Share

Terjebak di Dalam Novel
Terjebak di Dalam Novel
Author: Red Cherries

BAB 1: "Kehidupan ku"

Angin malam yang dingin menusuk kulitku yang hanya memakai kaus dan kardigan tipis. Awan hitam tampak jelas berkumpul menjadi satu di atas sana, pertanda bahwa sebentar lagi akan hujan yang membuatku kini berjalan dengan cepat. 

Aku mendongak kala mendapati setetes air jatuh dari langit yang mendarat mulus di dahi penuh jerawatku. Lalu disusul dengan tetesan-tetesan air lainnya. 

Aku memejamkan mata kesal. Ah! Seharusnya aku membawa payung seperti yang disuruh ibuku tadi. 

Aku berlari secepat mungkin sambil melindungi buku novel yang baru saja kubeli bersamaan dengan hujan yang mulai turun dengan derasnya. Yah, aku tak bisa menghindar jadi seluruh tubuhku dibasahi oleh air. Tapi aku bersyukur karena kini jarakku dengan rumah hanya tinggal sepuluh meter. Setelah sampai di depan pagar, aku menekan password rumahku dan buru-buru membuka pintu rumah. 

Tetapi aku terdiam di depan pintu. Tanganku yang tadi sudah bersiap untuk membuka pintu, kutarik kembali karena mendengar suara-suara samar yang berasal dari dalam sana. Aku tak tahu pasti apa yang mereka bicarakan di dalam sana. Tapi satu hal yang aku tahu, yaitu: mereka sedang bertengkar. 

Aku berjongkok di depan pintu sambil menyembunyikan wajah di lekukan tanganku yang kulipat di atas lutut, berharap sebentar lagi mereka akan selesai dengan pertengkaran mereka. Aku terus menunggu. Tapi pertengkaran mereka bahkan menjadi lebih kacau–karena aku mendengar suara benda yang pecah. Aku pun berdiri, takut jika pertengkaran itu akan semakin parah nantinya. Walau aku enggan, aku tetap masuk dengan menghembuskan nafas terlebih dahulu. 

Pintu kubuka, bersamaan dengan berhentinya teriakan yang mereka keluarkan. Tetes-tetes air yang jatuh dari tubuhku menjadi pusat perhatian mereka. 

“Aku pulang.” 

Ibuku, salah satu orang yang mengeluarkan suara teriakan yang tadi kudengar, berjalan menghampiriku dengan raut wajah cemas. “Bagaimana bisa kau kehujanan seperti ini?” 

Sementara ayahku, yang tadinya memegang tas kesayangan ibuku dan sebuah gunting, kini memegang sebuah handuk dan berjalan tergopoh-gopoh menghampiriku. Sambil mengeringkan rambutku dia bertanya dengan nada yang sama cemasnya dengan ibu, “Kenapa tidak menyuruh ayah untuk menjemputmu di toko buku?” 

Aku menutup mataku rapat-rapat. Menahan emosi yang hampir keluar, “Aku tidak apa-apa.” 

Hanya itu dan selalu itu yang ku ucapkan. Berharap semuanya baik-baik saja, walau kenyataannya tidak. 

Aku mengalihkan pandanganku kepada ruang tamu, aku menganga tak percaya saat melihat guci kesayangan ayahku sudah hancur berkeping-keping di lantai, lalu ada juga tas mahal ibuku yang disobek-sobek tergeletak tak berdaya di dekat pecahan guci. Aku menatap mereka bergantian. 

“Kenapa bisa seperti ini?” Tanyaku tak percaya. 

Dapat kulihat ayah dan ibu berwajah pucat, “Ibu akan membuatkan teh hangat untukmu, pasti kau kedinginan. Lebih baik kau mandi dulu.” Ujar ibuku, berusaha mengelak. 

Ayahku mengangguk, “Benar yang dikatakan ibumu.” Lalu ayah mendorong bahuku menuju kamar mandi, tak membiarkan aku untuk mengatakan sesuatu kepada mereka. Ayah mengambil alih buku-buku yang masih berada di dekapanku, kemudian menutup pintu kamar mandi setelah aku masuk ke dalamnya. 

Aku menghembuskan nafas lelah. Kejadian ini sudah sering kali terulang. Dan selalu akan berakhir dengan mereka mengelak lalu aku yang akan berpura-pura tidak tahu–walau aku sebenarnya tahu. 

