"Kamu yakin akan tinggal di sini?" Dev menatap wanita cantik bergaun sederhana warna tosca di sampingnya ini dengan kedua alis yang saling bertautan. Merasa tidak percaya kalau tempat ini adalah pilihan yang terbaik.Meski sejujurnya kampung kecil yang tergolong sangat terpencil ini berbanding terbalik dengan kehidupan metropolitan, tapi Nadya tetap menganggukkan kepala dengan mantap."Tentu. Kenapa enggak?" Nadya tersenyum penuh keyakinan seakan mengusir kekhawatiran Dev.Laki-laki berkemeja dongker yang setia menemani Nadya ini menghela napas berat. Susah jika seorang perempuan sudah memutuskan, maka tidak ada gunanya berdebat. "Baiklah kalau itu maumu. Aku cuma takut kalau kamu akan kesulitan selama tinggal di desa terpencil seperti ini," ungkap Dev jujur.Sudut bibir Nadya terangkat. Sebelah tangannya menepuk bahu Dev ringan. "Tenang saja. Everything will be okay."Bersamaan dengan itu, seorang pria paruh baya berjaket kulit melangkah ke arah Nadya dan Dev dengan sebuah senyuman
Senyum Nadya memudar. Lengkungan simetri sabit berubah terjun ke bawah. Tak ada lagi keramahan dan hanya tersisa tanda tanya juga tawa kecut. "K-Kamu cuma becanda kan, Dev? Nggak mungkin seorang kamu mencintai ak-" "Kenapa tidak, Nad? Kamu pantas dicintai dan aku bersedia menerima kamu apa adanya karena perasaan aku tulus ke kamu," potong Dev kilat. Lagi-lagi Nadya menggeleng tak percaya. Otak dan pikirannya seolah tidak mampu untuk mencerna kenyataan yang baru saja Dev ungkapkan. Sejak awal, kebaikan Dev diyakini penuh oleh Nadya atas dasar tali pertemanan. Ikatan juga kedekatan yang tercipta semata-mata karena Dev adalah sahabatnya dari kecil. Tidak lebih. Itulah mengapa, hingga detik ini, Nadya tidak pernah mengira kalau Dev menaruh perasaan padanya. Sungguh, dia benar-benar terkejut. Gelengan tegas kembali Nadya layangkan. Kali ini, Nadya ingin bertindak logis. "Tidak, Dev. Jangan sama aku. Kamu itu pria yang baik, cerdas, pengertian, dan mapan. Di luar sana banyak wanita y
Hati gelisah, pikiran bercabang, dan kecemasan yang menerjang kuat, membuat malam ini terasa begitu menyiksa batin Lucetta. Sambil mengigit bibir bawahnya, Lucetta berjalan mondar-mandir. Terhitung sudah lebih dari sepuluh kali memutar langkah, tapi perasaannya belum juga tenang. "Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tidak mungkin terus-terusan diam saja," gumam Lucetta sembari memutar otak, berusaha mencair solusi.Ya, persoalan yang tadi tentu membuatnya tak bisa memejamkan mata. Tentang ayah mertua juga suaminya yang sudah sepakat untuk mencari keberadaan wanita tidak tahu diri yang diam-diam mengandung darah daging Oscar.Dari tempatnya berdiri, Lucetta menatap langit malam yang begitu kelam. "Jika sampai Daddy ikut membantu mencari jalang murahan itu, posisiku akan terancam.""Tidak. Aku tidak akan membiarkan itu. Tapi apa harus apa?" "Sayang? Kamu bicara dengan siapa?" Oscar masuk ke kamar, menyorot penuh tanya ke arah wanita berambut blonde dengan piyama merah itu.Spont
Di lorong rumah sakit yang terasa mencekam ini, Oscar berjalan mondar-mandir dengan wajah kusutnya. Berulang kali menyugar rambutnya kasar seolah frustasi dengan keadaan yang mencekiknya begitu erat.Bukan hanya Oscar yang tampak kehilangan kendali atas dirinya, sang adik kandung—Lexa, yang baru saja mendarat dari perjalanan panjang, pun juga terisak sesak mengetahui kabar tak menyenangkan ini."D-daddy hiksss ... Dad-daddy ..." Lexa menangis sampai sesegukan sembari menatap ruang ICU, tempat ayahandanya berjuang antara hidup dan mati.Lucetta yang berdiri di samping Lexa lantas merengkuh tubuh ringkih adik iparnya itu. "Sstt sabar, Lexa ... Daddy pasti akan baik-baik saja.""Kamu jangan menangis terus seperti ini. Daddy pasti tidak suka putrinya bersedih," bujuknya membuat Lexa perlahan menyeka air mata yang terus mengalir.Tak berselang lama setelah itu, pintu ruang ICU terbuka. Menampilkan seorang pria paruh baya berjas putih yang keluar bersama para perawat. Oscar bergegas mengha
