Panas terik matahari terkena langsung ke kulit Aruna. Aruna sedang duduk di halte yang berada di depan kampusnya. Aruna sedang menunggu datangnya angkutan umum yang bisa dia tumpangi ke kafe tempatnya bekerja. Hari ini hari pertama Aruna bekerja di kafe. Sejak tadi pagi Aruna sudah sangat semangat, tidak sabar untuk menjalankan kerja hari pertamanya.
Memang Aruna hanya bisa diterima sebagai kasir, tapi itu sudah sangat menyenangkan bagi Aruna. Meskipun upah yang dia dapatkan tidak bisa sebesar kerja full time lainnya, tapi Aruna tetap semangat untuk bekerja. Uang dari gajinya nanti akan dia gunakan untuk sewa rumahnya dan juga untuk membiayai makannya setiap hari. Untung-untung ada sisa, bisa dia tabung menambahi uang tabungannya sebelumnya. Sebenarnya, uang tabungan tabungan Aruna masih banyak. Tetapi, Aruna tidak mau mengeluarkan uang tabungannya itu karena uang itu dia gunakan sebagai simpanan untuk kebutuhan mendadak nantinya.
Melihat bus yang ditunggunya datang, Aruna langsung memasuki bus tersebut. Lalu duduk di salah satu kursi kosong. Keadaan di dalam bus tidak terlalu ramai, mungkin karena sekarang belum jam pulang kantor.
Setelah sampai di kafe tempatnya bekerja, Aruna menyapa beberapa temannya yang sudah dia kenal kemarin.
"Udah datang kamu, ganti seragam aja dulu di sana," sapa Andrea, salah satu waitress yang ada di jafe tersebut.
"Iya kak aku baru selesai kuliah," Aruna menjawab dengan sembari melangkah ke arah ruang ganti yang tadi ditunjuk Andrea.
Setelah selesai mengganti seragamnya Andrea langsung duduk di kursi kasir. Di sana sudah ada Jodi, temannya yang lain yang juga bekerja sebagai kasir. Bedanya, Jodi ini kerja full time bukan part time seperti Aruna. Memang di kafe ini ada dua pegawai yang menjaga meja kasir.
"Halo kak," sapa Aruna pada Jodi yang sedang berbincang bersama Dimas, pegawai yang lainnya. Sepertinya para pegawai saat ini sedang tidak terlalu sibuk, karena pengunjung kafe tidak terlalu ramai saat ini. Maklum saja, sekarang masih jam kantor dan sudah lewat jam makan siang.
"Baru datang run?" tanya Jodi basa-basi pada Aruna.
"Iya kak baru selesai kuliah." Senyum masih terus menghiasi wajah Aruna menjawab pertanyaan Jodi.
"Kamu ada hubungan apa Run sama pak boss?" tanya Dimas penasaran. Sebenarnya, sudah sejak kemarin Dimas dan yang lainnya menanyakan ini. Tapi, karena Aruna selalu bersama Keenan kemarin, tidak ada yang berani menanyakan pada Aruna.
"Gak ada, Kak. Kita baru kenal kemarin," Jawab Aruna santai.
"Gak ada apa-apa. Terus kenapa pak boss bisa ngomong santai gitu sama kamu?" tanya Dimas masih dipenuhi dengan penasaran.
"Santai gimana kak? Biasa aja kok, pak Keenan juga begitu kok sama yang lain," jawab Aruna mengelak pertanyaan Jodi.
"Beda, Run. Pak Keenan itu ngomongnya kaku banget kalau sama kita," timpal Jodi.
"Oh itu mungkin karena dulu pak Keenan itu teman kerjanya papa aku kak," jawab Aruna yang dihadiahi anggukan oleh Dimas dan Jodi.
"Terus anaknya pak Keenan kok mau sama kamu? Biasanya dia itu harus nempel sama pak Keenan. Kalau enggak, langsung nangis. Kamu kasih apa itu anak?" Tanya Dimas masih sangat penasaran akan hubungan Aruna dan Keenan.
