Share

Bab 4

"Akhirnya  bisa, aku pikir otakku gak nyampe."  Diva merentangkan kedua tangannya, membebaskan diri dari rasa capek.

Diva ini memiliki pesona riang dan sikap cueknya membuatnya banyak mendapat perhatian sekantor, padahal cara kerja dia ini belum ada perkembangan. Di ruang ini hanya mereka berdua, berhadapan duduk di meja.  Misalnya Liam menawarkan hubungan terlarang dengan wanita ini, apa Diva mau bersenang-senang di atas penderita orang lain?

"Kamu mau minum panas, dingin, atau minuman kaleng?" Liam menawarkan. Dengan minuman akan mencairkan suasana.

Diva malah mendengus. "Udah kayak di kafe aja, Pak. Mau minum apa Mbak? Atau jangan-jangan ini sogokan?" wajahnya berubah menjadi tawa terkikik.

"Yaudah kalau mau kerja tanpa minuman. Saya gak maksa"

Dengan hati-hati Liam meneliti penampilan Diva. Wajahnya cantik, bibir ranumnya menyunggingkan senyuman manis. Rasanya ingin sekali menghabiskan akhir Minggu ini dengannya.

Liam berjalan ke belakangnya, melihat layar laptop. Memeriksa hasil pekerjaannya, tanpa sadar mendekatkan dagunya di bahu Diva, "Jangan ada yang terlewat ya... bisa rugi kalau kamu gak fokus."

Diva mengangguk sambil menahan nafas. Dengan jarak sedekat ini membuat jantungnya berdebar kuat, lalu mereka menghabiskan waktu dalam keheningan.  Liam kembali ke bangku, menatap lurus pada wanita yang terlihat serius mengetik laptopnya. Sesekali dia menyelipkan rambutnya ke belakang kuping, mungkin dia sadar Liam memperhatikan dia.

"Kamu single atau ada pacar? Hanya pertanyaan iseng aja." Kata Liam

Senyumnya terulas. "Kan aku pernah bilang. Single. Jomblo bukan berarti gak laku, kan." Pernyataan Diva membuat Liam tersenyum, menikmati getaran aneh di sana.

"Secantik kamu. Gak mungkin lah gak ada yang ngejar." Ucap Liam memancing. Diva tersenyum simpul yang menggemaskan, "Saya jujur bilang kamu cantik."

Wajah Diva merona, sangat cantik dengan ekpresinya seperti itu. Seharusnya Liam sadar dia pria yang sudah menikah, dia menikahi Samira. Dan yang dia lakukan sekarang adalah hal brengsek dan bodoh. Membayangkan tubuhnya.

Liam berjuang mati-matian  menahan untuk tidak melihat wanita di depannya  ini. Menahan gejolaknya yang semakin tak terkendali--segala jenis usaha ia lakukan untuk kembali mencintai Samira. Bercinta dengannya, kumpul keluarga, bicara penuh perasaan. Bahkan terkadang Liam mengalah menuruti permintaan Samira. Tapi semua tak membuatnya lebih normal.

Liam juga pernah  mendatangi psikolog. Dia pikir rumah tangganya kini tidak lagi baik-baik saja. Diluar fantasinya  pada wanita lain, sikap Samira juga membuatnya tidak nyaman. Samira sibuk dengan kegiatan sosialitanya, dengan barang-barang shopping-nya. Dia juga membeli Mercedes keluaran terbaru tanpa memberitahu Liam. Padahal Liam tidak melarangnya punya kehidupan sosial.

Liam memang punya uang simpanan. Gaji bulanan,  tapi bukan berarti jika berfoya-foya terus tidak akan habis.

Dan pekerjaan mereka selesai, tepat pukul sembilan malam. Semua staf telah pulang, yang tertinggal hanya mereka berdua. Sebagai atasan, tentu saja Liam tidak akan  menerkam Diva seperti pemerkosa, walaupun dia ingin menariknya ke sudut dinding.

"Kamu mau makan malem dulu gak? Udah kemaleman sih kita makan sekarang, kamu gak lagi diet kan?" Tanya Liam.

"Enak aja aku diet. Badan sekurus ini. Kalo di kasih makan gratis maulah, Pak," balasnya tidak malu-malu. Diva itu tidak bisa menjeda tawa dan bicaranya.

"Jadi harus makan gratisan ya biar bisa makan bareng?" Cibir Liam.

"Ini mau traktir apa bayar sendiri-sendiri? Yang jelas dong kalau ngajakin makan?"

"Saya traktir. Lagian kamu ngomongnya udah kayak ngasih ultimatum." Liam pura-pura berdecak kesal. Mereka melangkah ke arah lift. Setelah menunggu tidak lama lift terbuka.

"Mau makan apa?" Tanya Liam. Wajah Diva tampak serius memikirkan.

