Matahari bersinar sangat terik di siang ini. Jam kuliah Bianca telah berakhir, namun ia baru pergi satu jam kemudian karena harus mengerjakan tugas dan mengirimkannya langsung ke dosen melalui e-mail.
Katakan jika Bianca tampak tekun menjalani pekerjaannya sebagai mahasiswa. Tapi siapa yang tahu perihal isi pikiran Bianca yang belum terlepas dari satu nama –Morgan. Bahkan Bianca masih sering melamun dalam kurun waktu satu hari.
Benar saja, kini Bianca menyusuri langkah menuju gerbang utama Universitas dengan setengah melamun hingga pekikan heboh memasuki gendang telinganya.
“NONA AWAS!!”
BRUK!
“Aduh!” keluh Bianca saat pantatnya menyentuh jalanan yang kasar.
Bianca belum sempat menoleh ke belakang dan sebuah sepeda yang datang dari jalanan yang sedikit curam lebih dulu menabrak tubuhnya. Kecelakaan kecil itu akhirnya menimpa Bianca dan itu karena lelaki yang mengendarai sepedanya tanpa atu
Bianca tidak tahu bagaimana bisa takdir mempermainkannya dengan sangat pintar.Bianca tidak pernah membenci takdir Tuhan yang telah digariskan untuknya, Bianca juga tidak berusaha melawan takdir yang entah bagaimana mampu mengubah hidupnya dalam hitungan jam. Namun untuk kali ini, Bianca merasakan ketidakadilan pada kehidupannya, tentang takdir yang telah Tuhan gariskan untuk menguji dirinya secara bertubi-tubi.Jika Tuhan tidak mengizinkannya berbahagia dengan Morgan, haruskah Tuhan juga melarang Bianca bahagia dengan keluarga yang sangat dicintainya?Kini, tidak ada suasana yang paling memilukan kecuali sebuah ruangan dengan dua peti mati yang dipenuhi oleh bunga babybreath dan mawar putih. Isakan dan tangisan masih terdengar memilukan bagi siapa pun yang mendengarnya. Beberapa orang berpakaian hitam silih berganti datang memberi penghormatan terakhir bagi sepasang suami istri yang merenggang nyawa di waktu dan tempat bersamaan itu.
“Kamu egois! Kamu nggak pikirkan perasaan orangtuamu dan orangtuaku!” Morgan menaikkan nada suaranya. Membuat Bianca tersenyum remeh.“Lalu bagaimana dengan perasaanku?”Morgan kontan terdiam. Dan ... demi Tuhan! Morgan lebih memilih Bianca menangis keras daripada menunjukkan ekspresi datar seperti sekarang.Morgan benar-benar tidak mengenal Bianca akhir-akhir ini. Kemana perginya Bianca yang selama ini nampak di mata Morgan? Kenapa yang Morgan lihat hanyalah sosok gadis dingin yang terlihat menyembunyikan sesuatu dibalik mata beningnya. Gadis itu tidak lagi banyak bicara seperi dulu, setidaknya untuk beberapa hari ini.Morgan tahu kesalahannya yang telah mencaci Bianca di belakang gadis itu. Morgan juga sadar bahwa tidak seharusnya ia mengatakan hinaan pada orangtua Bianca kala itu, dan ia sudah berusaha meminta maaf dengan tulus. Tapi apa mungkin Bianca berubah terbalik hanya karena hal itu?“I
“Aku selesai.”Bianca menyingkirkan piring bekas makannya yang tetap utuh dari hadapannya. Bianca sama sekali tidak tertarik dengan makanan apa pun sejak tiga hari belakangan. Nafsu makannya hilang, dan ia memasok energy dari minuman berkafein yang sangat tidak baik untuk tubuhnya. Itulah yang membuat tubuhnya sedikit lebih kurusan dalam waktu beberapa hari.“Sayang, kenapa nggak habis? Makanan Mama nggak enak ya?” tanya Mama Morgan setelah melihat di atas piring calon menantunya masih banyak makanan yang tertinggal.Bianca sontak menggeleng. “Enak banget kok, Ma! Bianca cuma em ... nggak nafsu makan.”Bianca mencoba menjelaskan dan syukurlah Mama Morgan tidak tersinggung. Lalu Bianca menunggu kedua orang tua di hadapannya itu menyelesaikan makan mereka sembari memikirkan kalimat paling tepat yang bisa ia ungkapkan.Setelah selesai makan siang, ketiganya beranjak ke depan ruang keluarga. Bi
Bianca terbangun saat merasakan tubuhnya lelah bukan main. Tubuhnya lemas, bahkan ia perlu bersusah payah untuk bangun dari kursi yang menjadi alasnya. Hal pertama yang ia lihat di sekelilingnya adalah cahaya bulan yang menembus jendela kaca, dan ia mulai menyadari ada di mana dirinya sekarang. Ia ingat tadi ia sempat meminta Adian dan yang lain untuk istirahat terlebih dahulu, menyakinkan bahwa dirinya masih ingin berada di dekat mendiang Ayah dan Ibunya yang akan dimakamkan besok pagi.Semula Bianca hanya bermonolog, menumpahkan segala yang ada di pikirannya dan yakin kedua orang berharganya akan mendengarnya. Mendengar segala hal yang ia alami termasuk keputusannya untuk membatalkan perjodohannya dengan Morgan. Bianca tahu Papa dan Mama di sana tidak menghendaki keputusan itu, apalagi Bianca belum sempat membicarakan alasan sebenarnya mengapa ia sampai hati memutuskan hal itu.Hingga Bianca tidak bisa menanggung kesedihan yang lama-kelamaan me
