Bella menatap Edgar--lelaki yang kini menempati hatinya. Ia masih tak percaya kalau Edgar lupa ingatan. "Edgar, kamu benar benar tidak mengenaliku?" isak Bella duduk di tepi bed. Ia memegang lengan Edgar, lelaki itu sedang meremas rambut frustasi. Ia tahu Edgar sedang berusaha mengingat siapa dia. "Aku tidak ingat. Aku tidak tahu siapa kamu," ucap Edgar, meringis kesakitan. Bella menghela napas sesak. "Sudah, jangan dipaksakan. Aku yakin nanti kamu bisa mengingatku. Tolong jangan dipaksa, ya."Edgar menatap wanita di depannya dengan tatapan lirih. "Siapa namamu?" "Bella. Aku Bella," jawabnya. "Aku dan kamu, kita memiliki hubungan apa? Apa kamu kekasihku?" Bella terdiam, dalam hati ingin mengakui bahwa dia adalah kekasih Edgar, tetapi tidak mungkin dia mengatakan itu. Bagaimana kalau Edgar mengakuinya sebagai kekasih di depan Barta? "Katakan, siapa kamu? Apa kita sudah lama saling mengenal? Atau kamu adikku?" Bella tersenyum lirih lalu mengatakan, "Aku .... "Ia menggantung ucap
Barta mendatangi markas Julius--saingan beratnya sesama pembisnis di dunia hitam. Ya, Julius juga memiliki usaha yang sama seperti Barta, tetapi uang yang digunakan Julius untuk mendirikan beberapa klub malam dan tempat karaoke adalah uang hasil pinjamannya pada Barta. Dulunya mereka adalah sahabat, tetapi karena uang dan kekuasaan, keduanya menjadi musuh yang saling menyerang. Kedatangan Barta ke tempat itu, tak lain karena Julius sudah menggangu ketenangan tempat usahanya. Barta geram, ingin membalas Julius agar lelaki itu tidak lagi mengusik ketenangannya. "Bos, Tuan Barta datang," bisik anak buah Julius. Julius tersenyum jengah. "Biarkan dia masuk!""Tuan Barta sudah masuk ke dalam markas kita, Bos."BRUK!Julius terhenyak kaget saat melihat anak buah Barta menendang pintu ruangannya.Barta tersenyum sinis. "Apa yang kamu inginkan dariku? Uangku? Bukannya pinjaman tanpa bunga dariku belum dilunasi?" Julius mendengus kesal, ia melepas cerutu di tangannya. "Uang bukan masalah
Bella tertekan saat disudutkan oleh pertanyaan ayah dan anak. Ia memandang Edgar dengan pandangan lirih. "Cepat katakan! Brengsek!" hardik Barta. Edgar menatap ayahnya tajam. "Jangan bentak dia!" "Diam kamu Edgar! Dia ini istri Papa, Papa berhak melakukan apapun padanya!" Barta membalas tatapan Edgar lalu kembali menatap Bella. "Katakan padanya! Cepat!" Bella mengangguk pelan. "Iya, aku istri ayahmu. Aku ibu tirimu, Edgar."Mendengar pengakuan itu tiba tiba kepala Edgar menjadi sakit. Ia meremas rambutnya sangat kencang. "Akkkh! Brengsek! Bangsat! Wanita sialan!" amuk Edgar. Barta mendekati anaknya. "Kamu kenapa? Sakit? Hah? Kenapa dengan kepalamu?""Sakit! Kepalaku sakit!" teriak Edgar. Bella panik. "Sa-saya panggilkan Dokter," ucapnya. Barta berjalan mendekati pintu lalu memegang lengan Bella. "Aku tidak ingin melihatmu berada di sini! Mulai sekarang jauhi anakku!" Bella menundukkan k
Tak mendengar apapun dari dalam kamar tamu, tetapi Bella tetap mencurigai ada seseorang di dalam kamar tersebut. Seingatnya, pintu kamar itu tidak pernah dikunci. Bella membuka pintu menggunakan kunci cadangan yang biasa tersimpan rapi di laci lemari samping tempat tidur. Setelah mencocokkan kunci, akhirnya pintu tersebut terbuka lebar. Bella masuk ke kamar tamu, tetapi tak mendapati apapun di sana. "Aku yakin di sini ada orang, tapi kenapa tidak ada siapapun?" Bella menyapu pandang ke seluruh ruang kamar, memperhatikan selimut, seprai dan bantal yang berantakan. Seperti baru saja ada pertempuran hebat di atas ranjang itu. Deg!Pandang matanya tertuju pada bekas merah di atas tempat tidur, awalnya bekas merah itu tidak terlihat karena ditutupi oleh bantal. Bella menyingkirkan bantal tersebut, ia melihat dengan jelas bercak darah seperti saat pertama kali ia melakukan hubungan dengan Edgar. Ya, bercak darah itu sama persis dan ada sisa sp*rma di dekat darah tersebut. "Siapa yang
