Hari itu, awan berarak di langit melukiskan gradasi kelabu yang mendalam. Sonia duduk di ruang tamu dengan secangkir teh hangat di tangannya, menanti kedatangan Megan. Dia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam percakapan terakhir mereka di telepon. Suara Megan terdengar berat, seperti menyimpan beban yang selama ini dia pendam.Selain itu, Sonia merasa lelah dan tidak ingin melamun sendirian. Dalam keadaan perut yang membesar, dia betul-betul sulit bergerak. Kali pertama, itu alasannya. Para ART yang dia percayai pun selalu sibuk dengan pekerjaan mereka.“Bu Sonia, ada tamu,” kata salah seorang pelayan—Kamila—membuyarkan pikiran wanita berbadan dua itu. Sonia segera memperbaiki posisi duduk dan meminta Kamila membuka pintu. Benar saja, Megan berdiri di sana dengan senyuman kecil yang terasa dipaksakan sebelum melangkah masuk dan mengempas bokong di sofa ruang tamu tepat di hadapan Sonia.Sudah dua hari berlalu sejak Sonia berkunjung ke rumah ibunya. Di saat itu pula dia merasa Megan m
Seperti biasa ketika pagi telah tiba, Albian akan disibukkan dengan pekerjaan. Pertama setelah bersiap adalah sarapan. Lelaki itu tidak bisa melakukannya dengan santai—sambil berbincang hangat. Di telinga ada earphone karena seseorang menghubunginya.Sonia hanya bisa menggelengkan kepala ketika lelaki itu pergi setelah mengecup puncak kepalanya. Benar-benar sibuk dan hampir tidak ada waktu mengobrol berdua. Indah yang melihat mereka hanya bisa tersenyum."Beruntung bukan Bu Sonia yang pergi dari sini. Sejak awal Bibi khawatir," celetuk Bi Sumi mengusik perhatian wanita yang sedang mengelus perut buncitnya itu."Iya, aku masih ingat pas pertama datang ke sini, Bi. aku kira Bi Sumi itu ngerasa iri. Duh, maaf karena aku suudzon sama Bibi, tapi aku ngira Kak Jes itu baik," balas Sonia tersenyum tulus."Iya, Bu. Bibi juga udah menduga karena Bu Jessi emang pandai memanipulasi orang.""Ngomong-ngomong, kenapa aku jadi dipanggil Ibu, nih?"Indah dan Kamila mendekat lantas salah satu dari mer
Udara di ruang bersalin dipenuhi ketegangan bercampur harapan. Albian berdiri di samping ranjang Sonia, memegang tangannya yang dingin tetapi bergetar karena usaha keras melahirkan. Wajah Sonia yang biasanya tenang kini berkerut, keringat bercucuran dari dahinya. Napasnya terengah-engah, seolah setiap tarikan adalah perjuangan yang tidak berujung.Sebenarnya Albian meminta wanita itu untuk melahirkan secara caesar saja, tetapi Sonia menolak dengan alasan masih mampu untuk melahirkan secara normal. Lagi pula dia pernah mendengar bahwa semua tidak semudah yang dibayangkan, harus melalui tahap pemulihan dan rasa sakit yang berkali lipat setelah efek bius hilang.Entahlah, tetapi Sonia merasa bahwa melahirkan caesar pun merupakan pengorbanan yang besar dan tidak mudah dilalui. Dia memilih normal saja selama masih bisa.“Sedikit lagi, Sayang. Kamu hebat,” bisik Albian dengan suara pelan, tetapi penuh tekad.Sonia mencoba tersenyum meskipun nyeri yang menderanya begitu kuat. “Aku … aku cuma
