“Aku ... tunangannya.”
Ekspresi terkejut didapatkan Bianca dari wanita itu. “Maafkan saya, Nona. Saya tidak tahu. Mari saya antar ke ruangan Direktur.”
“Tidak perlu!” tolak Bianca halus. “Aku bisa kesana sendiri. Tapi, pastikan Morgan tidak tahu kedatanganku.”
“Baik, Nona. Ruangan Presdir ada di lantai 6. Anda bisa menggunakan lift khusus Presdir di sebelah sana,” ucap resepsionis itu seraya memberitahu Bianca letak lift yang bisa ia gunakan.
“Baiklah. Terima kasih.”
Bianca berlalu menuju lift, dengan tangan kiri yang menggenggam box makanannya dan tas kecil tersampir di lengan kanannya.
Tak butuh waktu lama bagi Bianca untuk sampai di lantai 15. Begitu keluar dari lift, Bianca sudah bisa menebak di mana ruangan Morgan karena satu-satunya pintu yang berada di koridor bertuliskan Ruang Presiden Direktur yang terletak di atas pintu berkaca buram, lalu sebuah meja lengkap dengan berbagai peralatan kantor di luar ruangan itu. Bianca menduga itu adalah meja kerja sekertaris Morgan. Namun tidak ada orang di meja itu, jadi Bianca berinisiatif memasuki ruangan Morgan langsung. Toh, wanita tadi bilang jika Morgan ada di kantor seharian.
“Lo udah minta maaf sama pacar lo? Siapa namanya? Bianca?”
Bianca mengurungkan niatnya untuk membuka pintu. Telinganya yang masih normal mampu mendengar suara asing di dalam termasuk mendengar namanya yang terselip di pertanyaan seseorang entah siapa itu. Dan jika dugaan Bianca benar, orang itu tengah membicarakan Bianca dengan Morgan.
Bianca berharap sekertaris Morgan tidak segera datang, dan Bianca bisa mendengar jawaban Morgan.
“Jangan tanya. Gue udah ngabisin waktu nyaris satu jam ... waktu itu biar dia mau maafin gue. Dan itu bener-bener bikin gue muak, lo tau.”
Deg! Jantung Bianca mendadak bertalu, keringat dingin keluar dari telapak tangannya yang masih menggenggam gagang pintu.
Akhirnya Bianca mendengar kebencian Morgan secara langsung. Tapi nafas Bianca menyesak. Ia kira setelah mendengar pengakuan Morgan secara langsung akan melegakan, setidaknya Bianca benar akan keyakinannya selama ini. Namun ternyata tidak semudah itu, Bianca tidak sanggup mendengar pria yang dicintainya mengakui kebencian itu.
“Terus kok lo masih mau bertahan? Bukannya lo berhak nolak perjodohan itu kalo lo udah muak? Lo bisa bilang buat berhenti, kan?” Suara lelaki asing itu terdengar lagi, Bianca menguatkan hatinya untuk mendengar obrolan itu.
“Gimana caranya gue nolak?” Suara Morgan meninggi. “Cewek itu nempelin gue sepanjang waktu. Kalo gue nolak, bisa-bisa dia bunuh diri dan mayatnya bakal ngerepotin gue. Menjijikkan!”
Deg!
Jantung Bianca kembali bertalu keras dan hatinya berdenyut kuat. Pendengarannya tidak salah, kan?
Menjijikan?
Sekotor apa perbuatan Bianca hingga pria itu mengucapkan kata menyakitkan itu dengan begitu ringan? Seolah tutup mata jika ucapannya bisa menyakiti hati seseorang. Seseorang yang kini berusaha keras menghalau air mata di pelupuk matanya dibalik pintu berkaca buram.
“Ya Tuhan! Lo kok tega banget ngomong kayak gitu?”
Lelaki dengan suara asing itu berhasil mewakili pertanyaan Bianca yang sama. Kenapa Morgan tega sekali?
“Sebenernya gue nggak akan setega itu sama cewek, Rey, walaupun gue nggak pernah deketin cewek manapun sebelumnya. Tapi Bianca benar-benar kelewatan. Terutama kejadian pas dia ngancurin pesta Adriana dan nggak ngerasa bersalah sedikitpun atas kesalahan fatalnya. Dan itu Bianca lakuin cuman karena cemburu pada Adriana!”
“Mor ...”
“Gue nggak yakin calon mertua gue ndidik putrinya dengan baik.”
Brak!
