"Kemasi barang-barangmu!" perintah Arnes begitu masuk ke dalam kamar Sheila.
Gadis itu terpaku sejenak, memandangi wajah paman dokter yang begitu ia idolakan. Tubuhnya baru bergerak begitu Arnes memaksanya untuk bangkit dari tempat tidur. Wajahnya menunjukkan amarah tertahan, tapi nyatanya begitu nampak di mata Sheila."Aku tunggu di bawah," katanya seraya pergi dari kamar.Sheila masih tak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh pria itu. Tapi tangannya bergerak mengemasi barang-barang yang dianggapnya penting, sesuai perintah, walau dalam kepalanya penuh tanya.Tubuh mungil itu menuju ruang tamu dengan satu tas besar yang biasa di bawa ke sekolah. Sedangkan koper besarnya ia tinggal di kamar. Karena gadis itu tak merasa akan meninggalkan rumah besar Arnes."Ke mana barangmu yang lain?" tanya Arnes yang sudah siap di ambang pintu dengan kunci mobil di tangan."Masih di atas," jawab gadis itu polos.Arnes mendengus kesal. Tapi ia enggan menunggu lagi, hingga akhirnya memberi kode agar mereka segera masuk ke dalam mobil. Dan tak seperti sebelumnya, pria itu bersikap acuh dan terkesan membiarkan Sheila seorang diri."Kita mau ke mana?" tanya Sheila."Nanti kau akan tahu," jawab Arnes dengan sikapnya yang dingin.Gadis itu mengerti bahwa amarah masih menyelimuti Paman Dokternya, apalagi setelah kejadian siang tadi. Sikapnya membuat ketidak nyamanan hadir di antara mereka, dan hal itu cukup disesalinya. Namun Sheila sendiri bingung harus memulainya dari mana."Apakah Paman masih marah?" tanya gadis itu coba membuka pembicaraan setelah sepuluh menit lamanya suasana hening.Sayangnya tak ada jawaban dari laki-laki di balik kemudi itu. Perasaan canggung mulai menyelimuti hati sang gadis. Rasa bersalah membuat kepalanya tertunduk lesu. Jangankan melirik ke arah Arnes, menatap jalanpun ia tak sanggup."Aku minta maaf," bisiknya parau.Gadis muda yang biasa bersikap terus terang dan blak-blakkan itu nampak sangat menyesal. Ajaran sang ayah kali ini tak berjalan mulus untuk kehidupannya bersama Arnes yang keras dan dingin. Apalagi ditambah dengan perasaannya pada sang paman dokter yang tentu saja salah, jika melihat usia keduanya yang terbentang begitu jauh.Ada benarnya kemarahan Arnes siang tadi. Tapi Sheila sendiri merasa bahwa emosi itu harusnya selesai begitu kata maaf terucap. Apalagi terlihat sekali ekspresi sesal di wajahnya."Aku tak bermaksud kurang ajar, hanya berusaha menunjukkan perasaanku yang men...""Cukup, aku tak ingin mendengarnya!" potong Arnes cepat.Tubuhnya menegang begitu mendengar kalimat dari Sheila. Jika harus jujur, ia menyukai gadis riang nan baik hati yang duduk di sampingnya itu. Tapi bukan sebagai pasangan. Jangankan membayangkan, berniat untuk memilikinya saja Arnes tak ingin. Pria itu berusaha tetap pada niat utamanya untuk bertanggung jawab dalam kehidupan Sheila, hingga gadis itu bisa mandiri, tak lebih. Dan setelah tugas utamanya selesai, barulah ia bisa kembali pada kehidupa pribadinya yang lebih merepotkan dibandingkan mengurusi satu remaja putri."Kau masih muda, perasaan itu muncul karena emosi sesaat. Jadi cobalah untuk fokus pada hal lain!" nasihat Arnes kebapakan.Perasaan tak terima muncul di benak Sheila. Ia merasa kata-kata pria itu tak benar, karena perasaan itu hanya dirinya yang bisa merasakan dan Arnes tak tahu apa-apa. "Kau salah Paman, aku tak pernah merasa seperti ini. Aku sangat yakin bahwa aku men...""Sheila!" sentak Arnes bersamaan dengan injakan pedal rem di kaki kirinya. "Tak bisakah kau sedikit gunakan akal sehatmu, hah? Jangan terlalu terbawa perasaan dan bertindak bodoh!" katanya dengan tatapan penuh amarah.Gadis itu ikut tak terima dengan pernyataan Arnes. Kali ini manik cokelatnya menatap tajam, seolah tak gentar dengan kalimat yang diutarakan paman dokternya itu. Keduanya