Tapi … saya sedang menunggu tunangan saya datang ke sini!" Mentari menunjukkan foto Adiaz.Pelayan kafe saling memberikan tatapan penuh tanda tanya. “Maaf, Kak. Kami sama sekali tidak melihat. Yang lain juga begitu." Terpaksa Mentari keluar dari kafe dengan hati hampa. Halusinasinya, mengenai pertemuan indah yang akan dia dapatkan, malah berubah menjadi luka hati yang dalam