Box makanan di tanan kiri Bianca terjatuh dan menimbulkan suara cukup keras. Bianca tidak memiliki perhatian lagi untuk sandwich buatannya yang ia buat sepenuh hati. Untuk kali ini, Bianca benar-benar tidak bisa menahan luapan emosinya. Ia mendapat keberanian dan dalam satu dorongan ia membuka pintu ruangan Morgan.
Dengan keras, hingga membuat dua pasang mata sangat terkejut melihatnya.
Terutama pria dengan memiliki wajah datar dari lahir. Morgan, ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Menyadari sesuatu buruk akan terjadi, seorang pria asing yang menjadi teman obrolan Morgan lantas permisi untuk keluar. Tentu saja tidak ada yang menyadari kepergiannya, karena baik Morgan atau Bianca memilih untuk bertukar pandang dengan ekspresi masing-masing. Morgan yang shock dan Bianca yang tertutup kabut emosi.
“Bianca, kamu-”
Plak!
Satu tamparan keras dari tangan mungil Bianca, Morgan mendapatkannya sebelum ia menyadari Bianca berjalan ke arahnya dengan langkah lebar. Pria itu shock bukan main, bukan hanya tamparan keras di pipi kanannya tapi juga saat menatap wajah Bianca di hadapannya.
Asing. Morgan merasa asing dengan ekspresi Bianca saat ini. Jika biasanya wajah Bianca berbinar cerah dan senyuman tak lepas dari sudut bibirnya, maka sekarang wajah dingin dan memerah penuh emosi yang bisa Morgan tangkap dari Bianca. Yang semakin membuat Morgan asing, tidak ada satu tetes airmata-pun yang Bianca torehkan di pipi putihnya. Hanya kilatan marah terlihat jelas, membuktikan bahwa Bianca di hadapannya bukanlah Bianca yang selama ini Morgan benci karena sifat manjanya.
“Kamu puas, huh?” Kalimat pertama yang keluar dari mulut Bianca. Ia berhasil mengumpulkan keberanian di antara emosinya yang meluap nyaris meledak. Morgan memegang pipi kanannya yang terasa panas, ia bingung untuk memulai ucapannya. “Udah puas? Kalau belum, silakan lanjutkan hinaanmu, cacianmu, kebencianmu dan RASA JIJIKMU kepadaku! Silakan! Aku nggak bakal marah!”
Morgan masih terdiam. Otaknya tumpul untuk merangkai kata-kata pembelaan diri yang sangat ia butuhkan.
“Kok diem? Apa ngomongin aku di belakang lebih asyik daripada ngehina aku secara langsung? Kamu pengecut, Morgan!” lanjut Bianca berusaha sesantai mungkin. Ia harus mengendalikan emosi sebelum semuanya kacau dan pada akhirnya Bianca akan menyesal untuk tidak membalas pria yang menghina orangtuanya.
Bianca tidak pernah bermain-main jika berhubungan dengan orangtuanya. Papa dan Mama adalah orang yang selalu ‘ingin’ Bianca bahagiakan seumur hidupnya. Bianca diberkati oleh Tuhan sebagai seorang perempuan, pemilik perasaan yang lebih sensitif dibandingkan laki-laki. Ia tidak akan membiarkan serangga-pun menyakiti orangtuanya. Apalagi karena sebuah hinaan dari mulut Morgan. Bahwa orangtua Bianca tidak bisa mendidik putri mereka dengan baik.
“Cukup, Bianca!” Rupanya kata ‘pengecut’ dari mulut Bianca berhasil menyulut emosi Morgan. Pria itu tidak ingin disalahkan, sebab obrolannya dengan Renald tadi bukan dimaksudkan untuk menghina tunangannya ini. Ia hanya menyampaikan keluh kesahnya kepada teman dekatnya, apa itu salah? “Kamu nggak tau apa-apa.”
“Ya. Aku nggak tau apa-apa. Tapi aku punya ini,” Bianca menunjuk telinganya sendiri dengan mata yang tajamnya tidak lepas dari mata elang Morgan. “Aku dengerin semua hinaanmu padaku dan pada Papa dan Mamaku. Berengsek kau, Morgan!”
“Bianca!!”
“KENAPA?!” Bianca ikut menaikkan nada suaranya menunjukkan bahwa ia benar-benar sakit hati. Air mata menggenang di mata rusanya, sekali saja Bianca mengerjap maka air matanya akan jatuh. Dan Bianca tidak ingin menunjukkan kerapuhannya detik ini.
