Mendengar ibunya berkata seperti itu membuat Yudha bangun dari duduknya dan meraih tangannya."Ini semua karena Yudha. Mama hanya korban dari obsesi Yudha! Sudah, semua sudah selesai. Biar Yudha yang menanggung semua ini!" Tegas pria itu. Kini aura kehidupan sudah terlihat di wajahnya. Davinka yang asli sering menolaknya dengan kata-kata kasar karena ke keraskepalaannya.Penyesalan, kekecewaan, dan amarah terpancar jelas. Akan tetapi, semua ditujukan kepada dirinya sendiri."Tidak ada yang akan masuk penjara. Semua hanya karena kesalahpahaman!" tanam Sandy, "Tuan Sanjaya mengembalikan semua yang sudah diambilnya," ujarnya lagi yang membuat mereka semua tercengang."Mak-maksudnya?"Kebingungan jelas terlihat dari bagaimana cara mereka bereaksi. Entah apa yang diambil dan harus dikembalikan."Toko elektronik suami Anda beserta isinya dan beberapa calon investor sudah ada di dalam dokumen ini. Kalian tidak bisa menolak! Ja
Davinka kembali menoleh pada Wulan dan menggenggam tangannya, menatap wanita itu penuh hormat, berkata dengan suara yang lembut dan penuh permohonan, "Mah, aku tidak dibesarkan oleh seorang ibu dan tidak banyak orang yang aku kenal. Sekarang aku memanggilmu Mama. Emm, Mama mau, kan, menjadi ibuku dan merestui pernikahanku!"Pupil matanya melebar, terus menatap Wulan penuh harap. Akankah Wulan memenuhi keinginannya?Wulan sendiri kehilangan kata-katanya. Air mata kembali mengalir deras dengan isakkan tertahan. Wanita itu hanya mengangguk sebagai jawaban.Bodoh! Anak sebaik ini, bagaimana ia bisa menyakitinya dan menolaknya berulang kali!Davinka mengangguk dengan senyum lebarnya, lalu memeluk tubuh gemetar itu dengan penuh kehangatan."Terima kasih, mulai sekarang aku punya Mama." Bisik Davinka dengan elusan lembut di punggung Wulan.Davinka mengurai pelukan, menarik tangan Sanjaya agar menjabat tangan Wulan, "Sekarang Mama Wulan adalah ibu mertuamu, cepat sungkem!"Sanjaya tercengang.
"Siapa namamu?""Maaf Tuan, saya tidak bisa memberitahukannya," tukas wanita bertopeng dengan nada lirih.Pandangannya terus menunduk kebawah, beberapa kali menghindari tatapan penuh nafsu pria yang mengunci pergerakannya.Mata Sanjaya melotot mendengar suara wanita itu. Tubuhnya menegang hanya dengan mendengar beberapa patah kata yang keluar dari bibir penuh dengan gincu se merah cabe yang dipakainya."Sentuh aku," pinta Sanjaya akhirnya, menghembuskan nafas panjang.Dia mengendalikan diri dari amarah yang tidak tahu dari mana asalnya. Jika hanya tidak ingin menyebutkan nama, seharusnya Sanjaya tidak semarah ini bukan? Tapi, hanya mendengar suaranya darah Sanjaya seperti menggolak, bahkan serasa ingin meledak.Wanita bertopeng dengan pakaian yang begitu minim mulai berjalan mendekati Sanjaya, duduk diatas pangkuan pria itu dengan tangan yang melingkar manja di lehernya.Ujung jarinya yang lentik mulai menyusuri setiap lekuk wajah San
Apa yang dilakukan oleh Diandra tidak jauh beda dengan apa yang dilakukan oleh Papanya di masa lalu. Mungkin, ini yang dinamakan hukum karma yang berimbas pada dirinya. Melupakan seseorang yang pernah menyatu dengan kita sama saja memisahkan tulang dari daging, itu yang dirasa oleh Sanjaya.Brata berbalik dengan kedua tangan yang terkepal, rasa kecewa jelas terlihat dalam matanya. "Papa tidak ingin ada penolakan Sanjaya! Hari Senin—Papa harap kamu sudah ada disana."Sanjaya mengabaikan ucapan Brata, pandangannya tetap lurus kedepan. Kali ini berargumen pun percuma.Kobaran api dari tungku-tungku raksasa semakin membuat Sanjaya marah atas apa yang dilakukan oleh almarhum istrinya. Inilah salah satu alasan Sanjaya tidak meninggalkan kota yang berbatasan dengan kota Jakarta, dimana pabrik daur ulang besi tua dileburkan berdiri kokoh dan tak pernah padam, nyaris sama seperti kobaran api di dalam hatinya.Pabrik itu beroperasi selama 24 jam, dengan tiga