Langit mendung menggantung rendah di atas kediaman keluarga Adikusumo yang megah. Ruang makan utama dengan lampu gantung kristal yang berkilauan, terasa mencekam. Albian duduk di ujung meja panjang, menatap ibunya, Bu Laura, yang tampak anggun, tetapi dingin di sisi lain. Sonia duduk di sampingnya, berusaha tenang meskipun tatapan tajam dari ibu mertuanya terasa menusuk, seperti belati.“Albian, Ibu sudah mencoba bersabar.” Bu Laura membuka pembicaraan dengan nada tegas. “Tapi Ibu tidak bisa lagi berpura-pura. Kamu tahu, hidup bersama Sonia adalah keputusan yang keliru. Kamu masih bisa memperbaiki ini.”Albian menarik napas panjang, mencoba menahan emosi yang mulai membara di dadanya. “Ibu, kita sudah membicarakan ini. Sonia adalah istriku dan ibu dari anakku. Aku nggak akan ninggalin dia, apa pun yang terjadi.”Sonia menunduk, tangannya gemetar di bawah meja. Sungguh, dia sangat ingin membela diri, tetapi dia tahu ini adalah pertarungan yang hanya bisa dimenangkan oleh Albian. Salahn
Hujan turun perlahan, menciptakan simfoni lembut di luar jendela kamar Sonia. Di dalam, suasana begitu tenang. Sonia duduk di kursi dekat boks bayi, menatap putranya yang tertidur pulas. Wajah mungil anaknya terlihat damai, mengingatkan Sonia akan betapa rapuhnya kehidupan, tetapi sekaligus penuh harapan.Pikirannya melayang, mengarungi semua yang telah terjadi. Dari awal pernikahan yang terasa seperti jebakan hingga saat ini—kehidupan baru yang dia jalani bersama Albian. Ada kehangatan yang menyelinap ke dalam hatinya setiap kali mengingat lelaki itu. Akan tetapi, di sudut lain masih ada rasa bersalah yang mengikat dirinya pada masa lalu, terutama pada Jessica.“Kenapa aku masih memikirkannya?” gumam Sonia pelan, seperti bertanya pada dirinya sendiri.Jessica dengan segala tipu dayanya sudah tidak lagi menjadi ancaman. Namun bayangannya, bersama rasa kasihan dan simpati, masih menyelimuti hati Sonia. Wanita itu tahu Jessica salah, tetapi ada bagian kecil dalam dirinya yang tetap mera
Langit pagi itu cerah, mencerminkan suasana hati Albian yang mulai tenang setelah sekian lama diliputi kekacauan. Di meja kerjanya, sebuah map merah tergeletak, berisi dokumen rahasia yang selama ini menjadi sumber perselisihan dan intrik di perusahaannya. Dokumen itu kini aman di tangannya, berkat kegigihannya melacak dan membersihkan jaringan pengkhianatan yang merusak integritas perusahaan. Albian membaca dokumen tersebut sekali lagi, memastikan semua isinya benar dan lengkap. Dokumen itu berisi rancangan strategis untuk ekspansi perusahaan ke pasar global, sebuah rencana yang telah dia persiapkan sejak lama sebelum dihancurkan oleh pengkhianatan Jessica dan Julian. Pintu ruangannya diketuk, dan sekretarisnya, Linda, masuk dengan senyuman lebar. "Pak Albian, dewan direksi telah memutuskan untuk mengangkat Anda sebagai CEO tetap. Keputusan ini bulat." Albian menghela napas lega. Setelah melalui begitu banyak tekanan, akhirnya dia berhasil membuktikan dirinya. "Terima kasih, Li
Sonia duduk di ruang keluarga besar rumah Albian yang megah, memegang secangkir teh hangat yang hampir dingin. Di hadapannya, Bu Laura duduk dengan sikap anggun, tetapi kaku, tatapannya tajam seolah meneliti setiap gerak-gerik menantunya. Keheningan terasa begitu tegang hingga suara jarum jam di dinding terdengar nyaring. Sonia menenangkan dirinya, mengingat bahwa langkah ini adalah bagian dari usahanya untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan ibu mertuanya.“Bu, aku dengar keluarga memiliki program amal yang sudah berjalan cukup lama.” Sonia membuka percakapan dengan hati-hati. “Aku ingin menawarkan diri untuk membantu, jika Ibu mengizinkan.”Bu Laura mengangkat alis, tampak sedikit terkejut. “Kamu ingin membantu?” Suaranya terdengar skeptis, seolah tak yakin niat itu tulus.“Iya, Bu.” Sonia menjawab dengan senyum lembut. “Aku pikir, mungkin ini cara aku untuk lebih mengenal keluarga Mas Al, sekaligus berkontribusi pada sesuatu yang penting.”Wanita paruh baya itu memandangnya