“Kenapa kamu tega banget? Bahkan Papa dan Mama nggak pernah ngelakuin kesalahan apa pun pada kamu. Kalau kamu benci sama aku, sama sifatku, maka bencilah aku! Kamu bisa menghinaku sebanyak yang kau mau, menyiksaku, dan kalau perlu membunuhku! Lakukan semua yang kau inginkan!”
“Bi-”
“Tapi ... jangan ngehina orangtuaku! Mereka nggak salah. Mereka ndidik dan ngerawat aku dengan baik, meski pekerjaan menahan mereka di perjalanan bisnis yang nggak berujung. Jadi kamu nggak berhak ngehina mereka karena kamu nggak tau apa-apa!”
Bianca tersengal, dadanya yang semula sesak semakin menjadi tidak normal. Karena itu ia ingin segera keluar, menghindari Morgan yang menciptakan kepulan asap memenuhi rongga dadanya hingga sesak.
Entah bagaimana nasib perjodohan mereka, Bianca tidak perduli. Penghinaan Morgan sudah memberi petunjuk jika pria itu menolak perjodohan yang berhasil melibatkan perasaan Bianca di dalamnya. Tidak, Bianca tidak ingin memaksa Morgan lagi.
Dan juga, Bianca menanti permintaan maaf yang tak kunjung terucap. Tidakkah Morgan merasa bersalah sedikitpun?
“Atas nama Papa dan Mama, aku minta maaf. Mungkin mereka maksa kamu buat nikahin aku, tapi bukannya mereka ngasih kesempatan buat nolak? Kamu bisa nolak, dan hubungan bodoh ini berakhir saat itu juga. Kamu bisa nyari cewek lain yang sesuai keinginanmu!”
Bianca mengusap kasar air mata yang berhasil menetes. “Dan untungnya, ini belum terlambat, kita belum menikah. Aku bakal ngomong sama Mama nanti,” ucap Bianca dengan suara bergetar. Ia membenci dirinya yang lemah, sudah menyemangati batinnya tapi tetap saja ia tidak bisa menyembunyikan sisi lemahnya dengan baik.
“Aku pengen benci sama kamu, Morgan,” suara Bianca melunak. “Tapi aku membenci diriku jauh lebih banyak, karena nggak bisa membenci seseorang yang kucintai.” Pelan, namun telinga tajam Morgan mampu mendengarnya dengan jelas.
Pernyataan dari Bianca. Cinta. Morgan terjebak dengan pusaran rumit pikirannya setelah mendengar kata cinta itu. Awalnya Morgan berfikir jika Bianca tidak pernah mencintainya melainkan hanya rasa suka biasa. Morgan tidak menduga bahwa hubungannya dengan Bianca melibatkan ‘cinta’ layaknya pasangan normal.
Tanpa sadar, jantungnya berdebar.
“Aku pergi. Aku minta, jangan ngulangin lagi. Jangan buat Bianca-Bianca yang lain sakit karena perkataanmu.”
Bianca mengambil langkah untuk keluar dari ruangan yang menyesakkan itu. Ruangan yang pertama dan terakhir kali Bianca datangi sebagai tunangan dari Morgan. Tepat di pintu berkaca buram, Bianca berhenti.
“Dan kalaupun aku bunuh diri, aku nggak bakal biarin mayatku ngerepotin kamu. Aku bakal minta pada siapa pun, sebelum aku mati, kalau aku nggak akan ngijinin kamu liat mayatku sedetikpun!”
Selanjutnya Bianca pergi. Melangkahkan kaki berat menuju lift yang akan membawanya menjauh dari Morgan. Tapi gerakannya terhenti, ia perlu menenangkan diri sebelum turun dan bertemu dengan bawahan Morgan yang pasti menanyakan kondisinya yang berantakan.
Maka dari itu Bianca berbelok, membuka sebuah pintu dengan simbol tangga. Ya, di tangga darurat. Satu-satunya tempat sepi untuk Bianca menumpahkan tangisnya.
Ia duduk di salah satu anak tangga, menutup wajah dengan telapak tangan, dan menangis dalam diam. Entah sampai kapan ia akan berada di sana.
