"Jaga sikapmu, Felicia!"
Wanita bernama Felicia itu terlihat mundur, wajahnya tiba-tiba menjadi sendu, air mata mengalir di sudut pipinya.
Sagara mendesah "Maaf, aku tak bermaksud membentakmu. Hanya saja aku merasa lelah!" ucap Sagara dengan raut menyesal.
"It's oke. Never mind. Aku selalu memaafkanmu bahkan sebelum kau memintanya. Now, give me a warm hug!" Felice merentangkan tangan, yang kemudian di sambut Sagara dengan menarik tubuh ramping itu ke dalam rengkuhannya.
"I miss you Beib, so much!" bisik Felicia. Mata wanita itu menatap Arimbi dengan tajam, melempar sebuah senyuman sinis dan meremehkan.
Arimbi meremas ujung jilbabnya. Sepertinya bapak Arimbi salah mengambil langkah. Dia telah memaksa Arimbi memasuki sebuah pernikahan yang tak mudah. Arimbi tak sadar bahwa bukan hanya wanita yang tengah dipeluk suaminya itu yang akan menjadi ujian dalam rumah tangga yang baru satu hari di jalani. Akan ada ujian yang lebih berat dari ini, bahkan itu bisa mengambil nyawa Arimbi dan orang-orang terkasihnya.
"Apa yang kau lihat, rusa kecil?" Felicia, wanita dengan rambut pirang di bawah bahu itu memindai wajah Arimbi. Dari ujung rambut hingga kaki. Tersenyum samar.
"Bukan selera, Sagaku. Ck, dari ujung kepala sampai kaki nampak kampungan sekali. Meski aku tahu kau dari kampung dan memakai hijab, tak bisakah kau berpakaian sedikit modis?" tanya Felicia dengan senyum penuh ejekan.
"Apa kau tak ingin tahu siapa aku?" tanya Felicia lagi.
"Iya aku mau tahu siapa mbak ini? Kenapa terlihat sangat mesra layaknya suami istri dengan Tuan Sagara.
Felicia tersenyum sinis dengan pertanyaan Arimbi. "Tuan?" Lagi Felicia tersenyum mengejek. "Apakah Sagara tak memberitahumu tentang aku?"
Arimbi menggelengkan kepala.
"Aku istri Sagara. Tepatnya aku ini adalah kakak madumu!"
Wajah Arimbi seketika pias dengan apa yang dikatakan Felicia.
"I-i-itu ... itu ... itu tidak mungkin!"
Felicia tergelak. "Sangat lucu sekali. Bagaimana mungkin kau menikahi seseorang tanpa menyelidiki siapa calon suamimu. Ah, ya. Aku baru ingat! Kau kan dijual oleh bapakmu. Jadi wajarlah kalau kau sama sekali tak perduli tentang calon suamimu! Pelakor kecil!" Felicia sangat santai sekali mengatakan hal itu. Seolah-olah itu hal yang sangat lucu.
Tapi tidak dengan Arimbi. Ia merasa saat ini amat sangat ingin berteriak, memaki Sagara karena telah menipunya.
"Apa yang sedang kau pikirkan rusa kecil?" Felicia mencolek bahu Arimbi. "Apakah sekarang kau menyesali pernikahan ini?" tanya Felicia lagi.
Arimbi bergeming. Pikiran wanita itu saat ini kosong. Tubuhnya pun terasa seperti tak bertenaga.
"Kenapa, Mbak, gak marah sama saya, mengamuk atau pun mencaci maki saya? Mbak, malah terlihat sangat santai sekali?" tanya Arimbi. Manik bening Arimbi tak berkedip sekali pun, fokus kepada wajah Felicia
"Kenapa aku harus marah? Kau itu sama sekali tak berarti apa-apa bagi Sagara, selain pembayar hutang!"
Ucapan Felicia menohok hati Arimbi, menyebabkan nyeri di dalam sana. Arimbi ingin secepatnya pergi dari hadapan Felicia. Yang Arimbi inginkan saat ini adalah beristirahat, mengistirahatkan tak hanya tubuh tapi juga otaknya. Rasa terkejut dengan kenyataan yang baru saja didengarnya membuat seluruh tubuh Arimbi seperti tak bertenaga.
"Kamar saya di mana? Saya mau istirahat, capek!" Pertanyaan Arimbi membuat Felicia mengetatkan rahangnya. Istri kecil suaminya itu sengaja mengubah topik.
"Silvi!!" Felicia berteriak nyaring memanggil pelayan wanita berpakaian serba hitam yang sedang membersihkan kaca lemari. Dengan tergopoh-gopoh pelayan itu mendekat.
"Saya, Nya!"
"Antar Nyonya kecil ke kamarnya!" titah Felicia, sebelum kemudian felicia menyusul Sagara ke dalam kamar.