Hari itu, Albian berada di ruang kerjanya, memeriksa laporan keuangan perusahaan. Sinar matahari masuk melalui jendela besar di belakangnya, menciptakan bayangan panjang di lantai marmer. Namun, pikirannya tak sepenuhnya fokus pada angka-angka di depannya. Ada perasaan ganjil yang terus mengusiknya sejak beberapa hari terakhir. Sonia, istrinya, tampak gelisah belakangan ini meskipun dia berusaha keras menyembunyikannya. Ketukan di pintu membuyarkan pikirannya. "Masuk," katanya dengan suara tegas. Seorang asisten masuk membawa sebuah amplop. "Pak Albian, ini ada laporan yang harus Anda lihat," katanya sebelum keluar dengan cepat. Albian membuka amplop itu dan menemukan beberapa dokumen serta catatan kecil dari seseorang yang tak dia kenal. Lelaki itu membaca dengan teliti dan menemukan sesuatu yang mengejutkan; laporan penyelidikan pribadi tentang Sonia. Semua detail tentang masa lalu istrinya tercantum di sana, termasuk dugaan skandal kecil yang konon melibatkan Sonia saat masih ti
Lima tahun berlalu sejak malam yang penuh tantangan di ballroom mewah itu. Hidup Sonia dan Albian kini terasa lebih stabil meski tetap penuh dinamika. Mereka telah melalui banyak hal bersama dan keluarga mereka tumbuh dengan cinta dan kebahagiaan.Di sebuah pagi musim semi yang cerah, suara tawa anak kecil terdengar di halaman rumah besar milik keluarga Albian. Farhan Damian Adikusumo, putra pertama mereka yang kini berusia lima tahun, sedang berlari-lari mengejar bola di bawah pengawasan pelayan. Sementara itu, Sonia berbaring di tempat tidur di kamar utama, tangannya menggenggam tangan Albian.“Bagaimana perasaanmu, Sayang?” tanya Albian dengan nada cemas, duduk di tepi ranjang. Wajahnya menunjukkan kecemasan bercampur antusiasme.“Sedikit tegang, tapi aku siap, Mas,” jawab Sonia dengan senyum kecil meski wajahnya terlihat lelah. Perut besarnya menunjukkan bahwa dia akan melahirkan kapan saja.Tiba-tiba, Sonia merasakan kontraksi yang tajam. Dia pun menggigit bibir bawahnya, mencoba
Pada malam yang lain sesuai permintaan Pak Adikusumo, acara berlangsung meriah di salah satu ballroom hotel mewah milik keluarga Albian. Lampu kristal menggantung megah di langit-langit, sementara para tamu dari kalangan pebisnis ternama dan tokoh masyarakat berdatangan dengan senyum ramah yang penuh formalitas.Sonia berdiri di samping Albian, mengenakan gaun malam berwarna biru safir yang anggun. Rambutnya disanggul sederhana dan senyum lembutnya mencerminkan rasa percaya diri yang baru dia temukan. Di tengah percakapan hangat dengan beberapa tamu, Sonia merasakan tatapan dingin sang mertua yang terus mengawasinya dari kejauhan.“Ibu pasti sedang merencanakan sesuatu,” pikir Sonia, tetapi dia tetap menjaga sikapnya.Di sudut ruangan, Bu Laura memandang Sonia dengan sorot mata sulit ditebak. Keberhasilan Sonia membantu perusahaan selamat dari krisis besar baru-baru ini membuatnya terkesan, meski dia enggan mengakui hal itu secara terbuka.Namun, ada sesuatu dalam diri wanita tua itu
