Sementara di kediaman Dania.Wanita itu sedang merapikan ruang kerja Mark, menyapu debu yang menempel di rak-rak buku dan meja kerjanya.“Ruangan seseorang memang mencerminkan siapa pemiliknya. Dan ruangan ini … sangat Mark sekali,” gumam Dania sembari terus membersihkan ruang kerja suaminya itu.Semua terlihat begitu rapi, sampai pandangannya tertuju pada sebuah laci yang sedikit terbuka. Dengan rasa penasaran yang tak tertahankan, Dania membuka laci tersebut lebih lebar.“Apa ini? Kenapa Mark menyimpan benda seperti ini di sini?”Matanya terhenti pada sebuah bingkai lusuh, catnya sudah mulai mengelupas di sudut-sudutnya, tapi yang paling mengejutkan adalah bahwa bingkai itu kosong—tidak ada foto di dalamnya."Kenapa ada bingkai foto tanpa foto di sini?" gumam Dania, mengernyitkan dahi. Di samping bingkai itu, ia menemukan sebuah gantungan kunci yang sudah sangat kuno.Keduanya berwarna putih, ses
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Dania sedang sibuk merapikan rambutnya di depan cermin setelah membersihkan diri di kamar mandi. Tak berselang lama, Mark menghampirinya dengan langkah ringan.Tanpa basa-basi, Mark duduk di tepi ranjang dan menatap Dania yang terlihat masih sedikit kesal. “Dania?” panggil Mark."Kau masih marah padaku?" tanya Mark dengan nada lembut, berusaha membaca ekspresi wajah istrinya. "Kau cemburu pada masa laluku?"Dania berhenti sejenak, menatap bayangan dirinya di cermin, kemudian memutar matanya dengan santai. "Siapa juga yang cemburu?" jawabnya cepat. "Biasa saja. Lagipula, wanita itu sudah menikah, kan?"Mark mengangguk pelan, seolah-olah mempercayai kata-kata Dania. “Baiklah,” gumamnya sambil tersenyum kecil, meski ia tahu, jauh di dalam hati Dania, perasaan cemburu itu tetap ada. Namun, ia memilih untuk tidak memperpanjang masalah ini.“Jika memang tidak marah apalagi cemburu, seharusnya kau bersikap seperti biasa, Dania.”Dania menghela napas kas
‘Jadi, Mark tahu … kalau aku menguping pembicaraannya?’ Dania memejamkan matanya. Wajahnya sedikit memerah setelah ketahuan menguping percakapan telepon Mark.‘Aku malu sekali. Kenapa aku bodoh sekali, kalau Mark menyadari aku menguping pembicaraannya?’ Dania tampak frustasi karena harus menahan malu di depan suaminya itu.Mark menatap Dania yang masih menundukkan kepalanya karena malu. Melihat tingkah laku istrinya yang lucu itu, Mark hanya terkekeh pelan. Ia mendekati Dania, mengusap lembut kepalanya sebelum beranjak menuju pintu."Aku harus ke kantor," katanya, suaranya penuh kehangatan. "Jangan banyak gerak dulu. Lututmu masih lebam.”Dania hanya mengangguk pelan tanpa berani menatap mata Mark. Perasaannya campur aduk, antara malu dan bingung.Setelah Mark pergi, Dania masih tetap duduk di sofa, hatinya dipenuhi perasaan yang tak biasa. Ada sesuatu yang menjalar di hatinya, tapi ia tak bisa sepenuhnya mengerti."Apakah aku mulai mencintainya?" gumamnya pelan, memeluk lututnya yang