Setelah di kantor Morgan, menangis di tangga darurat, dan menghabiskan beberapa menit di toilet untuk membenahi penampilannya, Bianca memutuskan untuk keluar dari kantor perusahaan keluarga Morgan. Tak ia perdulikan siapa pun yang menyapanya, termasuk wanita di meja resepsionis yang sempat ia tanyai tadi. Bianca sudah terlalu lelah, hingga rasanya membalas sapaan-pun adalah hal yang berat untuknya.Dengan langkah kaki mungilnya, Bianca berjalan menyusuri taman kota yang letaknya cukup dekat dari kantor Morgan. Ia sengaja tidak menghubungi sopir pribadinya untuk menjemput, sebab Bianca masih ingin sendiri dan tidak di ganggu. Bianca memang lelah, namun ia membutuhkan suatu hiburan untuk mengusir kemarahannya pasca ia mendengar perkataan Morgan yang -sungguh- menyakiti hatinya. Bolehkah Bianca bertanya, di mana hati seorang Morgan hingga ia setega itu?Bianca menemukan satu bangku panjang yang kosong, disekitarnya-pun cukup sepi. Maklum saja, sekarang matahari tepat di p
Bianca memasuki rumah yang tampak sepi. Orangtuanya masih belum pulang dari perjalanan bisnis di luar kota dan Adian sepertinya asyik di kamarnya. Bianca tidak berniat melihat adiknya seperti yang selalu ia lakukan setiap malam. Entah mengganggu Adian bermain game atau malah membantunya mengerjakan tugas sekolah.Bianca merasakan kelelahan disekujur tubuhnya. Ia segera menghempaskan tubuhnya di ranjang kesayangannya dan mencoba memejamkan mata. Mencoba mengusir rasa sesak yang masih bersarang di paru-parunya.Tapi tidak berhasil, selanjutnya Bianca justru mengubah posisi tubuhnya menjadi meringkuk. Tangannya memeluk tubuhnya sendiri dan tangisan mulai memenuhi ruangan kamar luas itu.“Mama … aku harus gimana? Hiks .…” gumamnya lirih.Isakan mulai terdengar dan bahunya bergetar. Bianca tidak menyukai dirinya yang lemah, tapi mau bagaimana lagi? Hal yang membuatnya lemah hanyalah keluarganya dan Morgan.Morgan … Bianc
Satu menit, dua menit. Bianca dan Morgan masih bertatapan tajam sembari di kelilingi aura menegangkan. Mendapati Morgan bungkam tanpa merespon apa pun, Bianca melepaskan cengkraman Morgan di lengannya dengan pelan. Kemudian Bianca memasuki mobil cepat-cepat untuk mencegah Morgan menahannya kembali. Dan nyatanya Morgan tidak menahan ataupun melarang, dan tidak mampu mengeluarkan sepatah kata-pun dari bibirnya. “Jalan, Pak!” Meninggalkan Morgan yang mematung dengan berbagai pikirannya sendiri. Bianca menganggap keterdiaman Morgan adalah bentuk kegembiraan Morgan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bianca ragu apakah keputusan ini tepat atau tidak, tapi mengingat Morgan yang tidak menginginkannya, akhirnya Bianca berniat untuk mengalah. Morgan berhak bahagia dan kebahagiaan Morgan adalah hidup bebas tanpa dirisaukan oleh keberadaan Bianca sebagai pendampingnya. Bianca tidak pantas untuk menghalangi kebahagiaan Morgan itu.
Matahari bersinar sangat terik di siang ini. Jam kuliah Bianca telah berakhir, namun ia baru pergi satu jam kemudian karena harus mengerjakan tugas dan mengirimkannya langsung ke dosen melalui e-mail.Katakan jika Bianca tampak tekun menjalani pekerjaannya sebagai mahasiswa. Tapi siapa yang tahu perihal isi pikiran Bianca yang belum terlepas dari satu nama –Morgan. Bahkan Bianca masih sering melamun dalam kurun waktu satu hari.Benar saja, kini Bianca menyusuri langkah menuju gerbang utama Universitas dengan setengah melamun hingga pekikan heboh memasuki gendang telinganya.“NONA AWAS!!”BRUK!“Aduh!” keluh Bianca saat pantatnya menyentuh jalanan yang kasar.Bianca belum sempat menoleh ke belakang dan sebuah sepeda yang datang dari jalanan yang sedikit curam lebih dulu menabrak tubuhnya. Kecelakaan kecil itu akhirnya menimpa Bianca dan itu karena lelaki yang mengendarai sepedanya tanpa atu
Bianca tidak tahu bagaimana bisa takdir mempermainkannya dengan sangat pintar.Bianca tidak pernah membenci takdir Tuhan yang telah digariskan untuknya, Bianca juga tidak berusaha melawan takdir yang entah bagaimana mampu mengubah hidupnya dalam hitungan jam. Namun untuk kali ini, Bianca merasakan ketidakadilan pada kehidupannya, tentang takdir yang telah Tuhan gariskan untuk menguji dirinya secara bertubi-tubi.Jika Tuhan tidak mengizinkannya berbahagia dengan Morgan, haruskah Tuhan juga melarang Bianca bahagia dengan keluarga yang sangat dicintainya?Kini, tidak ada suasana yang paling memilukan kecuali sebuah ruangan dengan dua peti mati yang dipenuhi oleh bunga babybreath dan mawar putih. Isakan dan tangisan masih terdengar memilukan bagi siapa pun yang mendengarnya. Beberapa orang berpakaian hitam silih berganti datang memberi penghormatan terakhir bagi sepasang suami istri yang merenggang nyawa di waktu dan tempat bersamaan itu.