Dengan emosi yang menggebu-gebu juga amarah yang telah memuncak, langkah besar Oscar membelah heningnya malam di lorong rumah sakit ini.Kedua tangannya terkepal erat. Rahangnya mengetat seiring dengan lava murka yang sebentar lagi pasti akan meledak."Di mana Lucetta?! Apa dia di dalam?! Minggir!" sentak Oscar begitu sampai di depan para bodyguard-nya yang berjaga-jaga di luar kamar inap Anthony.Namun, salah satu bodyguard mencegah langkah Oscar dengan tundukan hormat. "Maafkan saya, Tuan Muda.""Nyonya Lucetta melarang siapapun masuk karena ada sesuatu yang penting."Mendengar ungkapan dari pria berbadan kekar yang seharusnya tunduk padanya, Oscar tanpa ragu melayangkan satu bogeman dahsyat.Bughhh!Raut wajah Oscar memerah, amarahnya benar-benar sudah di ujung ubun-ubun. "Kalian siapa berani melarangku hah?!""Lucetta tidak lebih dari istriku. Kalian bekerja bukan atas perintahnya, tapi aku! Aku-lah yang berkuasa di sini!" murka Oscar yang saat itu juga menendang tulang kering bod
Rinai hujan perlahan turun membasahi bumi bagian utara. Tepatnya di Milan pukul delapan lebih tujuh menit, rombongan Oscar telah sampai di pemakaman keluarga besarnya.Suasana sendu, isak tangis yang menyesakkan, juga rintih pilu yang sejatinya menyiratkan betapa perpisahan yang tersulit adalah dengan maut.Oscar yang hadir dengan jas hitam legam juga kacamata senada mengambil langkah paling depan sembari membawa figura foto Anthony yang tampak tersenyum penuh wibawa.Bukan hanya hatinya yang hancur, tapi jiwa Oscar juga tergores begitu dalam. Kepergian sang ayah yang terlampau tiba-tiba jelas menyisakan luka yang membuatnya cukup trauma.Menghela napas berat, Oscar berhenti di liang lahat yang sudah dipersiapkan untuk ayahandanya. Peti mati Anthony telah dijunjung oleh beberapa pria yang bertugas dan prosesi pemakaman pun dimulai.Lexa tak kuasa menahan tangisnya. Deru kesakitan dan jerit pilu yang begitu keras berulang kali Lexa keluarkan. Perasaannya hancur, teramat sangat hancur.
Pintu ruang IGD terbuka bersamaan dengan lampu indikator di luar yang berubah warna hijau. Pertanda operasi dan tindakan medis telah selesai. Dokter berjas putih keluar, diikuti oleh beberapa perawat yang juga bertugas.Melihat hal tersebut, spontan saja Dev dan Satria yang semula tertunduk menunggu kini menghampiri dokter tersebut."Bagaimana keadaan Nadya, Dok?" berondong Dev dengan mimik khawatir.Serupa dengan Dev, mulut Satria pun tak tahan untuk memastikan tentang kabar Nadya. "Apa dia baik-baik saja? Bayinya juga selamat kan, Dok?"Pria paruh baya berjas putih tersebut tersenyum tipis. "Berkat doa dan keajaiban dari Tuhan, Nona Nadya dan bayinya selamat.""Meski demikian, bayinya masih dirawat intensif di inkubator dan Nona Nadya juga belum siuman," jelasnya yang detik itu juga disambut helaan napas lega dari Dev juga Satria."Apa kami bisa melihat kondisi Nadya sekarang, Dok?" tanya Satria sebab dirinya ingin menatap Nadya langsung.Biar bagaimanapun, hatinya sebagai sosok ora
"Ternyata kau di sini."Arsen menghampiri Dev yang tengah berdiri menyendiri di rooftop rumah sakit sembari memandang langit yang mulai berubah warna. Senja, seharusnya indah tapi entah kenapa terasa berbeda bagi Dev kali ini."Ah, Arsen. Kamu sudah sampai? Maaf belum sempat menyapamu dan Allice," sahut Dev yang kini berbalik badan, membalas tatapan mata Arsen dengan sebuah senyum kikuk.Tangan kanan Arsen menepuk bahu kiri Dev layaknya seorang kerabat dekat. "No problem, santai saja.""Sejujurnya, aku senang saat tahu Nadya ada bersamamu. Karena aku sangat yakin, kamu akan menjaganya dengan sangat baik."Menghela napas panjang, Dev lantas menggeleng lesu. "Tapi aku gagal menjaganya dan membuat bayinya lahir di waktu yang tidak seharusnya."Arsen tersenyum tipis. Setidaknya dia mengerti ada rasa bersalah dari sorot mata Dev."Jangan memandang rendah dirimu sendiri seperti itu, Dev. Kita sudah berteman cukup lama. Aku tahu seperti apa kamu memperlakukan wanita. Apalagi, dia adalah Nady