Waktu sudah menunjuk angka delapan malam. Orang yang sudah sangat ditunggu oleh Dania akhirnya tiba. Dania dengan cepat menghampiri sang suami dan berdiri di depannya. Mark menaikan alisnya menatap Dania yang tiba-tiba berdiri di hadapannya. “Ada apa? Kau ingin menyambutku tapi dengan cara berbeda?” tanya Mark seraya membuka dasinya ketika Dania menghampirinya, wajahnya penuh kebingungan. "Mark, aku baru saja melihat berita tentang Kevin dan Marsha," katanya perlahan, matanya menatap Mark yang terlihat lelah tapi tenang. "Mereka hampir batal menikah karena skandal Marsha."Mark menatapnya, mengangguk pelan sambil merapikan kemejanya. "Ya, aku juga baru dengar tadi," jawabnya datar, tidak menunjukkan reaksi yang berlebihan. Seolah skandal itu bukan hal yang mengejutkan baginya.Namun, Dania merasa ada sesuatu yang harus ia pastikan. Rasa penasaran yang sejak tadi menghantuinya memaksa dirinya untuk bertanya. "Mark ... apakah ini ada hubungannya denganmu? Maksudku ... apakah kau yang
Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Dania menggelengkan kepalanya ke kanan dan kiri, mengernyitkan dahinya hingga mengeluarkan keringat yang berlebih. Napasnya tersengal, matanya terbelalak penuh ketakutan.“Ibu!” jeritnya, suara itu serak, seperti baru saja keluar dari mimpi buruk yang mencekik. Tangannya gemetar, jantungnya berdebar tak karuan. Seluruh tubuhnya terasa dingin, seolah-olah baru saja ia kembali ke masa kelam itu—kecelakaan yang merenggut nyawa ibunya tiga belas tahun lalu.Mark, yang tidur di sampingnya, langsung terbangun mendengar suara Dania yang penuh kecemasan. Wajahnya menunjukkan kepanikan. “Dania, ada apa?” tanyanya, segera memeluk Dania, merasakan tubuh istrinya yang gemetar dalam dekapannya.“Apa yang terjadi? Kau … mimpi buruk?” tanya Mark dengan raut wajah penuh kecemasan.Dania mulai menangis, suara tangisannya pecah, penuh kesedihan yang sudah lama ia pendam. “Aku ... aku memimpikannya lagi,” ucapnya dengan suara bergetar. “Kecelakaan itu ... ibuku ... i
Pagi sudah merekah dengan sinar matahari yang hangat menembus jendela, menunjuk angka tujuh tepat. Dania bangun lebih dulu dari suaminya, dan kini dia sudah berada di dapur, mengenakan gaun rumah sederhana namun elegan.Bau harum kopi dan roti panggang memenuhi udara saat ia dengan cekatan menyiapkan sarapan untuk Mark, yang sebentar lagi akan berangkat kerja.Mark, yang baru saja mengenakan setelan jas abu-abunya, berjalan pelan menuju dapur. Langkahnya terdengar ringan di lantai kayu, hingga akhirnya ia tiba di belakang Dania, memandangi punggung istrinya yang sibuk mengurus sarapan.Dia tersenyum tipis, rasa syukur karena memiliki istri seperti Dania terlintas di benaknya.“Sudah membaik, hm?” tanya Mark dengan suara lembut.Dania menoleh, bibirnya mengulas senyum hangat yang mampu meredakan kekhawatiran di hati Mark. “Ya. Sudah. Lagi pula, itu kan hanya mimpi saja. Aku tak ingin terlalu mengingatnya, Mark,” jawabnya, suaranya terdengar lebih ringan, seolah mimpi buruk yang sempat
Mata Marsha melebar mendengar ancaman halus yang terlontar dari mulut Mark. Untuk pertama kalinya, ia terdiam. Amarahnya masih membara, tapi ada sesuatu dalam nada suara Mark yang membuatnya merasa ragu. Mungkin ini bukan pria yang bisa dia hadapi dengan cara yang sama seperti yang biasa ia lakukan dengan orang lain.“Kau benar-benar... tidak punya hati, ya?” gumam Marsha, meskipun lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Mark. “Kini, aku dan Kevin harus berpisah. Pernikahan kami batal karena semua ini. Dan kau tidak peduli sedikit pun?”Mark tersenyum tipis, tetapi senyum itu jauh dari keramahan. “Ya. Aku tidak peduli,” jawabnya dengan dingin. “Pernikahanmu batal karena perbuatanmu sendiri, Marsha. Bukan karena aku atau siapa pun. Kau yang menghancurkan hubunganmu dengan Kevin, bukan aku.”Marsha menggeram, matanya berkilat penuh amarah. “Kau pikir kau sudah menang, Mark? Kau pikir ini sudah selesai?”Mark menatapnya tanpa berkedip, menunjukkan bahwa ia tak terintimidasi sedikit
