Setelah mentraktir mertuanya makan Oriaga pun pulang membawa durian pesanan Shanaya. Saat baru saja sampai, ternyata istrinya itu sudah menunggu di depan.“Kenapa kamu menunggu di teras?” tanya Oriaga yang terkejut melihat Shanaya menunggu di sana.“Apa kamu dapat duriannya?” Shanaya menyambut kedatangan Oriaga. Ekspresi wajahnya berubah semringah karena melihat suaminya membawa apa yang diinginkan.Shanaya menghampiri Oriaga karena ingin menyambar durian yang dipegang, tapi Oriaga yang melihat tingkah sang istri pun mencoba menjauhkan durian itu dengan menyembunyikan tangannya ke belakang badan.“Kenapa?” tanya Shanaya bingung karena Oriaga malah menjauhkan buah itu darinya.“Kamu sudah sarapan?” tanya Oriaga sambil menatap Shanaya yang terkejut tapi menggemaskan.“Tentu saja su ….” Shanaya ingin berbohong, sayangnya Pak Wira tiba-tiba muncul di sana hingga membuatnya menjeda ucapan.“Nona belum sarapan Tuan,” ucap Pak Wira karena mendengar pertanyaan Oriaga. Dia melirik Shanaya yang
Pagi itu Amora baru saja selesai mengurus Issa dan Xavi. Dia dibuat terkejut dan berjalan terburu-buru menuju pintu karena ada yang menekan bel beberapa kali. “Tolong gendong Xavi dulu,” pinta Amora ke Isaak sambil melangkah ke arah pintu. Beruntung hari itu Isaak tidak pergi jogging dan langsung melaksakan ucapan Amora. Dia mengambil Xavi dan menimang agar anaknya itu tidak rewel. Amora sibuk mengikat rambut, dia sampai tidak sempat melihat dulu siapa yang datang dan langsung membuka pintu, hingga Amora sangat terkejut saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya saat ini. “Mama, Papa.” Amora kehilangan kata-kata, dia tak menyangka kedua orang tuanya berada di Indonesia dan bahkan berdiri di hadapannya sekarang. Amora sangat syok sampai kelepasan mengumpat menggunakan bahasa Belanda. Menyadari itu dia pun buru-buru menutup mulut takut keceplosan untuk ke dua kalinya. Amora sampai menoleh ke Isaak yang sedang menggendong Xavi. “Kenapa reaksimu begitu?” tanya ibunda Amor
Malam itu Kirana duduk dengan tangan gemetar. Dia benar-benar grogi karena akan bertemu dengan orang tua Elkan. Jari jemari tangannya terlihat terus bergetar, bahkan dia sampai meremas berulang kali untuk menutupi kegugupan. Namun, sayang tetap saja tidak berhasil. Kirana menengok ke ponselnya yang ada di atas pangkuan, lantas beralih ke arah pintu private room di salah satu restoran ternama yang dia datangi bersama Elkan. Kemarin Amora mengabari jika mereka akan makan bersama, hingga sekarang harus menyiapkan diri menghadapi kedua orang tua Elkan yang membuatnya cemas. Elkan melihat Kirana yang gelisah. Dia meraih telapak tangan wanita itu, lantas menggenggam erat. “Jangan terlalu gugup,” ucap Elkan untuk menguatkan Kirana. Kirana menatap Elkan, meski pria itu memintanya tenang, tapi tetap saja dia tidak bisa menyembunyikan gemuruh di dada. “Kenapa kamu sangat gelisah seperti ini? Apa setakut itu bertemu orang tuaku? Kamu yang seperti ini, tak seperti Kirana yang aku kenal,” uc
Shanaya berada di mobil bersama Pak Wira. Dia memperhatikan jalanan yang dilewati, lantas memandang ke Pak Wira yang duduk di kursi depan.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Apa ada yang penting?” tanya Shanaya bingung karena Pak Wira hanya mengatakan jika dirinya harus ikut pergi.Gadis itu menekuk bibir, karena Pak Wira masih tidak mau memberitahu tujuan mereka.“Maaf Nona, saya tidak bisa memberitahu. Ini rahasia jadi tidak bisa dikatakan apalagi dijelaskan,” jawab Pak Wira. Pria tua itu menoleh sekilas ke Shanaya lantas kembali memandang jalanan.Shanaya menyandarkan punggung, dengan kening berkerut menatap Pak Wira yang terlihat tenang. Padahal apa susahnya tinggal menjawab pertanyaan yang dia lontarkan, kenapa seperti sulit sekali bagi Pak Wira hingga membuat Shanaya berpikiran macam-macam.“Apa Pak Wira berniat menculik wanita hamil?” tanya Shanaya sambil memperhatikan reaksi wajah kepala pelayan rumah utama itu.“Mana berani, Nona. Bisa-bisa saya digantung Tuan Oriaga kalau be