"Ini makan di pinggiran apa restoran mahal?" Balas Diva dengan pertanyaan, lift terbuka. Dengan sepatu hak tingginya Diva berjalan anggun sejajar dengan Liam.

"Terserah mau makan dimana aja. Saya sanggup bayar." Diva mencebikkan bibirnya mendengar pernyataan Liam.

"Susah ya punya boss beduit. Gak bisa merendah dikit aja." Dia terkikik geli. Menatap Liam dengan polosnya.

Mereka punya dua pilihan, naik mobil masing-masing, saling beriringan atau meninggalkan satu mobil. Dan akhirnya Liam mengiringi mobil Diva di belakang.

Beberapa menit kemudian, mobil mereka terparkir di depan restoran Jepang. Wanita ini tidak tanggung-tanggung mencari tempat, dan itu pun kelas VIP dengan ruang privasi.

Diva duduk anggun di depan Liam dengan bantal di atas lantai. Seakan-akan ini lagi di Jepang betulan. Suara ketukan pintu terbuat dari kayu terbuka, pelayanan membawa bermacam-macam makanan khas Jepang. Tapi rasa mual berkumpul di tenggorokan Liam mencicipi makanan mentah.

"Lucu banget mukanya, Pak. Makanan seenak ini masa gak suka." Diva terkikik geli, dia menghidupkan api di meja lalu meletakkan ikan mentah pada penggorengan, "Makan yang mateng aja, entar Bapak sakit perut lagi."

"Siapa suruh bawa ke restoran kayak gini."

"Tadi katanya terserah, gimana sih."

Liam tidak bersuara lagi, membiarkan Diva mengolah makanan. Dua puluh detik kemudian pelayan membawa minuman botol, yang matanya bisa membaca 'Sake' minuman khas Jepang. Dengan meminum minuman keras seperti ini semakin membuat hormon Liam menjerit-jerit ingin menyentuhnya.

Dan karena pengaruh minuman mereka melakukan ciuman pertama yang meledak-ledak tanpa sadar. Satu-satunya hal yang membuat Liam menahan diri untuk tidak menelanjanginya adalah dia tidak membawa pengaman.

Setidaknya Liam sudah merasakan bibirnya, walau pun dengan campuran rasa sake. Dan dia sadar itu bukan pengaruh minuman, Liam benar-benar ingin melakukannya. Dan Diva? Entahlah, wanita itu tidak menampar Liam  saat dia menyentuh bibirnya.

Sampai di parkiran, tidak berhenti di situ saja. Liam masuk ke mobil Diva, ciuman mereka lebih panas. Liam mencumbunya habis-habisan sampai tangannya masuk ke dalam pakaian Diva tanpa dilepas. Dan ini untuk melampiaskan rasa penasarannya atas wanita ini. Beberapa menit kemudian Liam melepaskan ciumannya, dan mengecup kening Diva. Lalu berjalan ke arah mobilnya. Tanpa pesan padanya. Seperti. 'Nanti saya telpon ya' Liam meninggalkannya begitu saja.

Liam pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk, Diva pasti marah dengan kelakuannya yang bajingan. Di atas ranjang, berbaring di samping Samira. Liam memikirkan Diva lagi. Apa yang harus ia katakan pada wanita itu, mana mungkin dia memberikan ikatan tanpa masa depan. Atau jangan-jangan Diva juga hanya menganggap ciuman mereka hanya hiburan.

Sampai besok pagi Liam belum juga menelpon Diva, di kantor dia melihat Diva berjalan biasa saja seperti tidak ada yang terjadi antara mereka saat satu lift.  Diva menatapnya datar ketika mata mereka bertemu, penampilannya semakin cantik dengan polesan lipstik merah jambu. Astaga... Liam masih melihat kearah sana.

🌹🌹🌹

POV: Diva.

Lift ini serasa pengap, aku tidak nyaman satu tempat dengannya. Ingin sekali menonjok bibirnya hingga berdarah--darah. Yang dia lakukan itu jahat. Harusnya dia berbasa-basi mengatakan maaf atas kesilapannya. Meninggalkan aku begitu saja tanpa kabar. Dia laki- laki brengsek. Aku pura-pura santai, mengingat moments malam itu.

"Tunggu sebentar!" suara dari belakang sangat tegas, aku menulikan pendengaranku. Tetap berjalan, "Diva." Lalu aku menoleh padanya dengan senyuman ramah yang sering aku tunjukkan.

"Bapak manggil? Kirain manggil orang lain." Sahutku santai, dia terlihat jengkel. Dia tidak terima dengan sikapku, tapi dia membuatku seperti mainan, "Mau nanyain kerjaan kemarin yang belum selesai ya? Nanti aku kelarin deh tapi di meja aku aja. Lebih aman." Muka cowok brengsek ini kelihatan banget tidak suka dengan ucapanku.