“Kamu egois! Kamu nggak pikirkan perasaan orangtuamu dan orangtuaku!” Morgan menaikkan nada suaranya. Membuat Bianca tersenyum remeh.“Lalu bagaimana dengan perasaanku?”Morgan kontan terdiam. Dan ... demi Tuhan! Morgan lebih memilih Bianca menangis keras daripada menunjukkan ekspresi datar seperti sekarang.Morgan benar-benar tidak mengenal Bianca akhir-akhir ini. Kemana perginya Bianca yang selama ini nampak di mata Morgan? Kenapa yang Morgan lihat hanyalah sosok gadis dingin yang terlihat menyembunyikan sesuatu dibalik mata beningnya. Gadis itu tidak lagi banyak bicara seperi dulu, setidaknya untuk beberapa hari ini.Morgan tahu kesalahannya yang telah mencaci Bianca di belakang gadis itu. Morgan juga sadar bahwa tidak seharusnya ia mengatakan hinaan pada orangtua Bianca kala itu, dan ia sudah berusaha meminta maaf dengan tulus. Tapi apa mungkin Bianca berubah terbalik hanya karena hal itu?“I
“Aku selesai.”Bianca menyingkirkan piring bekas makannya yang tetap utuh dari hadapannya. Bianca sama sekali tidak tertarik dengan makanan apa pun sejak tiga hari belakangan. Nafsu makannya hilang, dan ia memasok energy dari minuman berkafein yang sangat tidak baik untuk tubuhnya. Itulah yang membuat tubuhnya sedikit lebih kurusan dalam waktu beberapa hari.“Sayang, kenapa nggak habis? Makanan Mama nggak enak ya?” tanya Mama Morgan setelah melihat di atas piring calon menantunya masih banyak makanan yang tertinggal.Bianca sontak menggeleng. “Enak banget kok, Ma! Bianca cuma em ... nggak nafsu makan.”Bianca mencoba menjelaskan dan syukurlah Mama Morgan tidak tersinggung. Lalu Bianca menunggu kedua orang tua di hadapannya itu menyelesaikan makan mereka sembari memikirkan kalimat paling tepat yang bisa ia ungkapkan.Setelah selesai makan siang, ketiganya beranjak ke depan ruang keluarga. Bi
Bianca terbangun saat merasakan tubuhnya lelah bukan main. Tubuhnya lemas, bahkan ia perlu bersusah payah untuk bangun dari kursi yang menjadi alasnya. Hal pertama yang ia lihat di sekelilingnya adalah cahaya bulan yang menembus jendela kaca, dan ia mulai menyadari ada di mana dirinya sekarang. Ia ingat tadi ia sempat meminta Adian dan yang lain untuk istirahat terlebih dahulu, menyakinkan bahwa dirinya masih ingin berada di dekat mendiang Ayah dan Ibunya yang akan dimakamkan besok pagi.Semula Bianca hanya bermonolog, menumpahkan segala yang ada di pikirannya dan yakin kedua orang berharganya akan mendengarnya. Mendengar segala hal yang ia alami termasuk keputusannya untuk membatalkan perjodohannya dengan Morgan. Bianca tahu Papa dan Mama di sana tidak menghendaki keputusan itu, apalagi Bianca belum sempat membicarakan alasan sebenarnya mengapa ia sampai hati memutuskan hal itu.Hingga Bianca tidak bisa menanggung kesedihan yang lama-kelamaan me