Shanaya terlihat tersenyum-senyum sendiri saat sedang bersiap-siap pagi ini, tentu saja hal itu terpantau Oriaga yang baru saja keluar dari kamar ganti. Pria itu menghampiri Shanaya yang tampak sangat ceria. “Sepertinya kamu sangat bahagia,” ucap Oriaga. “Tentu saja, ini pertama kalinya kamu mau menemaniku mengikuti kelas hamil, aku senang karena pasanganku hari ini bukan instrukturnya,” balas Shanaya. “Aku heran, kamu lebih bahagia dari pada kemarin saat peresmian hotel,” seloroh Oriaga. “Jelas, kan aku sudah bilang,” balas Shanaya. "Anak yang dibuat sama-sama, seharusnya sejak dalam kandungan juga harus diurus sama-sama, termasuk mengikuti kelas hamil,” ujar Shanaya menggoda suaminya. Oriaga hanya tersenyum mendengar ucapan Shanaya. Dia pun duduk di tepian ranjang, lantas meminta Shanaya duduk di sampingnya. Shanaya pun duduk, hingga Oriaga menyentuh permukaan perutnya yang membuncit. “Maaf kalau papa kurang memperhatikanmu dan sering mengabaikan mamamu,” ucap Oriaga
“Wah, kamu datang.” Flo —Mantan bos Shanaya terlihat senang melihat kedatangan istri Oriaga itu di sana.Shanaya tersenyum melihat Flo yang buru-buru menghampiri, hingga mantan bosnya itu urung memeluk dan malah terpaku memandang perut Shanaya yang besar.“Kamu sedang hamil?” tanya Flo terlihat terkejut tapi juga tersenyum senang.“Iya, maka dari itu aku datang ke sini, Kak. Sejak kemarin aku selalu membayangkan peanut cake Wonderflo dan ingin memakannya,” jawab Shanaya sambil melebarkan senyum, satu tangan dia pakai untuk mengusap lembut permukaan perutnya.“Tentu saja. Duduklah, biar aku siapkan kue yang kamu inginkan. Aku akan mentraktirmu gratis,” ucap Flo lantas buru-buru kembali ke belakang etalase untuk mengambil sendiri kue yang diinginkan Shanaya.“Tidak usah.” Shanaya sungkan karena ingin ditraktir.“Ini hadiah untuk calon bayimu, tidak boleh mennolak!” ucap Flo setengah memaksa.Shanaya akhirnya mengangguk dan pasrah saja mendapat kue yang dia inginkan itu. Mereka pun duduk
Siang itu Andra tampak semringah, penuh percaya diri berjalan bersama sekretarisnya membawa makanan dan kopi. Andra sengaja pergi ke ruangan Mauri hanya untuk mengantar makan siang.“Untukmu dan teman-temanmu.” Andra bicara sambil meletakkan makanan dan kopi yang dia ambil alih dari tangan sang sekretaris ke atas meja Mauri.Mauri yang masih sibuk bekerja pun terkejut melihat apa yang dilakukan Andra, dia menatap pria itu dengan ekspresi wajah kaget lalu menoleh ke sekeliling. Bukan hanya dirinya, tapi ternyata semua staff yang ada di sana juga terkejut dengan kedatangan Andra secara tiba-tiba.“Apa ini? Kenapa membawakanku makanan dan mengantarnya langsung sendiri?” tanya Mauri menggunakan nada suara yang sangat kecil. Dia menoleh lagi lalu menundukkan kepala seolah sedang berusaha menyembunyikan wajahnya.“Kenapa ke sini tidak bilang dulu?” Protes Mauri.“Apa ada aturan kalau ingin menemui pacar harus laporan dulu? Kalau mau ketemu, bukannya tinggal ketemu,” jawab Andra dengan enten
Andra memijat kening yang terasa pening. Makan siang bersama ayah Mauri hancur berantakan karena sikap Abraham yang sangat keras. Dia dan Mauri bahkan harus kembali ke perusahaan sendiri-sendiri karena situasi yang terjadi.Sesampainya di perusahaan, Andra terlihat gontai berjalan menuju lift. Hingga tanpa sengaja pemuda itu melihat Oriaga yang berjalan dari arahnya.Andra sama sekali tak menatap ke arah Oriaga. Dia berjalan sambil menatap lurus ke depan seolah tak melihat pria itu. Oriaga pun tampak biasa saja seolah tak melihat Andra, keduanya saling melewati satu sama lain tanpa menyapa. Namun, tak lama Andra tiba-tiba menghentikan langkah, lantas membalikkan badan hingga menatap punggung sang paman.“Apa Paman sibuk?” tanya Andra tiba-tiba.Oriaga menghentikan langkah mendengar pertanyaan Andra, bahkan Aston juga ikut berhenti saat melihat atasannya itu memaku kaki.Oriaga menoleh Aston lantas melirik ke Andra yang sedang menatapnya.“Tidak juga,” jawab Oriaga, “kamu pergilah dulu