"Okeh. Kamu yakin bisa selesain sendiri?"

"Iya. Aku memang bukan siapa-siapa dan  hanya dianggap sebelah mata di sini. Gak punya kemampuan seperti yang lain. Tapi, aku gak akan melewatkan kesempatan karena sudah bekerja di sini."

"Jadi Bapak jangan khawatir, aku bersungguh-sungguh bekerja dan memberikan yang terbaik. Bukan hanya Bapak saja yang menganggap aku gak berkemampuan. Aku tahu semua orang sedang memperhatikan cara kerja aku."

Liam masih berwajah kesal, sesungguhnya aku kesulitan dengan pekerjaan yang dia berikan. Tapi aku ingin melukai egonya, biar dia tahu gimana perasaanku semalam. Walaupun hanya meraba-raba dan mencium dia pikir aku gak pakek perasaan?

Aku mundur, memberikan jalan agar dia lebih dulu melewatiku. Tapi sepertinya ada yang menyangkut di tenggorokannya dan ingin dia keluarkan. Tapi aku tidak akan membiarkan dia meminta maaf, dia harus merasa malu setiap kali kami bertemu. Dan itu sedikit mengobati  rasa berduka-ku semalam. Lagi pula apa yang bisa kuharapkan? Dia sudah punya istri.

Aku memang menyukai wajah tampannya, hidungnya yang mancung. Badannya yang tinggi tegap-sangat sehat. Mungkin orang akan menyangka dia olahragawam  karena memiliki tubuh yang prima. Dia punya daya tarik yang kapan saja mampu menaklukkan wanita, ciumannya sangat lihai. Aku akui  sangat menikmati-dia sangat berpengalaman.

Dan aku menyukai itu--aku benci karena menginginkannya.

Aku tidak bisa mundur dari tempatku, aku akan melakukan yang terbaik dan menunjukkan pada mereka.

"Seberapa pun kuatnya kamu berusaha menunjukkan diri. Kita tetap hanya sebatas staf biasa," suara itu dari Nara. Dia mendengar pembicaraanku dengan Liam tadi, "aku sudah bekerja lama, bertahun-tahun tapi belum dipromosikan. Jadi untuk apa bekerja lebih?"

"Meskipun gak naik jabatan, aku tetap akan berusaha yang terbaik. Untuk pekerjaanku utamanya." Entah mengapa aku begitu emosional hari ini tidak seperti biasanya.

Nara terlihat berpikir sejenak. "Kayaknya aku mulai yakin kerja bareng kamu. Semoga kita kerasan di sini ya." Nara bersandar di bangkunya, aku masih bisa melihatnya tersenyum sekilas disaat tanganku mengetik di laptop.

"Kosongkan jadwal kamu minggu ini. Urus pesanan dari klien kita, " Rania, cewek rambut panjang ini bersedekap di depan kami. Alisnya yang tegas semakin memberikan kesan antagonisnya.

"Ada suara tapi gak kelihatan wujudnya." Kata Nara memutar bola mata.

"Dicek berulang kali jangan ada yang tertinggal. Nanti kerjaan kamu aku periksa lagi." Rania menatap aku dan Nara bergantian, "Jangan tiru cewek pemalas suka dandan ini."

Nara menunjukkan kuku-kukunya yang sudah mengkilap dengan bangga, "Tapi kan terbukti, aku yang paling cantik! Pusing banget sih  mikirin orang--diganggu aja gak."

"Siapa yang ganggu kalian? Aku cuma ingetin ker-ja." Balas Rania tidak terima.

 

"Semerdeka kamu ajalah. Males  ribut... ngajak makan aku mau." Kedua orang ini kadang akur kadang kayak Tom and Jerry. Tebakanku kami seumuran, gosipnya Rania akan dipromosikan begitu cepat. Kelihatan sih, dia tipe-tipe penjilat.

"Tanda-tanda orang gak mau maju ya gitu, gak terima di nasehatin. Kayak gak punya otak di kepala," suara Rania ketus. "Jangan jadi orang yang kerja harus dilihat dulu."

"Oh, gitu... makasih lhoo atas perhatiannya." Ujar Nara dengan sikap tidak pedulinya.

Rania memutar bola mata, meski dia cerewet. Setidaknya ide-ide Rania sering dipakai di meeting. Dia menghembuskan nafas, kelihatan menahan geram.

"Udah Ra, aku bisa kok menangani sendiri job itu."

Kali ini dengan cepat Rania menyindirku dengan sinis, "Bagus masih tau diri. Jangan cuma jual tampang aja sama atasan, tuh... Pak Liam tadi nyuruh manggil kamu. Belum ada karyawan lain sering mundar-mandir ke ruangan dia kecuali kamu."

Sontak aku memandangnya dengan tatapan dingin dan tajam, bersamaan dengan langkahku ke ruang Liam Kavindra.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status