"Itu aku juga gak tahu kak. Tiba-tiba aja Alarick mau main sama aku. Gak ada acara nangis gitu," jawab Aruna yang juga sebenarnya tidak tahu kenapa Alarick bisa nyaman dengannya.
"Udah kak itu ada yang mau bayar," celetuk Aruna memotong Dimas yang sepertinya akan kembali bertanya padanya.
"Santai aja kali, Run. Di sini kerja santai kok, pak boss gak pernah buat peraturan kalau kita harus benar-benar diam selama kerja. Kata pak boss sih, senyamannya kita aja," balas Dimas yang disetujui Jodi melalui anggukan.
Aruna, Dimas dan Jodi kembali bekerja sembari berbincang-bincang. Semua hal mereka bahas, mulai dari kuliah, kerja, cerita orang lain bahkan hal-hal tidak penting. Baru hari pertama bekerja di kafe ini Aruna sudah sangat merasa nyaman. Teman-teman sesama pekerja di kafe ini sangat ramah, menyambut Aruna dengan baik.
Sekarang sudah menunjukkan jam pulang kantor. Keenan baru saja meninggalkan kantornya dan sedang dalam perjalanan menuju kafe miliknya. Sekarang dia dan Alarick sedang berada di dalam mobil yang dikendarai oleh supir pribadinya. Masih sama seperti biasa, Alarick duduk di pangkuannya sambil asik berceloteh. Suara Alarick memenuhi mobil tersebut. Meskipun Alarick hanya berceloteh dan tidak ada yang memahami apa yang dikatakannya, Keenan selalu menyahut celotehan Alarick.
Setelah mobil miliknya terparkirkan di tempat parkir khusus di kafenya, Keenan membawa seluruh perlengkapan Alarick dan menggendong Alarick untuk masuk ke dalam kafenya. Baru saja turun dari mobil, Alarick menangis memberontak dari gendongan Keenan.
"Nanti saya telfon bapak kalau urusan sudah selesai ya," ucap Keenan kepada supir pribadinya.
"Baik, Pak. Saya di pos security ya," jawab supir pribadinya tersebut yang dibalas Keenan dengan anggukan.
Karena Alarick terus memberontak, akhirnya Keenan menurunkan Alarick dari gendongannya dan membiarkan Alarick berjalan sendiri. Meskipun sudah bisa berjalan sendiri, Keenan masih khawatir melihat Alarick karena anak itu masih belum bisa menjaga keseimbangan tubuhnya.
"Pelan-pelan sayang nanti kamu jatuh. Tunggu papa kita jalannya bareng," Ucap Keenan pada Alarick, walaupun sebenarnya dia tahu Keenan belum mengerti apa yang dia ucapkan.
"Pa pa pa pa," celoteh Alarick sambil terus berjalan ke arah pintu masuk kafe.
"Iya papa di sini," jawab Keenan akan celotehan Alarick.
Saat sudah di depan pintu masuk, pegawai yang bertugas di sana membukakan pintu untuk Alarick dan Keenan.
"Terima kasih ya," ucap Keenan pada petugas yang sudah membukakan pintu tersebut.
"Sama-sama, Pak." Setelahnya Keenan ikut berhenti setelah melihat Alarick berhenti di dalam kafe setelah memasuki pintu masuk. Keenan bingung, apa yang sedang dicari Alarick. Karena dia melihat Alarick sedang menolehkan pandangannya ke kanan dan ke kiri, seperti sedang mencari sesuatu.
Tiba-tiba Alarick kembali berlari dan Keenan hanya mengikuti dari belakangnya.
Aruna yang sedang fokus bekerja sambil berbincang dengan Dimas dan Jodi terkejut saat merasakan ada sesuatu yang menyentuh kakinya.