diliputi perasaan kesal akan sikap yang tak sesuai."Ini perasaanku, dan hanya aku yang berhak mengaturnya! Paman sama sekali tak punya hak akan hal itu!" balas gadis itu mementahkan semua pernyataan Arnes."Tapi aku berkewajiban mengingatkanmu jika jalan yang kau lalui itu salah, dengar!" timpal Arnes yang bersikap sebagaimana usianya.Kematangan membuat kata-kata Sheila bisa dibalikkan dengan cepat. Kemanangan jelas berada di sisi Arnes. Terlihat dari tubuh mungil sang gadis yang mulai mundur, merapat ke arah pintu. "Aku tahu kau gadis pintar, jadi jangan lagi bersikap bodoh dengan embel-embel perasaan seperti hari ini!" tutup Arnes yang kembali fokus pada jalan.Roda mobil itu kembali berputar menyusuri jalan besar. Namun wajah Sheila masih menunjukkan ketidak terimaan akan semua ucapan Arnes. Tubuhnya menegang dengan tatapan tajam ke arah sang pengemudi."Pakai sabuk pengamanmu dan lihatlah ke depan!" perintah Arnes yang sadar bahwa sedari tadi manik cokelat nan cantik itu mengikutinya.Tapi Sheila tak bergerak. Ia masih tetap diam di tempat, dengan pandangan yang masih sama. Hatinya bergemuruh, marah. Bibirnya bergetar, seolah ingin menyampaikan sesuatu."Jalan berbatu, berliku, bahkan buntu sekalipun, biar aku yang rasakan. Paman tak perlu melakukan apapun, karena aku yang bertanggung jawab akan perasaan dan jalan yang ku pilih!" katanya seraya membalikkan tubuh ke arah jalan.Arnes tertegun untuk beberapa saat, coba memutar kembali pernyataan dari Sheila yang tambah membuatnya sakit kepala. Kesabaran itu akhirnya habis dan membuat kaki kanannya menginjak pedal gas lebih cepat lagi. Tak ada suara hingga akhirnya mobil sedan itu berhenti tepat di depan sebuah rumah yang tentu tak asing bagi keduanya."Turun!" seru Arnes yang langsung keluar dari mobil.Pria itu nampak membawa sebuah map dan juga satu gantungan penuh kunci yang digunakan untuk membuka gerbang. Dan dengan tergopoh-gopoh tak percaya, Sheila mengikuti Arnes masuk ke dalam rumahnya.Ya, perjalanan panjang itu ternyata berakhir di rumah peninggalan ayahnya. Dan yang masih membuat gadis itu bingung, tak nampak satu orangpun di sana. Setiap ruangan yang dibukanya kosong melompong."P-paman, ke-ke mana mereka?" tanya Sheila masih tak juga percaya dengan kondisi rumahnya yang bersih, rapi juga tanpa penghuni."Ini milikmu!" kata Arnes seolah menjawab semua tanya dalam kepala gadis itu. "Kini tak akan ada lagi yang mengganggumu. Rumah ini dan segala isinya telah kembali," tambahnya sembari menyerahkan map di tangan pada sang pemilik sesungguhnya.Sheila membuka map itu untuk memastikan bahwa isinya masih sama. Air matanya mengalir begitu melihat sertifikat rumah itu utuh. Tangannya bergetar, seperti baru saja dijatuhi durian runtuh. Bibirnya berucap syukur, dengan senyum tersungging untuk Arnes."Mulai hari ini, kau bisa menempati rumahmu kembali," kata Arnes yang sontak membuat mata Sheila melotot."M-maksudnya, aku...""Aku sudah menunaikan janji itu. Kau kembali mendapatkan rumah ini, dan aku akan bertanggung jawab atas biaya sekolahmu. Setiap bulan akan ku transfer sejumlah uang, tenang saja!" jelasnya.Sheila terkejut mendengarnya. Ia tak menyangka bahwa Arnes melakukan itu untuk membuat mereka berjauhan, seperti maksud dari kata-katanya di mobil tadi."Kau menyingkirkanku?" tanya Sheila parau."Aku menyingkirkan perasaan bodohmu!" katanya seraya meninggalkan gadis itu seorang diri, di rumahnya.