Di sisi lain di sebuah kamar bercat serba cream, Sagara tengah melepas satu persatu pakaiannya. Masuk ke dalam kamar mandi, mengguyur seluruh tubuhnya dengan air dingin. Perjalanan dari Jawa Timur ke Jakarta membuat tubuh pria itu lengket.
Aroma samphoo menguar begitu pria itu keluar dari kamar mandi, tubuh telanjangnya hanya tertutup handuk yang terlilit di bagian bawah, memamerkan tubuh bak ukiran maha sempurna. Otot tubuh indah itu tercetak jelas. Tetesan air sehabis mandi membuat tubuh Sagara semakin seksi.
Sagara mengambil pengering rambut, berniat mengeringkan rambut basahnya. Tapi gerakan tangan pria itu tertahan, saat tiba-tiba sebentuk tangan lembut menyentuh tubuh bagian bawahnya.
"Sh,sh, hentikan Fel!" desahnya tertahan. Namun, bukannya menghentikan tindakannya, Felicia semakin liar memperlakukan area tubuh Sagara di bawah sana.
Sagara tak dapat lagi menahannya. Ditariknya tubuh Felicia, menghempaskan tubuh wanita itu ke atas tempat tidur.
"Jadi apa yang kau inginkan, gadis nakal? Bagian mana yang harus aku lukai terlebih dahulu?" tanya Sagara dengan suara serak menahan hasrat. Felicia menyeringai. Ia memajukan tubuhnya.
"Seluruh tubuhku adalah milikmu. Setiap jengkalnya adalah hakmu. Jadi tak perlu izinku lagi!" Senyum Felicia kini terkembang dengan sempurna.
Sagara membuka laci, meraih borgol. Perlahan mendekati Felicia, dengan tubuh tanpa sehelai benang pun. Memasangkan borgol itu pada kedua tangan Felicia. Kemudian mengaitkan di sebuah tiang besi. Tiang itu seperti sengaja di pasang di sisi tempat tidur, karena tiang itu hanya sebuah saja.
"Berteriaklah jal*ng!!!" bentak Sagara pada Felicia saat ujung cemeti kecil dari besi menyentuh tubuh mulus Felicia.
Sejurus kemudian erangan, lolongan kesakitan memenuhi kamar. Felicia bisa berteriak sekencang-kencangnya, menangis meraung-raung, tanpa harus khawatir akan ada orang yang akan mendengar segala teriakan kesakitan. Karena kamar mereka dilengkapi peredam.
Sadomasokis. Kelainan seks yang dimiliki kedua pasangan ini. Bila Sagara nafsu seksnya terpuaskan dengan menyakiti baik secara fisik atau psikis pasangannya, maka Felicia adalah kebalikannya. Dia hanya akan terpuaskan hasratnya bila pasangannya menyakiti dirinya."Apa kau bisa berjanji padaku untuk tak jatuh cinta pada rusa kecil itu?" pinta Felicia seusai pertarungan mereka. Tubuh wanita itu terlihat mengerikan. Luka lebam ada di mana-mana. Sesekali Sagara menyesap darah pada luka-luka di tubuh Felicia.
"Rusa kecil?" Sagara mengerutkan dahi mendengar sebutan Felicia untuk Arimbi.
"Kau lebih paham diriku dari siapa pun, bahwa aku tak pernah melibatkan hati saat menjalin hubungan dengan wanita!" jawab Sagara. Pria itu perlahan memejamkan mata terlihat gurat kelelahan di wajahnya.
Sudut hati Felicia gerimis. Ada denyut nyeri di benda berbentuk segitiga berwarna pink itu. "Setelah lima tahun pernikahan kita, apakah aku tetap tak bisa mengisi hatimu, meski itu hanya bagian sudut saja!" guman Felicia. Sunyi. Tak ada jawaban. Yang terdengar justeru dengkuran halus dari bibir Sagara.
Felicia menatap lekat wajah tampan bak pahatan Dewa Arjuna itu. Bulu mata yang kadang membuat Felicia iri. Bagaimana bisa pria memiliki bulu mata panjang dan lentik seperti itu? Bulu mata itu saling bertautan, terlihat indah. Jemari Felicia menyentuh lembut bibir penuh Sagara, hidung menjulang tingga, alis bak camar. Kemudian beralih menyentuh rahang tegas yang ditumbuhi bulu-bulu halus menambah kesan jantan. Wajah Sagara adalah bentuk kesempurnaan.
Sementara itu di lantai dua, kamar Arimbi. Gadis yang kini telah berubah status menjadi seorang istri itu tak sedetik pun dapat memicingkan mata. Kalimat demi kalimat Felicia masih terngiang jelas di telinganya.
"Aku istri ke dua? Aku pelakor?" bisik Arimbi sendu. "Kenapa bapak tega sekali?" Arimbi menangis tersedu-sedu, ia menutup wajahnya dengan bantal agar tangisannya tak terdengar keluar kamar.