Tak lama kemudian, ponselnya berbunyi. Begitu melihat nama Dania muncul di layar, Mark dengan cepat menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan itu. Ada nada kecemasan dalam dirinya yang sulit dijelaskan."Ya, kenapa, Dania?" tanya Mark cepat, suaranya terdengar penuh perhatian."Mark … bisakah kau pulang sekarang?" Suara Dania terdengar bergetar, sangat lirih hingga nyaris tak terdengar.Mark mengerutkan kening, kebingungan muncul seketika. "Dania, ada apa? Kau … mimpi buruk lagi?"“Tidak, Mark. Aku … aku menerima paket dari orang tidak dikenal. Isinya … dokumen tentang kematian ibuku,” jawab Dania terisak, membuat Mark terpaku beberapa detik."Apa?" Mark tercekat, otaknya bekerja cepat mencerna informasi yang tak diduganya. "Ba—baik. Aku segera pulang."Dengan satu gerakan cepat, Mark menutup panggilan tersebut dan menyambar kunci mobilnya. Tangannya bergerak cepat merapikan jas yang ia kenakan."Vicky, cancel semua pertemuan hari ini. Aku harus pulang," ucapnya tegas tanpa penj
"Siapa yang mengizinkanmu memasuki ruanganku, Mark?" pekik Randy, suaranya melengking, dipenuhi keterkejutan yang tak mampu ia sembunyikan.Matanya membulat, seperti seekor tikus yang baru saja menemukan dirinya terperangkap dalam sarang ular."Kenapa?" Mark menjawab dengan nada sedingin es yang menetes perlahan-lahan, menusuk hingga ke tulang."Bukankah kau selalu menantangku di media? Kenapa setelah aku datang, kau malah terkejut seperti itu?" Matanya menatap Randy tajam, bagaikan elang yang mengintai mangsanya dari ketinggian, siap untuk menerkam tanpa ampun.Tatapan itu membuat Randy tersentak. Nyali yang sebelumnya membara di layar media kini menciut, redup seperti lilin di tengah badai.Kata-kata penuh keberanian yang biasa ia lontarkan berubah menjadi gumaman yang kehilangan arah."Bukan kau yang aku singgung, tapi Stevan!" ujar Randy, suaranya masih mencoba terdengar tegas, meski jelas ada getaran kecil yang mencemari nada itu."Baik aku maupun Stevan, sama saja," ujar Mark, s
"Argh! Sial!" seru Emma, suaranya melengking di tengah gemuruh musik yang menghentak.Cahaya neon ungu dan merah berkedip-kedip, membelah bayangan tubuhnya yang bergetar oleh frustrasi. Wajahnya yang memerah oleh amarah terlihat kontras dengan lipstik merah tua yang menghiasi bibirnya.Ia mencengkeram gelas koktail di tangannya hingga jari-jarinya memutih, seolah ingin menyalurkan kemarahan ke dalam benda mati itu.Sudah hampir dua bulan di New York, namun sosok Stevan yang diinginkannya masih saja tak tersentuh, bagai bayang-bayang yang terus menghindar dari cahaya."Sudahlah, Emma," ujar Rose lembut namun tajam, sambil menyandarkan tubuh rampingnya ke sofa empuk."Stevan tidak akan mau padamu. Jika dia menyukaimu, dia pasti sudah menyatakan cinta sejak kalian kuliah. Tapi itu tidak pernah terjadi, bukan?" Rose mengangkat alis, bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil yang terasa seperti belati.Emma mendengus kasar, matanya menyipit dengan amarah yang membara. "Itu karena dia su