"Ini lebih buruk dari yang kita kira," kata Albian dengan suara berat, meletakkan dokumen tebal di meja ruang rapatnya. Para eksekutif perusahaan duduk dengan wajah tegang, sementara layar proyektor di depannya menampilkan grafik penurunan tajam.Pesaing besar, Fortuna Corporation, telah meluncurkan produk baru yang hampir identik dengan salah satu produk unggulan perusahaan Albian. Tidak hanya itu, mereka berhasil menekan harga hingga jauh di bawah rata-rata pasar, membuat pelanggan utama perusahaan Albian mulai berpaling."Jika kita tidak segera menemukan solusi, kerugian ini bisa membuat kita kehilangan kontrak-kontrak utama," tambah salah satu direktur pemasaran.Albian menghela napas panjang. Matanya menyapu seluruh ruangan, mencoba mencari semangat dalam timnya yang tampak mulai kehilangan harapan.Ujian datang bertubi-tubi membuat kepalanya terasa berdenyut.***Di rumah, Sonia melihat Albian pulang lebih larut dari biasanya. Wajahnya terlihat kusut, dengan garis-garis kelelaha
“Ibu, ini sudah terlalu jauh!” Albian mendobrak masuk ke ruang kerja ibunya. Suaranya tajam, hampir seperti geram. Di tangannya ada dokumen yang baru saja dia ambil dari meja sang ibu. “Apa maksudmu menyelidiki masa lalu Sonia? Apa Ibu sudah tidak percaya sama anak sendiri?”Wanita tua itu menatap putranya dengan tenang meskipun ekspresinya dingin. “Ibu hanya memastikan, Albian. Sebagai ibu, tentu Ibu punya hak untuk melindungi keluarga. Apa kamu masih tidak mengerti itu?”“Keluarga? Itu termasuk Sonia sekarang! Dia adalah istriku, ibu dari anakku, dan bagian dari hidupku. Ibu tidak punya hak untuk merusak hubungan kami!”Bu Laura segera berdiri, menghadapi Albian dengan tatapan tajam. “Kamu terlalu percaya pada Sonia, seperti dulu kamu percaya pada Jessica. Kamu lupa bagaimana itu menghancurkanmu? Ibu tidak akan membiarkan kesalahan itu terulang!”"Jadi, Ibu menganggap mereka sama karena berasal dari latar belakang yang sama?" Suara Albian mulai pelan, tetapi tentu masih penuh peneka
“Sayang, kamu mau jalan-jalan sama aku nggak?” tanya Albian pagi itu, memecah keheningan di ruang makan. Mereka sedang menikmati sarapan sederhana bersama ibu Sonia.Sonia mengangkat alis, sedikit terkejut. “Ke mana, Mas?”Albian tersenyum kecil, seakan menyimpan rahasia. “Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan. Ini akan menjadi awal dari sesuatu yang baru untuk kita.”Mendengar itu, Bu Siti mengukir senyum dan beralih menatap putrinya. "Pergilah, Nak. Farhan biar sama Ibu.""Apa nggak merepotkan, Bu?" tanya Sonia sedikit ragu. Sungguh, dia tidak lagi ingin merepotkan ibunya karena di masa kecil pun selalu direpotkan meskipun memang sudah menjadi tugas Ibu untuk merawat anak-anaknya.Farhan memang memiliki baby sitter, tetapi tetap saja harus selalu dalam pengawasan. Sudah banyak kasus yang membuat bulu kuduk Sonia meremang. Ya, meskipun baby sitter itu berperilaku baik selama ini, entah dengan nanti."Nggak apa-apa. Farhan cucu Ibu, kan? Lagi pula anakmu itu pinter, lho. Nggak akan nge
“Ini akan menjadi hari yang istimewa, Sayang,” ujar Albian sambil menggenggam tangan istrinya erat. Matanya berbinar penuh cinta saat memandang wanita yang telah melalui banyak rintangan bersamanya.Sonia tersenyum kecil. “Aku masih nggak percaya semua ini akhirnya terjadi, Mas. Aku merasa seperti baru saja melewati badai yang panjang.”Lelaki berwajah tegas itu mengusap punggung tangan Sonia dengan lembut. “Dan kini, kita berdiri di bawah langit yang cerah. Kamu layak mendapatkan semua kebahagiaan ini.”Hari itu, Sonia dan Albian memutuskan untuk mengadakan pesta kecil di rumah mereka. Tidak ada kemewahan berlebihan seperti acara keluarga besar sebelumnya, hanya kehangatan orang-orang terdekat yang setia mendampingi mereka selama ini.Pelayan-pelayan yang tersisa di rumah itu, yang sebagian besar telah menjadi seperti keluarga bagi Sonia, membantu menyiapkan makanan dan dekorasi. Mereka semua tampak bersemangat, seperti merayakan keberhasilan Sonia yang kini benar-benar diterima seba