Pagi ini Arimbi bangun agak kesiangan, sebabnya tadi malam ia susah memejamkan mata. Setelah melaksanakan sholat subuh, ia keluar kamar. Menuruni tangga dengan perlahan. Rumah mewah ini terlihat lengang. Arimbi berjalan ke arah taman. Menghirup segarnya udara pagi hari. Perasaan asing langsung menyapa. Ini adalah pagi pertama Arimbi berada di rumah orang lain. Biasanya kalau di rumah, pagi seperti ini menjadi tugas Arimbi memberi makan ayam dan membersihkan kandang kambing.Harumnya bunga mawar dan juga cempaka membuat pikiran tentang kampung halaman teralihkan. Ia memetik setangkai mawar, menghirup kelopaknya, setelah itu mendudukkan bokongnya pada ayunan di samping pohon manggis.Saat asyik menatap asrinya tanaman di kebun, tatapan Arimbi bersirobok dengan Sagara yang tengah berolahraga dengan bertelanjang dada. "Astaga kenapa dia tak memakai baju sih, mataku ternodai!" gerutu Arimbi. "Kenapa dada, dan perutnya sekencang itu?" Lagi-lagi Arimbi melayangk
"A-a-pa, Tuan Sagara yang telah melakukakan ini pada tubuh Mbak Felicia?" tanya Arimbi lagi. Felicia masih juga bungkam. Wanita itu tengah asyik menikmati juice dalam gelasnya."Mbak !!" bentak Arimbi, dia terlihat tak sabar melihat wanita itu masih saja bungkam."Ck, berisik! Benar dia yang melakukan ini semua. Bagaimana ... indah kan? Aku sangat menyukai tanda ini!" Felice nampak menghidu lebam di lengannya sambil memejamkan mata membayangkan sesuatu yang erotik. "Ah, aku jadi merindukannya!" gumam wanita dengan mata terpejam, membayangkan wajah Sagara.Arimbi menatap tak percaya pada wanita yang wajahnya terlihat mengerikan itu. Pelipisnya pecah, ujung bibirnya juga pecah. Dan yang paling mengerikan adalah lebam-lebam biru di seluruh lengannya."Apakah Tuan Sagara selalu melakukan hal itu--menyiksamu, tiap kali kalian melakukan hubungan suami isteri?" Arimbi bergidik ngeri saat melihat Felicia menjawab dengan senyum dan anggukan kepala.
Arimbi hanya bisa menatap lurus kedepan. Otak wanita itu terus saja memikirkan apa yang akan terjadi dalam hidupnya. Rumah tangga seperti apa yang tengah ia jalani? Berapa lama dia akan bertahan dengan pernikahan ini? Istri ke dua, suami sadomasis. Ah, lengkap sudah penderitaan Arimbi.Membicarakan kelainan seks ini, Arimbi sudah mencari tahu tentang apa itu sadomasokis, dan itu membuat Arimbi ketakutan hingga kini."Kita sudah sampai, Nyonya kecil!" ujar seorang pengawal. Arimbi menarik napas, memenuhi seluruh rongga dadanya, untuk menekan rasa tegang dalam hati.Arimbi turun dari mobil itu. Berdiri menatap rumah megah yang dua hari lalu sempat membuat gadis itu kagum akan tetapi kini malah membuatnya di landa rasa cemas, ngeri dan takut. Membayangkan bagaiman penghuni rumah ini bertingkah laku. Melebihi kelakuan bintang."Hm,hm!" deheman keras seseorang membuat Arimbi berjengit."Apa yang sedang kau rencakan dengan menat
Mereka telah sampai di sebuah butik di kawasan Kemang. Sebuah bangunan lima lantai berdiri menjulang kokoh. Bangunan berdinding pastel itu terlihat sangat aseri. Bunga-bunga dengan aneka macam dan warna.Saat akan memasuki butik tadi Arimbi terlihat berdecak kagum dengan keindahan bunga morning glori yang menjalar pada pagar tembok butik. Warna ungu dan pink membuat mulut gadis itu tak berhenti berdecak."Ck, ck, ck. Cantik bener!!" Kini mobil memasuki halaman butik, sebelum masuk mereka di sambut bunga-bunga yang sangat indah. Bunga mandevilla nampak ditanam dengan cara bergerombol pada tiang, di atasnya dipasangi lampu yang akan menyala pada malam hari, dan keindahan bunga ini akan semakin terpancar.Saat akan memasuki butik di samping kiri kanan pintu, bunga anggrek, mawar dan juga sedap malam tumbuh subur,dan sedang berbunga. Wangi bunga mawar dan sedap malam menghentikan langkah Arimbi. Gadis itu berjalan mendekat ke arah bebungaan