Stevan mengerutkan keningnya, sorot matanya tertuju pada Clara yang sedari tadi hanya memutar-mutar spaghettinya tanpa minat.Piring di depannya terlihat seperti kanvas yang hanya dilukis separuh hati, gerakan garpu yang berulang menciptakan pola tanpa arah, mencerminkan pikiran yang penuh gejolak.Mereka kini duduk di sebuah restoran kecil nan hangat, dindingnya dihiasi lukisan klasik yang seolah ingin membawa pengunjung ke era lampau.Di luar, matahari siang mengintip malu-malu dari balik awan kelabu, sinarnya yang redup memantul lembut di permukaan meja kayu tempat mereka duduk.“Honey?” panggil Stevan, suaranya penuh perhatian, seperti alunan nada piano yang lembut di tengah hening.“Are you okay?” tanyanya dengan nada sedikit cemas, matanya menatap Clara dengan intensitas yang sulit diabaikan.Clara mendongakkan kepala, memandang Stevan dengan mata yang tampak berkilau namun terselubung bayangan kegelisahan. “Ya. I’m okay,” ucapnya lirih, bibirnya yang pucat membentuk senyum tipi
"Clara? Apa kau tidak merasakan sesuatu?"Suara Mark memecah keheningan dengan nada yang tenang namun penuh teka-teki, seperti bisikan angin malam yang membawa rahasia gelap dari kejauhan.Tatapan matanya mengunci Clara, seolah mencari jawaban yang tak pernah terucap."Apa maksudmu, Dad? Aku tidak mengerti sedikit pun," jawab Clara dengan alis yang berkerut.Ia melanjutkan kunyahannya pada cokelat batang yang mulai meleleh di sudut bibirnya, sementara matanya terpaku pada lembaran buku yang baru saja dibelinya.Mark menghela napas panjang, mengangkat kepalanya perlahan seolah mencari kata-kata yang tepat di langit-langit ruang tamu yang redup. “Sudah berapa lama kau dan Stevan menjalin hubungan?”Pertanyaan itu melayang di udara seperti percikan api kecil di tengah kabut, membakar rasa penasaran dalam dada Clara.Clara melirik ke arah ayahnya dengan pandangan setengah penasaran, setengah jengkel. Jarinya mengetuk meja, menghitung pelan.“Sepertinya sudah mau lima bulan. Kenapa, Dad? A
Mark mengundang Stevan, Sean, Amy, dan juga Lisa untuk makan malam di rumahnya. Clara sendiri tidak tahu jika Mark mengadakan makan malam ini, sehingga suasana di meja makan terasa lebih intim, namun ada juga ketegangan yang menggantung di udara.“Terima kasih atas kehadirannya di acara makan malam ini,” ucap Mark dengan suara berat, matanya menyapu ke seluruh wajah yang hadir, memberikan kesan bahwa setiap kata yang keluar dari bibirnya tidak bisa dianggap remeh.Clara menoleh ke arah Samuel, merasakan kegelisahan yang mulai tumbuh di dada. Pria itu hanya mengendikan bahunya, tanda bahwa dia pun tak tahu jika Mark mengundang orang tuanya dan ibu Stevan ke rumah mereka malam ini.“Terima kasih juga sudah mengundangku pada acara ini, Mark,” ucap Lisa dengan nada lembutnya, namun ada nada yang agak dipaksakan dalam suaranya, seperti yang sering terlihat pada orang yang berusaha menyembunyikan perasaan tidak nyaman.Mark tersenyum tip