***"Sial!" gerutu Sheila memegangi perutnya yang mulas bukan main.Baru kali ini ia merasa begitu kesal tinggal di rumah yang menyimpan begitu banyak kenangan masa kecilnya. Harusnya ia begitu bahagia, tapi yang muncul malah sebaliknya. Sheila tersiksa karena tak lagi bisa mendengar deru mobil Arnes yang datang di malam hari. Tak ada bisa diciumnya wangi makan malam buatan paman dokternya itu.Gadis itu memilih keluar dari kamarnya, namun rasa sakit di perutnya semakin menjadi. Dengan tertatih-tatih, kakinya melangkah menuju ke arah dapur. Sayangnya, ia lupa bahwa kepindahannya hanya membawa beberapa barang, tanpa makanan.Kulkas satu pintu itu kosong melompong. Hanya ada air mineral dan beberapa buah yang sudah busuk. Lemari dapur pun sama mengenaskannya. Jangankan beras, mie instan yang biasa ia simpan tandas entah ke mana."Udah laper, lagi dapet, sebel!" gerutunya meratapi nasib.Haid hari pertama membuat tubuhnya remuk. Tak hanya itu, rasa sakit yang dirasakan kini tak hanya karena t
"Paman!"Teriakan Sheila terdengar nyaring, membuat pria yang baru saja akan pergi bergerak kembali masuk ke dalam rumah. Langkah kaki yang panjang membuat waktu tak ada artinya lagi. Arnes memandang sekelilingnya yang gelap gulita. Mata tuanya ternyata memperburuk keadaan. Beruntung Sheila masih ada di ruang tamu, yang tak jauh dari pintu, sehingga ia bisa segera sampai mendekap erat sang gadis."Tenanglah, aku di sini," bisik Arnes mengelus lembut punggung Sheila."Aku takut," ujar Sheila mengeratkan pelukannya.Dengan tertatih-tatih, keduanya bergerak untuk duduk di sofa. Arnes hendak beranjak, untuk memeriksa kondisi meteran listrik. Karena nampak dari jendela tak ada rumah yang mati kecuali milik Sheila. Tetapi gadis itu menolak mentah-mentah, saking takutnya."Aku tak mau Paman pergi, titik!" serunya tegas.Arnes mendengus kesal, tapi tak tega juga meninggalkan Sheila seorang diri. Mau tak mau, ia pun mengalah dan tetap tinggal. Suasana menjadi hening dan canggung, dengan posis
"Ayah!" seru Sheila yang terbangun karena memimpikan cinta pertamanya.Tangis itu pecah memikirkan bagaimana mimpi pertemuan yang terasa begitu nyata. Tubuhnya masih bergetar hebat karena bayangan sang ayah tiba-tiba muncul. Tak ingin larut terlalu dalam, Sheila berusaha untuk bangkit dan memulai semua kehidupannya dari awal, tanpa orang tua. Harinya dimulai dengan mengumpulkan semua buku-buku pelajaran yang sudah lama tak tersentuh. Dirapikannya satu per satu perlengkapan sekolah agar esok bisa kembali lagi berkumpul dengan teman-temannya. "Krruk!"Sheila memegangi perut yang keroncongan. Jam dinding menunjukkan pukul sembilan pagi, sudah terlalu siang untuknya mendapat sarapan. Dengan langkah gontai ia menuju ke dapur. Tangannya begitu malas untuk sekedar menggoreng telur atau memanggang roti. Tapi cacing-cacing di perutnya sudah demo besar-besaran, memberikan rasa perih tak tertahan.Gadis itu baru saja akan menyuapkan satu tangkup besar roti selai kacang di tangannya, begitu su
"Sadarlah, ku mohon!"Bisikan kalimat itu terus berulang di telinga Sheila. Matanya masih tertutup rapat, tapi ia tahu bahwa dirinya tak lagi berada di rumah. Karena ia merasa badannya bergerak, bersama deru kendaraan yang begitu halus.Sayang, gadis itu tak bisa banyak bergerak. Ingin sekali ia membuka mata, tapi rasa sakit masih menghiasi sekujur tubuhnya. Ia tak yakin apa yang telah terjadi, namun satu hal yang pasti, badannya kini babak belur setelah dihajar oleh Reno."Sebentar lagi kita sampai," bisik Arnes menggenggam tangan Sheila yang dingin bak es.Mobil sedan berkecepatan penuh itu rasanya berjalan begitu lamban saat ia ingin sekali sampai. Beberapa kali maniknya menangkap kondisi gadis di kursi penumpang yang basah kuyup berlumuran darah. Tubuh mungil yang terselimuti handuk itu terkulai lemah bersama jas dokter yang sengaja ya kenakan di bagian atasnya untuk sekedar mengurangi rasa dingin."Siapkan ruangan, ini darurat!" seru Arnes begitu sampai di kliniknya.Beberapa per
