Share

Baru Permulaan

“Akira, datang ke ruangan saya sekarang juga,” titah Albert melalui telepon. Akira segera bangkit dan keluar dari ruangannya untuk memenuhi panggilan sang atasan. Entah apa yang akan Albert tugaskan lagi kali ini. Padahal setumpuk berkas yang dia berikan beberapa hari yang lalu juga belum selesai.

“Ada apa bapak memanggil saya ke mari?” tanya Akira setelah tiba di ruangan Albert.

“Tolong buatkan saya kopi,” perintah laki-laki itu dengan santainya bahkan tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.

“Bapak menyuruh saya membuat kopi?” tanya Akira merasa heran. Dia berpikir pekerjaan itu bukanlah tugasnya. Lagi pula Albert bisa memanggil OB atau OG untuk hal itu.

“Apa perintah saya kurang jelas? Apa kamu tidak bisa membuat secangkir kopi?” ujar Albert tak bersahabat membuat Akira mengurungkan niat untuk berkomentar. Protesnya hanya ia simpan dalam hati.

“Bisa, Pak. Saya akan membuatnya sekarang juga,” jawab Akira singkat dan langsung berlalu menuju dapur.

Sembari menyeduh kopi, Akira memikirkan tentang sikap Albert yang menyebalkan. Atasannya itu seperti sengaja memberinya banyak beban pekerjaan. Meski begitu Akira tidak bisa membantah karena masih membutuhkan pekerjaan itu. Setelah kopi siap, Akira mengantarnya ke ruangan Albert.

“Rasanya tidak begitu buruk. Masih bisa diminum,” komentar Albert tentang rasa kopi buatan Akira. Akira hanya mengumpat dalam hati. Menyebut Albert sebagai laki-laki tidak tahu terima kasih.

Saat hendak keluar dari ruangan, Albert kembali mencegah Akira. Dia meminta Akira untuk pergi ke tempat foto copy dan menggandakan beberapa berkas. Laki-laki itu mengatakan bahwa mesin foto copy di kantor sedang rusak sehingga Akira harus pergi keluar. Padahal sebenarnya Albert sudah berniat untuk mengerjai Akira.

Akira pergi mencari tempat foto copy terdekat dengan beberapa berkas di tangan. Dia bahkan masih harus mengantre di sana. Namun dia merasa Albert memang tidak bisa menghargai usaha orang lain. Setelah menyerahkan berkas hasil foto copy itu kembali, Albert justru mengatakan dia salah memberikan berkas yang harus digandakan. Akibatnya Akira harus kembali ke tempat foto copy.

Begitu sampai hati Albert membuat Akira harus bolak-balik sebanyak tiga kali ke tempat foto copy. Bahkan Akira harus naik turun lantai sepuluh tempat ruangan Albert berada. Setelah gadis itu tampak kelelahan dengan napas yang tidak teratur, barulah Albert menyuruh Akira kembali ke ruangannya.

“Ini baru permulaan, Akira. Aku akan terus membuatmu merasa tersiksa,” gumam Albert setelah gadis itu pergi.

Sementara Akira kembali ke ruangannya dengan napas terengah. Butiran keringat juga menitik di dahinya. Levin melongo memperhatikan penampilan Akira yang sedikit berantakan. Akira bahkan melepaskan sepatu hak tinggi yang ia kenakan. Kakinya terasa pegal setelah berjalan ke sana ke mari menggunakan sepatu yang ujungnya lancip itu.

“Apa yang terjadi padamu, Akira?” tanya Levin.

“Pak Albert memerintahkan aku untuk menggandakan beberapa berkas ke tempat foto copy. Aku harus bolak-balik ke sana dengan berjalan kaki,” ungkap Akira meratapi perintah sang atasan.

“Kenapa tidak menggunakan mesin foto copy di kantor saja?”

“Katanya mesin foto copy itu rusak jadi aku harus keluar,” jawab Akira sembari memijat kakinya. “Oh ya, apakah Pak Albert memang sering memberikan tugas yang tidak berhubungan dengan urusan kantor?” tanya Akira.

“Maksudnya?” tanya Levin tak mengerti.

“Iya seperti meminta dibuatkan kopi atau hal lainnya.”

“Akira, kamu itu seorang PA atau Personal Assistant. Tugas seorang PA adalah melakukan berbagai pekerjaan yang bersangkutan dengan urusan atasannya mulai dari yang bersifat pribadi hingga pekerjaan. Jadi sebenarnya tugasmu tidak hanya tentang urusan kantor,” jelas Levin.

“Apa? Termasuk urusan yang bersifat pribadi?” ujar Akira tercengang.

“Iya. Bukankah itu tertera dalam kontrak kerja yang sudah kamu tanda tangani. Aku pikir kamu sudah mengetahuinya.”

