"Selamat datang Nyonya muda! selamat datang di mansion nya Leo, kau di sini akan menjadi ratu!" ucap Ibu Leo disertai tatapan sinis sambil bertepuk tangan.
Leo menatap ke arah ibu. Dia merasakan kalau beliau masih belum bisa menerima Mona sebagai mantunya."Ibu gimana kabarmu!" seraya mengulurkan tangan pada sang ibu."Kabarku baik ... seperti yang kau lihat, bagaimana kabar bulan madu kalian?" selidik sang Ibu sembari memeluk putranya sesaat."Baik, Bu!" Leo bergumam. Lalu mengalihkan pandangan pada sang istri yang berdiri mematung.Suasana hati Mona sontak berubah, yang mulanya senang menjadi gak nyaman dengan keberadaan ibunya Leo alias sang ibu mertua."Sayang, ayo ikut aku!" Leo meraih tangan Mona dituntunnya untuk mengikuti langkah dia.Berjalan menuju sebuah lift, yang akan membawa mereka ke lantai 3 gimana kamarnya berada."Berbahagialah kalian berdua. Dibalik itu ada neraka yang akan selalu menguntit muBruk. Brak ....Suara itu tepat dari balik pintu kamar. Menghentikan ritual yang tengah dilakukan oleh Leo dan Mona.Rahang Leo mengerat kuat, kedua netra mata menyorotkan kemarahan yang bisa saja tak terbendung. Karena suara itu membuyarkan konsentrasi panasnya bersama sang istri."Shit! Sial. Suara apa itu?" buru-buru Leo memakai handuk melilitkannya di pinggang. Sementara Mona menenggelamkan tubuhnya ke dalam air. Wajahnya mendadak pucat setelah suara tersebut.Blak.Pintu Leo buka dengan sangat lebar dan tidak ada apa-apa di kamar.Mona malah teringat. Apa mungkin itu Marfin? Secara tadi dia berada di luar. "Apa mungkin Marfin mengintip? ah tidak mungkin! Dia mengintip!" batinnya Marfin panik saat menyenggol pas bunga di kamar papanya, yang menyebabkan suara yang cukup keras.Marfin langsung merasa khawatir bahwa papanya, Leo, akan mendengar suara itu dan datang memeriksanya. Tanpa pikir panjang, Marfin buru-buru membetulkan pas bunga yang untungnya tidak pecah. Berharap tidak a
Dengan cepat. Tangan Mona menangkis tangan ibu mertua yang hendak menampar wajahnya."Ibu tidak perlu mengotori tangan ibu dengan menampar ku." Tatap Mona sangat tajam lalu menghempaskan tangannya."Dasar kurang ajar. Saya akan adukan pada Leo kalau istrinya sudah kurang ajar pada saya!""Ibu, jika aku membuat kesalahan atau menyakiti perasaan Ibu. Silakan adukan aku pada Leo!" Mona tidak gentar sedikitpun.Ibu mertua menatap penuh kebencian pada mantunya itu."Kamu tidak akan pernah bisa menjadi bagian dari keluarga ini! Kamu hanyalah seorang gadis kampung yang miskin! Kamu tidak pantas untuk menjadi istri Leo!" ucap ibu mertua.Sejenak Mona terdiam dengan perasaan yang sakit dan sesak."Aku mungkin bukan dari latar belakang yang sama dengan keluarga Leo, tetapi aku berusaha keras untuk menjadi istri yang baik untuknya." Mona terus membela diri.Ibu Mertua menggeleng, pikirnya. Mona sampai kapan pun tidak akan pernah bisa menjadi istri yang tepat untuk putranya."Saya akan mengadukan
Sejenak tatapan Mona setuju ke arah luar konter, dimana ia melihat seorang pria muda dan wanita yang agak berumur. Ya, siapa lagi kalau bukan Marfin dan Ibu sambungnya."Martin dan ibu!" suara muna dalam hati.Namun, sebelum beliau melihatnya mana langsung mengalihkan pandangan ke arah Leo. Menatap pada ponsel yang berada di tangannya.Mona merasa terharu dan dibuat tak mampu berkata-kata. Tidak pernah dia membayangkan akan memiliki ponsel sebagus dan semahal itu."Aku gak pernah membayangkan, akan memiliki barang semahal ini. Bagi aku yang biasa aja sudah cukup, yang penting bisa komunikasi dan aku gunakan dengan baik!" Mona mengelus barang yang sudah dikeluarkan dari dusnya."Kamu suka?" tanya Leo."Terima kasih, Om. Aku sangat menghargai perhatian mu, Padahal aku nggak mau minta apapun darimu." Mona berucap, menatap Leo."Kamu pantas dapatkan yang terbaik," balas Leo, dia senang melihat Mona bahagia.Dengan refleks Mona memeluk pundak Leo, dengan kedua kaki yang berjinjit agar tubu
Mona, keluar dari mobil setelah puas seharian ini, ke salon dan belanja, melangkah dengan pasti masuk ke dalam mension megah dengan beberapa paper bag di tangannya.Seorang asisten rumah tangga, dengan cepat, membantu membawa belanjaan Mona yang lain. "Biar ku bawakan, Nyonya muda."Mona menoleh ke arah asisten tersebut, senyum ramah menghiasi wajahnya."Terima kasih banyak ya," ucapnya dengan lembut.Asisten itu mengangguk, memberikan senyum balasan yang hangat."Senang bisa membantu, Nyonya Mona." Balas asisten tersebut, dengan nada hormat.Mereka berdua kemudian melanjutkan perjalanan mereka memasuki mension, membawa masing-masing belanjaan.Mona, dengan langkah mantap, melanjutkan perjalanannya menuju lift. Lift tersebut akan membawanya ke lantai tiga, tempat kamar Mona dan Leo berada.Sebelum memasuki lift, Mona berbalik sejenak kepada asistennya."Em ... tolong buatkan saya minuman segar?" pintanya, suaranya lembut namun jelas.Asisten tersebut mengangguk, mengerti apa yang dima