"Astaga Alarick. Kamu sama siapa ke sini sayang?" tanya Aruna terkejut setelah memastikan siapa yang menyentuh kakinya. Dan ternyata dia menemukan Alarick di sana.
"Alarick, kita ke ruangan papa ya. Kak Aruna mau kerja," ucap Keenan yang baru saja datang dan melihat Alarick yang sudah akan mengganggu Aruna.
Alarick langsung memeluk kaki Aruna dengan erat saat melihat papanya berjalan semakin mendekat ke arahnya. Anak itu seolah paham bahwa setelahnya papanya akan membawanya pergi dari sana.
"Ayo sama papa aja mainnya. Kamu jangan ganggu kak Aruna ya," bujuk Keenan pada Alarick.
Dimas, Jodi dan Aruna hanya menyaksikan Keenan yang sedang membujuk Alarick untuk melepaskan kaki Aruna dan mengikutinya ke ruangannya.
"Nanti papa beli mainan baru sama kamu," bujuk Keenan lagi. Bukannya tidak mengizinkan Alarick untuk bermain dengan karyawannya, hanya saja semua karyawannya masih bekerja. Apalagi ini sudah jam pulang kerja, pengunjung kafe pasti meningkat. Sementara Alarick sangat aktif, Keenan tidak mau anaknya itu merepotkan orang lain.
"Biar aja di sini sama saya pak," ucap Aruna pada akhirnya. Aruna kasihan melihat wajah sendu Alarick. Sepertinya anak ini sangat membutuhkan teman bermain.
"Ini kan kalian masih bekerja. Nanti dia malah ganggu kalian," tolak Keenan.
"Gapapa, Pak. Kita bisa gantian jaga Alarick," balas Dimas.
"Ya sudah, saya tinggal dia di sini ya. Tolong dijaga, ini keperluannya ada di dalam tas ini. Nanti kalau dia nangis atau kenapa-napa saya ada di ruangan," ucap Keenan akhirnya. Dia juga tidak tega memaksakan Alarick untuk mau dia bawa ke ruangannya.
"Kamu jangan nakal sama kakak-kakaknya di sini ya," nasihat Keenan sambil mengelus lembut kepala Alarick sebelum meninggalkan mereka di tempat kasir tersebut dan melangkah ke arah ruangannya.
Akhirnya Alarick menghabiskan hari tersebut dengan bermain bersama Aruna, Dimas dan Jodi. Alarick awalnya tidak mau diajak bercanda dan mengobrol oleh Dimas dan Jodi, tetapi karena bujukan Aruna akhirnya anak tersebut tidak menangis saat diganggu dan diajak bercanda oleh Dimas dan Jodi.
"Tumben banget kamu datang kerja cepat hari ini, Run," sapa Jodi yang baru saja datang ke meja kasir.Jodi terkejut melihat Aruna sudah duduk di kursi kasir karena biasanya gadis itu akan datang bekerja sore hari. Sekarang baru jam 11.00, tapi gadis ini sudah menjalankan tugasnya. Dan Jodi juga bingung dimana Chika, pegawai yang biasa menjaga meja kasir di pagi hari."Kak Chika lagi sakit, jadi aku jaga mulai dari pagi hari ini," jawab Aruna menjelaskan."Kuliahmu gimana? Kenapa gak minta tolong sama yang lain aja?" tanya Jodi beruntun."Aku hari ini lagi gak ada kelas kok. Dosen aku lagi ada tugas di luar kota jadi mungkin ada jadwal ganti aja nanti," jawab Aruna."Kamu kok udah datang jam segini?" tanya Aruna balik pada Jodi."Aku emang kerja dari jam segini," jawab Jodi singkat."Emang bisa gitu ya?" tanya Aruna
"Papa sama mama pulang hari ini kok sayang. Sampai di Jakarta sekitar jam 10 besok pagi mungkin. Kamu jemput papa sama mama ke bandara ya" Aruna masih ingat jelas perkataan papanya saat menghubunginya memberitahukan kepulangan mereka. Selama dua minggu terakhir, papa dan mama Aruna memang tidak ada di rumah. Keduanya harus berangkat ke New York untuk mengurus bisnis mereka di sana. Sebenarnya papanya sudah akan berangkat sendiri, tapi mama Aruna tidak setuju. Mama Aruna bersikeras untuk ikut berangkat ke New York. Namun, ternyata itu menjadi waktu terakhir bagi Aruna untuk mendengarkan suara papanya. Belum tiba jam 10 pagi sesuai dengan perkiraan papanya jam kedatangan kedua orang tuanya di Jakarta, Aruna kini sudah berada di bandara Soekarna Hatta. Bukan untuk menjemput orang tuanya atau untuk menunggu kedatangan orang tuanya, melainkan unt