"Sebentar saja, ku mohon!" rengek Sheila. "Ini sudah seminggu dan aku sama sekali belum melihat dunia luar!" tambahnya.Untuk kesekian kalinya Arnes menolak permintaan gadis muda yang ingin keluar dari kamarnya. Jika dilihat dari kasat mata, Sheila memang nampak baik-baik saja. Tapi luka di kepalanya belum seratus persen kering. Lalu memar di wajahnya masih nampak, walau samar."Hanya di sekitar sini," katanya lagi."Tidak! Sudah ku katakan bahwa kau masih butuh istirahat!" jawab Arnes kesal. "Aku harus praktik, jadi jangan coba-coba keluar dari kamar!" ancamnya.Sesungguhnya Arnes tahu bagaimana perasaan Sheila, remaja putri yang terkurung dalam ruang rawat yang walaupun nyaman tetap saja membosankan. Hanya televisi dan ponsel yang dimilikinya sebagai hiburan. Namun sebagai dokter, ia ingin pasiennya segera pulih dan kembali seperti sedia kala."Istirahat!" Arnes memastikan sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan gadis itu.Sheila memanyunkan bibir. Lirikan matanya tertuju pada cerm
"Gue di depan klinik!" kata Sheila pada ponsel pintar miliknya.Gadis itu masih menoleh ke belakang, berharap Arnes mengejarnya. Tapi yang dilihat hanya lalu-lalang para tenaga medis yang membawa pasien. Harapannya pupus bersama city car merah milik Meli, temannya di sekolah.Dengan langkah cepat ia menghampiri mobil yang terparkir tepat di depan pos keamanan. Di sana Meli sudah memberi kode agar temannya segera masuk. Namun sesuatu menghalangi Sheila untuk masuk ke dalam mobil."Nona Sheila, kan? Ini Dokter Arnes telepon!" kata seorang petugas keamanan dari dalam posnya.Pria berseragam serba hitam itu menyodorkan gagang telepon agar keduanya bisa berkomunikasi secara langsung. Namun sang gadis menggeleng dengan cepat, karena tak ingin Meli menunggu terlalu lama. Dan sejujurnya ia pun sudah tak ingin lagi berkomunikasi dengan Arnes.Jika mau ditarik ulur, Sheila dan Meli bukanlah teman dekat. Keduanya hanya saling berhubungan ketika membutuhkan, atau biasa disebut dengan simbiosis mu
"Masuk!"Tubuh Sheila didorong masuk dengan kasar ke dalam mobil. Matanya menatap tajam ke arah pria yang sejak tadi menarik paksa keluar dari tempat pesta. Ia sudah berusaha memberontak, tapi tenaga dokter itu lebih kuat darinya.BRAK!Tubuh Sheila melonjak kaget menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Paman Dokternya menutup pintu mobil dengan kencang. Matanya menatap tajam ke arah Arnes yang mengelilingi mobil dan bergerak ke bangku kemudi.Emosi jelas terlihat dari manik cokelat yang biasanya ceria. Ekspresinya dingin memandangi pria yang sudah menginjak pedal gas dalam. Kecepatan mobil dan gerak lincah setir tak membuat tubuh Sheila goyah. Tangan kecilnya memegangi dashboard erat."Apa yang kau lakukan, Paman?" tanya Sheila penuh penekanan."Aku yang harusnya bertanya, apa yang kau lakukan, hah?" Arnes balik menatap gadis itu dengan tatapan siap menerkam. Kemarahannya sudah sampai di ubun-ubun, melihat bagaimana cara Sheila berpakaian malam itu. Nyaris separuh kulitn
"Shei... kamu masih ngambek?" tanya Arnes dari luar pintu kamar sang gadis.Sudah lebih dari satu menit, pria itu berdiri di sana dengan posisi yang juga masih sama. Tangannya beberapa kali mengetuk pintu pelan, tapi tak jua ada balasan dari Sheila. Tapi telinganya menangkap ada suara langkah kaki dari dalam, yang berarti ada kehidupan di dalamnya."Buka dulu pintunya, Shei. Kita harus bicara!" katanya memohon."Enggak mau!" jawabnya tanpa sedikitpun menunjukkan wajah.Dari sana, Arnes sudah tahu bahwa sang gadis masih terbawa emosi. Ia pun tak bisa menampik bahwa apa yang diperbuatnya tadi sudah di luar batas. Apalagi melihat situasi yang baru-baru ini terjadi pada Sheila."Paman ingin menunjukkan sesuatu tentang kejadian di rumah kamu!" kata Arnes memancing.Manik cokelat Sheila melirik ke arah pintu dengan tatapan penuh tanya. Ada banyak tanya tentang kejadian yang tak sempat ia ingat hari itu. Luka dan tubuhnya yang lemas membuat ingatannya tak bisa kembali penuh. Apalagi masih ad