“Semuanya sudah siap.” Sonia mengumumkan dengan percaya diri di hadapan tim proyeknya. Mata mereka bersinar penuh harapan meskipun minggu-minggu sebelumnya mereka diliputi keraguan. Strategi baru yang dirancang Sonia berhasil menarik perhatian beberapa perusahaan besar yang bersedia mendanai proyek pembangunan sekolah tersebut. Tantangan terakhir adalah menyampaikan presentasi kepada dewan direksi dan para mitra. Jika Sonia gagal di tahap ini, seluruh proyek bisa runtuh. Hari presentasi tiba. Sonia bangun lebih awal, mengenakan setelan sederhana nan elegan yang mencerminkan profesionalisme. Di depan cermin, dia menarik napas panjang. “Kamu bisa melakukannya,” bisiknya pada dirinya sendiri. Albian menghampiri dari belakang, meletakkan tangannya di pundaknya. “Aku percaya padamu,” katanya dengan suara lembut. “Ingat, ini bukan hanya tentang membuktikan diri kepada keluargaku. Ini tentang memberikan dampak nyata pada hidup orang lain.” Wanita itu tersenyum kecil, merasakan duku
Malam itu, Bu Laura duduk di ruang kerjanya, tangannya menopang dagu sambil memikirkan rencana baru. Sejak Tania pergi, Sonia terlihat lebih tegar. Hubungannya dengan Albian semakin kuat dan keluarga besar mulai memberikan dukungan kepada Sonia. Bu Laura tidak bisa membiarkan hal itu terus terjadi."Jika aku tidak melakukan sesuatu, wanita itu akan benar-benar menguasai keluarga ini," gumamnya. Dia membuka map di depannya yang penuh dokumen proyek amal keluarga mereka—sebuah proyek besar yang diinisiasi oleh keluarga besar Adikusumo sejak dulu.Matanya menyipit saat ide mulai terbentuk. Dia memutuskan untuk memberikan Sonia tanggung jawab besar—sebuah ujian yang, menurutnya, akan membuktikan apakah Sonia benar-benar layak menjadi bagian dari keluarga mereka.Setelah beberapa harinya, Bu Laura memanggil Sonia untuk bertemu di ruang tamu. Sonia datang dengan sedikit canggung, tidak terbiasa diajak berbicara langsung oleh mertuanya.“Ibu mau ketemu aku?” tanya Sonia dengan sopan begitu d
Pagi itu, Sonia sedang menyiapkan sarapan ketika Tania masuk ke dapur dengan raut wajah yang tak biasa. Matanya bersinar dan senyumnya tidak dapat disembunyikan.“Kak Sonia, aku punya kabar baik!” seru Tania, suaranya penuh semangat.Sonia menoleh, meletakkan panci di atas meja. “Apa itu? Cepat ceritain!”Tania mengeluarkan amplop dari tasnya dan menyerahkannya kepada Sonia. “Ini ... aku diterima di program beasiswa untuk melanjutkan studi ke luar negeri!”Sonia membuka amplop itu dengan tangan sedikit gemetar. Mata bulatnya membelalak ketika membaca isi surat tersebut. “Tania! Ini luar biasa!” serunya sambil memeluk adiknya erat.Beasiswa itu adalah impian Tania selama bertahun-tahun, tetapi selama ini tampak mustahil karena keterbatasan finansial. Namun, berkat dukungan Albian yang membantu memfasilitasi aplikasi dan memperkenalkan Tania ke orang-orang yang tepat, kesempatan ini akhirnya menjadi nyata.“Aku nggak percaya ini benar-benar terjadi,” kata Tania, duduk di meja makan deng