Di sisi lain, di salah satu rumah mewah yang terdapat di ibu kota, terlihat seorang pria tampan yang sedang bersiap untuk berangkat ke kantor.Setelah selesai mengurus keperluannya sendiri, pria tersebut kemudian mempersiapkan bayinya yang akan dia bawa ke kantor."Maaf tuan. Apa tidak sebaiknya tuan Alarick tinggal di rumah saja? Biar kami yang mengurus tuan muda, tuan" Mbak Ria, salah satu asisten rumah tangga di rumah pria tersebut menyarankan agar bayi mungil itu ditinggalkan di rumah saja, tidak usah dibawa ke kantor tuannya."Gapapa bi. Bibi tau sendiri kan dia gak bisa ditinggal gitu aja, aku tinggal ke kamar mandi aja nangis" Tolak pria tersebut dengan halus."Tapi tuan bagaiamana dengan rapat nanti? Tuan muda bisa mengganggu" Balas mbak Ria lagi."Rekan-rekan yang lain pasti paham kok bi. Bibi tenang aja" Balas pria tersebut.Setelah menyelesaikan se
Pagi ini, sama seperti hari-hari sebelumnya Aruna terlihat sedang membereskan rumahnya. Selama ini memang Aruna sudah mengerjakan pekerjaan rumah sendiri.Semenjak Mbak Ita, mantan asisten rumah tangganya mengundurkan diri karena harus pulang kampung merawat ibunya yang sedang sakit, Aruna dan orang tuanya tidak lagi mencari asisten rumah tangga yang baru. Aruna yang menolak untum mencari asisten rumah tangga yang baru, karena Aruna pengen mengerjakan pekerjaan rumah sendiri.Mendengar suara ketukan pintu rumahnya, Aruna lalu membuka pintu utama rumah tersebut."Loh paman bibi" Aruna terkejut melihat seluruh keluarga besanrnya datang pagi ini ke rumahnya. Biasanya keluarga besarnya ini tidka pernah datang berkunjung ke tumah ini. Bahkan pada hari pemakaman orang tuanya, tidak semua mereka datang. Dan yang datang hanya sebentar, setelah pemakaman mereka langsung pulang."Kita datang ke sin
"Papa jemput mama dulu ya, nanti kita ketemu di sana aja. Kabarin aja papa kalau kalian masih singgah di tempat lain" Pamit Pak Irfan kepada Chiara dan Aruna.Setelah Pak Iman pulang, Chiara dan Pak Irfan mengajak Aruna untuk membeli segala perlengkapan yang dibutuhkan untuk mengisi kamar Aruna. Memang, kamar yang akan ditinggali Aruna model paviliun, terdiri dari dua kamar tidur, satu ruang tamu, satu kamar mandi dan satu dapur kecil. Dan model paviliunnya memang kosongan. Aruna sangat bersyukur, dengan harga sewa yang terlalu mahal bisa menyewa paviliun ini. Paviliun ini memang sederhana, bahkan mungkin ukurannya lebih kecil dari ukuran kamar di rumah orang tuanya dulu. Tapi paviliun ini bersih dan mampu membuat Aruna nyaman."Kamu udah nolak tinggal di rumah om, gak mau juga tinggal di apartemen mamanya Chiara, sekarang kamu gak bisa nolak lagi. Biar om dan tante yang urus semua perabot rumah kamu ini. Kamu sama Chiara tinggal pilih aja"