"Ma-maaf. Nyonya. Aku tidak sengaja." Mona menyatukan kedua tangan di dada.Manik wanita yang ke injak kakinya melotot dengan sangat sempurna pada Mona. "Apa kau tidak punya mata atau digadaikan matanya ya!""Ooh, Nyonya ... aku sudah minta maaf dan mata ku masih di sini. Mana ada mata digadaikan. kecuali di op alias di pindahkan!" Mona malah berkelakar sembari nyengir.Wanita tadi semakin membulatkan matanya. Yang tertuju pada Mona dan gegas menundukan kepalanya saat melihat siapa pria di sampingnya.Siapa lagi kalau bukan pria dingin dan kaya raya, kalau bukan Leo.Pria dingin itu menatap datar pada wanita yang berpenampilan elegan tersebut."Maafkan istri saya!" gumam Leo sambil menuntun tangan Mona di bawanya menjauh.Mereka mendatangi yang mengundang Leo. Pria dingin itu sedikit berbincang yang lebih banyakan senyum ketimbang bicara.Lalu Leo, dengan bangga, memperkenalkan Mona kepada semua orang."Ini adalah istriku, Mona." Beberapa orang tampak kagum, namun. Ada juga yang menci
Tiba-tiba, lampu di ruangan itu mati, membuat suasana menjadi hening. Mona dan Leo yang sedang berdansa tampak terkejut, tetapi tangan Leo tetap merapat di tangan Mona."Ada apa ini, kenapa lampu mati?" tanya Mona, tampak bingung.Leo tidak menjawab, tetapi tangannya tetap erat di tangan Mona, seolah memberikan rasa aman pada istrinya itu. Suasana di ruangan itu tampak tegang, terdengar suara riuh dari orang-orang yang berada di sana."Om, saya ingin ke toilet," ujar Mona, merasa ingin buang air kecil dan berusaha melepaskan diri dari genggaman Leo.Namun, Leo mengeratkan genggamannya. "Tunggu sampai lampu menyala, Mona."Mona tampak tidak tahan. "Tapi, Om, saya benar-benar tidak tahan." Dia tampak cemas, berharap Leo mengerti situasinya.Suasana menjadi semakin riuh dengan orang-orang yang berjalan tanpa arah, terkadang bertabrakan satu sama lain. Suara pemandu acara terdengar, meminta semua orang untuk tenang dan tidak membuat keributan agar tidak terjadi kecelakaan.Leo, dengan hat
Mona melihat bayangan seseorang di balik pintu, dengan daun pintu yang terbuka sedikit. Hatinya berdebar kencang saat dia menyadari bahwa itu mungkin Marfin.Dalam hati, Mona berkata. "Marfin, ya pasti dia." Dia menggigit bibirnya, membiarkan keadaan tetap seperti itu. Mona memutuskan untuk membiarkan Marfin melihatnya bersama Leo, agar dia bisa merasakan betapa sakitnya hati Mona saat dia bercinta seperti itu dengan ibunya.Leo, yang tidak menyadari keberadaan seseorang di balik pintu, tersenyum pada Mona. "Sayang, layani aku," pinta Leo dengan lembut, tidak menyadari situasi yang sebenarnya.Mona mengangguk pelan, dengan tangan melingkar di pundak Leo. "Aku milikmu, Om." Bisiknya dengan penuh keinginan. Leo menarik kedua sudut bibirnya, melanjutkan aktivitas yang mencumbu Mona.Mona melirik dengan sudut matanya ke arah pintu, dan bayangan itu masih ada. "Dia masih ada. Lihatlah, Marfin, dan rasakan betapa sakitnya hatiku di saat itu." Gumamnya dalam hati, penuh dengan emosi yang rum
Mona menatap dengan tatapan datar saat ibu mertua yang mendatanginya."Kemana kau hendak pergi? Betapa enaknya memiliki suami yang kaya-raya." Ibu mertua dengan nada sinis.Mona menatap pada ibu mertuanya. lalu dengan tenang berkata. "Ibu, aku ingin bertemu dengan ayah."Ibu mertua kembali melanjutkan perkataannya. "Enaknya memiliki suami kaya-raya seperti putra saya. Kau tinggal menikmati hidup."Mona, mengembuskan nafasnya seraya mengalihkan pandangan ke arah lain.Detik kemudian memandangi ibu mertua. "Kenapa emang, Ibu? kalau aku hanya tinggal menikmati? tugas suami adalah memberikan, dan tugas istri adalah menikmati, bukan begitu, Ibu mertua?"Mona menyampaikan pendapatnya dengan tegas, menjelaskan bahwa istri itu kewajiban suami untuk dibahagiakan. Atau sebagai penerima manfaat dari kekayaan suaminya.Ibu mertua semakin marah pada Mona, mengecamnya dengan kata-kata yang kasar."Dasar gadis kampung, tidak tahu etika, tidak tahu malu, dan tidak punya sopan santun!" seru ibu mertua