“Ceroboh sekali kau, Akira. Bisa-bisanya kamu tidak membaca kontrak itu dengan teliti. Kalau begini cara kerjanya, hanya tinggal menunggu waktu saja maka Pak Albert pasti akan memerintahkan sesuatu lebih aneh lagi,” gumam benak Akira menggerutu.

Meski begitu dia sudah terikat kontrak dan tidak bisa memutuskannya begitu saja. Akira kemudian mengatur napas sejenak untuk relaksasi agar lebih tenang menyikapi kenyataan. Sebelum akhirnya dia kembali berkutat dengan berkas yang harus diselesaikan.

Di balik semua itu, Akira cukup bersyukur karena ditempatkan satu ruangan dengan Levin. Laki-laki itu begitu ramah dan baik. Saat Akira bertanya tentang apa yang tidak dia pahami, maka Levin akan menjelaskannya dengan telaten. Setidaknya kehadiran Levin membuat Akira merasa pekerjaannya lebih mudah dilalui.

Saat mereka berdua sedang  sibuk dengan pekerjaan masing-masing, pintu ruangan tiba-tiba terbuka dan menampilkan sosok Albert. Dia datang untuk menemui Levin dan membicarakan sesuatu perihal bisnis. Akira yang tidak mau terlalu ikut campur lebih memilih fokus pada pekerjaannya sendiri.

“Hei, Akira. Apa yang kau lakukan ini?” ujar Albert tiba-tiba mengagetkan gadis itu. Dia tidak mengerti apa yang Albert maksudkan.

“Ada apa, Pak?” tanyanya.

“Kemarilah dan berdiri di hadapanku,” titah Albert yang langsung dipatuhi. Akira berdiri tak nyaman berhadapan dengan Albert.

“Kau masih bertanya ada apa? Coba perhatikan penampilanmu sendiri,” kata Albert membuat Akira meneliti dirinya dari ujung kaki. Dia memang belum memakai kembali sepatu hak tingginya. Pasti itu yang sedang dipermasalahkan oleh Albert.

“Semua karyawan di kantor ini terikat aturan untuk selalu mengedepankan profesionalisme dalam bekerja. Termasuk dalam hal menjaga penampilan. Kamu memiliki jabatan yang cukup diperhitungkan sebagai asistenku. Coba kamu pikirkan apa yang akan dikatakan orang-orang jika mengetahui asisten CEO perusahaan ini penampilannya berantakan,” kata Albert memberi peringatan.

“Maaf, Pak. Lain kali saya tidak akan mengulanginya,” jawab Akira dengan tertunduk lemah. Albert bahkan memarahinya di depan Levin.

“Ya sudah. Sekarang kamu pergi ke toilet dan benahi penampilanmu itu,” perintah Albert dengan tegas.

Akira pun berlalu dari hadapan Albert dan mengambil sepatu di bawah kursinya. Gadis itu kemudian keluar ruangan untuk melakukan seperti apa yang sudah diperintahkan. Setelah kepergian Akira, Levin justru tertawa menyaksikan sikap yang ditunjukkan Albert.

“Kenapa kamu tertawa?” tanya Albert heran.

“Kamu memberinya peringatan tentang profesionalisme bekerja. Tapi kau sendiri mempekerjakan dia di kantor ini karena alasan pribadi. Itu sesuatu yang sangat bertolak belakang, kawan” komentar Levin sedang tidak memposisikan dirinya sebagai sekretaris melainkan sebagai seorang teman.

“Memangnya kenapa? Sebagai pimpinan perusahaan apa aku tidak bisa melakukan hal itu? Semua keputusan berada di tanganku bukan? Lagi pula aku hanya melakukannya sekali ini,” bela Albert.

“Ya aku tahu. Tapi wibawamu akan hancur jika sampai orang lain tahu.”

“Dan jika sampai ada orang lain yang tahu, itu berarti kamu saja yang tidak bisa menjaga bicaramu. Hanya kita berdua yang mengetahui tentang semua ini,” sindir Albert.

“Tenang saja, Pak Bos. Kamu tidak perlu meragukan kesetiaanku baik sebagai seorang teman maupun sekretaris,” jawab Levin sembari mengangkat sebelah alis. Albert tidak pernah meragukan kepercayaannya pada Levin.

“Tapi ngomong-ngomong, apa menurutmu Akira itu cantik? Aku penasaran apa yang ada di pikiranmu ketika berhadapan dengannya kembali setelah kejadian malam itu. Kamu pasti masih mengingat segalanya bukan?” imbuh Levin sembari terkekeh menggoda dengan sengaja.

“Diam kau!” ujar Albert yang kemudian keluar dari ruangan Levin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status