Matahari yang semakin naik mengeluarkan panas yang semakin menyengat kulit. Orang-orang di jalanan mulai berlomba untuk meninggalkan jalanan yang panasnya menyengat.Panas matahari yang sudah menyengat semakin ditambah dengan keadaan jalan raya yang sangat padat. Ah, kapan ibu kota negara ini bisa tidak ramai dan macet? Dari pagi hingga kembali pagi jalanan selalu ramai dan padat.Di jalan raya itu telah tersusun kendaraan-kendaraan pribadi yang sedang menunggu giliran bisa bergerak dari tempatnya sekarang. Berbeda dengan para pengendara mobil tersebut, di salah satu halte di pinggir jalan terlihat seorang gadis yang sedang duduk. Kelelahan tergambarkan dengan jelas di wajahnya, ditambah lagi dengan peluh yang menetes di sudut wajahnya.Gadis itu adalah Aruna. Aruna sedang istirahat setelah berpindah dari satu kantor ke kantor lainnya. Namun, belum ada tempat kerja yang berhasil ditemukannya. Statusnya yang m
Aruna berdecak kagum melihat kemewahan ruang kerja Keenan. Ruangan ini terlalu mewah untuk disebut sebagai ruang kerja di dalam kafe. Lihat saja, design interior ruangan ini terlihat sangat mewah. Aruna yakin, semua barang yang ada di dalam ruangan ini pasti mahal. Di dalam ruangan ini Aruna melihat ada dua pintu. Aruna yakin, itu pasti pintu kamar mandi dan pintu kamar tidur. Itu yang biasa dia baca dalam novel. Selain itu, di sudut ruangan ini Aruna melihat pojokan tersebut telah diubah menjadi tempat bermain anak, yang dapat Aruna pastikan itu khusus dibuatkan Keenan untuk Alarick. "Jadi gimana? Kamu mau kerja apa?" Tanya Keenan memecahkan lamunan Aruna yang masih fokus mengagumi ruang kerja tersebut. "Kalau bapak tidak keberatan dan saya diberikan kesempatan, saya ingin bekerja part time di kafe ini pak, saya bisa bekerja sebagai apa saya selain chef Pak" Jawab Aruna tenang. Aruna masih memangku Alarick yang kini sedang duduk tenang
"Tumben banget kamu datang kerja cepat hari ini, Run," sapa Jodi yang baru saja datang ke meja kasir.Jodi terkejut melihat Aruna sudah duduk di kursi kasir karena biasanya gadis itu akan datang bekerja sore hari. Sekarang baru jam 11.00, tapi gadis ini sudah menjalankan tugasnya. Dan Jodi juga bingung dimana Chika, pegawai yang biasa menjaga meja kasir di pagi hari."Kak Chika lagi sakit, jadi aku jaga mulai dari pagi hari ini," jawab Aruna menjelaskan."Kuliahmu gimana? Kenapa gak minta tolong sama yang lain aja?" tanya Jodi beruntun."Aku hari ini lagi gak ada kelas kok. Dosen aku lagi ada tugas di luar kota jadi mungkin ada jadwal ganti aja nanti," jawab Aruna."Kamu kok udah datang jam segini?" tanya Aruna balik pada Jodi."Aku emang kerja dari jam segini," jawab Jodi singkat."Emang bisa gitu ya?" tanya Aruna
Panas terik matahari terkena langsung ke kulit Aruna. Aruna sedang duduk di halte yang berada di depan kampusnya. Aruna sedang menunggu datangnya angkutan umum yang bisa dia tumpangi ke kafe tempatnya bekerja. Hari ini hari pertama Aruna bekerja di kafe. Sejak tadi pagi Aruna sudah sangat semangat, tidak sabar untuk menjalankan kerja hari pertamanya.Memang Aruna hanya bisa diterima sebagai kasir, tapi itu sudah sangat menyenangkan bagi Aruna. Meskipun upah yang dia dapatkan tidak bisa sebesar kerja full time lainnya, tapi Aruna tetap semangat untuk bekerja. Uang dari gajinya nanti akan dia gunakan untuk sewa rumahnya dan juga untuk membiayai makannya setiap hari. Untung-untung ada sisa, bisa dia tabung menambahi uang tabungannya sebelumnya. Sebenarnya, uang tabungan tabungan Aruna masih banyak. Tetapi, Aruna tidak mau mengeluarkan uang tabungannya itu karena uang itu dia gunakan sebagai simpanan untuk kebutuhan mendadak nantinya.