Makan malam berjalan hening. Makanan aneka rupa sudah terhidang di meja. Sejak masuk ke rumah Sagara dua hari yang lalu. Arimbi selalu dihantui rasa bersalah. Menghidangkan makanan sebanyak ini, yang makan hanya bertiga dan Arimbi yakin mereka hanya akan memakannya sedikit setelah itu akan meninggalkan sisanya. Kalau di rumah ada pelayan yang akan menghabisikan lauk pauknya tidak tahu kalau di restoran ini. "Kau kenapa? Apa tidak suka dengan makanannya?"tanya Sagara, entah kenapa di telinga Felicia menangkap ada hal berbeda dari cara Sagara memperlakukan Arimbi. Suara pria itu boleh saja datar dan dingin seperti biasa, tapi Felicia mengenal dengan cukup baik bagaimana seorang Sagara. Dan bisa Felicia pastikan bahwa Sagara menyimpan ketertarikan pada Arimbi. "Tentu saja ini bukan seleranya. Biasanya dia makannya tahu tempe, sayur asem dan-- "Jengkol goreng, dan ikan asin. Terus nasinya yang anget-anget. Aduh, Mbak Felicia kamu so sweet banget si
Mata Felicia menatap lekat wajah Arimbi. Sedangkan Sagara mempertajam pendengarannya. Ia ingin tahu jawaban apa yang akan diberikan oleh Arimbi."Aku tak akan menjawab. Karena itu adalah masalah pribadiku. Meski aku ini adalah alat pembayar hutang tapi aku juga masih punya hak untuk memiliki privacy, kan?" Suara Arimbi terdengar pelan. Ada rasa kecewa dalam hati Sagara saat Arimbi tak menjawab pertanyaan Felicia.Suasana mobil kembali sunyi. Arimbi fokus menatap ke arah lampu kerlap kerlipnya membuat Arimbi teringat kampung halaman.Mobil kini memasuki halaman rumah Sagara. Begitu berhenti, Arimbi gegas keluar berjalan mendahului mereka. Menyisakan kerutan pada wajah Sagara. Melihat Arimbi diam seperti itu tentu saja membuatnya heran. Hampir seminggu tinggal bersama Arimbi, baru kali ini mulutnya diam. Biasanya ia berkicau laksana burung murai.Felicia sedari tadi mengamati gerak gerik Sagara. Berkali-kali ia melihat sorot mata Sagara
Huek, huek, huek!!!Berulang kali Arimbi memuntahkan isi perutnya. Masih terbayang dengan jelas gambaran bagaimana Sagara memukuli Felicia tanpa ampun. Sebelum kemudian melakukan penyatuan mereka. Felicia, wanita itu bagaimana dia bisa berteriak ke sakitan tapi juga mengiringinya dengan desahan menikmati?"Kau kenapa?""Astaghfirullah!" teriak Arimbi, matanya membeliak sàat melihat Sagara duduk di atas tempat tidur dengan menatap tajam ke arahnya."Anda ... sedang apa di sini?" tanya Arimbi dengan wajah pucat pasi seperti habis melihat hantu."Kenapa? Ini rumahku jadi aku bebas ada di mana saja selagi masih di wilayah rumah ini!" balas Sagara. Netra bak elang itu masih saja menyorot tajam ke arah Arimbi membuat wanita itu ketar ketir."Kamu belum menjawab pertanyaanku. Kamu kenapa?" Sagara mengulangi pertanyaannya"Tidak apa-apa! Mungkin masuk angin!" jawab Arimbi asal. Wanita itu kemudian berj
Arimbi menahan napasnya, manik bening itu berkedip-kedip manatap Sagara."Aku sangat membencimu, Arimbi! Bagaimana bisa gadis cilik sepertimu mengganggu pikiranku?" Sagara meracau, membuat Arimbi sontak menutup hidungnya. Bau alkohol itu membuat perut Arimbi mual.Pria itu tiba-tiba mengeratkan pelukannya. Dengan sekuat tenaga Arimbi berusaha melepaskan diri tapi tak juga bisa. Tenaga Sagara terlampau kuat. Meski sekarang dia dalam keadaan mabuk. Sebenarnya rasa mabuk Sagara sudah sedikit menghilang. Tapi, pria itu memang sengaja tak mau melepaskan Arimbi dari pelukannya."Tu-tu-an! Aku tidak bisa bernapas!" bisik Arimbi. Dadanya memang terasa sesak karena kuatnya pelukan Sagara."Diamlah!" bentak Sagara. "Jangan banyak bergerak! Jangan sampai kau menyesali tindakanmu. Jadi kalau kau ingin tetap aman. Diamlah! Jangan membuat gerakan apa pun!" ucap Sagara dengan suara serak. Nyali Arimbi ciut mendengar ancaman Sagara