Dengan sekali tendang, Sanjaya membuat meja terguling dan semua barang di atasnya hancur. Beberapa orang sudah menyingkir, menjauh, musik sudah dimatikan. Mereka tahu sedang terjadi sesuatu yang tidak baik, tapi tidak ingin ikut campur, Sanjaya sepertinya salah satu orang berpengaruh dan mereka tidak ingin mengambil resiko. "Cari wanita itu, atau aku leburkan tempat ini menjadi abu!" Setelah mengatakan itu Sanjaya langsung pergi meninggalkan Madam yang menggigil ketakutan. Tapi pendiriannya tetap teguh, rumah bordirnya adalah yang terbaik, tidak mudah membangun reputasi ini. Jika dia memberikan informasi tentang wanita yang memang minta kerahasiaan identitasnya, maka di masa depan mungkin tidak akan ada yang mempercayakan diri mereka di tempatnya lagi. Itu sama saja menghancurkan bisnisnya. * Sebuah mobil sport berwarna merah darah dengan dengan logo kuda loncat berhenti tepat di depan pintu masuk Bank swasta, anak cabang dari Bank BRC dimana Sanjaya akan bekerja. "Selamat datan
Rani menghampiri wanita incaran Sanjaya dan menepuk pundaknya, "Lo gak papa, kan, Vie?" "Yeah, gue gak papa Ran. Kaget aja pas dateng langsung briefing." tukas Davinka yang langsung berdiri. "Yaudah, gue siapin data calon nasabah dulu sebelum ke ruangan Bos baru kita." "Ganteng ya, Vie. Coba kalau kita belum punya suami, udah pasti paling depan godain Pak bos," ujarnya sedikit terkekeh. "Yah, ganteng buat yang single," sahut Davinka dengan senyum simpul. Tapi, detik berikutnya senyum itu langsung hilang dan tergantikan dengan wajah sendunya, "tapi buat istri kayak kita, tetep suami yang paling tampan, kan? Bagaimanapun keadaannya," sambungnya terdengar lirih. Rani melirik sekitar yang terlihat sepi, sepertinya semua orang sudah kembali pada kesibukan masing-masing. "Suami Lo udah lebih baik, kan, Vie?" Davinka membalas tatapan Rani dan tersenyum simpul, "Baik, makasih ya. Gue harap pengorbanan gue gak sia-sia." Rani langsung me
Di dalam ruangan Sanjaya, pria itu membuang apapun yang ada disekitarnya dengan marah. Dia yakin tidak salah mengenali orang. Wanita itu memang yang menemaninya kemarin malam. Semua bercak kemerahan itu adalah mahakaryanya. Walau kamar hotel dalam keadaan temaram, Sanjaya tahu setiap inci tubuh wanita yang dia sentuh. "Aagrhhhh!" Shandy berlari kencang ketika mendengar suara barang pecah yang begitu nyaring. Beberapa saat yang lalu Sanjaya meminta dirinya untuk mengosongkan lantai dua yang berdekatan dengan ruangannya setelah Davinka masuk kedalam. Kini, saat melihat tanda di pergelangan tangannya berkedip, Sandy langsung bergegas menuju lantai dua dan menunda rapat dadakan dengan para staf lainnya. "Tuan! Apa yang terjadi?" Sandy begitu panik saat melihat keadaan Sanjaya dengan telapak tangan pria itu yang mengeluarkan banyak darah. Sudah cukup, Tuannya ini sudah begitu menderita selama tiga tahun ini setelah kepergian mendiang istrinya. Sandy sudah tidak tahan melihat pria i
Suara dari seberang sana membuat tubuh Davinka seketika membatu, dia langsung berdiri dan menjatuhkan semua barang dalam kardus hingga berceceran. Pikirannya kalut, hingga tidak memperdulikan apapun lagi. Davinka berlari sangat kencang dengan rok span dan heels lima sentinya. Davinka berlari dan terus berlari di tengah hiruk pikuk kota Jakarta yang padat. Tujuannya hanya satu, rumah sakit diman suaminya terbaring lemah. Saat tiba rumah sakit tubuh Davinka langsung ambruk di depan ruang ICU. Bersimpuh tepat didepan pintu, berharap segera mendapat kabar baik dari dalam sana. "Davinka, Yudha membutuhkan banyak biaya, lebih baik segera jual rumahmu! Yudha membutuhkan uang itu segera!" desak Wulan, ibu mertua Davinka. Davinka bangun, dan menatap wajah Wulan dengan iba, bagaimana bisa dia menjelaskan bahwa rumahnya sudah digadai di malam Yuda kecelakaan, bahkan masih kurang hingga dirinya melakukan hal di luar nalar. "Maaf, Bu. Rumah i