Aruna berdecak kagum melihat kemewahan ruang kerja Keenan. Ruangan ini terlalu mewah untuk disebut sebagai ruang kerja di dalam kafe. Lihat saja, design interior ruangan ini terlihat sangat mewah. Aruna yakin, semua barang yang ada di dalam ruangan ini pasti mahal. Di dalam ruangan ini Aruna melihat ada dua pintu. Aruna yakin, itu pasti pintu kamar mandi dan pintu kamar tidur. Itu yang biasa dia baca dalam novel. Selain itu, di sudut ruangan ini Aruna melihat pojokan tersebut telah diubah menjadi tempat bermain anak, yang dapat Aruna pastikan itu khusus dibuatkan Keenan untuk Alarick. "Jadi gimana? Kamu mau kerja apa?" Tanya Keenan memecahkan lamunan Aruna yang masih fokus mengagumi ruang kerja tersebut. "Kalau bapak tidak keberatan dan saya diberikan kesempatan, saya ingin bekerja part time di kafe ini pak, saya bisa bekerja sebagai apa saya selain chef Pak" Jawab Aruna tenang. Aruna masih memangku Alarick yang kini sedang duduk tenang
Matahari yang semakin naik mengeluarkan panas yang semakin menyengat kulit. Orang-orang di jalanan mulai berlomba untuk meninggalkan jalanan yang panasnya menyengat.Panas matahari yang sudah menyengat semakin ditambah dengan keadaan jalan raya yang sangat padat. Ah, kapan ibu kota negara ini bisa tidak ramai dan macet? Dari pagi hingga kembali pagi jalanan selalu ramai dan padat.Di jalan raya itu telah tersusun kendaraan-kendaraan pribadi yang sedang menunggu giliran bisa bergerak dari tempatnya sekarang. Berbeda dengan para pengendara mobil tersebut, di salah satu halte di pinggir jalan terlihat seorang gadis yang sedang duduk. Kelelahan tergambarkan dengan jelas di wajahnya, ditambah lagi dengan peluh yang menetes di sudut wajahnya.Gadis itu adalah Aruna. Aruna sedang istirahat setelah berpindah dari satu kantor ke kantor lainnya. Namun, belum ada tempat kerja yang berhasil ditemukannya. Statusnya yang m
"Papa jemput mama dulu ya, nanti kita ketemu di sana aja. Kabarin aja papa kalau kalian masih singgah di tempat lain" Pamit Pak Irfan kepada Chiara dan Aruna.Setelah Pak Iman pulang, Chiara dan Pak Irfan mengajak Aruna untuk membeli segala perlengkapan yang dibutuhkan untuk mengisi kamar Aruna. Memang, kamar yang akan ditinggali Aruna model paviliun, terdiri dari dua kamar tidur, satu ruang tamu, satu kamar mandi dan satu dapur kecil. Dan model paviliunnya memang kosongan. Aruna sangat bersyukur, dengan harga sewa yang terlalu mahal bisa menyewa paviliun ini. Paviliun ini memang sederhana, bahkan mungkin ukurannya lebih kecil dari ukuran kamar di rumah orang tuanya dulu. Tapi paviliun ini bersih dan mampu membuat Aruna nyaman."Kamu udah nolak tinggal di rumah om, gak mau juga tinggal di apartemen mamanya Chiara, sekarang kamu gak bisa nolak lagi. Biar om dan tante yang urus semua perabot rumah kamu ini. Kamu sama Chiara tinggal pilih aja"