*** 

Matahari sudah terbit, membuatku mau tidak mau harus bangun dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Hari yang sama menyebalkannya dengan hari kemarin, hanya karena aku pergi ke sekolah. 

Setelah menyandang tas, tanganku membuka pintu kamar untuk turun ke bawah dan sarapan bersama kedua orangtuaku. Tapi cermin yang menggantung di samping pintu menghentikan langkahku. Cermin itu membuatku memperhatikan pantulan wajah ku di sana. 

Hidung mancung, mata bulat, bibir indah berwarna kemerahan, wajah kecil, dan kulit yang putih bersih tidaklah membuatku merasa cantik karena banyak jerawat yang menutupinya. Aku memalingkan wajahku dari cermin, karena merasa kesal setiap melihat jerawat-jerawat yang ada di wajahku. Sudah berapa dokter kecantikan kudatangi, tetapi mereka tidak bisa menghilangkan jerawatku. 

“Alana! Ayo sarapan!” 

Panggilan ibu membuat lamunanku buyar. Dengan lesu aku membuka pintu dan berjalan ke arah meja makan dan duduk di depan ayah dan ibuku. 

Ibu menyodorkan roti berisi daging kepadaku. 

“Makan yang banyak. Lihatlah betapa kurusnya dirimu.” 

Ibu mulai lagi. 

Kini ayahku berdecak, “Kau seorang wanita, tapi bagaimana bisa kau tidak tahu kalau berat badan adalah topik sensitif untuk wanita?” 

Dan mereka mulai lagi. 

Aku menghela nafas lelah melihat mereka yang saling melempar tatapan sinis. Beberapa kali mereka kelepasan seperti ini di depan ku. Ya intinya kalau tidak ada situasi canggung, ya situasi ini. 

“Tolong hentikan, ayah, ibu. Aku akan makan sesuai dengan porsiku.” Ucapku, menengahi mereka yang masih beradu tatapan sinis. Ayah yang pertama kali memutuskan kontak matanya dengan ibu. 

Lalu kembali hening dengan rasa canggung yang menyelimuti kami. Ini sudah biasa memang, tapi tetap saja tidak menyenangkan. 

Aku sudah selesai sarapan, dan itu tandanya aku harus menyambut hari menyebalkanku di sekolah. 

Ya semoga saja tidak begitu menyebalkan. 

*** 

Aku duduk di kursi ku sambil membaca novel yang kubawa dari rumah dan menyumpal telingaku dengan headset yang tersambung ke ponselku. 

Aku selalu hanyut dengan bacaan yang kubaca, sampai-sampai tidak pernah tahu seperti apa situasi kelasku–atau lainnya–setiap kali aku membaca. Setiap aku ada masalah, aku selalu mengalihkan duniaku kepada novel. Karena itu membuatku sedikit lebih tenang, karena novel adalah dunia imajinasi tanpa batasan milikku. 

Disaat aku ingin membalikkan halaman novel ku, tiba-tiba seseorang menggebrak mejaku dengan kasar. Aku terperanjat, refleks, tentu saja. 

Riana, seorang gadis yang tenarnya tidak perlu dipertanyakan lagi di sekolah ini, menatapku dengan tatapan marah yang jelas, membuatku langsung menunduk takut. Yah, aku ini penakut. 

“Aku sudah memanggilmu berkali-kali!” Ujarnya marah, atau kesal? Ntahlah aku tidak tahu, yang jelas dia berbicara dengan nada yang tidak enak didengar oleh telinga siapapun. 

Aku meneguk ludahku dengan kasar. Aku benar-benar tidak ingin berurusan dengan Riana, hari ini, ataupun besok, ataupun selamanya. Aku melepas buku novel yang ku pegang, beralih menjadi menautkan jari-jariku. Bahkan aku bisa merasakan tanganku sendiri berubah suhu menjadi dingin. 

Aku mendongak, menatap iris yang menatapku balik dengan tatapan marah itu. “Maaf.” Ucapku pelan, sangat pelan. 

Dapat kudengar, gadis di depanku mendengus dengan keras. “Mana tugasku?” Tanyanya, atau lebih tepatnya perintahnya. 