“Apa yang kau bawa dari London? Aku sudah tidak sabar melihatnya.” Clara, yang sebelumnya bersumpah tidak akan memaafkan Stevan, justru merasa seolah tak bisa menjauh dari pria itu.Pertahanannya luluh, begitu cepat dan begitu tiba-tiba, saat tatapan Stevan menyentuhnya dengan kekuatan yang tak terungkapkan.Ada sesuatu dalam mata pria itu yang begitu memikat, seakan ia menarik Clara ke dalam pusaran perasaan yang sulit ditolak.Stevan menatap wajah Clara dengan intensitas yang dalam, seakan ingin membaca setiap jejak emosi yang bersembunyi di dalamnya.Dengan gerakan yang begitu lembut namun penuh tekad, ia menarik wajah Clara mendekat.Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang begitu mendalam, tak terduga, dan penuh gairah. Ciuman itu bukan sekadar pertanda rindu, melainkan sebuah ledakan emosi yang membakar seluruh penahanan mereka.Clara terkejut, hatinya berdebar dengan cepat dan hampir tak teratur. Ciuman itu datang tanpa aba-
Dua minggu kemudian...Perpisahan Lisa dan Randy akhirnya resmi selesai, menyisakan babak baru yang dimulai dengan rasa lega bercampur keraguan.Di bawah langit kelabu New York yang seolah mengerti beratnya perjalanan ini, Lisa mengikuti langkah Stevan memasuki rumah sederhana yang telah disiapkan untuknya.“Ini rumahmu selama di sini,” ucap Stevan singkat, suaranya datar, tetapi ada sekilas kelembutan yang sulit disembunyikan.Lisa melangkah perlahan, matanya mengamati setiap sudut rumah dengan sorot yang sarat makna.Dinding putih bersih, perabotan minimalis, dan suasana hangat rumah itu memberi rasa nyaman yang sudah lama ia rindukan. Sebuah senyum kecil menghiasi wajahnya, seolah menghapus jejak beban dari masa lalunya.“Terima kasih, Nak. Aku tidak akan merepotkanmu selama di sini,” ucapnya lembut, namun suaranya mengandung getar haru.Stevan hanya mengangguk tipis, wajahnya sulit dibaca. Hatinya terbelah&
Ketika pintu apartemen terbuka dengan suara berderit yang berat, Randy berdiri di ambang pintu, tatapan matanya seperti kilatan petir yang menyambar langit malam.Udara di dalam ruangan mendadak terasa dingin, menciptakan suasana tegang yang mengancam meledak kapan saja.“Kau,” desis Randy dengan suara serak yang dipenuhi kemarahan, langkahnya mendekati Stevan dengan berat seperti membawa dendam yang membara. “Kau yang telah menghasut ibumu untuk bercerai denganku, huh?”Stevan berdiri tegak di sisi ruangan, wajahnya tenang namun matanya menyala dengan amarah terpendam.“Memangnya kau masih mengharapkan ibuku?” tanyanya, suaranya tegas seperti pisau yang menusuk ke dalam.“Selama ini kau hanya memanfaatkan ibuku agar mau membujukku untuk membangun perusahaanmu, Tuan Randy yang terhormat.”Randy menggeram, tangannya mengepal hingga buku-bukunya memutih. “Kurang ajar!” ia men
“Maaf, aku tidak memberitahumu karena urusanku sangat mendadak,” suara Stevan terdengar di seberang sana, tenang namun mengandung jejak kelelahan yang sulit disembunyikan.Clara menghela napas panjang, dadanya terasa sesak oleh kekhawatiran dan amarah yang bercampur menjadi satu. “Sekarang jelaskan, apa yang kau lakukan di sana sampai pergi mendadak seperti ini?” tanyanya, suaranya bergetar, antara menahan rasa kecewa dan desakan ingin tahu.“Ibuku memaksaku untuk datang,” jawab Stevan akhirnya, suaranya terdengar berat, seperti seseorang yang menanggung beban yang terlalu besar. “Suaminya mengancam akan membunuh ibuku jika aku tidak pergi, Clara. Meskipun dia sudah menyakitiku, dia tetap ibuku.”Kata-kata itu menggantung di udara, menusuk relung hati Clara. Ia menelan salivanya dengan pelan, mencoba meredakan gemuruh emosinya. “Memangnya ayah tirimu sejahat itu, Uncle?” tanyanya, nada suaranya penuh dengan campuran simpati dan ketakutan.“Entahlah,” Stevan menjawab, suaranya nyaris s