Pagi ini, sama seperti hari-hari sebelumnya Aruna terlihat sedang membereskan rumahnya. Selama ini memang Aruna sudah mengerjakan pekerjaan rumah sendiri.Semenjak Mbak Ita, mantan asisten rumah tangganya mengundurkan diri karena harus pulang kampung merawat ibunya yang sedang sakit, Aruna dan orang tuanya tidak lagi mencari asisten rumah tangga yang baru. Aruna yang menolak untum mencari asisten rumah tangga yang baru, karena Aruna pengen mengerjakan pekerjaan rumah sendiri.Mendengar suara ketukan pintu rumahnya, Aruna lalu membuka pintu utama rumah tersebut."Loh paman bibi" Aruna terkejut melihat seluruh keluarga besanrnya datang pagi ini ke rumahnya. Biasanya keluarga besarnya ini tidka pernah datang berkunjung ke tumah ini. Bahkan pada hari pemakaman orang tuanya, tidak semua mereka datang. Dan yang datang hanya sebentar, setelah pemakaman mereka langsung pulang."Kita datang ke sin
Di sisi lain, di salah satu rumah mewah yang terdapat di ibu kota, terlihat seorang pria tampan yang sedang bersiap untuk berangkat ke kantor.Setelah selesai mengurus keperluannya sendiri, pria tersebut kemudian mempersiapkan bayinya yang akan dia bawa ke kantor."Maaf tuan. Apa tidak sebaiknya tuan Alarick tinggal di rumah saja? Biar kami yang mengurus tuan muda, tuan" Mbak Ria, salah satu asisten rumah tangga di rumah pria tersebut menyarankan agar bayi mungil itu ditinggalkan di rumah saja, tidak usah dibawa ke kantor tuannya."Gapapa bi. Bibi tau sendiri kan dia gak bisa ditinggal gitu aja, aku tinggal ke kamar mandi aja nangis" Tolak pria tersebut dengan halus."Tapi tuan bagaiamana dengan rapat nanti? Tuan muda bisa mengganggu" Balas mbak Ria lagi."Rekan-rekan yang lain pasti paham kok bi. Bibi tenang aja" Balas pria tersebut.Setelah menyelesaikan se
"Papa sama mama pulang hari ini kok sayang. Sampai di Jakarta sekitar jam 10 besok pagi mungkin. Kamu jemput papa sama mama ke bandara ya" Aruna masih ingat jelas perkataan papanya saat menghubunginya memberitahukan kepulangan mereka. Selama dua minggu terakhir, papa dan mama Aruna memang tidak ada di rumah. Keduanya harus berangkat ke New York untuk mengurus bisnis mereka di sana. Sebenarnya papanya sudah akan berangkat sendiri, tapi mama Aruna tidak setuju. Mama Aruna bersikeras untuk ikut berangkat ke New York. Namun, ternyata itu menjadi waktu terakhir bagi Aruna untuk mendengarkan suara papanya. Belum tiba jam 10 pagi sesuai dengan perkiraan papanya jam kedatangan kedua orang tuanya di Jakarta, Aruna kini sudah berada di bandara Soekarna Hatta. Bukan untuk menjemput orang tuanya atau untuk menunggu kedatangan orang tuanya, melainkan unt