Ia tahu pikirinnya itu sangat picik, tetapi sebagai seorang wanita yang baru saja menemukan cinta ... ia ingin bisa hidup berdua dengan lelaki yang berhasil merebut hatinya, bahkan merebut malam pertamanya. Ya, Bella akan mempertahankan Naomi di rumah itu agar Barta tidak menjadikannya pelampiasan napsu.Naomi kembali memeluk sahabatnya. "Kamu yakin kita bisa membuat lelaki itu menderita?" "Aku yakin, nanti kita pikirkan cara untuk membalas dendam. Kita tidak boleh diam saja, kita harus melawannya agar tidak ada korban lagi. Dia harus mendapatkan hukuman dari kejahatannya.""Aku ingin membuatnya menderita hingga dia tidak bisa lagi menikmati hidup," desis Naomi. "Bagus, dan kita harus mengambil keuntungan dari semua ini.""Maksudnya?" tanya Naomi tidak mengerti. "Tuan Barta pasti akan memberimu uang setiap bulan, sama sepertiku dan uang itu bisa kamu kumpulkan dan kamu berikan pada kakakmu untuk membuka usaha. Setela
Kemurkaan Barta Wijaya bukan tanpa alasan, ia marah setelah mendengar pengakuan Edgar tentang apa yang anaknya itu lakukan dengan Bella di rumah sakit. "Wanita murahan sepertimu tidak pantas dimaafkan!" desis Barta. Seringai sinis terlihat jelas di wajah dingin sang rentenir kejam. "Ampun Tuan. Maafkan saya," ucap Bella. Walau ia tahu, berapa kali pun meminta maaf, Barta tidak akan mengampuninya. "Aku tidak akan memberimu kesempatan lagi. Kamu harus diberi pelajaran!" Barta semakin mendekatkan wajah Bella ke api kompor yang menyala. "Aaakkkhhh! Panas, Tuan! Panas!" teriak Bella menjerit kesakitan. "Hentikan!" pekik Naomi yang berdiri tegak menyaksikan Barta menyiksa sahabatnya. Barta tercengang melihat keberadaan Naomi di dapur rumahnya. "Kenapa kamu keluar? Apa wanita ini lupa mengunci pintu kamar itu kembali?" Barta melepas cengkramannya, mendorong tubuh Bella hingga wanita cantik itu tersungkur ke atas lantai. "Bella!" teriak Naomi berlari mendekati Bella yang tergeletak ta
Bella tersadar dari pingsannya. Ia menyapu pandang ke seluruh tempatnya saat ini. Beranjak bangun saat ia menyadari kalau ia tengah berada di tempat yang entah di mana. "Di mana ini? Kenapa aku ada di sini?" Bella memegang kepalanya yang terasa sakit, meremas rambut karena frustasi. Ia mencoba untuk berdiri, tetapi tubuhnya terasa lemas seperti tidak memiliki tenaga. "Aku ada di mana? Kenapa aku ada di sini?" isak Bella, mencoba untuk mengingat kejadian sebelum ia pingsan. Ingatan itu terlintas, tetapi samar samar. "Tadi aku pingsan di dapur, lalu kenapa sekarang aku ada di sini?" Bella kembali mencoba untuk berdiri lalu mendekati pintu yang terbuat dari baja tebal. Ada lubang kecil di pintu tersebut, ia ingin mengintip keluar. Sret! Bella tertegun saat merasakan ada sesuatu di kakinya. Kedua mata membulat sempurna saat melihat kedua kaki dirantai. "Siapa yang melakukan ini? Kenapa aku dirantai
Naomi mulai menyukai kehidupannya sebagai wanita kesayangan Barta. Dimanjakan dan diberikan uang setiap hari. Jauh berbeda dengan kehidupannya dulu, serba susah, bahkan untuk makan saja dia harus menunggu kakaknya pulang bekerja. Setelah Martinus bangkrut hidup mereka memang berubah seratus delapan puluh derajat, menjadi miskin dan selalu dihina. Namun kini, dia merasa seperti Ratu setiap harinya. "Uang jajanmu sudah aku transfer," kata Barta setelah selesai melampiaskan hasratnya pada wanita cantik itu di dalam kamar tamu. Naomi melihat uang yang masuk. "Terima kasih, Tuan," ucapnya sambil tersenyum lebar. Ia menatap lelaki itu lekat. "Tuan mau ke mana pagi pagi begini?" "Aku ingin menjemput Edgar di rumah sakit. Hari ini dia keluar dari sana," jawab Barta. Naomi mengangguk. "Tuan, boleh saya bertanya sesuatu padamu?""Tanya apa?" Barta mendekati Naomi lalu duduk di tepi ranjang. "Katakan, apa yang ingin kamu tanyakan?"Naomi menatap lirih. "Tapi saya takut Tuan marah." Ia me