Satu minggu telah berlalu. Semuanya perlahan berjalan normal kembali seperti sedia kala. Tidak ada yang berusaha membahas kecelakaan tragis ataupun kematian dua orang yang berharga bagi seluruh penghuni rumah mewah itu. Semuanya selesai, tepat ketika prosesi pemakaman berlangsung dan berakhir khidmat dengan dua gundukan tanah basah. Segala kesedihan dan tangisan sudah ditumpahkan di sana, mengiringi pemakaman hingga berakhir dengan kelopak bunga mawar putih yang bertebaran di sekitar dua makam yang berdampingan.Adian sudah mulai masuk sekolah kembali dan Pak Utomo juga kembali bertugas untuk memberi instruksi kepada pelayan-pelayan lainnya seperti hari biasanya. Hampir semuanya berjalan normal, kecuali sesosok gadis bertubuh mungil yang keluar dari kamar dengan penampilan yang siap pergi tapi dihiasi dengan kantung mata tebal dan wajah mendung dari kamarnya dan menduduki kursi makan. Mengambil setangkup roti gandum dan segelas susu putih. Dua hari ini
“Apa dia tidur?”Pintu berwarna cokelat gelap itu terbuka lebar, memperlihatkan sosok pria bertubuh jangkung yang bersedekap bersandar di daun pintu. Tatapannya masih tertuju pada satu point di mana seorang pria lain tengah tertidur pulas di atas ranjang kamar pribadinya sendiri.“Gue maksa dia tidur. Morgan bener-bener butuh waktu tidur beberapa menit.” Reynald membereskan peralatan dokternya ke dalam tas. Sebuah keberuntungan bahwa dirinya tidak pernah absen membawa peralatan dokter bahkan sewaktu memberikan vitamin untuk sahabatnya. “Gue masih harus tau berapa banyak obat tidur, kopi, dan rokok yang dia konsumsi selama ini.”Reynald menutup pintu, membiarkan Morgan terlelap setelah mengkonsumsi suplemen darinya. Reynald tahu betul yang Morgan perlukan adalah istirahat secara alami, dan bukan hal yang mudah dilakukan oleh Reynald untuk memaksa Morgan istirahat di hari yang masih pagi, terlebih Morgan m
Morgan tidak memiliki banyak waktu untuk berpikir. Tubuhnya segera bangun tanpa diperintah, turun dari ranjang dan mengambil kunci mobil yang terletak sembarangan di atas meja.“Argh! Sial!” keluhnya saat tiba-tiba pandangannya terganggu dan kepalanya berputar. Morgan harus menyangga tubuhnya di sisi tembok jika tidak ingin tubuhnya merosot. Kondisinya yang sudah buruk semakin diperburuk dengan kekalutan yang tampak jelas di wajahnya.Reynald benar, Morgan-lah yang mengalami kekhawatiran lebih besar dibandingkan mamanya sendiri. Sebuah kemustahilan mengingat perilaku Morgan selama ini terhadap Bianca dan kini justru dirinya-lah yang tersiksa oleh perilakunya sendiri. Karma, huh?Morgan tidak tahu apakah karma sedang menjalankan tugasnya saat ini. Yang jelas, ini pertama kalinya Morgan merasakan suatu kekhawatiran menyesakkan yang menyusup hingga ke paru-parunya terlebih karena seorang gadis yang tidak pernah terpikir akan berpe
“Apa yang kamu lakukan di Jakarta pagi-pagi?”Sekaleng cola tersaji secara kasar di hadapan pria yang tengah membuka bungkus rokoknya tanpa perlu menjawab pertanyaan gadis mungil di hadapannya.Sementara si gadis mendengus dan langsung membuka jendela flat-nya lebar-lebar sebelum tercemar oleh asap rokok dari pria yang sangat tidak beruntung menjadi kakak kandungnya.“Ada urusan.” jawab si pria dan meneguk cola di hadapannya.“Kalau maksud kamu urusan untuk minta uang adikmu, maka kamu nggak akan dapat sepeserpun.”“Tenang, dek. Mulai hari ini aku nggak akan minta uangmu buat beli minumanku lagi.” Si pria tertawa seolah gadis di sebelahnya sedang melucu. “Lagian kupikir wanita tua itu belum ngirim uang bulan ini. Apa warungnya udah bangkrut?”“Jaga bicaramu, gila!”“Apa kamu juga diajarin mengumpat sama wanita tua itu? Menyedihkan!&rdq