Dengan cepat aku membuka tasku dan mencari sebuah buku di dalam sana, lalu menyerahkannya kepada Riana. Gadis itu tak beranjak dari hadapanku, sebelum dia puas dengan tugasnya. Jadi dia akan memeriksa dulu tugasnya baru dia akan pergi bila sudah puas. 

Sebenarnya aku takut-takut saat melihat raut wajah serius Riana. Takut kalau tugas yang aku buat tidak sesuai dengan harapannya. Takut kalau dia akan mempermalukanku seperti yang sudah-sudah karena kesalahan di tugas miliknya yang aku kerjakan. Atau yang lainnya. 

Dan tanpa sadar, aku berkeringat dingin. 

Senyum puas yang tercetak di wajah cantik milik Riana membuatku bernafas lega. Kalian bisa katakan aku bereaksi berlebihan, tapi, hey! Aku adalah orang yang sedang ditindas, jadi apa yang akan dirasakan oleh seseorang yang sedang ditindas? 

Riana beranjak pergi, tetapi sebelum pergi dia mengatakan sesuatu yang membuatku menghela nafas lelah. 

“Kerja bagus. Aku suka jika kau berguna di kelas ini. Memang inilah tujuanmu ada di kelas ini.” 

Ya, aku sepertinya akan selalu dipandang sebelah mata. Menyedihkan. 

Namaku Alana Liora Gantari. Seorang gadis berumur tujuh belas tahun, dan ini adalah kehidupan dunia nyata menyedihkan milikku. Ini hanya awalan dari segalanya. 

*** 

Bel istirahat berbunyi, membuat seluruh teman–ah tidak, maksudku murid–sekelasku keluar kelas. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan diluar kelas, karena aku tidak begitu peduli. 

Aku bukan marah, hanya saja sedih lebih tepatnya. Mereka bermain bersama, tertawa bersama, dan melakukan hal lainnya bersama. Sementara lihatlah diriku yang sendirian, tanpa ada yang ingin berbicara denganku, tanpa ada yang ingin berteman denganku. Masa sekolah SMA ku tidak seperti mereka. 

Hanya ada satu kata yang sangat cocok untukku, yaitu menyedihkan. 

Disaat aku ingin melanjutkan bacaan ku, ada sebuah panggilan alam yang sangat mendesak. Membuatku mau tak mau harus meninggalkan zona nyaman. Berjalan ke toilet perempuan diiringi tatapan jijik, itu sudah biasa bagiku. Biasa tapi tetap terasa menyesakkan. 

Disaat aku sudah selesai dengan urusanku di bilik kamar mandi, aku mendengar beberapa gadis sedang menggosipkan sesuatu. Awalnya aku tidak mau menghiraukan mereka dan ingin pergi begitu saja, tetapi tokoh utama dari gosip yang mereka bicarakan menahanku untuk tetap diam di dalam bilik kamar mandi ini. 

Mereka sedang membicarakanku! 

“Hey! Aku benar-benar tidak tahan harus satu kelas dengan si ratu jerawat itu! Melihat wajahnya setiap hari saja itu membuatku jijik!” Ucap salah satu dari mereka, tepat menusuk dihatiku. Tidak usah tanyakan padaku seperti apa rasa sakitku sekarang. Oh ya, mereka memang membuatkan ku sebuah nama panggilan, yaitu ‘Ratu Jerawat’. 

Gadis lainnya tertawa terbahak-bahak, “Kau kira kau saja yang tersiksa? Aku juga, tahu! Hey, tapi kau pernah dengar soal rumor gadis itu?” 

Aku semakin serius mendengarkan. Memangnya gadis sepertiku ini punya sebuah rumor? 

“Memangnya gadis seperti dia itu punya rumor?” 

Apa dia membaca pikiranku? 

“Katanya dulu itu waktu SMP dia sangat terkenal karena wajahnya yang sangat cantik. Tapi karena dia merebut pacar sahabat baiknya, ya jadi wajahnya tumbuh banyak jerawat!” 

“Itulah yang dinamakan karma! Tapi aku tidak percaya bagian wajahnya pernah cantik.” Lalu disambung dengan suara tawa mereka yang perlahan menghilang dari toilet itu. 

Aku dapat merasakan bahwa dadaku sekarang sangat sesak. Mereka bahkan tidak tahu apapun tentangku, tapi kenapa mereka harus menyebarkan rumor jahat. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status